Untunglah tidak semua
Yang melintas gila di angan
Lantas terukir juga
Di jidat sebelah depan ini
Untunglah lidah tak bertulang
Bersama bibir terkulum
Paham caranya menyimpan
Rapat pada mulut sepi terkunci
Rahasia busuk keji
Mengiang masuk di kuping
Sebelah kanan tak mungkin
Kau cegah dengan tangan
Tak bisa kau tahan dengan
Dua puluh jemari pembenaran
Untunglah tapi kaki sepasang
Melangkah tak pasti
Ke mana arah yang dituju
Bergantung juga pada yang lintas
Seram dalam hutan angan
Meski hidung tak bisa
Berhenti mengendus anyir sungguh
Darah yang tersibak di semak
Tangan tak bebas leluasa
Membuka yang sembunyi
Dalam jejari berjumlah sepuluh
Kisah tak bakal lengkap sepenuh
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
27 November 2011
09 November 2011
Jepun Bali
Sepulang nanti ke kotamu
Ke rumah asalmu, bersama
Istri dan anak-anak tersayang
Janganlah terlalu lekas
Melupakan saya begitu saja
Ingatlah malam-malam putih
Yang kita seberangi bersama
Kuingat, kau tidur teramat pulas
Sehabis menuntas waktu
Yang lama terganjal rindu
Di atas lunak kasur dan temaram
Lelampu taman yang menyeret karam
Bumi, aku tak tega membangunkan
Kumatikan maka setelan alarm jam
Supaya kau bisa terus terpejam
Hingga menembus ambang
Paling kelam
Aku tahu, cepat atau sebentar
Kau akan melupakan juga saya
Tenggelam dalam kebanalan kerja
Sehari-hari, sepulang nanti ke Jakarta
Dua jam kurang perjalanan dari sini
Dengan penerbangan yang biasa
Saya hanya berharap, semoga
Tak semua hal tentang saya terlupa
Begitu saja, ingatlah misalnya lukisan
Kembang jepun di senyap dinding kamar:
Lukisan itu biasa & pasaran belaka kutahu
Seperti katamu juga, tapi bukan itu soalnya
Soalnya pada gegurat garis dan warnanya
Kini telanjur terbawa kisah kita
Berdua, terpapar pada ini latarnya
Juga meja kecil, di sebelah ranjang
Di atasnya, ketika itu kau letakkan sembarang:
Dompetmu, kaca mata, uang receh, kitab doa
Yang sengaja kau bawa dari rumah
Guna mengawal liburanmu pendek sayang
Dari kerumun roh dan jin tanah Bali
Yakinlah, pintu kamar ini
Terbuka kini senantiasa, guna kau masuki
Kembali kapan juga, seakan kenangan tak rela surut
Tulislah sajak jika sempat
Sepulangmu nanti
Agar cerita kita awet tersimpan lama
Terlindung dari hembusan cuaca
Ekstrem belakangan ini
Ke rumah asalmu, bersama
Istri dan anak-anak tersayang
Janganlah terlalu lekas
Melupakan saya begitu saja
Ingatlah malam-malam putih
Yang kita seberangi bersama
Kuingat, kau tidur teramat pulas
Sehabis menuntas waktu
Yang lama terganjal rindu
Di atas lunak kasur dan temaram
Lelampu taman yang menyeret karam
Bumi, aku tak tega membangunkan
Kumatikan maka setelan alarm jam
Supaya kau bisa terus terpejam
Hingga menembus ambang
Paling kelam
Aku tahu, cepat atau sebentar
Kau akan melupakan juga saya
Tenggelam dalam kebanalan kerja
Sehari-hari, sepulang nanti ke Jakarta
Dua jam kurang perjalanan dari sini
Dengan penerbangan yang biasa
Saya hanya berharap, semoga
Tak semua hal tentang saya terlupa
Begitu saja, ingatlah misalnya lukisan
Kembang jepun di senyap dinding kamar:
Lukisan itu biasa & pasaran belaka kutahu
Seperti katamu juga, tapi bukan itu soalnya
Soalnya pada gegurat garis dan warnanya
Kini telanjur terbawa kisah kita
Berdua, terpapar pada ini latarnya
Juga meja kecil, di sebelah ranjang
Di atasnya, ketika itu kau letakkan sembarang:
Dompetmu, kaca mata, uang receh, kitab doa
Yang sengaja kau bawa dari rumah
Guna mengawal liburanmu pendek sayang
Dari kerumun roh dan jin tanah Bali
Yakinlah, pintu kamar ini
Terbuka kini senantiasa, guna kau masuki
Kembali kapan juga, seakan kenangan tak rela surut
Tulislah sajak jika sempat
Sepulangmu nanti
Agar cerita kita awet tersimpan lama
Terlindung dari hembusan cuaca
Ekstrem belakangan ini
01 November 2011
Pulau Miring
: Mardi Luhung
Dalam sajakmu, mengapa kurasa langit berat, menekan
Meski hujan tak mengancam samasekali, orang-orang
Yang sepertinya tak bahagia, tapi juga tak berduka
Mendiami kampung gersang, gersang yang gelisah tak ramah
Mereka punya matahari yang berwarna ungu
Sepanjang tahun, meski siang telah mengirimkan
Gelombang pasangnya ke jalan-jalannya lengang kurasa
Dengan angin kering yang usil menubruki dinding
Karena ini kota pantai, mereka coba menjelaskan:
Kami pun dekat dengan laut, mengenal maut seperti
Memahami tetangga sebelah kami,yang bisa saja
Sekonyong datang berkunjung larut malam, menjenguk
Mengingatkan kami pada sebuah kenduri purba
Maka, di pantai yang selamanya senyap
Orang-orang bermata cekung kadang bertemu, menetapi janji
Membagi-bagikan ciuman kelabu pada mulut pasir
Sebelum mereka santap beramai hidangan surga itu:
Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan
Mereka akan pulang sesudah puas menumpahkan sisa muntahan
Di gili-gili seram pulau cantik, pulau cantik yang menangis
Orang-orang yang sepertinya sulit berbahagia ini
(Kuduga sebagian bermata ganjil, sebagiannya bertanduk.
Tanduk keling yang menancap pada pelipisnya tipis memar):
Dengan apa kusapa, jika berpapasan kami di jalan pulang?
Tapi kudengar mereka memang anonim, tak paham silsilah
Tinggal tak betah di rumah-rumah yang berdiri miring
Di sepanjang pesisir gering, di mana tak ada cukup jendela melambai
Terbuka, dan jika maut mendatangi, mereka akan memanjati genting
Menuntaskan takdir dan kepalanya di sebelah utara
Menyerahkan tubuh pada selatan yang lebih berkabut dan biru.
Kabut tebal pekat yang turun menaungi, menyembunyikan
Tuhan dan surga ungu, dalam selarik sajak miring
Dalam sajakmu, mengapa kurasa langit berat, menekan
Meski hujan tak mengancam samasekali, orang-orang
Yang sepertinya tak bahagia, tapi juga tak berduka
Mendiami kampung gersang, gersang yang gelisah tak ramah
Mereka punya matahari yang berwarna ungu
Sepanjang tahun, meski siang telah mengirimkan
Gelombang pasangnya ke jalan-jalannya lengang kurasa
Dengan angin kering yang usil menubruki dinding
Karena ini kota pantai, mereka coba menjelaskan:
Kami pun dekat dengan laut, mengenal maut seperti
Memahami tetangga sebelah kami,yang bisa saja
Sekonyong datang berkunjung larut malam, menjenguk
Mengingatkan kami pada sebuah kenduri purba
Maka, di pantai yang selamanya senyap
Orang-orang bermata cekung kadang bertemu, menetapi janji
Membagi-bagikan ciuman kelabu pada mulut pasir
Sebelum mereka santap beramai hidangan surga itu:
Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan
Mereka akan pulang sesudah puas menumpahkan sisa muntahan
Di gili-gili seram pulau cantik, pulau cantik yang menangis
Orang-orang yang sepertinya sulit berbahagia ini
(Kuduga sebagian bermata ganjil, sebagiannya bertanduk.
Tanduk keling yang menancap pada pelipisnya tipis memar):
Dengan apa kusapa, jika berpapasan kami di jalan pulang?
Tapi kudengar mereka memang anonim, tak paham silsilah
Tinggal tak betah di rumah-rumah yang berdiri miring
Di sepanjang pesisir gering, di mana tak ada cukup jendela melambai
Terbuka, dan jika maut mendatangi, mereka akan memanjati genting
Menuntaskan takdir dan kepalanya di sebelah utara
Menyerahkan tubuh pada selatan yang lebih berkabut dan biru.
Kabut tebal pekat yang turun menaungi, menyembunyikan
Tuhan dan surga ungu, dalam selarik sajak miring
21 October 2011
Turis
Kini saya percaya
Turis itulah
Insan paling bahagia
Di bumi lata
Kampung mereka
Tidak di sini
Tiada tersurat
Dalam atlas biasa
Mungkin di sebalik
Benda-benda
Jauh sebelum
Tercipta nama
Dunia sekadar
Alamat singgah
Dalam kunjungan
Singkat mereka
Guna liburan
Sehari hanya
Di planit tua ubanan
Sarat kisah
Sebelum pulang
Lagi ke rumah lama
Jauh di sebalik ufuk
Di kampung asal
Kini saya percaya
Bahagia bisa hanya
Jika kupunya tulus
Hati seorang turis
Turis itulah
Insan paling bahagia
Di bumi lata
Kampung mereka
Tidak di sini
Tiada tersurat
Dalam atlas biasa
Mungkin di sebalik
Benda-benda
Jauh sebelum
Tercipta nama
Dunia sekadar
Alamat singgah
Dalam kunjungan
Singkat mereka
Guna liburan
Sehari hanya
Di planit tua ubanan
Sarat kisah
Sebelum pulang
Lagi ke rumah lama
Jauh di sebalik ufuk
Di kampung asal
Kini saya percaya
Bahagia bisa hanya
Jika kupunya tulus
Hati seorang turis
19 October 2011
Lelaki Bulan, Perempuan Bintang
Suami yang kecewa
Sudah berhenti bicara
Dipalingkannya wajahnya
Pada malam di jendela
Mungkin masih ada
Bulan sepotong di sana
Mungkin masih terbaca
Alamat yang dulu
Istri yang kecewa
Sudah berhenti bertanya
Ia hadapkan mimpinya
Pada malam tersisa
Mungkin masih ada
Kerlip paras bintang
Padanya memandang
Menembus linang
Begitulah mereka:
Lelaki dan bulan
Perempuan dan bintang
Pada sebuah ruang-waktu
Dalam sebuah lagu
Komposisi yang ragu
Inerlude yang galau, mungkin
Ke akhir yang biru
Sudah berhenti bicara
Dipalingkannya wajahnya
Pada malam di jendela
Mungkin masih ada
Bulan sepotong di sana
Mungkin masih terbaca
Alamat yang dulu
Istri yang kecewa
Sudah berhenti bertanya
Ia hadapkan mimpinya
Pada malam tersisa
Mungkin masih ada
Kerlip paras bintang
Padanya memandang
Menembus linang
Begitulah mereka:
Lelaki dan bulan
Perempuan dan bintang
Pada sebuah ruang-waktu
Dalam sebuah lagu
Komposisi yang ragu
Inerlude yang galau, mungkin
Ke akhir yang biru
14 October 2011
Kartu Pos Bergambar
(Inilah Bali
Tempat Wayan lahir
Suatu hari, dan menemu surya
Di lubuk samudra)
Hari ini kusalami
Tanahmu yang liat
Kisahmu yang sarat
Ceraplah, selaku
Sesembahan pelancong
Dari utara, kuharap sepadan
Selayak tamu
Pada lekuk-liku sajak
Lama kuselami
Gunung dan lautmu
Kurasa tapi baru sesudah
Genap langkahku
Menempuh Uluwatu
Kupahami akhirnya
Bahasa rindu
(Ya, inilah Bali
Tempat Wayan mangkat
Suatu hari, pulang mencapai
Moksa, di lepas lakon)
Tempat Wayan lahir
Suatu hari, dan menemu surya
Di lubuk samudra)
Hari ini kusalami
Tanahmu yang liat
Kisahmu yang sarat
Ceraplah, selaku
Sesembahan pelancong
Dari utara, kuharap sepadan
Selayak tamu
Pada lekuk-liku sajak
Lama kuselami
Gunung dan lautmu
Kurasa tapi baru sesudah
Genap langkahku
Menempuh Uluwatu
Kupahami akhirnya
Bahasa rindu
(Ya, inilah Bali
Tempat Wayan mangkat
Suatu hari, pulang mencapai
Moksa, di lepas lakon)
12 October 2011
Ibu Pergi ke Pasar
Ibu pergi ke pasar tradisional. Ibu tak pergi ke mal
dan supermarket. Bukan karena ibu pendukung
sistem ekonomi kerayakatan. Ibu pergi
ke pasar tradisional, karena sudah telanjur
biasa dan betah belanja di situ. Ada banyak
kenalannya di situ. Sudah berbilang tahun. Jadi ibu
bukan pendukung sistem ekonomi kerakyatan
yang banyak digembar-gemborkan juru kampanye
di televisi. Ibu juga tak paham apa itu neolib
atau sistem pasar bebas. Ibu hanya kepingin
belanja untuk masak hari ini. Ibu ingin
beli tempe, sayur bayam, ikan asin dan terasi
sebab bapak suka sekali sambal yang dipakaikan
terasi. Ibu akan masak sayur bayam, ikan asin
dan sambal terasi untuk bapak yang sudah
seharian bekerka keras. Untuk lelaki yang sudah
puluhan tahun memberikan umur dan tubuhnya
untuk diinjak-injak dan dinistakan. Mungkin
oleh yang suka disebut sistem ekonomi neolib
itu? Atau mungkin saja ia jadi begitu lantaran
pikiran-pikirannya yang teramat tradisional
sedang waktu dan kehidupan terus semakin juga
tancap gas, entahlah. Yang pasti hari ini bapak
bakal makan siang dengan lauk sayur bayam
dan ada sambal terasi di piring nasinya.
dan supermarket. Bukan karena ibu pendukung
sistem ekonomi kerayakatan. Ibu pergi
ke pasar tradisional, karena sudah telanjur
biasa dan betah belanja di situ. Ada banyak
kenalannya di situ. Sudah berbilang tahun. Jadi ibu
bukan pendukung sistem ekonomi kerakyatan
yang banyak digembar-gemborkan juru kampanye
di televisi. Ibu juga tak paham apa itu neolib
atau sistem pasar bebas. Ibu hanya kepingin
belanja untuk masak hari ini. Ibu ingin
beli tempe, sayur bayam, ikan asin dan terasi
sebab bapak suka sekali sambal yang dipakaikan
terasi. Ibu akan masak sayur bayam, ikan asin
dan sambal terasi untuk bapak yang sudah
seharian bekerka keras. Untuk lelaki yang sudah
puluhan tahun memberikan umur dan tubuhnya
untuk diinjak-injak dan dinistakan. Mungkin
oleh yang suka disebut sistem ekonomi neolib
itu? Atau mungkin saja ia jadi begitu lantaran
pikiran-pikirannya yang teramat tradisional
sedang waktu dan kehidupan terus semakin juga
tancap gas, entahlah. Yang pasti hari ini bapak
bakal makan siang dengan lauk sayur bayam
dan ada sambal terasi di piring nasinya.
10 October 2011
Sukawati
Kita ke Sukawati
Seru berburu cenderamata
Supaya laut, ombak, pantai
Bersama nasi campur
Dan Ayam Betutu
Awet tersimpan dalam
Kenangan waktu
Nanti sesudah pulang
Setiap kali terjaga
Subuh hari sebelum
Berkemas kerja
Semoga masih ada
Sisa ombak dan laut
Berdebur di pojok kamar
Masih ada Wayan
Menunggu di teras hotel
Dengan sesobek karcis
Masuk gerbang Uluwatu
Jadi kita ke pura dulu
Setiap pagi, menyalami
Sahabat kera, menyerahkan
Sukma keramat
Selaku sajen sebelum
Bunuh diri beramai, terjun
Ke jalan-jalan ibu negeri
Ringan dan meriah
Seperti lelucon di Joger
Seru berburu cenderamata
Supaya laut, ombak, pantai
Bersama nasi campur
Dan Ayam Betutu
Awet tersimpan dalam
Kenangan waktu
Nanti sesudah pulang
Setiap kali terjaga
Subuh hari sebelum
Berkemas kerja
Semoga masih ada
Sisa ombak dan laut
Berdebur di pojok kamar
Masih ada Wayan
Menunggu di teras hotel
Dengan sesobek karcis
Masuk gerbang Uluwatu
Jadi kita ke pura dulu
Setiap pagi, menyalami
Sahabat kera, menyerahkan
Sukma keramat
Selaku sajen sebelum
Bunuh diri beramai, terjun
Ke jalan-jalan ibu negeri
Ringan dan meriah
Seperti lelucon di Joger
08 October 2011
Tomas Transtromer, Nobelis Sastra 2011
Hadiah Nobel Sastra 2011 akhirnya jatuh kepada Tomas Transtromer, seorang penyair besar Swedia yang sudah 20 tahun hidup digerogoti kelumpuhan akibat stroke. Luar biasa bahwa penderitaan itu tak membuat semangat menulisnya padam. Penyair gaek (80) yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa itu menyisihkan penyair Suriah Adonis, novelis Jepang Haruki Murakami dan penyanyi Amerika Serikat, Bob Dylan. Sebagai pemenang ia berhak atas hadiah uang senilai 10 juta kron Swedia, atau setara dengan US$1,45 juta.
Pihak Akademi Nobel menilai karya-karya Transtromer sangat kaya perlambang serta gambaran alam negerinya, yang diolahnya intens lewat tema kematian, kesepian dan penebusan. Kemenangan Nobel untuk penyair ini tentulah sebuah hadiah berarti bagi negerinya, yang selama ini hanya dikenal luas karena penulis kriminal Henning Mankell dan kelompok musik pop ABBA.
Transtromer, yang juga menggemari musik (ia bermain piano dengan tangan kirinya) sudah pernah masuk nominasi hajatan akbar itu pada 1993. Ia lahir pada 15 April 1931, dari pasangan ibu seorang guru dan ayah seorang jurnalis. Karyanya tahun 1954, "17 Puisi", kerap disebut-sebut sebagai debut sastra terbaik pada dekadenya. Selain menulis ia juga menggeluti psikologi.
Penyair Amerika Serikat, Robert Hass, mengomentari karya-karya Tomas Transtromer sebagai “Memberi rasa yang pas tentang bagaimana rasanya menjadi orang kebanyakan yang menjalani hidup di saat segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya."
Swedia sebetulnya pernah pula menyabet Nobel Sastra pada 1974 lewat Eyvind Johnson dan Harry Martinson. Hanya saja kemenangan itu kemudian menyulut kontroversi, pasalnya mereka ternyata bagian dari Akademi Nobel yang membawahi hajatan tersebut.
Pihak Akademi Nobel menilai karya-karya Transtromer sangat kaya perlambang serta gambaran alam negerinya, yang diolahnya intens lewat tema kematian, kesepian dan penebusan. Kemenangan Nobel untuk penyair ini tentulah sebuah hadiah berarti bagi negerinya, yang selama ini hanya dikenal luas karena penulis kriminal Henning Mankell dan kelompok musik pop ABBA.
Transtromer, yang juga menggemari musik (ia bermain piano dengan tangan kirinya) sudah pernah masuk nominasi hajatan akbar itu pada 1993. Ia lahir pada 15 April 1931, dari pasangan ibu seorang guru dan ayah seorang jurnalis. Karyanya tahun 1954, "17 Puisi", kerap disebut-sebut sebagai debut sastra terbaik pada dekadenya. Selain menulis ia juga menggeluti psikologi.
Penyair Amerika Serikat, Robert Hass, mengomentari karya-karya Tomas Transtromer sebagai “Memberi rasa yang pas tentang bagaimana rasanya menjadi orang kebanyakan yang menjalani hidup di saat segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya."
Swedia sebetulnya pernah pula menyabet Nobel Sastra pada 1974 lewat Eyvind Johnson dan Harry Martinson. Hanya saja kemenangan itu kemudian menyulut kontroversi, pasalnya mereka ternyata bagian dari Akademi Nobel yang membawahi hajatan tersebut.
Label:
Esai,
Nobel Sastra,
Penyair,
Tomas Transtroner,
Warta Sastra
07 October 2011
Cangkir Penyair
Cangkir itu sebetulnya biasa saja, seperti cangkir-cangkir pada umumnya. Hanya ukurannya memang agak lebih besar dari cangkir biasa. Aku tak begitu paham mengapa ayah selalu menggunakan cangkir itu kalau mau menyeduh kopi, padahal ada beberapa cangkir lain. Ia melarang kami, anak-anaknya dan yang lainnya, menggunakan cangkir itu. Ini cangkir penyair, katanya beberapa kali mengulang pengumumannya. Yang bukan penyair tak minum dari cangkir ini, katanya pula, dengan nada bicara yang dibuat terdengar takzim.
Aku suka memperhatikan kalau ia sedang menyeduh kopi. Seingatku caranya juga biasa saja, tak ada ritualnya yang aneh-aneh. Ia menuangkan kopinya lebih dulu, satu atau dua sendok serbuk hitam itu dicampuri gula putih secukupnya, mengambil termos berisi air panas, menuangnya ke dalam cangkir keramat itu. Ia akan mengaduknya pelan-pelan, diam-diam, seperti sedang berdoa..Lalu ia akan membawa minuman itu ke kamarnya. Ia akan duduk nyantai selonjor di depan televisi, seraya pelan-pelan menyeruput kopinya, juga pelan-pelan, seperti tengah berpikir-pikir, atau apa begitu Entahlah. Yang pasti tampaknya sublim sekali segala perilakunya itu.
Kadang ia suka nyelutuk sendiri, enak racun ini. Atau, kalau sudah minum racun ini baru penyair bisa menulis. Memang kadang aku pergoki, sesudah selesai dengan ritual minum kopinya ayah mengambil buku notes yang suka dibawa-bawanya, lantas menulis-nulis sesuatu di sana. Kadang cukup lama ia melakukan itu, mencoret ini, mencoret yang lain, membolak-balik halaman baru notes itu. Kadang ia pindah duduk ke kursi di teras atas rumah kami yang sempit. Di situ memang lebih tenang suasananya. Ia lalu tampak seperti karam dalam kesuntukannya menulis itu.
Ia tak pernah memperlihatkan apa yang barusan ditulisnya. Aku pun tak begitu berminat untuk mengintipnya. Tulisan-tulisan di buku notes itu lebih berupa corat-coret yang hanya bisa dipahaminya sendiri, bahkan kadang ia pernah kudemgar mengomel tak bisa membaca apa yang sudah ditulisnya di sana. Lucu sekali melihatnya uring-uringan mencari sambungan yang terputus dalam catatan yang sudah ditulisnya.
Aku suka memperhatikan kalau ia sedang menyeduh kopi. Seingatku caranya juga biasa saja, tak ada ritualnya yang aneh-aneh. Ia menuangkan kopinya lebih dulu, satu atau dua sendok serbuk hitam itu dicampuri gula putih secukupnya, mengambil termos berisi air panas, menuangnya ke dalam cangkir keramat itu. Ia akan mengaduknya pelan-pelan, diam-diam, seperti sedang berdoa..Lalu ia akan membawa minuman itu ke kamarnya. Ia akan duduk nyantai selonjor di depan televisi, seraya pelan-pelan menyeruput kopinya, juga pelan-pelan, seperti tengah berpikir-pikir, atau apa begitu Entahlah. Yang pasti tampaknya sublim sekali segala perilakunya itu.
Kadang ia suka nyelutuk sendiri, enak racun ini. Atau, kalau sudah minum racun ini baru penyair bisa menulis. Memang kadang aku pergoki, sesudah selesai dengan ritual minum kopinya ayah mengambil buku notes yang suka dibawa-bawanya, lantas menulis-nulis sesuatu di sana. Kadang cukup lama ia melakukan itu, mencoret ini, mencoret yang lain, membolak-balik halaman baru notes itu. Kadang ia pindah duduk ke kursi di teras atas rumah kami yang sempit. Di situ memang lebih tenang suasananya. Ia lalu tampak seperti karam dalam kesuntukannya menulis itu.
Ia tak pernah memperlihatkan apa yang barusan ditulisnya. Aku pun tak begitu berminat untuk mengintipnya. Tulisan-tulisan di buku notes itu lebih berupa corat-coret yang hanya bisa dipahaminya sendiri, bahkan kadang ia pernah kudemgar mengomel tak bisa membaca apa yang sudah ditulisnya di sana. Lucu sekali melihatnya uring-uringan mencari sambungan yang terputus dalam catatan yang sudah ditulisnya.
06 October 2011
Hotel
Dengan 50 dolar semalam
(Sudah termasuk
Pajak dan sarapan)
Kita dapatkan akhirnya
Surga kecil ini
Tapi sebelum mulai
Tanggalkan dulu seragam
Buruk yang menodai
Luka-lukamu itu
Kita bisa sebentar
Istirah melupakan nama
Dan asal-usul
Bumi yang ruwet
Mungkin seraya
Melepas kutuk
Ke seberang ufuk
Yang sepanjang musim
Mendera kita dengan
Warna-warni
Semu
Dan jika jemu
Bercumbu, bukalah jendela
Itu sedikit olehmu
Di kebun yang teduh
Saksikan hari berlabuh
Serupa kapal Nuh
Melepas sauh
Menurunkan muatannya
Kau dan aku
Di pinggir kolam
Dangkal yang airnya
Mengalir kembali
Ke sumber
(Sudah termasuk
Pajak dan sarapan)
Kita dapatkan akhirnya
Surga kecil ini
Tapi sebelum mulai
Tanggalkan dulu seragam
Buruk yang menodai
Luka-lukamu itu
Kita bisa sebentar
Istirah melupakan nama
Dan asal-usul
Bumi yang ruwet
Mungkin seraya
Melepas kutuk
Ke seberang ufuk
Yang sepanjang musim
Mendera kita dengan
Warna-warni
Semu
Dan jika jemu
Bercumbu, bukalah jendela
Itu sedikit olehmu
Di kebun yang teduh
Saksikan hari berlabuh
Serupa kapal Nuh
Melepas sauh
Menurunkan muatannya
Kau dan aku
Di pinggir kolam
Dangkal yang airnya
Mengalir kembali
Ke sumber
04 October 2011
Tanjung Benoa
Di Tanjung Benoa
Di perairan yang jinak
Arusnya, untuk pertama kali
Dalam hidupnya
Ia naik perahu motor
Mengarungi biru lautan
Dalam kenyataan
Ombak nakal
Yang agaknya mengerti
Menggodanya dengan
Hempasan lunak pada
Ringkih tubuh perahu
Itu pun sudah cukup
Membuatnya ngeri
Dan teramat paham apa
Artinya karam
Di Tanjung Benoa
Di perairan yang jinak
Ombaknya, untuk pertama kali
Dalam hidupnya yang datar
Penyair itu menyewa perahu
Mengarungi biru samudra
Bukan dalam sajak
Di perairan yang jinak
Arusnya, untuk pertama kali
Dalam hidupnya
Ia naik perahu motor
Mengarungi biru lautan
Dalam kenyataan
Ombak nakal
Yang agaknya mengerti
Menggodanya dengan
Hempasan lunak pada
Ringkih tubuh perahu
Itu pun sudah cukup
Membuatnya ngeri
Dan teramat paham apa
Artinya karam
Di Tanjung Benoa
Di perairan yang jinak
Ombaknya, untuk pertama kali
Dalam hidupnya yang datar
Penyair itu menyewa perahu
Mengarungi biru samudra
Bukan dalam sajak
29 September 2011
Tentang Menulis Sajak
Dalam sajakku
Rima hampir kuanggap
Kejahatan, begitu
Pernah kubaca
Sesumbar Bertolt Brecht
Penyair Jerman
Lama mukim tapi
Di Los Angeles
Sedang soal paham politiknya
Setahuku ia teramat Kiri
Lain lagi petuah
Taufiq Gaffar Ismail
Penyair dokter hewan
Di Bogor sekolahnya pernah
Tentang menulis sajak sonder rima
Katanya, samalah itu dengan bermain
Tenis tanpa tali net pembatas
Di mana seru-asyiknya?
Adapun bagiku sendiri
Si penyair payah
(Rendah saja sekolahnya)
Menulis sajak macam
Bermain sepakbola kuanggap
Tak penting benar
Gaya apa musti kupakai:
Total Footbal asli Belanda
Tari gila Samba Brasilia
Grendel Mati Italia
Atau bagaimana kurancang
Komposisi barisnya:
Empat tiga tiga acak
Atau empat empat dua
Rapi berjajar
Ke bawah
Tak soal sepanjang
Bisa kusarangkan mantap
Si bulat maha kata
Ke dalam itu sempit
Jejaring gawang
Sang takdir
Rima hampir kuanggap
Kejahatan, begitu
Pernah kubaca
Sesumbar Bertolt Brecht
Penyair Jerman
Lama mukim tapi
Di Los Angeles
Sedang soal paham politiknya
Setahuku ia teramat Kiri
Lain lagi petuah
Taufiq Gaffar Ismail
Penyair dokter hewan
Di Bogor sekolahnya pernah
Tentang menulis sajak sonder rima
Katanya, samalah itu dengan bermain
Tenis tanpa tali net pembatas
Di mana seru-asyiknya?
Adapun bagiku sendiri
Si penyair payah
(Rendah saja sekolahnya)
Menulis sajak macam
Bermain sepakbola kuanggap
Tak penting benar
Gaya apa musti kupakai:
Total Footbal asli Belanda
Tari gila Samba Brasilia
Grendel Mati Italia
Atau bagaimana kurancang
Komposisi barisnya:
Empat tiga tiga acak
Atau empat empat dua
Rapi berjajar
Ke bawah
Tak soal sepanjang
Bisa kusarangkan mantap
Si bulat maha kata
Ke dalam itu sempit
Jejaring gawang
Sang takdir
26 September 2011
Siang Terakhir Seorang Teroris
: Dulmatin
Di sebuah warnet yang sepi
Kurancang wajah sebuah negeri
Sebuah negeri yang terbikin dari api
Para penguasanya bersuara benci
Di jalan-jalannya yang tegang
Mondar-mandir polisi menghadang
Mengontrol isi batok kepala warganya
Cemas nyelip di sana begundal amerika
Negeri yang seperti mimpi itu
Memang pernah ada ditulis dulu
Kini di sebuah warnet yang sepi
Aku duduk merancangnya sekalilagi
2010-2011
Di sebuah warnet yang sepi
Kurancang wajah sebuah negeri
Sebuah negeri yang terbikin dari api
Para penguasanya bersuara benci
Di jalan-jalannya yang tegang
Mondar-mandir polisi menghadang
Mengontrol isi batok kepala warganya
Cemas nyelip di sana begundal amerika
Negeri yang seperti mimpi itu
Memang pernah ada ditulis dulu
Kini di sebuah warnet yang sepi
Aku duduk merancangnya sekalilagi
2010-2011
23 September 2011
Saya Hanya Sebuah Kursi Plastik
Saya hanya sebuah kursi plastik
Di ini kantin teramat bersahaja
Sebentar dipindah saya ke pojok
Sekejap digeser pula saya ke belakang
Saya hanya sebuah kursi plastik
Hak apa saya punya guna menggugat
Keberadaan saya remeh tak berarti
Ganti berganti orang datang menduduki
Yang satu ini datang saban siang
Ia tak hendak apa, hanya natap duka
Piring makannya melulu hampa
Campuran kuah waktu dan butir hujan
Banyak lainnya kukenal hanya rupa
Sisanya pendatang baru sepertinya
Duduk di ruang ini untuk sebentar
Ada yang diam alim lainnya kasar terburu
Banyaklah bisa kutonton di sini
Serba kejadian dan cerita meminjam
Ini tempat sebagai latar lakonnya
Tema apa bisalah kuterka sembarang
Tapi saya hanya sebuah kursi
Sebuah kursi plastik di kantin ini
Hak tak ada pada saya sekadar bertanya
Ini kejadian edan ada-ada saja
Di ini kantin teramat bersahaja
Sebentar dipindah saya ke pojok
Sekejap digeser pula saya ke belakang
Saya hanya sebuah kursi plastik
Hak apa saya punya guna menggugat
Keberadaan saya remeh tak berarti
Ganti berganti orang datang menduduki
Yang satu ini datang saban siang
Ia tak hendak apa, hanya natap duka
Piring makannya melulu hampa
Campuran kuah waktu dan butir hujan
Banyak lainnya kukenal hanya rupa
Sisanya pendatang baru sepertinya
Duduk di ruang ini untuk sebentar
Ada yang diam alim lainnya kasar terburu
Banyaklah bisa kutonton di sini
Serba kejadian dan cerita meminjam
Ini tempat sebagai latar lakonnya
Tema apa bisalah kuterka sembarang
Tapi saya hanya sebuah kursi
Sebuah kursi plastik di kantin ini
Hak tak ada pada saya sekadar bertanya
Ini kejadian edan ada-ada saja
22 September 2011
Anatomi Rumah
Ini ruang tamunya, tempat luka
Datang dan pergi. Sebelahnya
Ruang makan dan kamar anak-anak
Riuh rendah. Menatap teras terbayang
Hidup yang keras. Di loteng
Atas masih ada ruang lega
Buat berdua. Mau tapa atau
Sanggama merdeka. Paling pas tapi
Malam buta. Lantas dapur masih
Mengepul. Kamar penyimpan
Kitab, risalah ilmu dan ahlak
Rapi bersusun dalam rak. Persis
Di bawah tangga, gudang
Suram mendekam: koran bekas
Kisah-kisah usang, masih sayang
Dibuang. Di pojok yang tak kentara
Mengintip kamar mandi Di sinilah
Hidup disucikan, dosa dicuci serupa
Daki. Atau sebagai busuk tahi
Dibenam dalam jamban
Datang dan pergi. Sebelahnya
Ruang makan dan kamar anak-anak
Riuh rendah. Menatap teras terbayang
Hidup yang keras. Di loteng
Atas masih ada ruang lega
Buat berdua. Mau tapa atau
Sanggama merdeka. Paling pas tapi
Malam buta. Lantas dapur masih
Mengepul. Kamar penyimpan
Kitab, risalah ilmu dan ahlak
Rapi bersusun dalam rak. Persis
Di bawah tangga, gudang
Suram mendekam: koran bekas
Kisah-kisah usang, masih sayang
Dibuang. Di pojok yang tak kentara
Mengintip kamar mandi Di sinilah
Hidup disucikan, dosa dicuci serupa
Daki. Atau sebagai busuk tahi
Dibenam dalam jamban
21 September 2011
Pikiran dalam Bus Berjejal
Hidup mungkin seperti bus kota ini
Orang-orang berdiri berimpitan
Begitu dekat tapi luput kaupahami
Siapa namanya, di mana turun nanti
Kalau beruntung kau dapat duduk
Dekat jendela, itu bisa berarti segalanya
Dalam ini bus berjejal, di mana tak sesiapa
Boleh sembarang diajak bicara
Duduk atau berdirilah diam
Di tempatmu kini, meski tak nyaman
Belajarlah bersabar, pertama kepada
Dirimu sendiri, kedua, penumpang
Mungkin usilan di sebelahmu itu
Belajarlah tabah, seperti bus kota ini
Sendiri, merayap pelan mejelajah sepi
Menembus belantara luka Jakarta
Mungkin, mungkin hidup
Seperti bus kota ini, kita di dalamnya
Terperangkap, sesama penumpang
Nasib yang tak kunjung lapang
Orang-orang berdiri berimpitan
Begitu dekat tapi luput kaupahami
Siapa namanya, di mana turun nanti
Kalau beruntung kau dapat duduk
Dekat jendela, itu bisa berarti segalanya
Dalam ini bus berjejal, di mana tak sesiapa
Boleh sembarang diajak bicara
Duduk atau berdirilah diam
Di tempatmu kini, meski tak nyaman
Belajarlah bersabar, pertama kepada
Dirimu sendiri, kedua, penumpang
Mungkin usilan di sebelahmu itu
Belajarlah tabah, seperti bus kota ini
Sendiri, merayap pelan mejelajah sepi
Menembus belantara luka Jakarta
Mungkin, mungkin hidup
Seperti bus kota ini, kita di dalamnya
Terperangkap, sesama penumpang
Nasib yang tak kunjung lapang
20 September 2011
Blog yang "Bangkit dari Mati"
Kisah orang mati yang hidup kembali bisa kita baca dalam Kitab Suci. Tapi cerita blog yang tadimya dikira "mati" ternyata masih (bisa) hidup kembali mungkin hanya terjadi di Blogspot. Kalau tak mengalaminya sendiri, mungin saya susah percaya.
Ceritanya, tadi pagi seperti biasa saya membuka inbox email. Aneh, saya menemukan sebuah email masuk yang me-link ke Ruang Samping, sebuah blog saya yang selama ini sudah saya anggap "marhum". Isinya sebuah komentar atas sebuah artikel dalam blog itu. Penasaran, langsung saya klik ternyata blog itu memang masuh ada, atau lebih tepat, dia ternyata bisa online kembali.
Saya periksa Rak Puisi (yang bersama-sama ketika itu ikut "lenyap") ternyata juga sudah bisa "siaran kembali". Hanya akses ke akun Google yang belum terbuka, sehingga saya masih belum bisa masuk ke dasbor. Tapi sore ini, ternyata saya sudah bisa kembali mengaduk-aduk jeroan blog saya ini.
Jadi selama ini apa yang sebetulnya terjadi? Semula saya mengira blog saya (dan akun Google saya) dikerjai hacker. Tapi kini saya cenderung percaya rupanya selama ini pihak Google telah "menghukum" saya. Mungkin ada perilaku saya yang dianggap menyalahi aturan main mereka.
Ceritanya, tadi pagi seperti biasa saya membuka inbox email. Aneh, saya menemukan sebuah email masuk yang me-link ke Ruang Samping, sebuah blog saya yang selama ini sudah saya anggap "marhum". Isinya sebuah komentar atas sebuah artikel dalam blog itu. Penasaran, langsung saya klik ternyata blog itu memang masuh ada, atau lebih tepat, dia ternyata bisa online kembali.
Saya periksa Rak Puisi (yang bersama-sama ketika itu ikut "lenyap") ternyata juga sudah bisa "siaran kembali". Hanya akses ke akun Google yang belum terbuka, sehingga saya masih belum bisa masuk ke dasbor. Tapi sore ini, ternyata saya sudah bisa kembali mengaduk-aduk jeroan blog saya ini.
Jadi selama ini apa yang sebetulnya terjadi? Semula saya mengira blog saya (dan akun Google saya) dikerjai hacker. Tapi kini saya cenderung percaya rupanya selama ini pihak Google telah "menghukum" saya. Mungkin ada perilaku saya yang dianggap menyalahi aturan main mereka.
07 April 2011
Kangen
Sore ini saya mengantar ayah ke dokter. Sebetulnya ayah sudah meninggal lebih tiga puluh tahun yang lalu, pada suatu Ahad pagi yang sedikit berhujan. Meninggal dengan damai di kamarnya agak sempit tapi nyaman. Kami berlima ketika itu menungguinya dengan sabar sepanjang malam. Saat fajar datang, tanda-tanda pun lengkap, ibu memekik pelan, menyongsongnya.
Begitulah, sore ini ayah meminta saya mengantarnya ke dokter. Ia mengaku agak kurang enak badan. Saya tak sampai hati menolaknya, jadi kami pun bertolak dengan taksi warna biru. Ruang tunggu dokter sudah hampir penuh oleh aroma orang-orang mati, yang semuanya berwajah cerah gembira. Anehnya juga, mereka seperti sudah saling kenal lama, maka riuhlah kamar tunggu yang sempit itu. Ayah mengenalkan beberapa kepadaku. Mereka menjabat saya erat, dan ada yang bertanya tak sabaran, ”Apa kabar dunia hari ini, pasti bertambah busuk, bukan? Kami di sorga baik saja, hanya kadang kangen.”
Saya menemani ayah menemui dokter. Saya masih ingat tiga puluh tahun yang lalu lelaki yang gemar berseloroh sembarang waktu itulah yang berkata, “Ayahmu tak akan lama lagi, jadi berkemaslah.” Kini dua orang itu berjumpa pula. Dokter itu, yang sekarang terlihat begitu renta, anehnya malah sibuk memeriksa tubuhnya sendiri. Ia, misalnya, memeriksa tekanan darahnya, menimbang berat badan, dan terakhir sekali mencoba mencocokkan denyut jantung dengan debar-debur rindunya.
Ia pun manggut-manggut, tampaknya puas belaka. Lantas dengan masih tertawa-tawa seperti dulu hari mendadak saja ia berpaling kepada saya dan berkata, “Saya tak akan lama lagi, jadi tinggalkanlah kami.” Saya terpana, tapi kemudian pergi dengan semacam perasaan lega yang aneh, meninggalkan mereka berdua berbahagia pada akhir tulisan ini. Saya langsung bertolak pulang ke dunia saya yang nyata dengan menumpang taksi berwarna biru. Di sepanjang jalan saya masih terus juga berpikir-pikir, mungkin betul di sorga ayah baik-baik saja, hanya kadang kangen.
Begitulah, sore ini ayah meminta saya mengantarnya ke dokter. Ia mengaku agak kurang enak badan. Saya tak sampai hati menolaknya, jadi kami pun bertolak dengan taksi warna biru. Ruang tunggu dokter sudah hampir penuh oleh aroma orang-orang mati, yang semuanya berwajah cerah gembira. Anehnya juga, mereka seperti sudah saling kenal lama, maka riuhlah kamar tunggu yang sempit itu. Ayah mengenalkan beberapa kepadaku. Mereka menjabat saya erat, dan ada yang bertanya tak sabaran, ”Apa kabar dunia hari ini, pasti bertambah busuk, bukan? Kami di sorga baik saja, hanya kadang kangen.”
Saya menemani ayah menemui dokter. Saya masih ingat tiga puluh tahun yang lalu lelaki yang gemar berseloroh sembarang waktu itulah yang berkata, “Ayahmu tak akan lama lagi, jadi berkemaslah.” Kini dua orang itu berjumpa pula. Dokter itu, yang sekarang terlihat begitu renta, anehnya malah sibuk memeriksa tubuhnya sendiri. Ia, misalnya, memeriksa tekanan darahnya, menimbang berat badan, dan terakhir sekali mencoba mencocokkan denyut jantung dengan debar-debur rindunya.
Ia pun manggut-manggut, tampaknya puas belaka. Lantas dengan masih tertawa-tawa seperti dulu hari mendadak saja ia berpaling kepada saya dan berkata, “Saya tak akan lama lagi, jadi tinggalkanlah kami.” Saya terpana, tapi kemudian pergi dengan semacam perasaan lega yang aneh, meninggalkan mereka berdua berbahagia pada akhir tulisan ini. Saya langsung bertolak pulang ke dunia saya yang nyata dengan menumpang taksi berwarna biru. Di sepanjang jalan saya masih terus juga berpikir-pikir, mungkin betul di sorga ayah baik-baik saja, hanya kadang kangen.
16 March 2011
Tafsir Ajal Doktor Alekhine
Bagai dalam lelakon apak Sherlock Holmes layaknya
Doktor Alexander Alekhine, yang ganas tipuannya
Licin lelangkah bidaknya konon tiada tanding pada masanya
Mati ditemukan iseng sendiri: 24 Maret 1946, pagi sekali
Kamar Hotel Estoril, Portugal, Ahad, adalah nama harinya
Dalam balutan kelabu mantelnya, serta sehampar kotak bidak
Anehnya, membuka persis sebelah kanan jasadnya tenang
Yang kata tuan Fransisco Lupi, jawara bidak negeri Portugal
Melayatnya terburu pada itu pagi sangat tak biasa, macam
Pohonan Oak besar baru saja rubuh tumbang, dan pada wajahnya
Hening agung, dalam, mustahil terselami, mengendap pula
Sepertinya segunung renung
Tafsir lelaku tuan Alekhine seputar muasal ajalnya
Lalu menyempit tanya sebab kemudian ditemukan daging bistik
Sekerat pada kerongkong menyumbat, dan sekeping daging lagi
Pada jemarinya tergenggam, hingga tersiar segera juga
Warta getir agak lucu tapi didengarnya, bahwa jawara bidak itu
(Ia warga Prancis tapi tumbuh lahir di bumi Rusia)
Yang garang tipu dayanya, licin lelangkahnya sungguh
Menyudahi lawan-lawannya, mati ngenes sedemikian sebab
Tersedak daging sepotong, hingga pipet jantungnya
Macet sekonyong begitu saja, sewaktu yang bersangkutan
Dalam itu kamar lengang kosong, duduk sendirian
Menghadapi santap malamnya
Tapi itu cumalah sebagian sahaja tafsir lelakon
Karena lain kisah menyebut bisa saja ia tewas ‘dikerjai’
Sebab bukankah, begitu sebagian orang mengurai duga
Dalam pilihan politiknya tuan Alekhine ini kabarnya
Menghamba sangat Sang Fuhrer (yang tatapannya dingin
Menyuluh kota-kota), tapi pada itu Sabtu malam nahas
Mengapa gerangan di Hotel Estoril, yang pastinya
Punya sekutu, ia memilih melepas penatnya?
Begitulah Doktor Alexander Alekhine, yang dari Rusia
Memilih hengkang, sebab orang-orang Bolsyewik jijik
Pada riwayat lamanya, yang ningrat memanglah
Pada lelangkah penghabisannya, sendirian ia di tanah asing
Mewariskan ini teka-teki, terus jadi bahan kajian tak pasti
Sebab jawabnya tentulah pada tuan Alekhine sendiri
Kekal didekapnya mati
02 March 2011
In Memoriam : Ags Arya Dipayana (1961-2011)
Ags Arya Dipayana tak saya kenal secara pribadi, tapi toh saya merasa mengenalnya “dekat” karena sejumlah puisinya. Terus terang saya sangat menyukai sajak-sajaknya dari periode belakangan yang banyak mengambil bahan dari dunia kuliner. Bagi saya puisi-puisi kulinernya itu bisalah dianggap terobosan yang berharga bagi khazanah puisi kita yang memang selama ini cenderung agak “seragam” dalam pilihan tema.
Saking kesengsemnya saya sampai tergerak menulis sebuah sajak tentang itu uintuknya. Sajak yang saya juduli “Sajak Juru Masak” itu dimuat Kompas beberapa pekan lalu. Sajak itu pernah pula saya "pamerkan" kepada Ags Arya Dipayana lewat akun Facebooknya. Ia, ketika itu, mengomentari puisi ini sebagai “puisi sederhana yang bagus”, atau semacam itulah. Saya menduga bisa saja ia hanya sekedar berbasa-basi untuk membesarkan hati saya.
Jika terkaan itu benar, berarti ia memang seorang kawan yang baik, seorang yang rendah hati dan teramat peduli menjaga perasaan orang lain. Sayang, kawan sebaik itu telah mendahului kita kelewat lekas. Ags Arya Dipayana, penulis dan pegiat teater itu, meninggal dunia semalam, 1 Maret 2011, di Purwakarta, sekitar pukul 23.00. Warta duka ini baru saya tahu pagi ini lewat akun Twitter Nirwan Dewanto, seorang konco karibnya.
Melepas keberangkatannya saya ingin menerbitkan ulang “Sajak Juru Masak” sebagai salam perpisahan saya baginya. Kebetulan edisi yang dimuat Kompas beberapa waktu lalu mengandung salah cetak, atau lebih tepat, salah letak. Sedangkan yang pernah diterbitkan lewat Facebook adalah edisi yang belum direvisi. Entah apa komentarnya tentang edisi yang telah direvisi ini. Saya tak sempat lagi menanyakannya.
Sajak Juru Masak
: Ags. Arya Dipayana
Ia tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat
Ia buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu. Lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan
Tapi ia tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kari waktu yang telah mendidih
Dengan karut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju
Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar jalan dan kisahnya
Ah ya, ia ingatkan pula bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas. Utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan
2010
Saking kesengsemnya saya sampai tergerak menulis sebuah sajak tentang itu uintuknya. Sajak yang saya juduli “Sajak Juru Masak” itu dimuat Kompas beberapa pekan lalu. Sajak itu pernah pula saya "pamerkan" kepada Ags Arya Dipayana lewat akun Facebooknya. Ia, ketika itu, mengomentari puisi ini sebagai “puisi sederhana yang bagus”, atau semacam itulah. Saya menduga bisa saja ia hanya sekedar berbasa-basi untuk membesarkan hati saya.
Jika terkaan itu benar, berarti ia memang seorang kawan yang baik, seorang yang rendah hati dan teramat peduli menjaga perasaan orang lain. Sayang, kawan sebaik itu telah mendahului kita kelewat lekas. Ags Arya Dipayana, penulis dan pegiat teater itu, meninggal dunia semalam, 1 Maret 2011, di Purwakarta, sekitar pukul 23.00. Warta duka ini baru saya tahu pagi ini lewat akun Twitter Nirwan Dewanto, seorang konco karibnya.
Melepas keberangkatannya saya ingin menerbitkan ulang “Sajak Juru Masak” sebagai salam perpisahan saya baginya. Kebetulan edisi yang dimuat Kompas beberapa waktu lalu mengandung salah cetak, atau lebih tepat, salah letak. Sedangkan yang pernah diterbitkan lewat Facebook adalah edisi yang belum direvisi. Entah apa komentarnya tentang edisi yang telah direvisi ini. Saya tak sempat lagi menanyakannya.
Sajak Juru Masak
: Ags. Arya Dipayana
Ia tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat
Ia buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu. Lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan
Tapi ia tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kari waktu yang telah mendidih
Dengan karut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju
Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar jalan dan kisahnya
Ah ya, ia ingatkan pula bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas. Utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan
2010
25 February 2011
Telur
Jika kau bayangkan
Aku ini rumah, pikirkanlah
Bagaimana kau masuk
Sebab aku tak berpintu
Pun jika kau pikir
Aku serupa jaka, atau dara
Bagaimana bisa kau pikat aku
Jika hanya mengandal majas?
Apakah aku semacam
Bebayang bagimu, teka-teki
Silang dengan kotak-kotak jawaban
Yang tak pernah cukup?
Sebetulnya aku dekat saja
Jadi usahlah kau sambangi bulan
Atau galaksi terjauh, tapi
Malah lindap kau sembunyi
Sangkamu betah aku
Ngendon berlama-lama
Di gerah pengap kitab, terpisah
Dari dengus sejarah?
Cobalah sesekali bayangkan
Aku ini semacam telur
Kemudian belajarlah tabah
Menungguinya di sisi waktu
Teruslah sabar menantikannya
Rekah, (mungkin esok pagi
Mungkin musim semi tahun depan
Mungkin, sebentar kalau kiamat tiba)
Aku ini rumah, pikirkanlah
Bagaimana kau masuk
Sebab aku tak berpintu
Pun jika kau pikir
Aku serupa jaka, atau dara
Bagaimana bisa kau pikat aku
Jika hanya mengandal majas?
Apakah aku semacam
Bebayang bagimu, teka-teki
Silang dengan kotak-kotak jawaban
Yang tak pernah cukup?
Sebetulnya aku dekat saja
Jadi usahlah kau sambangi bulan
Atau galaksi terjauh, tapi
Malah lindap kau sembunyi
Sangkamu betah aku
Ngendon berlama-lama
Di gerah pengap kitab, terpisah
Dari dengus sejarah?
Cobalah sesekali bayangkan
Aku ini semacam telur
Kemudian belajarlah tabah
Menungguinya di sisi waktu
Teruslah sabar menantikannya
Rekah, (mungkin esok pagi
Mungkin musim semi tahun depan
Mungkin, sebentar kalau kiamat tiba)
09 February 2011
Jam Kerja Puisi
Jam kerjaku bebas--
Tak kukenal segala aturan konyol
Dan tak mesti kukenakan
Seragam dinas dalam tugasku
Merdeka pada sembarang tempat
Tiada tenggat musti aku sepakati
Tiada tuan mandur repot mengawasi
Pun tiada kuterima upah lembur
Bisa saja kumulai kerjaku
Umpama larut malam sekali
Sewaktu kota penyap dalam mimpi
Aku pun lindap nyelinap ke dalam
Tidur mereka tak berkunci
Mencuri beberapa baris
Dari parau senandung bumi
Sebagai awal pembuka
Dan jika kumau
Mudah saja bagiku melanglang
Sebentar ke alamat bintang terjauh
Iseng, bertanya padanya:
Apa kiranya tema terbaik ini malam?
Atau cukup kusambangi
Bulan sepi sendiri
Di redup langit pejam
Guna kurancang
Sehimpun majas
Supaya kulengkapi
Leluka telanjur kusingkap ini
Esok, dekat tengah hari
Mungkin aku kembali
Saat seluruh kota
Tenggelam bunuh diri
Di bawah kilau surya
Dan langit yang semalam juga
Kusempurnakan nyeri
Yang membahagiakan ini
Tak kukenal segala aturan konyol
Dan tak mesti kukenakan
Seragam dinas dalam tugasku
Merdeka pada sembarang tempat
Tiada tenggat musti aku sepakati
Tiada tuan mandur repot mengawasi
Pun tiada kuterima upah lembur
Bisa saja kumulai kerjaku
Umpama larut malam sekali
Sewaktu kota penyap dalam mimpi
Aku pun lindap nyelinap ke dalam
Tidur mereka tak berkunci
Mencuri beberapa baris
Dari parau senandung bumi
Sebagai awal pembuka
Dan jika kumau
Mudah saja bagiku melanglang
Sebentar ke alamat bintang terjauh
Iseng, bertanya padanya:
Apa kiranya tema terbaik ini malam?
Atau cukup kusambangi
Bulan sepi sendiri
Di redup langit pejam
Guna kurancang
Sehimpun majas
Supaya kulengkapi
Leluka telanjur kusingkap ini
Esok, dekat tengah hari
Mungkin aku kembali
Saat seluruh kota
Tenggelam bunuh diri
Di bawah kilau surya
Dan langit yang semalam juga
Kusempurnakan nyeri
Yang membahagiakan ini
04 January 2011
Lukisan Rumah
Akhirnya, kita sepakat membangun rumah
Sesudah lelah memimpikannya dalam sajak
Dalam benak berlumut: rumah dengan dua pintu
Ke dalam dan ke luar, rumah dengan dua kamar
Dan sepasang lubang kunci, kau dan aku
Kemudian kita jadi terlebih memahami rumah
Rumah ternyata menyimpan begitu banyak lubang
Begitu banyak kamar, kita pun tak paham kapan
Kita bisa sampai di sana untuk sekadar rebah mati, atau
Lewat lorong dan pintu yang mana sebaiknya masuk
Sebab rumah adalah labirin, laut, dan pada setiap kelok
Pojoknya menganga palung-palung bahasa
Kita heran, siapa gerangan telah menaruh pisau
Dalam percakapan kita? Mengapa begitu banyak darah
Menetes di sela lunak kalimat-kalimat hijau
Yang susah payah kita pahatkan
Pada dinding angin dan waktunya?
Kita percaya, kita datang dari debar yang sama
Semenjak mula bumi hanya mengajari kita
Bahasa santun pohonan, akar-akar yang pendiam
Mewariskan kesabaran pada lengan kita malam
Itu sebabnya kita tak gampang tergoda
Tapi anak-anak yang dulu kita kandung
Dan terlahir dari rahim gosong musim
Menyadarkan kita, bahwa cuaca telah berubah
Jadi kita pun kemudian belajar berhikmat
Pada lolong anjing dalam urat darah kita
Kita juga belajar menaruh sangsi
Pada kilau pagi dan nyanyian burung-burung
Yang terlantun dari mulut anak-anak itu
Sebab jika mereka berlagu, kita dapati gemuruh
Topan pada wajah mereka cemas membiru
Kemudian kita memilih sunyi
Warisan bumi yang masih tertinggal
Itulah cara kita menyelamatkan yang masih bisa
Bayang-bayang kita yang bimbang kepayang
Saling menimbang dalam remang nilai
Jangan, tak usah ucapkan apa-apa lagi
Tak perlu juga menulis surat pada waktu
Lihat, gelap dan diam menuntun kita karam
Pada bahasa dan amsal suci yang lain--
Dulu konon tersurat dalam kitab
Tapi seorang yang mengaku ibu bapak kita
Diam-diam tanpa setahu leluhur langit
Telah menghapusnya pupus dari kenangan
Ketika cuaca memburuk dan hujan turun
Kita pun hanyut tersaruk tanpa alamat
Kini perlahan kita belajar percaya lagi
Hidup masih akan terus, tapi mari sisihkan dulu
Huruf-huruf yang telah menodai bumi
Lalu kita bangun lagi rumah baru, silsilah
Dan nama-nama baru di sebait miring tersisa ini
Sesudah lelah memimpikannya dalam sajak
Dalam benak berlumut: rumah dengan dua pintu
Ke dalam dan ke luar, rumah dengan dua kamar
Dan sepasang lubang kunci, kau dan aku
Kemudian kita jadi terlebih memahami rumah
Rumah ternyata menyimpan begitu banyak lubang
Begitu banyak kamar, kita pun tak paham kapan
Kita bisa sampai di sana untuk sekadar rebah mati, atau
Lewat lorong dan pintu yang mana sebaiknya masuk
Sebab rumah adalah labirin, laut, dan pada setiap kelok
Pojoknya menganga palung-palung bahasa
Kita heran, siapa gerangan telah menaruh pisau
Dalam percakapan kita? Mengapa begitu banyak darah
Menetes di sela lunak kalimat-kalimat hijau
Yang susah payah kita pahatkan
Pada dinding angin dan waktunya?
Kita percaya, kita datang dari debar yang sama
Semenjak mula bumi hanya mengajari kita
Bahasa santun pohonan, akar-akar yang pendiam
Mewariskan kesabaran pada lengan kita malam
Itu sebabnya kita tak gampang tergoda
Tapi anak-anak yang dulu kita kandung
Dan terlahir dari rahim gosong musim
Menyadarkan kita, bahwa cuaca telah berubah
Jadi kita pun kemudian belajar berhikmat
Pada lolong anjing dalam urat darah kita
Kita juga belajar menaruh sangsi
Pada kilau pagi dan nyanyian burung-burung
Yang terlantun dari mulut anak-anak itu
Sebab jika mereka berlagu, kita dapati gemuruh
Topan pada wajah mereka cemas membiru
Kemudian kita memilih sunyi
Warisan bumi yang masih tertinggal
Itulah cara kita menyelamatkan yang masih bisa
Bayang-bayang kita yang bimbang kepayang
Saling menimbang dalam remang nilai
Jangan, tak usah ucapkan apa-apa lagi
Tak perlu juga menulis surat pada waktu
Lihat, gelap dan diam menuntun kita karam
Pada bahasa dan amsal suci yang lain--
Dulu konon tersurat dalam kitab
Tapi seorang yang mengaku ibu bapak kita
Diam-diam tanpa setahu leluhur langit
Telah menghapusnya pupus dari kenangan
Ketika cuaca memburuk dan hujan turun
Kita pun hanyut tersaruk tanpa alamat
Kini perlahan kita belajar percaya lagi
Hidup masih akan terus, tapi mari sisihkan dulu
Huruf-huruf yang telah menodai bumi
Lalu kita bangun lagi rumah baru, silsilah
Dan nama-nama baru di sebait miring tersisa ini
Subscribe to:
Posts (Atom)