https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

27 September 2006

Di Perpustakaan

Susah payah kucari kau
Kejelajah beribu halaman buku
Dengan terharu akhirnya kutahu
Kau menungguku di luas kalbu

2006

26 September 2006

Sewaktu Menyebrang

Sewaktu bergegas berlari menyebrangi sepi
Lagi-lagi segerombolan kata menubruknya jatuh
Lalu terdengar seperti ada yang mengerang kesakitan
Kenapa kalian suka sekali menggoda dan melukaiku?

2003

21 September 2006

Sajak Bola

Betapa susahnya menjadi bola
Menggelinding cuek tak hitungan
Tak bimbang ke gawang mana nasib ditendang
Tak hirau ke jala siapa kisah tersangkut

Tapi, betapa susahnya menjadi bola
Mendekam pasrah menunggu kickoff
Tak memihak gawang kanan atau kiri
Tak risau nanti dilupa sesudah bubaran

2006

Pikiran Di Meja Makan

Apa pun menu makannya
Besok pagi menjelma lonjoran tahi
Sejauh-jauh umur ngembara
Kubur juga addres akhirnya

Tapi ijinkanlah lidah luka ini
Mencecap sesaat lezat hidangan
Pun tubuh fana ini biarlah larut
Nanar sebentar dalam gelinjang ranjang

2006

19 September 2006

Dua Sajak Lama

Pada Suatu Pagi

Karena jalan macet
pada pagi itu
kita jadi sempat
mengamati lebih jelas
wajah orang-orang
di pinggir jalan.
Bahkan rumputan liar
di luar halaman
bank swasta itu
mendadak jadi terasa
begitu berarti.

Ini pasti bukan
perasaan sentimentil
yang biasa.
Kita tidak perlu
tahu siapa saja mereka.
Mulut yang terkunci
pada wajah mereka
mengabarkan kepada kita
beberapa hal sederhana
dan sangat mendasar
yang begitu lama
kita lupakan.
Inilah puisi
yang tidak ditulis lagi
warta berita yang
disensor dari
mata batin kita
selama ini.

Karena jalan macet
pada pagi itu
sistem tidak berjalan
seperti biasa
kita pun menangkap
kembali denyut suara
manusia yang sunyi.
Impian-impian masih
yang dulu juga ternyata
berjejalan di bus
yang merayap sangat
pelan dan lambat
untuk tidak pernah
sampai kemana pun.

1991


Percakapan Di Salon

Sang nyonya bicara
Tentang anak lelakinya
Calon insinyur
Sekolah di Jerman
Lulus tahun depan
Mungkin bakal kawin
Dengan cewek sana
Sesudah itu
Tante di sebelahnya
Ngomong soal prospek
Toko kembangnya
Suaminya orang penting
Di bank swasta besar
Di Jakarta sini
Nunggu di mobil
Mengkilat keren
Di luar sana

Percakapan akan
Terus berlanjut
Di antara gunting
Sisir dan cermin
Tema beralih
Soal liburan ke pulau
Di teluk Jakarta
Disebut si nyonya
Meniru perilaku
Orang kaya Amerika
Konon begitu
Sebab week end di Puncak
Sudah kuno sekarang
Si tante setuju
Lantas dia omong lagi
Soal toko kembangnya
Rumah bagus
Antena parabola
Serta sepintas lalu
Disinggungnya juga
Menantunya yang dokter
Lulusan Belanda
Dan sekarang praktek
Di rumah sakit
Komplek Indah

Bersama gunting
Sisir dan cermin
Engkau hanya sanggup
Diam mendengarkan
Semua itu
Tak ada peluang
Menang melawan
Dokter dan insinyur
Dari Jerman itu
Tak punya uang
Tidak usah pergi
Berlibur ke pulau
Pulang saja
Tidur arau tulislah
Beberapa sajak
Seperti dulu
Kata-kata masih
Setia menemani
Tak perlu parabola
Hanya untuk merasa
Bahagia bukan?

1991

18 September 2006

Berkas-berkas dibuang sayang

Saya mempunyai setumpuk berkas puisi yang selama ini ngendon dalam map. Puisi-puisi itu sebagian adalah puisi yang pernah ditolak redaktur puisi yang saya kirimi puisi itu. Sebagian lagi adalah puisi-puisi yang ketika selesai menuliskannya dulu telah "gagal" memuaskan saya. Mungkin, saya merasakan ada sesuatu yang "kurang" dalam puisi itu. Kadang-kadang saya bisa "menemukan" kekurangan itu, tapi gagal "memperbaikinya". Nah, puisi-puisi ini biasanya tidak saya buang. Tak tega saya melakukannya. Puisi itu saya simpan. Saya berharap kapan-kapan bisa mengolahnya kembali menjadi puisi yang "lebih baik".

Tapi sering kali saya gagal memenuhi harapan itu. Puisi-puisi itu pun seperti terlantar, dan jumlahnya tambah banyak. Kadang, setelah lewat banyak tahun, sempat juga saya mengintipnya. Nah, pada momen seperti ini sesekali saya mendapatkan kejutan yang indah. Dari tumpukan berkas yang terlupakan itu sesekali saya menemukan puisi "bagus" yang penulisnya ternyata saya sendiri. Puisi Lubang Kata dan Puncak yang pernah dimuat Kompas tempo hari, adalah contoh puisi yang saya temukan kembali dari berkas lama itu. Saya bahkan tak melakukan revisi apa pun seperti keinginan saya pada mulanya. Puisi yang semula saya kira "belum selesai" itu ternyata memang tidak meminta apa-apa lagi dari saya. Lihat, ternyata puisi itu seperti memberontak, seperti menolak diatur-atur, dan "lebih suka" memilih sendiri jalannya. Betapa indahnya. Betapa indahnya.

Jadi, jangan suka buru-buru membuang puisi yang sudah bermurah hati menghampiri kita.

14 September 2006

Habitat

Kini tambah susah saja membedakan
Mana yang pejabat, siapa yang penjahat
Kabarnya mereka dari spesies yang sama
Sekadar bertukar habitat belaka?

2006

Serdadu

Memandang serdadu
Terbayang mahasiswa
Seperti baru kemarin dulu
Terbunuh di jalanan membara

2006


Semanggi

Peluru panas sang tiran
Darah korban di jalan
Kita telah membiarkan
Waktu mencuri keduanya

2006


Bazaar

Ada bazaar di alun-alun
Datang orang berduyun-duyun
Ada tiran tiga puluh tahun
Menumpuk harta tujuh turunan

2006

Lanskap

Pagi beringsut di timur
Senja mencegatnya di barat
Di antara keduanya saya hadir
Sesaat berkelebat, lantas lewat

2006
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...