https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

24 August 2014

Pada Sebuah Sore

Sehirup teh, sejudul sajak
Dan sepotong sore yang belum bernama
Tapi katamu, kita tak memerlukannya samasekali
Nama-nama hanya membuat segalanya pecah, terbagi

Kemudian kita bersusah-payah menyatukannya kembali
Seraya tak percaya kebahagiaan adalah ihwal yang sederhana
Seperti menghirup teh, seperti membaca sajak
Pada sepotong sore yang alpa diberi nama

21 August 2014

Ingatan Pada Sebuah Sajak

Kata-kata dalam sajak itu, kuingat
Seperti curah hujan pada sebuah petang suram
Sewaktu pertama kali membacanya dulu
Terlihat juga kilat guruh dan isyarat badai di kejauhan
Aku nyaris tak kuasa melangkah lagi
Sebab kenangan demi kenangan sekonyong juga turun
Menutup baris-barisnya dengan semacam kebutaan
Terang-benderang yang yang menggiringku ke pinggir jurang

Aku mengira sajak itu bakal berujung
Pada keruntuhan atau semacam putus asa banal
Tapi hujan kemudian reda, angin pun surut
Petang yang membiru kemudian menjadi malam
Penuh cahaya listrik, gerimis yang masih saja turun
Di sana-sini membuat pemandangan jadi mitis mengiris
Kini bisa kulanjutkan lagi perjalanan yang tertunda
Sebuah kota yang kukenal, lanskap yang seimbang

Musim memang tak menjadi mudah, cuaca terus
Tumbuh dan kuyup, dan topan mengirimkan sinyalnya
Tak henti lewat mimpi yang tak utuh lagi perangainya
Tapi setidaknya ada sebuah kota yang kita kenal akrab
Pagi yang sediakala, langit yang seperti langit adanya, pintu
Yang membuka sewaktu segalanya jadi begitu memberat:
Mungkin sebuah sarang, barangkali sebuah sudut tersembunyi
Di mana seorang dari kita bisa duduk bersendiri
Menuliskan baris-baris remeh tak berarti ini

17 August 2014

Belajar Fotografi, Belajar Puisi

 


ANAK kami yang pertama, Frida Nathania (14), memilih fotografi sebagai pelajaran ekstra kurikulernya. Dalam hati saya bangga juga karena ia memilih sesuatu yang "tidak begitu biasa", seperti misalnya Voli atau sebangsanya, meskipun itu berarti kami harus rela merogoh kocek lagi untuk membelikannya kamera standar yang dipersyaratkan.

  Kemudian, karena saya kepingin menjadi orang tua yang "baek" dan barangkali juga terdorong oleh semacam "kesombongan tersembunyi", saya pun jadi terdorong menasehatinya meskipun saya bukan fotografer samasekali. Pertama sekali saya katakan padanya bahwa ada kesamaan esensi antara belajar fotografi dan belajar menyajak.

Baik penyair maupun pemotret, kata saya, berjuang mencuri kesempatan, mencoba mengekalkan momen yang sebentar, lalu menyimpannya agar menjadi lebih awet. Keduanya dihantui obsesi yang sama: bagaimana menghadirkan ruh yang disebut puisi ke dalam wadah masing-masing.

Kedua pekerjaan itu menuntut kejelian, kesabaran, dan tentu ketajaman sekaligus kejernihan intuisi. Obyek apa pun sah untuk digarap. Dalam fotografi, seperti juga dalam sastra, kata saya penuh keyakinan, soalnya bukan "apa", melainkan "bagaimana".


Saya melanjutkan, penyair dan pemotret membutuhkan juga teknik bahkan teori--intuisi saja pada akhirnya tak memadai. Kematangan teknik dan kedewasaan intuisi, kata saya, adalah "formula universal" yang nantinya bisa menghadirkan ruh puisi itu.

Tak ada batasan waktu dan tempat. Kesenian adalah kerja tak putus bagaimana menghadirkan puisi itu seutuhnya. Kesenian adalah ikhtiar tak kunjung henti bagaimana "membebaskan puisi" dari segala anasir yang tidak diperlukannya. Ketahuilah Nak, itu mungkin sebuah kerja yang seperti "sia-sia". Begitulah saya akhiri "pidato" saya disertai keyakinan pastilah dia agak kebingungan.

Di atas ini adalah hasil jepretanya. Ah, ia baru saja mulai belajar menyelaraskan "teknik" dan "intuisi"nya. Jalannya tentu masih teramat panjang.

13 August 2014

Ruang

Di dalam sajak pendek ini
Telah kusiapkan untukmu ruang
Aku tahu jauh dari nyaman
Kuharap tapi kau bakal terbiasa

Jendelanya sempit menyapa langit
Sejumlah nama dan kenangan lapuk
Teronggok begitu saja di sudut
Yang sudah jarang didatangi

Pintunya sejak dulu tak bisa dikunci
Sesiapa pun jadi bebas keluar dan masuk
Merdeka menaruh atau mencuri entah apa
Barangkali sepasang kasut, dan kisah butut?

Aku mohon maaf, sebab abai merancang hiasan
Padahal kau termat suka gambar dan bebunga
Tentulah enam dindingnya jadi lengang terasa
Sebab bayang waktu diam tak berpangkal

10 August 2014

Kota Ini

Kota ini tak ubahnya
Sebuah komidi putar besar
Kita terkurung di dalamnya:
Berputar dan tak sampai ke mana pun
Saling melambai (mungkin menyeru)
Dalam jarak yang pasti
Dan sedih yang tak terbagi

"Sebaiknya memang kita
Tak kelewat berharap
Pada yang lintas sekejab
Di antara jeda," seorang pernah berkata
Musim memang tak berjanji apa pun
Hanya ada sebuah siklus:
Jalinan kisah tak tersambung
Di antara mendung
Dan musim yang ganjil

Ah, kota ini sungguh
Sebuah komidi putar belaka
Kita terjebak di dalamnya, mungkin
Terkutuk, turunan lancung Sisifus?

07 August 2014

Tamat

Mati itu
Bagai kisah tamat
Bagai buku
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya:

Kosong
Halaman sesudahnya

Putih
Tak terbaca

05 August 2014

Usaha Mencatat Gerimis

- Menafsir Malna

Sebelum dituliskan ia masih sepenuhnya gerimis
Melayang merdeka tak beribu-bapak di udara tak bernama
Lantas lembut sempurna bisa kau rasakan mendarat ia
Di pusat kebun, atau pada pepuncak ubunmu

Sewaktu kau berkeras menuliskannya, menguncinya
Dalam kotak-kotak sempit yang kau sebut sajak, mati-matian ia
Memberontak, seakan menampik garis takdir yang begitu saja
Kau paksakan pada cair wujudnya tak bersilsilah

Sewaktu rampung dituliskan, atau begitulah kau menduganya
Terang kau pastikan tak tersisa lagi itu gerimis, tak ada juga kau
Yang riuh mencatatnya pada ini wadah sarat cacat--
Hanya ada sepi di ujung baris yang sekonyong buntu, gagu

02 August 2014

Sastra Bawah Tanah


DALAM pidatonya pada penganugerahan Hadiah Sastra Khatulistiwa ke-13 tahun lalu penyair Afrizal Malna antara lain menghaturkan ucapan "terima kasih" kepada toko-toko buku yang menolak menjual buku puisi.

Penolakan itu, menurutnya, justru telah "menyelamatkan" puisi menjadi satu-satunya produk aktivitas kita yang tidak bisa "ditekuk" oleh pasar.

Kalau semuanya diambil olah pasar, apalagikah yang masih tersisa buat kita, begitu dia bertanya retoris. 

Puisi Indonesia memang semakin menegaskan dirinya sebagai "produk bawah tanah". Buku-buku puisi pemenang KLA misalnya, dengan pengecualian pada satu-dua judul, tidak pernah bisa ditemukan di rak toko-toko buku. Ia harus belajar merasa puas (dan "tahu diri") dengan menjadi gunjingan sebentar segelintir orang yang tak jelas pula.

Statemen Afrizal Malna, bagi saya, terasa sebagai kegenitan atau "hiburan" yang miris.

(Untuk pidato Afrizal Malna itu sendiri sila menyimaknya di sini).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...