https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

10 October 2014

Jalan Pedang Peminum Teh

- Hari Tua Tuan Sekhisusai



Telah kutanggalkan
Pedang dan baju zirah
Telah kulupakan
Musuh-musuh terkasih

Kukenakan kini
Mantel kabut
Kasut gunung dan
Kerudung langit

Kuisi soreku
Dengan minum teh
Memandang lepas cuaca
Gambaran jiwa

Berlama-lama di kebun
Itulah hiburanku lainnya
Menyiangi bebunga
Memurnikan hari

Kadang kutulis juga
Syair mengalir
Sebab di antara kemersik
Kutangkap bisik

Setempo tandang juga bertamu
Orang-orang muda kasar
Dari kota nun di bawah
Memaksakan tarung

Dengan sopan tapi
Kutampik undangan:
Kusuguhkan lembut teh
Di luas meja pendapa

Sering kutulis belaka
Surat sepucuk di antara kembang
Jika sungguh mereka
Petarung cermat

Mereka bakal dapati
Si Tua masih sehat afiat
Liat setajam dulu hari juga
Tapi telah kutanggalkan

Pedangku berkarat
Kini nyaman berkubur
Jauh di lubuk gegunung
Di antara kabut
 

06 October 2014

Jalan Pedang Bumi, Jalan Pedang Langit

- Musashi kontra Kojiro



Jika dua seteru unggu bertemu
Di mana saja mereka berjanji
Di pantai
              Funashima utara jam 8 pagi
Atau pantai mana pun juga

Kita hanya akan menampak
Sedikit saja gerak, percayalah
Tak peduli jam berapa mereka tarung akhirnya
Terang atau berangin cuacanya

Jika dua seteru unggul bertemu
Seorang dari mereka sekonyong saja rebah
Dan selagi tumbang
                            Tubuhnya pelahan
Kita saksikan mengapa seringainya jadi aneh

Buat sedetik yang baka ia mengira
Telah menangkan itu duel adu jiwa
Tapi sebab alpa dikenalnya lurus jalan langit
Leliku jalan bumi membawanya rubuh melintang

Penonton awam mana paham urusan begini
Pembaca biasa gagal
                 Mengurai inti pesan purba
Jika langit dan bumi luput berpaut
Jurusmu tuan
                       Jadi majal memagut tak lagi

01 October 2014

Jalan Pedang Tukang Tembikar



- Musashi di Bengkel Tembikar

Kini tandang ia
Bertakzim
          Pada tukang tembikar

Ingin ia saksikan
Dengan mata kepala sendiri
Tangan sakti bekerja
                            Melumat
Mengolah yang fana
Jadi punya tanda

Ia percaya
Bermain pedang
Mencipta tembikar
Sama membakar:
                   Jiwa larut
        Membubung
Dalam tamasya suwung

Bahwa yang inti
Bergantung pada
Seberapa rapuh, atau utuh
Rasamu yang kalut
Berpaut pada langit
Yang di atas
                    Mengambang
Dan bumi lata di bawah
Sabar mengiringi

Agar di antara keduanya
Tersedia lapang
                         Ruang
Bagi kilau jurusnu
Di bentang pagi

Maka
Pada sabar tukang tembikar
Tandang ia memohon
Secelah
             Pintu masuk

Pada itu ruang
Maha luas

07 September 2014

Simpang Waktu

Kadang terjadi yang seperti ini:
Sebuah sajak macet ketika dituliskan
Kata-kata terhenti di persimpangan sepi
Yang tanpa rambu apa pun juga

Tak ada petugas tergopoh datang menolongi
Pun malaikat bersayap kembar menebar sulapan
Hanya ada kau, sendirian, mondar-mandir sinting
Resah di antara baris yang batal nembus takdirnya sendiri

Kadang memang terjadi yang demikian
Lantas sekonyong saja kau putuskan: Pulang!
Atau kau pilih tetap di sana, bersabar menunggu--
Seperti di kota, kemacetan bisa saja berlangsung lama

Mungkin perlu beberapa musim lagi
Sebuah kisah terlepas mengurai, menemukan mulut
Kata-kata yang menyampaikannya pada dunia
Tapi saat ini, sepi menahannya di simpang waktu

02 September 2014

Tak Berjudul

Serigala punya liang,
Burung ada sarangnya,
Tapi kata-kata ini
Bahkan tak berjudul--

Tempatnya berpaut
Jika malam tambah larut.
Saya bahkan tak paham,
Dari stasiun mana gerangan

Pengembaraan dimulai:
Bukankah ia tumbuh seiring musim,
Mengembang bersama cuaca?
Kekal dalam peralihan--

Seraya dilintasinya batas-batas rawan
Kegembiraan dan kedukaan.
Tak ada kiranya ling yang cukup
Bagi kisahnya yang degup,

Malahan kini saya percaya,
Ia menampik perhentian,
Pelabuhan-pelabuhan singgahan.
Dalam sengit kecamuk penciptaan,

Keluasan tema hanya menyerenya
Pada kemungkinan yang paling jauh,
Kelam lurung-lurung bahasa,
Sanubari manusia.

24 August 2014

Pada Sebuah Sore

Sehirup teh, sejudul sajak
Dan sepotong sore yang belum bernama
Tapi katamu, kita tak memerlukannya samasekali
Nama-nama hanya membuat segalanya pecah, terbagi

Kemudian kita bersusah-payah menyatukannya kembali
Seraya tak percaya kebahagiaan adalah ihwal yang sederhana
Seperti menghirup teh, seperti membaca sajak
Pada sepotong sore yang alpa diberi nama

21 August 2014

Ingatan Pada Sebuah Sajak

Kata-kata dalam sajak itu, kuingat
Seperti curah hujan pada sebuah petang suram
Sewaktu pertama kali membacanya dulu
Terlihat juga kilat guruh dan isyarat badai di kejauhan
Aku nyaris tak kuasa melangkah lagi
Sebab kenangan demi kenangan sekonyong juga turun
Menutup baris-barisnya dengan semacam kebutaan
Terang-benderang yang yang menggiringku ke pinggir jurang

Aku mengira sajak itu bakal berujung
Pada keruntuhan atau semacam putus asa banal
Tapi hujan kemudian reda, angin pun surut
Petang yang membiru kemudian menjadi malam
Penuh cahaya listrik, gerimis yang masih saja turun
Di sana-sini membuat pemandangan jadi mitis mengiris
Kini bisa kulanjutkan lagi perjalanan yang tertunda
Sebuah kota yang kukenal, lanskap yang seimbang

Musim memang tak menjadi mudah, cuaca terus
Tumbuh dan kuyup, dan topan mengirimkan sinyalnya
Tak henti lewat mimpi yang tak utuh lagi perangainya
Tapi setidaknya ada sebuah kota yang kita kenal akrab
Pagi yang sediakala, langit yang seperti langit adanya, pintu
Yang membuka sewaktu segalanya jadi begitu memberat:
Mungkin sebuah sarang, barangkali sebuah sudut tersembunyi
Di mana seorang dari kita bisa duduk bersendiri
Menuliskan baris-baris remeh tak berarti ini

17 August 2014

Belajar Fotografi, Belajar Puisi

 


ANAK kami yang pertama, Frida Nathania (14), memilih fotografi sebagai pelajaran ekstra kurikulernya. Dalam hati saya bangga juga karena ia memilih sesuatu yang "tidak begitu biasa", seperti misalnya Voli atau sebangsanya, meskipun itu berarti kami harus rela merogoh kocek lagi untuk membelikannya kamera standar yang dipersyaratkan.

  Kemudian, karena saya kepingin menjadi orang tua yang "baek" dan barangkali juga terdorong oleh semacam "kesombongan tersembunyi", saya pun jadi terdorong menasehatinya meskipun saya bukan fotografer samasekali. Pertama sekali saya katakan padanya bahwa ada kesamaan esensi antara belajar fotografi dan belajar menyajak.

Baik penyair maupun pemotret, kata saya, berjuang mencuri kesempatan, mencoba mengekalkan momen yang sebentar, lalu menyimpannya agar menjadi lebih awet. Keduanya dihantui obsesi yang sama: bagaimana menghadirkan ruh yang disebut puisi ke dalam wadah masing-masing.

Kedua pekerjaan itu menuntut kejelian, kesabaran, dan tentu ketajaman sekaligus kejernihan intuisi. Obyek apa pun sah untuk digarap. Dalam fotografi, seperti juga dalam sastra, kata saya penuh keyakinan, soalnya bukan "apa", melainkan "bagaimana".


Saya melanjutkan, penyair dan pemotret membutuhkan juga teknik bahkan teori--intuisi saja pada akhirnya tak memadai. Kematangan teknik dan kedewasaan intuisi, kata saya, adalah "formula universal" yang nantinya bisa menghadirkan ruh puisi itu.

Tak ada batasan waktu dan tempat. Kesenian adalah kerja tak putus bagaimana menghadirkan puisi itu seutuhnya. Kesenian adalah ikhtiar tak kunjung henti bagaimana "membebaskan puisi" dari segala anasir yang tidak diperlukannya. Ketahuilah Nak, itu mungkin sebuah kerja yang seperti "sia-sia". Begitulah saya akhiri "pidato" saya disertai keyakinan pastilah dia agak kebingungan.

Di atas ini adalah hasil jepretanya. Ah, ia baru saja mulai belajar menyelaraskan "teknik" dan "intuisi"nya. Jalannya tentu masih teramat panjang.

13 August 2014

Ruang

Di dalam sajak pendek ini
Telah kusiapkan untukmu ruang
Aku tahu jauh dari nyaman
Kuharap tapi kau bakal terbiasa

Jendelanya sempit menyapa langit
Sejumlah nama dan kenangan lapuk
Teronggok begitu saja di sudut
Yang sudah jarang didatangi

Pintunya sejak dulu tak bisa dikunci
Sesiapa pun jadi bebas keluar dan masuk
Merdeka menaruh atau mencuri entah apa
Barangkali sepasang kasut, dan kisah butut?

Aku mohon maaf, sebab abai merancang hiasan
Padahal kau termat suka gambar dan bebunga
Tentulah enam dindingnya jadi lengang terasa
Sebab bayang waktu diam tak berpangkal

10 August 2014

Kota Ini

Kota ini tak ubahnya
Sebuah komidi putar besar
Kita terkurung di dalamnya:
Berputar dan tak sampai ke mana pun
Saling melambai (mungkin menyeru)
Dalam jarak yang pasti
Dan sedih yang tak terbagi

"Sebaiknya memang kita
Tak kelewat berharap
Pada yang lintas sekejab
Di antara jeda," seorang pernah berkata
Musim memang tak berjanji apa pun
Hanya ada sebuah siklus:
Jalinan kisah tak tersambung
Di antara mendung
Dan musim yang ganjil

Ah, kota ini sungguh
Sebuah komidi putar belaka
Kita terjebak di dalamnya, mungkin
Terkutuk, turunan lancung Sisifus?

07 August 2014

Tamat

Mati itu
Bagai kisah tamat
Bagai buku
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya:

Kosong
Halaman sesudahnya

Putih
Tak terbaca

05 August 2014

Usaha Mencatat Gerimis

- Menafsir Malna

Sebelum dituliskan ia masih sepenuhnya gerimis
Melayang merdeka tak beribu-bapak di udara tak bernama
Lantas lembut sempurna bisa kau rasakan mendarat ia
Di pusat kebun, atau pada pepuncak ubunmu

Sewaktu kau berkeras menuliskannya, menguncinya
Dalam kotak-kotak sempit yang kau sebut sajak, mati-matian ia
Memberontak, seakan menampik garis takdir yang begitu saja
Kau paksakan pada cair wujudnya tak bersilsilah

Sewaktu rampung dituliskan, atau begitulah kau menduganya
Terang kau pastikan tak tersisa lagi itu gerimis, tak ada juga kau
Yang riuh mencatatnya pada ini wadah sarat cacat--
Hanya ada sepi di ujung baris yang sekonyong buntu, gagu

02 August 2014

Sastra Bawah Tanah


DALAM pidatonya pada penganugerahan Hadiah Sastra Khatulistiwa ke-13 tahun lalu penyair Afrizal Malna antara lain menghaturkan ucapan "terima kasih" kepada toko-toko buku yang menolak menjual buku puisi.

Penolakan itu, menurutnya, justru telah "menyelamatkan" puisi menjadi satu-satunya produk aktivitas kita yang tidak bisa "ditekuk" oleh pasar.

Kalau semuanya diambil olah pasar, apalagikah yang masih tersisa buat kita, begitu dia bertanya retoris. 

Puisi Indonesia memang semakin menegaskan dirinya sebagai "produk bawah tanah". Buku-buku puisi pemenang KLA misalnya, dengan pengecualian pada satu-dua judul, tidak pernah bisa ditemukan di rak toko-toko buku. Ia harus belajar merasa puas (dan "tahu diri") dengan menjadi gunjingan sebentar segelintir orang yang tak jelas pula.

Statemen Afrizal Malna, bagi saya, terasa sebagai kegenitan atau "hiburan" yang miris.

(Untuk pidato Afrizal Malna itu sendiri sila menyimaknya di sini).

31 July 2014

Seorang Pekerja Merenungi Meja

Dunia ternyata hanya
Sebuah meja, pikirnya: empat persegi datar
Dengan jurang-jurang terjal
Curam pada ujung-ujungnya yang tak berperasaan

Tak banyak pilihan tersedia di atasnya:
Kertas-kertas yang sudah penuh
Sebelum ditulisi, layar monitor
Dengan sudut sepi yang tak menjanjikan

Kesempatan berbagi, ada memang
Langit, tapi sepotong dan palsu terasa
Selebihnya adalah gelas minum
Yang menjaga kekal hausmu, laci

Sempit yang tak menyimpan rahasia
Apa pun, lalu pesawat telpon yang diprogram
Dari sentral. Yah, apa boleh buat, simpulnya
Dunia ternyata hanya sebuah meja datar yang hambar

28 July 2014

Ketupat Lebaran

Ada masin peluh
Dan lembab air mata
Pada ketupat lebaran
Yang kau kirimkan barusan

"Jangan ragu menyantapnya"
Pesanmu tunggal sebelum pamitan
Tentu buru-buru saya menyanggupi
Lebaran barulah lengkap

Sehabis utuh kutangkap
Getir kisahmu sepenuh
Pada itu getas nasi rapat terpilin
Dalam jingga kuah duka mengundang

18 July 2014

Akhir Kata

Tersisih dari rerimbun jagat kamus
Ia melayang hampa sepanjang cuaca
Ngembara sengsara macam hantu celaka--
Kadang hinggap tak sengaja di ujung kalimat buntu

Ia tak ingin kelihatan hebat sebetulnya
Ia hanya kepingin sekadar hadir belaka
Tapi penyair itu kemudian mencoretnya juga
Menyebutnya jadah atau semacam itu

Kadang ia lelah dan jemu juga
Tapi telah ia niatkan bulat terus ngembara--
Mungkin masih akan ada kalimat rancu yang lain
Siapa tahu akan betah ia terjebak di situ

27 June 2014

Patung

Aku hanya akan memandangmu
Menjangkaumu lenganku tak sampai
Kau datang dari khazanah yang lain
Yang jauh, bahasamu luput kupahami
Jadi aku hanya akan memandangmu
Diam-diam, patung porselenku, mungkin dengan
Semacam kekaguman yang gagal kututupi
Setiap kali, tapi tak ada kata-kata yang perlu
kuumbar, tak ada yang musti kubuktikan padamu
Kepada sebuah patung

20 June 2014

Tinju

Kujotoskan kata-kataku
Kuarahkan ke liat tubuh sepi
Yang terus mengurung
Merongrongku dengan kekosongan

Dari cuaca ke cuaca. Ketahuilah
Pertarungan kami tak mengenal
Batas musim, tiada dentang
Lonceng yang menjaga aturan main

Seringainya yang hujan
Sosoknya yang malam
Kadang begitu saja lenyap dari pandangan
Luput dari tangkapan makna

Yang terus kujotoskan
Kulayangkan sepenuh keyakinan
Sungguh, ia sehampa bayangan
Tak terangkum dalam cengkram angan

10 June 2014

Lukisan Rumah



/1/
Akhirnya, kita sepakat membangun rumah
Sesudah penat
                       Mengimpikannya dalam sajak
Dalam benak berlumut
                            Rumah dengan dua pintu
Ke dalam dan ke luar, rumah dengan dua kamar
Dan sepasang liang kunci
                                           Kau dan aku

Kemudian kita jadi terlebih memahami rumah
Rumah ternyata menyimpan begitu banyak lubang
Begitu banyak kamar
                            Kita pun tak paham kapan
Kita bisa sampai di sana
                       Untuk sekadar rebah mati, atau
Lewat lorong dan pintu yang mana
                                     Sebaiknya masuk
Sebab rumah adalah labirin, laut, dan pada setiap kelok
Pojoknya menganga
               Palung-palung kelam bahasa  
/2/
Kita heran, siapa gerangan telah menaruh pisau
Dalam percakapan kita
                         Mengapa begitu banyak darah
Menetes di sela lunak kalimat-kalimat hijau
Yang dengan susah payah kita pahatkan
                      Pada dinding angin dan waktunya?
Kita percaya, kita datang dari debar yang sama:
Semenjak mula bumi hanya mengajar kita
           Bahasa santun pohonan
                                      Sedang akar-akar yang pendiam
Mewariskan kesabaran pada lengan kita malam
Itu sebabnya kita tak gampang tergoda

Tapi anak-anak yang dulu kita kandung
                             Dan terlahir dari rahim gosong musim
Menyadarkan kita 
               Bahwa cuaca telah berubah
Jadi kita pun kemudian belajar berhikmat
                       Pada lolong anjing dalam urat darah kita
Kita juga belajar menaruh sangsi
Pada kilau pagi dan nyanyian burung-burung
                 Yang terlantun dari mulut anak-anak itu
Sebab jika mereka berdendang
                              Kita dapati gemuruh
Topan pada wajah mereka cemas membiru
/3/
Akhirnya, kita pun memilih sunyi
                          Warisan bumi yang masih tinggal
Itulah cara kita
                Menyelamatkan yang masih bisa
Bayang-bayang kita
                        Yang bimbang kepayang
Akan saling menimbang
                   Dalam remang nilai

Tak usah ucapkan apa-apa lagi
Tak perlu juga menulis surat pada waktu
Lihat
          Gelap dan diam menuntun kita karam
     Pada bahasa dan amsal suci yang lain
Dulu konon tersurat dalam kitab
Tapi seorang yang mengaku ibu bapak kita
                             Diam-diam tanpa restu langit
Telah memotongnya pupus dari kenangan
Ketika cuaca memburuk
                            Dan hujan turun
Kita pun hanyut tersaruk tanpa alamat
Dalam benak yang hanya onak

Kini pelahan
                     Kita belajar percaya lagi
Hidup masih akan terus
               Tapi mari sisihkan dulu
Huruf-huruf yang telah menodai bumi
Lalu kita bangun lagi rumah baru
Silsilah dan nama-nama baru
                        Di sebilik miring tersisa ini
Di sebait sempit masih berdenyut ini
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...