https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

23 September 2008

Hasil Pena Kencana Award 2008

Pemenang lima besar Puisi dan Cerpen Pena Kencana Award 2008 :

Puisi:
1. P044 - Jimmy Maruli Alfian, "Kidung Pohon" - total suara: 30.38%
2. P099 - Zaim Rofiqi, "Ibu" - total suara: 13.35%
3. P038 - Inggit Putria Marga, "Di Pintu Gerbang" - total suara: 3.45%
4. P017 - Dahta Gautama, "Khimaci di Showa Kinen" - total suara: 5.31%
5. P004 - Acep Zamzam Noor, "Lembah Anai" - total suara: 1.22%

Cerpen:
1. C019 - Seno Gumira Ajidarma, "Cinta di Atas Perahu Cadik" - total
suara: 11.86%
2. C017 - Puthut EA, "Di Sini Dingin sekali" - total suara: 5.31%
3. C001 - Agus Noor, "Tentang seorang Perempuang yang Mati Tadi Pagi"
- total suara: 3.18%
4. C018 - Ratih Kumala, "Sepotong Tangan" - total suara: 2.13%
5. C009 - Gus tf Sakai, "Kami Lepas Anak Kami" - total suara: 2.10%

Saya ucapkan selamat berbahagia kepada para pemenang. Bravo sastra Indonesia!

22 September 2008

Zatako, Titanic, Kegilaan

DI TAHUN 1980-an dulu saya kerap menemukan puisinya dimuat secara rutin sebuah koran ibukota. Setahu saya ia lebih seorang wartawan ketimbang penyair. Tapi sebagai wartawan ataupun penyair sepertinya namanya memang “kurang bergema”. Saya pun tak begitu ingat adakah ia sempat punya kumpulan puisi. Baiklah. Ia adalah Zainudin Tamir Koto, dan sering menyingkat namanya itu dengan akronim Zatako.

Puisi-puisi Zatako tidak istimewa, malah banyak yang musti saya bilang jelek. Saya menduga sajak-sajaknya (yang tidak istimewa) itu bisa muncul di koran ibukota lebih karena alasan pertemanan—begitulah saya meyakininya—yang ada antara dia dengan redaktur sastra koran termaksud.

Puisi-puisi Zatako pendek-pendek, berisi umumnya kesan-kesan yang didapatnya dalam pengembaraannya sewaktu bertugas selaku wartawan, saya kira. Kadang, ada juga saya temukan satu dua puisinya yang bagus. Maka saya menduga mungkin puisi-puisinya menjadi kurang bertenaga karena ia—selaku wartawan--tak punya cukup waktu untuk mengolah lebih masak bahan-bahan puisinya tersebut.

Tapi hal yang saat ini paling mengesan pada saya adalah bahwa ia sepertinya tidak ambil mumat dengan apa pendapat orang tentang sajaknya. Ia terus saja menulis, dan memang ia tergolong penyair “subur”, seraya dengan rajin mengirimkannya ke koran Jakarta itu. Adakah yang membacanya? Pastilah ada, minimal saya terus mengikuti puisinya setiap kali muncul.

Sikap “tidak ambil peduli” itu mendadak jadi terasa penting buat saya. Sikap keras kepala itu bisa saja lahir dari semacam rasa cinta, bukan? Zatako, dalam keserba-sempitan waktunya, mungkin begitu mencintai puisi, maka ia terus menulis, seraya belajar tak hirau dengan komentar miring orang lain. Dengan caranya sendiri ia merayakan komitmennya pada puisi.

Saya teringat pada sebuah adegan dalam film Titanic. Sewaktu kapal pesiar mewah itu pelan tapi pasti karam, dan para penumpamgnya dilanda panik berlarian ke sana ke mari, sejumlah pemusik yang biasa bertugas menghibur di kapal keren itu malah terlihat terus asyik berdendang. Dan ketika salah seorang dari mereka mengingatkan konco-konconya bahwa tak ada (lagi) yang menonton aksi mereka, sang kawan dengan kalem bilang “ah, biasa juga mereka tak menyimak kita bermain, kenapa sekarang kau meributkannya--terus saja mainkan musikmu”. Dan mereka melanjutkan aksi mereka.

Sudah gilakah para pemusik itu? Mungkin ya, tapi soalnya bukan itu barangkali. Soalnya adalah, jika dunia kita hari ini ternyata semakin mirip dengan Titanic yang dengan pasti tengah berangkat karam di mana harapan untuk selamat serasa mustahil—karena jumlah sekoci penyelamat sungguh tidak memadai, tetapi terutama karena ketiadaan kepemimpinan dengan wibawa yang cukup—tidakkah apa yang diperbuat para pemusik itu bukan malahan sebuah pilihan sikap yang “heroik”?

Ah, dari para pemusik “gila” itu (juga dari penyair Zatako) saya merasa telah mendapatkan sebuah pelajaran penting dan berharga.

17 September 2008

Meja Diam

Meski meja diam
Kursi membisu
Tembok membatu
Di kamar ini

Meski kau tak paham
(Mungkin tak sepakat)
Tapi jam, jam
Tak tinggal diam

Umur mengalir
Kisah bergulir
Menjangkau akhirnya
Barangkali di kamar ini

15 September 2008

Di Toko Sepatu

Saya perlu sepasang sepatu
Model dan merek tak begitu penting
Yang utama ia harus tahan lama
Cukup tabah mengarungi
Jarak dan sepi, penat dan rindu
Sebab perjalanan saya
Sepertinya bakal panjang
Lama mungkin membosankan
Tak terbilang dengan musim
Tak terukur dengan cuaca
Jika tuan sungguh ada menjual
Sepatu yang macam begitu
Saya sedia membelinya
Tak soal berapa harga tuan minta
Sudah lama saya mencarinya
Kelewat gandrung saya merindunya
Sudah lelah saya jelajah
Toko-toko sepatu di kota ini
Pelayannya sama menggeleng
Sepatu model begitu katanya
Sudah tak dibuat lagi
Bahan-bahannya langka
Susah dicari dan ditemukan
Barangkali malah sudah musnah
Dari planet kecil sial ini
Adakah betul toko tuan juga
Tak menjual sepatu macam itu?

09 September 2008

Paceklik Puisi

TERJEBAK dalam “musim paceklik puisi” adalah kejadian yang cukup sering saya alami. Meskipun pengalaman selama ini mengajarkan bahwa “musim kering puisi” itu hanya sebuah siklus biasa dalam perjalanan saya selaku penulis, entah mengapa rasa gelisah (dan cemas itu) terus saja (kembali) hadir. Saya cemas, misalnya, jangan-jangan kali ini saya memang segera “tamat” sebagai penyair. (Kalau tak ada sajak lagi yang bisa kita tulis, masihkah kita penyair?)

Nah, sudah dua bulan lebih ini saya mengalani kembali musim kering itu. Saya coba runut kembali kejadiannya. Oh, ternyata sebelum itu terjadi memang sudah ada rasa jenuh dan “lelah” kepada puisi .Itu pun bukan kejadian luar biasa menurut saya--manusiawi dan wajar saja bahwa seorang penyair pun sesekali merasa “capek” kepada puisinya. Mungkin sama wajar dan manusiawinya seperti kalau kita sesekali juga suka merasa “lelah” dengan pasangan kita?

Lalu yang saya lakukan untuk mengisi saat vakum itu biasanya adalah “jajan”, mencari selingan, karena ada petuah bagus yang bilang bahwa kalau kita suatu saat tidak bisa “kreatif”, setidaknya kita musti bisa tetap “produktif”. Dan “jajanan” saya kali ini (supaya bisa tetap produktif) adalah kitab-kitab cerita silat wuxia, jenis bacaan yang sering dilecehkan sebagai “klangenan” tidak bermutu oleh sebagian orang yang merasa punya selera seni “adiluhung”.

Mungkin saking “seru dan dahsyat”nya novel-novel itu saya pun jadi mendadak rajin berolah-tubuh (yang sudah sekian lama saya abaikan) setiap hari, seraya dengan lahap menyantap halaman-halaman literatur seputar martial art. Dalam kungkungan atmosfer seperti itulah antara lain sajak “Pesilat”, yang dimuat di halaman ini beberapa waktu yang lalu, tercipta.

Syahdan, sesudah luntang-lantung mengembara di dunia “sungai telaga” sekian lama, berjumpa dan “bertarung” dengan sekian tokoh aneh dan sakti dari berbagai golongan, saya pun mulai menjadi letih dan kini berbalik merasa “kangen” kembali untuk “berolah-rasa”, untuk pulang kepada kata, kepada puisi.

Masalahnya kemudian ternyata yang saya kangeni ini seperti jual mahal. Saya sudah mencoba memanggilnya, membelainya, merayunya, belum ada hasilnya juga. Meski saya termasuk yang meyakini bahwa puisilah yang sering “mendatangi” penyair, tapi dari pihak penyair rupanya dituntut semacam syarat. Ia harus sungguh dalam kondisi “mabuk kepayang” kepada puisi, berada dalam tangkapan atmosfer puitik seintens mungkin. Ia harus dalam kondisi sungguh “on” ketika puisi sesewaktu datang memergokiya.

Barangkali syarat inilah yang belum sepenuhnya saya penuhi. Sebagian dari diri saya mungkin masih tertinggal di puncak permai berkabut gunung Wudang, terumbang-ambing bersama Zhang San Feng (atawa Thio Sam Hong), konon peletak dasar Tai Chi, merenungi keindahan sekaligus kedahsyatan tersembunyi dedahan pinus. Atau tenggelam dalam khusuk samadi bersama para rahib sepuh, di ruang sunyi angker Tat Mo Tong, di kuil Siauwlim, di gunung Siong San sana …

04 September 2008

Seno Gumira Ajidarma : "Mediocre" tapi Juara

SENO GUMIRA AJIDARMA adalah sebuah kontradiksi, mungkin juga sebuah ironi, tapi akhirnya adalah sebuah surprise. Coba saja kita periksa figur sosok yang satu ini. Waktu sekolah ia mengaku suka memilih duduk di barisan tengah. Tidak di belakang, sebab barisan belakang milik murid-murid yang “pintar”, sedang barisan depan adalah jatahnya murid-murid “bodoh”. Kata Seno, “aku menerima diriku sebagai mediocre saja”, maka ia memilih duduk di barisan tengah.

Kini dengan setumpuk kitab hasil karyanya, plus seabrek penghargaan sastra bergengsi yang sudah disabetnya, tidak mungkinlah untuk menganggapnya hanya penulis mediocre, meskipun ia sendiri mengaku “tidak pernah punya obsesi menjadi nomor satu”. Lucunya juga ia malah pernah mengeluarkan pernyataan bahwa ia tak pernah bercita-cita menjadi penulis—meskipun nyatanya kini hidup dari menulis. Ia mengaku “terpaksa” menulis, karena suka membaca. Atau dalam kata-katanya sendiri, “Aku mewajibkan diriku menulis karena aku suka membaca”.

Dulu pun ia mengaku hanya kepingin jadi seniman “biasa” saja. Targetnya menjadi “seniman biasa” itu menurutnya sudah dicapainya pada saat umurnya baru 17. Saat itu puisinya sudah berhasil menembus majalah sastra Horison, yang ketika itu masih disembah-sembah. Pada saat yang sama puisinya juga muncul di Aktuil, majalah pop yang secara “ideologis” bertabrakan dengan Horison. Ia pun gulang-gulung dengan Teater Alam yang dikomandani Aswar AN.

Tak cukup sampai di situ. Saat umurnya 19 ia menjadi wartawan, lantas kawin, lantas punya anak—yang kini sudah fotografer, lulusan IKJ, almamater tempatnya sekarang mengajar. Gebrakan serba kilat itu dilakoninya lengkap ketika umurnya baru 20—periode ketika sebagian anak-anak Indonesia masih pada repot dengan tawuran di jalan atau khusuk menyetubuhi kitab-kitab stensilan. Maka tak salah kalau ia berani bilang, bahwa “upacara dalam hidup sudah kutuntaskan pada usia 20 tahun. Aku tak punya target lagi setelah itu”.

Kini ia mengisi hari-harinya dengan mengajar, membaca, menulis—terus menempa diri menjadi “tukang”. Menjadi tukang itu tidak mudah, katanya meyakinkan—berbeda dengan menjadi robot. Karena untuk menjadi tukang, teknik saja tak cukup, ujarnya. Ada pergulatan intens di sana. Tukang kayu, ia mencontohkan, harus kenal kayu secara personal, seperti petani juga wajib mengenal cuaca, tanah,air, dan benih tanamannya secara personal.

Maka seorang penulis yang baik wajib hukumnya mengenal secara personal tabiat kata-kata yang digaulinya setiap hari itu. Pengenalan itu akan membawanya ke bentuk hubungan yang lebih serius, lebih intens. Dari intensitas itulah kelak boleh diharapkan lahir karya-karya unggulan yang adalah hasil persetubuhan suntuk, buah dari perselingkuhan segitiga yang rumit, antara penulis di satu pihak, pengalamannya di pihak lain, dan kata-kata yang sebagai ranjang dan wadag, menerima pasrah kisah kasih kasmaran itu.

(Sebagian bahan artikel ini dipinjam dari blog Sukab.Wordpress.com)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...