https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

31 January 2008

Blog Hanya untuk Penulis Underdog?

DALAM salah satu suratnya kepada saya, pianis-komponis Ananda Sukarlan mengeluhkan sedikitnya sastrawan kita yang ikutan tren ngeblog. Sebetulnya sudah lama pertanyaan yang sama mengusik saya. Kenapa hal ini terjadi, saya pun tak punya jawabannya. Hanya ada beberapa terkaan yang bisa saja salah.

Pertama, barangkali karena kegiatan ngeblog bagaimanapun masih tergolong “baru”. Jadi masih perlu waktu untuk sosialisasi lebih jauh. Berapa lama? Entahlah. Lalu saya amati juga, mayoritas penulis kita yang pada ngeblog adalah mereka yang, sepertinya, belum dianggap eksis betul oleh “penguasa” kerajaan sastra di sini. Jadi, sepertinya blog lalu menjadi semacam ajang kompensasi untuk mereka unjuk diri, karena di ranah “sastra resmi”, kehadiran mereka kurang dianggap.

Kalau analisis ini betul, maka keengganan sastrawan kondang untuk ngeblog agaknya karena mereka merasa sudah “mapan”, sudah punya media yang bersedia dengan senang hati menerima karya-karya mereka kapan saja, dan biasanya mereka pun punya akses mulus ke dunia penerbitan. Singkat kata, peluang mereka untuk "tampil" begitu besar dan mudah. Karena itu lantas mungkin mereka berpikir, ngapain juga gua musti repot-repot ngeblog segala?

Saya sungguh berharap sangkaan yang terakhir itu salah besar. Alangkah meriahnya jagat blog kita sekiranya nama-nama beken semisal Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutarji Calzoum Bachri, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor dan seabrek nama besar lainnya pada ikut terjun ke dunia blog. Ah, mudah-mudahan ini bukan mimpi yang kelewat jauh dari kenyataan.

Bus Kota

Sajak-sajakku telah penuh
Tak tahu di mana lagi mesti menaruh
Harapan dan keluh-kesahmu itu
Kata dan baris begitu berjejal
Ada yang terpaksa berdiri
Bergantungan pada judul di pintu

Seperti bus kota di Jakarta
Banyak impian musti ditinggalkan
Sebagian rencana terpaksa dibatalkan
Beberapa lagi hilang tercopet waktu
Terlantar begitu saja sepanjang jalan
Macet penuh rambu-rambu

Menunggu seribu tahun lagi
Barangkali saja masih ada
Bus kota lain yang masih kosong

Tujuan masih jauh
Tapi sajak-sajakku telah penuh
Mimpi-mimpimu, keluh-kesahmu itu
Maaf, tak bisa ikut terbawa

29 January 2008

Kisahmu

Huruf-huruf
Yang susah payah kurambah
Cepatlah berbuah
Aku berhasrat
Menambahkan sepatah kata
Barangkali sepenggal baris
Pada ujung paragrap
Sebelum telanjur
Kau sudahi bab
Penutup kitab
Biarkanlah aku senantiasa
Hadir dan mengalir
Sebagai bagian
Tema yang tak kau sadari ada
Pada kisahmu

25 January 2008

M o b i l

Mobil (1)

Tetangga saya
Yang sebelah kiri
Punya satu mobil
Tetangga kanan
Punya dua sedan
Tetangga depan
Malahan ada tiga
Ada pun saya sendiri
Tiada bermobil
Tiada beroda
Hanyalah ini kaki
Sepasang pastinya
Kiri dan kanan
Sabar merayapi
Jalanan musim
Menempuh sehari
Berliku ziarah bumi


Mobil (2)

Saya pandangi
Mobil di showroom
Sangat terusik menampak
Pongah mereka berjajar
Namun tak bisa mungkir
Saya kagumi sungguh
Bodinya yang seksi
Presisinya yang unggul
Toh lebih saya syukuri
Ini kaki sepasang
Kiri dan kanan
Yang kukuh lagi paten
Tak terbanding
Pun tiada tiruannya
Di semua showroom
Kendara ajaib
Anugrah sang gaib
Tak butuh bensin
Membawa hati
Ke mana mencari


Mobil (3)

Lama saya renungi
Yang bermobil
Yang tak bermobil
Suatu hari nanti
Toh akhirnya pergi
Mobil tak balik ke garasi
Kaki tak pulang ke rumah
Tak usah itu kau tanya
Jangan disanggah
Hanyalah beda hitungan
Selisih musim bisa saja
Momennya sendiri-sendiri
Pun tak bisa dibilang
Untung apakah rugi
Yang berjalan kaki
Yang kenes bermobil
Sudah disiapkan
Alamat pulang
Dalam satu paket
Karcis satu jurusan

23 January 2008

Saya Tengah Menunggu Keajaiban

KURANG lebih sepuluh hari yang lalu saya mengirimkan naskah kumpulan puisi saya ke sebuah penerbit. Penerbit ini dulunya sebuah yayasan nirlaba yang banyak menelorkan buku-buku puisi bagus, tapi belakangan ini berubah menjadi lembaga yang full profit oriented. Yang juga membedakan adalah penerbit ini sekarang tidak fokus lagi ke buku bertema sastra. Mungkin karena diyakini sastra bukan komoditi yang mendatangkan profit.

Tapi saya tetap “nekat” mengirimkan naskah itu ke sana, antara lain karena salah satu orang penting di sana adalah sesama penyair. Sebetulnya kami tak saling kenal secara pribadi. Dibanding saya—yang kuper ini—nama beliau jauh lebih sohor. Tapi saya tetap berharap bahwa “kesamaan” status antara kami—yaitu bahwa kami sesama penyair--ini bisa membukakan atau menyisakan peluang bagi naskah saya.

Saya tak tahu seberapa realistiskah harapan itu, karena konon katanya “business is business”, apalagi di antara kami memang tiada ikatan perjanjian apa pun yang mesti disepakati. Maka setiap hari saya mengecek email dengan perasaan sedikit was-was : sudah adakah jawaban dari mereka, ditolakkah naskah saya, bagaimana kalau ternyata betulan ditolak? Uaah lumayan menegangkan.

Hanya itulah sementara yang bisa saya lakukan, selain terus berdoa..Perasaan saya ada miripnya mungkin dengan perasaan seorang calon pegawai yang sedang dag dig dug menantikan datangnya surat panggilan kerjanya. Begitulah, saya memang sedang menunggu semacam keajaiban, atau mujizat, hari-hari ini.

Bahan Sajak

Sekobar sepi
Segurat luka
Pilihlah yang paling
Perih dan nyeri
Dengan liang hitam
Menghias lambungnya

Carikan lanskap
Sebaiknya kala senja
Atau malam larut
Supaya lengkap
Siramkan juga
Tetes hujan atau
Cukup gerimis
Pelan menitik ritmis

Tambahan bisa
Berupa lelampu
Bulan bundar
Pucat bebintang
Atau awan berlayar
Di langit tak beralamat

Lokasi bebas
Boleh sebuah taman
Jalanan kota atau
Kamar kusam
Sebuah losmen
Tempat perempuan
Dan laki tak bernama
Melepas benih
Kata di bumi lata

Bebas telanjang
Merdeka menjamah
Tiada kungkungan
Judul dan baris

22 January 2008

Tabungan

Harta dunia
Tiada kupunya
Simpanan akherat
Luput kudapat

Hanyalah ini
Sekerat syahwat
Timbanglah olehmu
Sepenuh hasrat

Di binal ranjang
Di basah gelinjang
Tiada kusesal
Kisahku jalang

Harta dunia
Luput kujerat
Kepayang sorga
Erat terdekap

20 January 2008

Lagu Ronda

Tugas kami adalah
Menjaga malam
Supaya ia tak bertindak
Macam-macam

Kami ajak ia
Bermain kartu
Atau melempar dadu
Melepas waktu ke hulu

Kalau lelah
Atau kantuk mendera
Kami ajak ia keluyuran
Membunuh bosan

Kami biarkan
Sesaat pikiran ngembara
Nyelinap ke dalam
Kusut bebayang

Malam yang kelam
Yang impiannya rawan
Kami akan mengawalmu
Setia sampai pagi

18 January 2008

Tema XXX

Pejantanku tampan
Betinaku rupawan
Lekas mainkan
Pesta kawin kalian

Lahirkan bagiku
Sajak-sajak liar
Panas menggerayang
Menghembus aroma jalang

Sajak-sajak liat
Sebab pada tanah
Sempurna jejaknya lekat
Dan pada langit
Kangennya menggigit

Pejantanku tangguh
Betinaku lintuh
Jadikan untukku
Sesosok yang utuh

Tatapnya jauh
Menembus musim
Di bawah silau surya
Tak surut oleh cuaca

17 January 2008

Puisi Indonesia : Bagaimana Memancing Naga & Harimau Keluar?

KEBERADAAN “sastra koran” sampai saat ini masih menuai kontroversi. Serangan paling serius ditujukan kepada para pengelola rubrik sastra di koran itu, yang sering dituduh “tidak obyektif” dan “pilih kasih”. Di luar soal itu sinisme ditujukan pada mutu sastranya. Dengan format halaman yang terbatas, diyakini sulit mengharapkan munculnya inovasi besar dan penting dari sastra koran. Tapi betulkah demikian?

Mungkin klaim itu benar sejauh menyangkut genre prosa, yang menuntut jatah halaman luas. Tapi untuk genre puisi, rasanya masih boleh kita berharap sesuatu. Karena bentuk fisiknya yang jauh lebih mini dan “ringkas”, puisi-puisi kita masih bisa bergerak leluasa di antara kolom-kolom koran yang tersisa sesudah digerogoti iklan. Artinya masih bolehlah kita berharap akan menemukan di koran puisi-puisi yang memang nyatanya bagus.

Sementara itu kita tahu bahwa sampai saat ini kita masih tetap hanya mempunyai satu majalah sastra saja, yaitu Horison. Sedang Jurnal Kebudayaan Kalam (juga Basis) yang tadinya diharapkan dapat melengkapi kehadiran Horison, sepertinya mempunyai agendanya sendiri. Jadi kembali seperti dulu-dulu, Horison dibiarkan kesepian sendiri. Sementara itu penerbitan buku-buku puisi masih juga tidak menunjukkan iklim yang membaik.

Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi tidak kelewat salah juga kalau lantas muncul anggapan bahwa puisi-puisi di koran itu akhirnya menjadi cerminan yang paling mewakili keberadaan panggung puisi kita saat ini. Puisi-puisi koran itu, suka tak suka, menjadi barometer pencapaian puisi kita saat ini.

Sudah tentu klaim ini juga tidak sahih seratus persen—paling tidak Saut Situmorang pasti akan protes keras. Saya pribadi juga percaya pastilah masih ada banyak potensi puisi bagus kita yang sejauh ini tak sempat terangkat ke permukaan. Rimba belantara puisi kita, mungkin seperti rimba persilatan yang bengis, pastilah dipenuhi oleh--untuk meminjam judul sebuah film Ang Lee--the hidden dragon and crouching tiger.

Alangkah dahsyatnya kalau para "naga” dan “harimau” itu bisa seluruhnya dipancing keluar dari sarangnya.

16 January 2008

Sepercik Kabar Ananda Sukarlan

Ananda Sukarlan mengirimkan sebuah surat pendek. Perkenankan saya mengutipkan surat itu.

Halo mas Ook,

Happy new year ya ... just to let you know saya udah kelar 2 lagu : Jam Luruh & Di Depan Sebuah Lukisan ...

Sajaknya yg baru bagus2 lho ... saya udah print juga ...

Saya tunggu2 terus sajak2 baru ya mas ...

ciao
Ananda

Catatan :
Ananda Sukarlan, banyak menggubah lagu dari puisi Sapardi Joko Damono dan Joko Pinurbo. Ia pun ikutan tren ngeblog, yang bisa diakses melalui halaman ini (lihat Other Links), atau klik saja di sini.

15 January 2008

Sketsa Malam

Sepi meronda
Menjaga mulut gang

Kota yang lelah
Penat oleh pengkhianatan
Menitipkan mimpinya
Pada pucat lelampu

Rumah-rumah
Seperti memejam
Pastilah nyeri yang dalam
Dipendam di kamarnya

Tiang-tiang listrik
Bercakap dengan langit
Seraya mereka senandungkan
Tembang embun

Sepi terus meronda
Menyusur gang demi gang

13 January 2008

Lelaki, Kopi, Puisi

Lelaki menyeduh kopi
Yang lantas diseruputnya sedap
Pelan-pelan saja tapi, seakan takut
Ada rasa yang terlewatkan

Kopi tinggal ampas
Lelaki memandang sekilas
Tajam menembus dasar gelas
Seolah sesuatu di sana melintas

Lelaki menghela napas
Mengambil kertas dan menulis
Hati-hati sekali tapi, seakan takut
Ada pesan luput tersampaikan

10 January 2008

Sajak Pencuci Piring

Selalu menyenangkan
Melihat piring telah tercuci
Berkilat bersih kembali
Meski tiada mereka
Haturkan terima kasih
Hati-hati kutaruhlah di raknya
Tak kubedakan satu dari lainnya
Kini mereka menjadi serupa
Dengan barang lainnya
Diam dan masa bodoh
Sampai lapar menariknya lagi
Di atas meja makan
Mereka sebagian dari kita
Lahap bersantap seraya
Pura-pura tak paham
Betapa lapar dan kejahatan
Diturunkan bersama-sama
Dalam samaran nasi
Dan lauk pauk kehidupan
Kita pun menyendoknya tak sangsi
Mengunyahnya sebagai berkah
Sebab serupa benar mereka
Bercampur tak terbedakan
Dalam sebuah piring

07 January 2008

Jakarta : Beberapa Haiku

/1/
Jalan macet
Hidup penuh makian
Antrean di terminal

/2/
Ada yang lupa
Tuhan punya siapa
Belati dalam genggaman

/3/
Perapatan Slipi
Orang-orang merapat ke tepi
Jam delapan pagi

/4/
Koran di pangkuan
Sebuah huru-hara politik
Perempuan tertidur di bus

05 January 2008

Sastrawan Amphibia

BANYAK dari kita, dengan berbagai alasan, melakoni gaya hidup amphibia—atau kompromistis, kalau anda ingin menyebutnya begitu. Tidak terkecuali para penulis. Banyak penulis yang karena terpaksa, atau suka rela, nyambi menjadi karyawan, salesman kompor, penyobek karcis bioskop, dan banyak profesi “biasa” lainnya—yang justru “jauh” dari kesibukan berkesenian.

Saya malah pernah kenal seorang penulis yang kepingin untuk sementara waktu nyambi menjadi kuli bangunan. Ketika saya tanya kenapa memilih pekerjaan “murah” dan “kasar” itu, jawabannya membuat saya tercengang. Katanya, dengan takzim, karena pekerjaan itu akan memberinya cukup waktu untuk merenung.

Tapi kiranya lebih banyak perilaku “amphibia” yang terjadi karena desakan ekonomis, ketimbang karena alasan yang idealistis murni. Penyair Afrizal Malna dulu pernah bekerja sebagai pegawai pembukuan. Atas pilihan hidup amphibianya itu ia mempunyai apologi yang menarik. Katanya, ia terpaksa nyambi menjadi karyawan justru untuk bisa menyelamatkan kemurnian semangat kreatifnya.

Sebagai pegawai ia bisa dengan lebih tenang menulis, karena tidak harus tergoda menggadaikan tulisannya hanya demi memenuhi kebutuhan sang perut. Tapi untuk bisa menjaga keseimbangan kreatifnya, ia pun harus berkorban dengan berusaha tetap menjadi karyawan biasa. Ia tak ingin jabatan tinggi karena khawatir akan jadi kelewat repot dan malah tak bisa menulis lagi nantinya.

Pilihan hidup amphibia memang tidak bisa serta-merta dicela. Karena soalnya tidak bisa disimpulkan hitam putih semata. Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa dalam posisi serba kepepet sang penulis justru sanggup melahirkan karya-karya besarnya, tapi malah jadi lembek ketika kenyamanan hidup mulai berangsur menghampirinya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...