https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 November 2007

Penyair Terbaik?

MENULIS puisi sangatlah beda dengan menulis esai, atau bentuk artikel umum lainnya. Menulis puisi menuntut kesiapan teknis dan mental yang jauh lebih berat—sangat spesifik, sebutlah begitu. Ia sungguh menyaratkan suasana batin yang hening, suasana hati yang barangkali tak kelewat salah kalau disebut mirip dengan “trance”.

Suatu suasana batin yang membuat kita seolah—untuk beberapa jenak--berjarak dan terselamatkan dari keriuhan di seputar dan keseharian kita. Sebuah kondisi yang menyebabkan kita seolah “mabuk kata”, atau hanyut dalam arus bandang imaji yang tak berkeputusan. Puisi lahir seperti sebuah “kecelakaan”, atau, kalau anda suka mendramatisasinya, seperti “takdir” itu sendiri.

Karena itu kelahiran puisi tak bisa direncanakan, dan tak mungkin diulangi lagi. Kalau kita memaksakannya juga, kita hanya akan mendapatkan tiruan yang sudah kehilangan spirit aslinya Karena itu tak ada jaminan seorang penyair yang hari ini menulis puisi bagus, besok atau lusa, akan menulis sama bagusnya. Bahkan tak ada jaminan samasekali ia masih akan bisa terus menulis.Puisi yang hari ini ditulisnya bisa saja puisi terakhirnya.

Karena itu sebetulnya keliru menggelari si anu atau si itu misalnya sebagai penyair “terbaik”. Sebab tak pernah ada penyair terbaik. Yang ada, mungkin, puisi yang baik.

28 November 2007

Dongeng dari Jakarta

Kau berharap menemukan kembali
bagian yang dulu hilang (tulang rusukmu
itu). Dan kau pun ngembara, dari pub
ke pub, nyelinap ke dalam
ribuan kamar, menggedor jutaan
pintu. Siapa tahu di antara lipatan
sprei, di antara ceceran mani
sebuah tanda menggores dalam
kenangan. Barangkali dia tidur
di salah satu ranjang hotel-hotel itu
menunggu kau menjemputnya. Atau
di jalan, di antara kekosongan, lampu-
lampu dan malam hari. Barangkali
tak pernah bisa kau menemukannya
kembali. Barangkali kau sudah
menemukannya, tapi kau tak yakin—
tak pernah bisa percaya semudah
itu. Dan kau pun terus saja ngembara
dari diskotik ke diskotik, dari hotel
ke hotel, mengetuk jutaan alamat
dalam sajak. Siapa tahu seorang germo
menyembunyikannya di antara pelacurnya.
Barangkali seorang pelacur akan
menempeleng kesadaranmu. Membenammu
lebih dalam lagi, menyuruk di antara
ranjang dan ceceran kuman. Sampai kau
tak menemukan lagi alasan buat
apa segala omong kosong ini
diteruskan. Sampai kau percaya
semua ini percuma. Lantas memutuskan
pulang, membunuh semua impian.
Pergi tidur, dan tak pernah bangun
lagi, sampai kiamat yang lama
diributkan itu, akhirnya tiba juga.

(Nov-1990)

26 November 2007

M i m b a r

Sajak Pulang Kerja

Pulang kembali ke rumah
Engkau pun berhenti menjadi kertas
Berhenti menjadi angka-angka
Sekadar kolom-kolom penjumlahan
Keranjang sampah para majikan
Dengan nomor dan kartu absensi
Seragam dan aturan-aturan

Di luar jam kantor resmi
Engkau kembali menjadi engkau
Seorang warga di antara jutaan lainnya
Seorang laki-laki biasa di kota ini
Dengan impian dan luka-luka
Dengan kemarahan yang dipendam
Memandang tak berdaya pada dunia


M i m b a r

Terlalu banyak orang
Naik ke atas mimbar ini
Terlalu banyak janji
Diumbar di atas mimbar ini

Terlalu banyak petuah
Untuk soal yang begitu jelas
Terlalu banyak seminar
Terlalu banyak sesumbar

23 November 2007

Trend "Sapardian" dan Nama-Nama Baru

MARILAH kita ulangi lagi statemen ini : puisi bisa jatuh dari langit, tapi penyair tidak. Proses penciptaan kadang seolah terjadi sekonyong-konyong, meskipun sebetulnya tidak demikian. Apa yang kemudian menetas menjadi puisi sesungguhnya hanya sebuah titik dari sebuah garis panjang, yang disebut proses penciptaan itu sendiri. Ia hanya sebuah perhentian sejenak, atau kesimpulan sebentar, dari pergulatan kreatif yang belum lagi tamat.

Jika puisi bisa sekonyong jatuh dari awan gemawan, maka seorang penyair selamanya lahir lewat serangkaian proses belajar. Dan salah satu cara paling gampang dalam belajar adalah dengan meniru dari para pendahulu. Pada tahap ini wajar kalau kemudian pengaruh dari yang ditiru merembes, bahkan lalu membuat kita sampai basah kuyup. Celakanya, tidak semua kita punya kemampuan (atau kemauan) untuk berhenti menjadi “pak tiru”.

Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad adalah dua nama besar yang agaknya paling banyak mendapatkan “siswa” di sekolah-sekolah puisi kita. Saya sendiri heran mengapa gerangan pilihan jatuh pada dua beliau ini—mengapa tidak Amir Hamzah, Chairil, Sitor, Toto Sudarto, Subagio, Rendra, Taufiq, atau Tarji, misalnya. Apa kurang hebatnya Rendra, umpamanya, atau Tarji, dibanding Goenawan dan Sapardi?

Saya tak punya jawab pasti atas pertanyaan itu, meskipun kata beberapa teman, sajak-sajak saya juga sangat sekali “sapardian”. Paling saya hanya bisa bilang, gaya Sapardi itu kayaknya klop dan “nyambung” dengan mekanisme kerja perabot puitik saya. Hanya itu? Ya, mungkin juga lantaran referensi puitikal saya teramat miskinnya, jadi tahunya cuma jurus “estetika gerimis jatuh” punyanya Sapardi itu.

Tapi kini tren “sapardian” sepertinya sudah mulai bisa diterabas. Bukan oleh saya—saya sih masih harus terus berkelahi sengit mengenyahkan “hantu” Sapardi dalam kerja puisi saya. Tapi oleh nama-nama “baru” seperti Afrizal Malna, Zen Hae, Gus tf, Binhad Nurohmad, Nirwan Dewanto, Jimmy Maruli Alfian, dan mungkin masih ada sejumlah nama lagi yang luput dari amatan.

Sungguh, saya sangat berharap masih akan bisa menikmati kehadiran puisi-puisi mereka lebih kerap dan lebih lama lagi.

22 November 2007

Ode buat Kamarku

Engkau tahu belaka semua rahasia
yang kupendam. Kau kenali segala serapahku,
pikiran cabulku. Dan di malam hari kau pergoki
mimpi-mimpiku. Memasuki pintumu, adalah seperti
memasuki hidupku lebih dalam lagi jadinya.
Sebab di sini bakal kujumpai kembali
segala yang terlepas dalam pergulatan
sehari-hari. Di ranjangmu teduh, kadang
aku berbaring dan hanya diam. Mengendapkan
suara-suara perih dari dunia nun di luar.
Dan lewat jendelamu yang sabar terbuka
seantiasa, kubiarkan semesta menjulurkan
rahasianya, menjamahku. Engkau adalah puisi
yang tak kunjung selesai kutulis. Sudut-
sudutmu merekam yang tak tercatat. Baris-
baris yang kucoret, padahal di sanalah
kau menunggu dan mengintipku.

19 November 2007

Dari Jakarta

Kau minta aku bersabar
Seperti kau sendiri masih bertahan
Dalam goncangan seribu bis kota
Neraka dari halte ke halte

Kau bujuk aku tertawa
Melewati tahun-tahun celaka
Ribuan peperangan dan sejumlah kematian
Orang-orang tersayang

Kau paksa aku tegak
Menantang Monasmu yang hambar
Melepas pandang ke luas cakrawala
Melangkahi gedung-gedung itu

Kau ajar aku berkenalan
Dengan kebimbangan, bahkan maut sekalipun
Membukakan waktunya perlahan-lahan
Berbagi salam dalam sajak

16 November 2007

Surat Ananda Sukarlan

Dear mas Ook Nugroho,

Perbolehkan saya memperkenalkan diri. Saya Ananda Sukarlan, tinggal di Spanyol dan saya pianis serta komponis. Manager dan teman saya Chendra Panatan selalu mengirim saya puisi2 Indonesia biar saya tidak "ketinggalan jaman" dengan dunia seni Indonesia (ini saya kirim cc nya ke dia), dan beberapa bulan memberi tahu saya tentang blog anda. Sejak itu saya sering visit blog anda dan banyak menikmati dan mengagumi karya-karya puisi anda.

Saya ingin minta izin, apakah satu atau beberapa puisi anda boleh saya bikin musik ? Saya banyak membuat karya-karya pendek dari puisi2. Kalau anda ingin mengetahui jenis musik yang saya buat, silakan mengunjungi http://www.youtube.com/ dan mencari nama saya di sana, ada beberapa lagu, antara lain berdasarkan puisi pak Sapardi Djoko Damono .

Itu saja. Boleh saya panggil Mas Ook ya ?

Very much looking forward jawaban anda, dan terima kasih sebelumnya.

Salam,
Ananda.

(Note : Informasi lebih jauh seputar pianis & komponis Ananda Sukarlan ini bisa didapat di sini, di sini, dan juga di sini).

14 November 2007

K a u

Dalam kerumunan
Aku kehilangan kau

Dengan rasa
Kau tak kunjung teraba

Dalam bahasa
Kau pun luput kubaca

Dengan sajak
Masih juga jejak

Lalu kupilih diam
Dan semakin karam

Dengan apa
Sampai padamu?

12 November 2007

L a g u

Kugerus batu
Kuperam rindu
Di akhir waktu
Lahirlah lagu

Kureguk hujan
Kuserap bumi
Di akhir musim
Jadilah kembang

Kembang kata
Kembang sajak
Mekar dari batuan
Disepuh waktu

Begitulah kau aku
Bermula rindu itu
Lalu meriap di bumi
Dalam sapuan hujan

07 November 2007

Panggung

BANYAK penyair dan “calon penyair” memandang penting keberadaan sebuah panggung baca puisi. Mereka menganggap kesempatan membaca puisi di sebuah panggung yang “bergengsi” sebagai bagian dari “ritual wajib” untuk bisa dibaptis menjadi sastrawan. Kalau tak kunjung dapat undangan, sebagian dari mereka ada yang lalu membikin panggung baca puisi sendiri. Tujuannya jelas. Forum “tak resmi” itu diharapkan bisa membantu “lebih menghadirkan” keberadaan penyairnya.

Karena persepsi seperti itulah lantas sering terjadi hal-hal lucu. Begitulah pada zaman dahulu kala berkembang anggapan “keramat” bahwa seorang penyair belum sah disebut penyair kalau belum pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta, untuk membaca puisi di TIM. Sekarang agaknya berkembang penilaian yang mirip itu terhadap
Teater Utan Kayu (TUK).

Yang lucu, dari masa ke masa selalu saja muncul “barisan sakit hati” yang merasa diperlakukan “tidak adil”--tidak kunjung mendapat undangan padahal sudah merasa menjadi penyair yang “hebat”. Dari ketidakpuasan seperti itulah lalu lahir “genre” sastra gosip dan sastra caci-maki. Tapi, betul “maha pentingkah” keberadaan sebuah panggung baca puisi bagi seorang penyair?

Bulan ini (9 November 2007) TUK sebetulnya mengundang saya untuk membaca puisi, bersama sejumlah nama lain. Sungguh saya sangat menaruh respek pada undangan itu, tapi karena sebuah alasan yang sangat sekali pribadi, terpaksa saya menolak undangan yang mungkin banyak dinanti penyair lain itu. Pihak TUK, yang diwakili Sitok Srengenge, untunglah bisa menerima penolakan saya, sehingga di antara kami tidak mesti terjadi “pertumpahan kata”. Tempat
saya rupanya lalu digantikan oleh S Yoga, seorang penyair potensial dari Nganjuk.

Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, bahwa ketika memutuskan menolak undangan baca puisi itu, perasaan saya biasa saja. Artinya, saya tidak merasa sudah membuang sebuah peluang emas yang karenanya bakal merongrong keberadaan saya selaku penulis.

Kesempatan membaca puisi di TUK—jika kesempatan itu saya terima—pastilah akan membantu lebih mengenalkan karya saya ke publik yang (mungkin) lebih luas. Barangkali juga lewat forum itu bakal muncul celah atau peluang menerbitkan buku. Dilihat dari sini, mungkin memang ada sejumlah kesempatan yang sudah saya “sia-siakan”. Tapi saya kira, segalanya akhirnya terpulang pada saya juga.

Artinya, awet atau tidaknya kepenyairan saya itu, akhirnya sangat tergantung pada talenta dan kegigihan saya memperjuangkannya. Saya harus bertarung sendirian di sana, di batas angan dan pengalaman itu. Di sana, anda semua pun paham, tak ada yang bakal bisa membantu saya, atau sebaliknya menjegal saya. Tidak TUK. Tidak juga Saut Situmorang.

05 November 2007

Pertanyaan yang Mengganggu

Sungguh, bagi seorang pengarang, tak ada pertanyaan paling relevan kecuali : masih perlukah dirinya mencipta bila semua telah ada dan kebenaran sudah dirumuskan? (Gus tf Sakai, Pengarang dan Keberbagaian, Kompas 2 November 2007, rubrik Humaniora – Teroka)

Untunglah tidak ada jawaban tunggal atas pertanyaan ini. Kalau tak keliru, Goenawan Mohamad pernah ada menulis statemen berikut, “… tentu saja dalam demokratisasi itu yang penting bukanlah munculnya beberapa orang jenius, tetapi ramainya orang bergembira dalam proses penciptaan” (saya kutip luar kepala, mungkin tak persis, tapi esensi pesannya mudah-mudahan tak meleset).

01 November 2007

Lukisan Rumah

Rumah tak selamanya ramah,
akhirnya kau tahu itu. Ada di dalamnya
selusin aturan main, dan entah apa
lagi, yang suatu saat bisa kelihatan

konyol dan tak masuk akal samasekali.
Tapi gilanya, kau tak mungkin
bisa begitu saja membatalkannya,
atau menganggapnya saja tak pernah

ada, meskipun semua yang serba
muskil itu berlangsung dalam rumahmu
sendiri. Rumah juga tak selalu
nyaman, kau tahu juga itu akhirnya.

Ada boneka lucu yang tiap sebentar
merengek, ingin merebut sebagian
kecemasanmu. Belum lagi perempuan
bengis yang dahulu menawarimu

buah terkutuk itu. Keduanya adalah
perangkap manis yang kau pasangkan
sendiri pada sepasang tangan nasibmu.
Rumah, ternyata juga mirip penjara,

apa boleh buat. Semuanya lengkap di sini :
aturan-aturan ganjil, sipir kejam yang diam-
diam mencintaimu, lalu tawanan malang,
yang nahas terjebak dalam sel rindunya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...