https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

04 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (2)

Pemurnian

SEORANG penyair ternyata bisa “memusuhi” karyanya sendiri. Penyebabnya tidak selalu jelas. Mungkin saja ia kecewa, muak, lelah, pada apa yang sudah dihasilkannya. Lantas ia tergoda untuk murtad dari iman puisinya, lalu mencoba-coba selingkuh, bikin affair dan mencoba-coba yang lain di “luar“ puisi. Seraya berusaha membunuh penyair dalam dirinya.

Selingan itu mungkin membuatnya heboh dan kuat kembali. Tapi bisa saja hanya membawanya pada kemuakan baru, kelelahan lain lagi. Ia mulai membenci teman selingkuhnya, menyesali pengembaraannya yang tak keruan juntrungan. Ia mulai menyadari kenyamanan rumah lamanya. Ia mulai belajar lagi apa artinya rindu. Lantas ia pun memutuskan pulang. Ia telah dimurnikan.

Antara periode 1989 – 2004, publik (atau setidaknya saya) sempat lama kehilangan puisi-puisi anda. Baru pada 2005, “mendadak” lima sajak anda muncul di Kompas. Apa yang menahan anda untuk “menghilang” begitu lama, dan apa pula yang akhirnya mendorong anda untuk turun gunung lagi?

Periode anda “kehilangan puisi-puisi” saya mestinya tidaklah sepanjang itu. Saya masih menerbitkan, meski jarang, sejumlah puisi sampai tahun 1995—di harian Surabaya Post, jurnal Ulumul Quran, dan harian Media Indonesia edisi Minggu. Selanjutnya, sampai 2004, saya masih menulis puisi, yaitu sebagai proses mendisiplinkan diri yang sudah saya sebut tadi, namun nafsu saya untuk menerbitkannya sudah padam. Sajak-sajak itu sekadar tinggal dalam laci, buku harian, atau lenyap; akhirnya memang sebagian besar benar-benar lenyap. Tapi saya tidak berpisah sama sekali dari dunia sastra. Saya menjadi ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam sejak 1994, dan sejak 2002 menjadi penjaga lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu. Menjadi editor mengharuskan saya mengambil jarak tertentu dengan, dan makin kritis terhadap, sastra. Saya terbiasa melihat lanskap, bukan menyempitkan pandangan terhadap karya-karya tertentu saja. Saya makin kejam terhadap diri sendiri, “Jangan menerbitkan karyamu deh, supaya engkau bisa jernih memilih karya orang lain.”

Dan sejak 1991, saya menjajal kemampuan “diskursif” saya. Yaitu menilai kesenian. Sejak kecil, minat saya memang bukan hanya sastra, tapi kesenian. Teman-teman dikusi saya berasal dari disiplin-disiplin seni rupa, teater, tari, musik, arsitektur, dan sinema; juga ekonomi, fisika, dan ilmu politik. Nah, saya pun menulis ulasan kesenian dan ulasan “kebudayaan”. Di samping itu, minat saya juga mengarah ke sejumlah bidang lain, misalnya saja ke botani dan zoologi. Namun tentulah konsentrasi saya yang terbanyak tetap pada sastra. Intuisi saya yang tertajam tertuju pada sastra. Ini sudah terlatih sejak kecil, paling tidak sejak SMP. Sebagai redaktur lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu, saya menghadapi segunung naskah tiap minggu. Saya juga “mengawasi” lembar sastra sejumlah koran dan mengikuti penerbitan sastra dari berbagai daerah, juga “sastra di dunia cyber”. Setiap akhir tahun, saya menuliskan penilaian saya. Demikianlah saya percaya, banyak sekali yang belum dikerjakan para sastrawan kita. Saya tahu bahwa saya tidak bisa sekadar berharap atau melancarkan kritik. Apa yang tidak dikerjakan itu, harus saya kerjakan sendiri, paling tidak sebagian. Bolehlah kini saya anggap bahwa tulisan kritis saya hanyalah semacam pendahuluan untuk penulisan puisi saya yang berlangsung sepanjang 2005-2007, yang berujung pada Jantung Lebah Ratu ini.

Sebenarnya sejak 1997-1998, saya terus melakukan percobaan untuk menjelajahi batas antara prosa dan puisi. Ketika membaca sejumlah novel terbaru dari luar, saya sungguh-sungguh cemburu kepada kaum novelis itu, tapi saya tidak ingin menulis seperti mereka. Saya pun menulis cerita, atau semacam cerita, cerita panjang, yang selalu saja tertarik-tarik ke arah puisi; atau saya ingin melupakan puisi, dengan cara menulis prosa yang tidak prosais. Hasilnya adalah beberapa fragmen, tiga di antaranya sempat terbit di Kalam (2000-2001) dan jurnal Prosa (2002). Pada pertengahan 2004, saya lakukan percobaan dengan puisi lagi. Entah kenapa, ada sejumlah citra tertentu yang sering lewat di depan saya, dan terus mengganggu. Mungkin citra-citra itu berasal dari kunjungan saya ke sejumlah museum dan kebun binatang di mancanegara. Saya harus menjinakkan mereka, dengan cara memberi mereka bentuk tertentu. Kadang saya berhasil, kadang gagal; namun, akhirnya saya muak dengan apa yang saya capai; sebagaimana sebelumnya, sajak-sajak itu saya buang belaka. Namun saya terus terangsang, karena saya menemukan sejumlah puisi dari luar yang begitu cemerlang. Pada akhir tahun 2004, saya putuskan untuk betul-betul berkonsentrasi: saya bisa duduk berjam-jam mengotak-atik setiap bangunan bahasa yang mungkin untuk menjadi rumah bagi citra atau motif yang “mengganggu” saya. Sampai pertengahan Februari 2005, saya menghasilkan kurang-lebih 12 sajak (yang lima di antaranya dimuat Kompas pada akhir Maret 2005). Sejak itu saya tahu telah mendapatkan lagi gairah kepuisian. Suara penyair menghuni diri saya lagi. (Bersambung)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...