https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 June 2007

Pelajaran Puisi

Pelajaran Menulis Puisi (1)

Jangan kesusu begitu
Seduh kopi dulu, campurkan gula sedikit
Supaya bisa terkenang kembali
Rasa sakit yang pernah ada

Puisinya menyusul belakangan
Kadang cuma sebaris saja mengguris
Sisanya silakan cari sendiri--
Mungkin di antara ampas kopi?


Pelajaran Menulis Puisi (2)

Isi sebuah sajak
Tidak mesti hal-hal besar
Seperti impian dan harapan
Yang membongkar bumi

Sebuah sajak
Boleh saja berisikan
Hal-hal biasa dan sederhana
Seperti sajak ini

27 June 2007

Kepada Ciliwung

Ciliwung yang lusuh
Sampaikan salamku pada ombak
Setiba nanti kau di muara

Katakan begini
Kubatalkan hasratku semula
Bergabung kembali dengan lautan

Telah kupilih
Telah kuputuskan Jakarta
Kurusetra jahanam agung ini
Sebagai muara dan ombak lautku
Pangkal dan rinduku yang sejati

Bilanglah padanya
Aku akan kerasan di sini
Tak usah cemas atau marah
Segalanya akan baik-baik saja

25 June 2007

Puisi yang Baik Itu "Menular"

SALAH satu ciri puisi yang baik konon adalah bahwa puisi itu “menular”—dan “kebesaran” seorang penyair mungkin bisa dilihat antara lain dari seberapa mampu ia menebar “epidemi”, wabah yang menular itu. Jadi berbahayakah bergaul rapat dengan puisi yang baik? Bisa berbahaya, bisa juga tidak. Itu sangat tergantung pada kekebalan serta fit tidaknya kondisi kreatif kita.

Kalau kondisi kreatif kita payah, gampang sakit-sakitan, bergaul dengan puisi yang baik—dan penyair yang baik-- bisa merusak dan akhirnya membunuh kita sebagai mahluk kreatif. Maksudnya, kita hanya akan jatuh menjadi sekedar peniru, reproduksi murah meriah dari puisi, dan penyair yang kita gandrungi itu.

Tapi kalau kondisi kreatif kita fit dan bagus, puisi yang baik malah akan bisa menstimulir kita untuk bisa lebih kreatif lagi. Penyair-penyair yang kemudian diakui sebagai penyair besar lahir dengan cara melakoni proses ini. Mereka bergaul “mesra” dengan sebanyak mungkin puisi yang baik, lalu menyerap dan “mencuri” sebanyak mungkin aura super dari puisi-puisi baik itu, dan kelak pada saatnya menggandakannya menjadi aura super yang lain, puisi baik yang lain lagi.

Jadi jika ingin mengambil manfaat dari puisi yang baik, buatlah dulu sehat kondisi kreatif kita. Tapi bagaimana cara menjadikan sehat kondisi kreatif kita? Nah inilah lucu dan ajaibnya. Kondisi kreatif kita justru hanya bisa ditempa dengan cara terus bergaul dengan sebanyak mungkin puisi yang baik itu. Orang bijak berujar “Saya tak bisa menari, tapi saya harus tetap menari--karena hanya dengan cara itulah saya akan bisa belajar menari”. Jadi, teruslah menulis, meskipun mungkin anda merasa betapa payahnya tulisan anda sekarang.

22 June 2007

Kabar Terakhir, Jakarta

Hidup tambah brengsek di kota ini,
tidakkah begitu? Di terminal, baru saja
sampai, kau mungkin kepergok
gerombol begal. Di mulut gang
waktu pulang larut, berandal-berandal
penganggur itu dengan santainya
mungkin mencegatmu : minta
rokok seraya dirogohnya
dompetmu yang kempes.
Kau kepingin cepat saja sampai
di rumah, tapi kemudian kau pun
paham, rumah juga tidaklah
nyaman lagi. Semuanya tak sama
lagi, bukankah begitu?
Golok tumpul dan belati
di bawah bantalmu itu, kini tak lagi
berarti apa-apa. Dulu kau
masih bisa merasa aman kalau
mengelus gagangnya, masih
bisa lega sehabis berdoa.
Sekarang semua itu jadi kelihatan
konyol, mungkin lucu. Mungkin
sudah saatnya kau butuh
mantra-mantra baru, dewa-
dewa baru, yang bisa
membujukmu berkemas
tidur, bermimpi sekadarnya,
bertahan sedapatnya sampai
pagi tiba lagi. Dewa-dewa baru
yang bisa mengajarmu bagaimana
bertarung dengan benar, supaya
kau tetap selamat dan tidak gila
di tempat ini. Tidakkah begitu?

21 June 2007

Mati Itu

Mati itu sunyi
Dan rahasia
Begitu ingin kukatakan
Sepatah saja

Mati itu datar
Tanpa nada
Tak ada warta
Dari seberang sana

Mati itu sunyi
Dan tak menjawab
Begitu ingin kutuliskan
Sebaris saja

20 June 2007

Epigraf

Maut tak lebih rahasia
Dari sajak. Lama kupahami hal itu
Tapi luput kusadari. Hidup hanya sebaris
Gema yang akan memulangkan kita
Kembali pada diam. Dan seperti
Dalam sebaris sajak, aku pun tegak
Di ambang waktu. Menggigil dalam kabut
Kata-kata yang melepasku ke batas.

17 June 2007

Tema Sosial dalam Puisi Kita

SELAMA bertahun-tahun berkiprah dalam kerja puisi—meskipun akhirnya hanya tercatat sebagai figuran—saya mempunyai sebuah pertanyaan “kecil” yang belum saya temukan jawabannya. Pertanyaan itu juga sering saya ajukan kepada diri sendiri, dan hingga saat ini saya pun belum bisa menjawabnya dengan memuaskan. Pertanyaan itu adalah mengapa tema sosial dalam puisi kita terasa seperti “terpinggirkan”? Mengapa pula tema sosial sepertinya “kurang diminati” banyak penyair kita?

Khazanah puisi kita begitu kaya dengan ragam puisi bertema alam dan reliji, tapi kalau mencari puisi sosial rasanya dari dulu stok kita masih nama yang itu-itu juga : Rendra, lalu Taufiq Ismail, dan dari masa-masa agak kemudian boleh disebut nama-nama semisal Yudhistira ANM Masardi, F Rahardi, dan tentu saja Wiji Thukul. Mungkin masih ada lagi beberapa nama, tapi kalaupun dijumlahkan tetap kecil sekali dibandingkan dengan jumlah “koleksi” penyair alam dan reliji yang kita miliki.

Padahal lembaran sejarah sosial politik kita tidak pernah kekurangan bahan bermutu untuk bisa dijadikan puisi-puisi sosial unggulan. Saya ingat suatu kali pelukis Hardi bilang bahwa keterlibatan sosial sastrawan kita “kecil sekali”. Buktinya majalah sastra Horison tidak pernah dibredel, katanya berseloroh. Guyonan Hardi itu menarik dicermati. Kita, misalnya, bisa bertanya mengapa halaman-halaman majalah sastra Horison—yang dianggap sebagai barometer pencapaian sastra kita—nyatanya memang lebih dominan diisi, dalam istilah Hardi lagi, “sajak-sajak gundah gulana” ketimbang puisi-puisi sosial?

Jika alasannya karena soal mutu, maka pertanyaan susulannya adalah mengapa begitu sedikit stok puisi sosial bagus yang kita punya? Mengapa kita begitu piawai menulis puisi “gundah-gulana” dan sebaliknya terkesan tergagap-gagap ketika mengolah tema-tema sosial ke dalam puisi kita? Aih, jangan-jangan gurauan Hardi perihal “kecil”nya rasa keterlibatan sosial penyair kita, ternyata benar adanya.

15 June 2007

Memandang Sungai

/1/
kalau melihatmu
di gunung
asalmu bermula
mengalir alon-alon
sabar merayap
di sela bebatuan
siapa mengira
suatu ketika
setibanya di kota
kau meluap membanjiri
kami dengan
bencana
/2/
kalau mengenang lagi
masa orokmu dulu
kencing di celana
merengek kau paksa
ibumu bangun
jam 3 pagi
siapa bakal percaya
kelak suatu hari
kau memasang bom
meledakkan cafe itu
berantakan

13 June 2007

J a n j i

Jam tiga pagi
Aku masih di sini
Menunggu kata
Datang menemuiku

Kami telah berjanji
Ketemu di sini
Pada jam seperti ini
Tidak untuk apa

Melainkan sekadar
Merampungkan sakit
Yang lama tertahan
Di ujung baris

10 June 2007

Saat Vakum Sebagai "Berkah"

SETIAP penulis, bahkan yang “juara nobel” sekalipun, pasti pernah mengalami saat-saat vakum dan buntu berkarya. Waktunya tak menentu, bisa hanya beberapa minggu, tapi mungkin saja berbulan-bulan. Itulah kiranya masa-masa paling “bete” dan mencemaskan bagi sebagian penulis. Maka ada yang kemudian menjadi tidak sabaran lalu memakai cara-cara “tidak biasa”—mengonsumsi ganja atau ramuan aneh lain--untuk memaksa sang ilham buru-buru datang menemuinya.

Ada pula yang lebih suka menempuh jalan “relijius”. Remy Sylado berkisah tentang seorang penyair Yogya yang punya kebiasaan mandi kumkum di Parangtritis sebagai upaya memanggil ilham. Ada juga yang merasa perlu melakukan “puasa” dulu, melakoni hidup bermati-raga selama beberapa waktu, karena kondisi batin yang “bersih” konon katanya berkorelasi erat dengan suasana kondusif dalam proses penciptaan.

Tapi mengalami saat-saat “vakum”, saat-saat mandul sewaktu tidak sebaris pun puisi bisa ditulis sebetulnya ada berkahnya juga. Karena seorang penyair hakikatnya adalah manusia biasa maka ia pun memerlukan jeda dari kekhusukannya menulis. Tanpa jeda itu ia akan menjadi mahluk asing—dan mungkin “aneh--di tengah masyarakatnya. Pada saat jeda itulah ia kembali berkesempatan menjadi manusia “normal”, turun dari “awan gemawan” dan mendarat di bumi sebagai orang kebanyakan pada umumnya, yang tidak terbebas dari segala tetek bengek keseharian.

Saat-saat “vakum” itu sebetulnya juga bisa disulapnya menjadi waktu yang tidak mubazir. Sebab pada saat-saat seperti itulah ia mendapat peluang untuk melihat banyak hal dari sudut pandang yang lain. Bukankah ini juga sebuah kesempatan untuk “ngeluyur” guna mendapatkan lanskap baru dan segar? Kelak setelah waktu jeda itu lewat ia pun akan kembali ke puncak “menara kata”, tempatnya khusuk mengolah hidup, sebagai seorang penulis yang sudah jauh lebih diperkaya.

08 June 2007

Masih Ada Kata

Asal masih ada kata
Tak apa kita bertahan di sini
Sebentar menyaksikan
Pelan cahaya tenggelam
Di belakang gedung-gedung itu

Kau pernah bilang
Kita bisa saja dihancurkan
Tapi asal masih ada kata
Tersisa di antara kita
Kematian akan jadi lebih berharga
Untuk dicatat

Kita akan bertahan
Menunggu lengkap kisahnya
Seraya pura-pura tak peduli
Ruang berangkat senyap
Karena masih ada kata-kata
Bangkit dari balik gelap

07 June 2007

Seperti Perjalanan

Menulis sajak
Seperti memulai perjalanan
Tapi tanpa kepastian
Alamat mana saja
Bakal jadi singgahan

Kadang hanya kabut
Menghadang di jalan
Angin dan debu menghambur
Pada jalanan berkelok
Di ujung sebuah kata

Barangkali hujan
Menderas dalam ingatan
Sewaktu kau buka peta
Lusuh dalam genggaman
Hanya musim yang dulu juga

Kenangan dan luka
Seperti pohon berbaris
Menjatuhkan daun-daunnya
Di antara gerimis dan senja
Waktu kau tiba

Menulis sajak
Seperti memulai perjalanan
Tapi tanpa kepastian
Alamat mana kelak
Menanti di akhir baris

06 June 2007

Tema Insomnia

Aku punya mimpi
Tapi tak punya tidur
Jadi tak bisa kuulur
Kisahnya sampai ke tepi

Mungkin ada sorga
Barangkali ada kau juga
Dalam mimpi itu
Tapi tak kupunya tidur

Meski kupunya ranjang
Tak bisa hadirkan dengkur
Supaya bisa terjulur
Mimpiku sampai ke bintang

03 June 2007

Jurus "Penasaran" Putu Wijaya

SEPERTI Arswendo Atmowiloto, sastrawan sohor Putu Wijaya juga melakoni ritual “menggondrongkan rambut” sebagai salah satu resep menjaga kelangsungan kerja menulisnya—hanya saja bentuknya berbeda. Putu Wijaya mengaku punya kebiasaan menanamkan perasaan “penasaran” ke dalam dirinya. Maksudnya, ia kerap menstimulir dirinya untuk membalikkan keadaan “kalah” yang menderanya menjadi sebaliknya.

Ia mencontohkan kelahiran novel Telegram. Putu bercerita saat itu ia diajak main film Kabut di Kintamani, tapi kemudian tidak tercapai kesepakatan honorarium. Lalu karena itu posisinya digantikan orang lain, tapi ia ia sendiri tidak dikasih tahu ihwal pencoretan namanya.Tahu-tahu ia ditinggalkan seluruh kru film itu, padahal ia sudah sempat ikut selametannya segala. Saya malu sekali, kenangnya dalam sebuah tulisan, saya ingin menebus malu itu dengan menghasilkan sesuatu. Dan ‘sesuatu’ itu ternyata Telegram, salah satu novel penting dalam khazanah sastra kita.

Ia pun senang “ngeluyur” untuk mendapatkan bahan-bahan baru dan segar dalam tulisannya. Ia pernah bergabung dengan komunitas Ittoen di Kyoto, Jepang, untuk keperluan itu. Tapi ada juga bentuk “ngeluyur” lain yang tidak kalah menariknya yang pernah ia lakukan. Suatu ketika, terinspirasi seorang pelukis, ia berhenti membaca buku dan hanya menulis. Sebagai ganti buku, ia pun lari ke musik. Ternyata menarik hasilnya. Katanya, kalau saya mendapatkan lagu yang bagus, saya seperti mendapatkan stamina untuk menulis terus.

Pelajaran menarik lain yang bisa dipetik dari sastrawan asal Bali ini—juga dari Arswendo Atmowiloto—adalah bahwa kemiskinan ternyata tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menulis. Arswendo dulu sering meminjam mesin tik kantor kelurahan yang pitanya sudah somplak untuk menulis, karena memang tidak punya mesin tik. Putu Wijaya pun mengaku sering nebeng mengetik di rumah seorang sobatnya.

Mungkin, dibanding “kemiskinan”, rutinitas dan kemapanan, yang biasanya berkorelasi dengan suasana nyaman yang melenakan, lebih berbahaya dan “membunuh” seorang penulis. Situasi “terdesak” atau “kepepet” justru biasanya menjadi pemicu lahirnya karya-karya besar. Bukankah Pramoedya Ananta Toer menuliskan Bumi Manusia sewaktu ia dibuang jauh di sebuah pulau terpencil, dan Chairil Anwar melahirkan puisi-puisinya pada masa hidupnya yang singkat, sakit-sakitan dan bokek pula?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...