https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

31 August 2009

Orang Asing

Kalau saja mereka orang asing
Kalau saja raut wajah mereka beda
Mata mereka menatap bercuriga
Hidung mereka mengendus tak sabaran
Dan mulut mereka, senyum mereka
Tak enak dilihat, mirip seringai
Anjing, kejam dan tiada belas kasih
Bahasa mereka terlebih lagi beda
Macam kawanan lebah menggerutu
Parau, kita tak paham impian mereka
Kita tak tahu apa saja diomongkan
Kalau saja mereka melawan berterang
Tapi tidak, mereka bukanlah orang asing
Mereka tinggal bersama di kampung ini
Mereka sopan, terpuji laku ibadah mereka
Kitab suci mereka serupa, hanya tak paham
Kita mereka membacanya bagaimana
Mungkin kilau pisau mereka sisipkan
Di antara rerimbun menyemak ayat putih
Mungkin benih malam juga mereka peram
Pada dalam maha rahasia kalam Al Khalik
Sorga macam apakah mereka angankan
Tuhan manakah mereka puji sembah
Dengan berdarah sepenuh hujah begitu
Mengapa kita rasa mereka jauh, mereka
Padahal bukanlah orang asing di sini
Bahasa mereka santun, tak macam igau
Kawanan burung hutan, dan mulut mereka
Suara mereka selayaknya semarak kidung
Dan pandang mata mereka adalah sendang
Teduh, tiada kita temukan lembing dan pedang
Tiada kita dapatkan alasan masuk akal mengapa
Menabas perang di ladang-ladang sendiri

28 August 2009

Wiji Thukul

Aku Wiji Thukul
Aku bukanlah peluru
Menyesal aku tak bisa
Menjadi peluru

Aku Wiji Thukul
Aku hanyalah ingatan
Yang dilukai waktu
Kuingin menyapamu, kawan

Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Sehat dan berkacamata
Apa kabarmu, kawan?

Jadi kini kau terlibat
Ikut main muslihat
Dengan kertas-kertas
Gaya retorika sekolahan?

Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Terhormat dan berkacamata
Kau tampak bahagia, kawan

Aku Wiji Thukul
Hanyalah separuh ingatan
Yang dikucilkan waktu
Kumau melambaimu, kawan

Dari garis depan
Jauh dari garis depan
(Yang tak tersebut dalam kata)
Wiji Thukul menantikan

26 August 2009

Nyawa Puisi

Nyawa Puisi

Aku hanya butuh sereguk kopi
Untuk menulis puisi katanya

Dan sekerat mimpi
Akan membuatnya berdaging
(Selain berjudul belaka)

Tapi membikin
Baris-baris ini menggeliat
Menggigil bernyawa

Mungkin perlu aku
Mati dulu sekali setidaknya--
Begitu ia bertanya-tanya sangsi


Tamsil

Pernah kudengar serupa tamsil begini
Konon penyair itu jenis mahluk paling celaka
Tersesat ia dalam kelam berliku guha jiwanya sendiri
Hanya demi beberapa kata bertuah disangkanya ada di sana

24 August 2009

Sisa Kata

Dengan sisa kata
Yang masih ada padanya
Ia bertanya
Kepada jendela
Kepada langit membuka
Di luarnya sana
Adakah dibenarkan masih
Jika tak sanggup lagi
Ia percaya
Bahkan kepada
Pertanyaan-pertanyaan
Yang dirancangnya sendiri
Jika misalnya
Ia menampik
Segala jawaban
Yang disodorkan langit
Tawaran lembut
Dibawakan angin
Lewat jendela membuka
Dengan sisa kata
Yang belum telanjur sirna
Bisakah kiranya
Ia terima?

21 August 2009

Kitab yang Buruk

Kitab yang Buruk

Kitab yang baik
Tak gampang ditamatkan
Pada halaman akhirnya
Selalu membuka lagi
Kisah baru mengalir

Hidup yang buruk
Seperti kitab yang buruk
Sudah tamat sebelum
Halaman akhirnya
Kau singkapkan

Mungkin hidupku
Sebuah kitab yang buruk
Bebuah separoh matang
Kisah-kisah setengah jadi
Di ruang yang tak lapang


Halaman Kesekian

Jangan aku kaucari
Meski memang aku ada
Pada halaman kesekian
Dengan sekian tanda kurung

Yang sepertinya luput
Disebutkan dalam indeks
Lewati saja halaman itu
Meski misalnya kau jumpa


Tamat

Mati itu tamat
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya

Kosong
Halaman
Sesudahnya

Mungkin
Takusah dibaca

19 August 2009

Sisa Malam

Ada
Sisa malam
Tertinggal
Dalam
Tas kerja
Terbawa
Tak sengaja
Bersama
Berkas berkas
Ke tempat
Kerja

Beberapa
Butir bintang
Tak hendak jua
Padam
Meski
Tengah hari
Membelalak
Sengit

Mereka
Bersikeras
Membentangkan
Mimpi

Mengitari
Mengingkari
Angka-angka
Nama-nama luka
Yang tertembus
Lembing jam

Berputar
Arah ke kanan
Setengah putaran
Sempurna
Mereka
Rampungkan

Tarian hari
Tanpa matahari

17 August 2009

Patung Penyair

Lihat penyair itu
Demikian takzim ia
Berjam-jam merunduk duduk
Macam patung terkutuk

Ia berjuang keras
Teramat amat keras
Untuk sebuah kata
Demi sekilas kilat terang

Dalam guha bahasa
Yang dimasukinya semula
Bagai tak sengaja, kini seakan
Permainan meminta nyawanya

14 August 2009

Perjalanan

Seperti biasa
Kita memilih diam
Menyerahkan perjalanan
Kepada sunyi

Kita percaya saja
Ia terlebih paham
Bagaimana mengurai jarak
Dalam sejumlah kelokan

Rambu-rambu cuaca
Di luar jendela
(Dan diri kita)
Tak berarti apa-apa

Kadang seseorang
Mencoba juga memecah
Kebuntuan dengan kata
Tapi ia yang duduk di depan

(Yang teramat paham
Menyatukan arah) menggeleng
Memohon agar tak seorang pun
Mengacau perjalanan

12 August 2009

Di Lapangan Parkir

Mobil-mobil ini
Mungkin serupa
Dengan majikannya
Mengilap dan kenes
Serta suka menatap kita
Dengan pandang meremehkan

Lihat coba bagaimana
Mereka bergaya
Di atas empat kakinya
Bangga pada statusnya
Pada merek dan pabrikan
Yang mencuci bersih otaknya
Jadi mesin upahan semata?

Mobil-mobil ini
Mungkin betul
Mirip majikannya
Gemar main bentak
Dengan klakson dan gas
Yang dibunyikan semaunya

10 August 2009

Melukis Laut

Bagaimana melukis laut
Dengan benar
Berapa banyak
(Kau tanyakan)
Ombak kata-kata
Kuperlukan
Guna menangkap
Memerangkap
Itu sunyi
Maha luas
Pada kanvas

Diamlah
Hati yang selalu meminta
Sepi tak bisa
Kau perangkap
Ke dalam lanskap

Pergi ke pantai
Berdiri dan saksikan
Bagaimana laut
Melukismu
Mengikismu
Jadi tinggal
Serpih buih
Memercik
Tak berdaya
Di pinggir tema
Yang kau goreskan

(Penyair
Yang mahir
Paham sungguh
Di mana berakhir
Kata kata)

07 August 2009

Rendra dalam Kenangan (1935-2009)




Kebun Belakang Rumah Tuan Suryo

Di tempat yang lama
aku teringat lagi
akan segala kesedihanku
yang telah lalu.
Di kebun rumah tetangga ini
di mana aku biasa bersembunyi
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Pohon-pohon di sini masih seperti dulu
cuma lebih tua, lebih akrab, dan tahu.
Pohon mangga, pohon nangka, dan pohon randu.
Di pokok menempel lumutan dan di dahan benalu.
Pagarnya bunga merak, bunga sepatu dan rumput perdu.
Semuanya masih ada di sini
dan sekarang dengan akrab
Kami berpandangan lagi.

Kepada pohonan di sini aku biasa berlari
dan dengan aman aku uraikan
segala duka yang aku rahasiakan
segala tangis yang kusembunyikan
dan bahkan kasmaran yang pertama.
Mereka tahu memegang rahasia
dan selalu sabar
memandang kelemahan.

Melihat tanah di sini yang kelabu
dan mendengar daun berisik di dahan-dahan
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Tapi menyenangkan juga dikenangkan
bahwa akhirnya satu demi satu
berpuluh kesedihan
telah terkalahkan.

(Dari Kumpulan Puisi “Sajak-Sajak Sepatu Tua”, penerbit Pustaka Jaya, 1978)

05 August 2009

Suara Anak-anak

Suara anak-anak di halaman
Murni seperti hujan
Seperti hujan tercurah
Di tanah kering berbatu

Di dalamnya kita dengar
Janji baik kehidupan
Dunia sebelum dilukai
Sengketa musim dan cuaca

Kini hidup adalah siasat
Kita pun main muslihat
Dengan topeng dan tipu
Terpasang pada muka

Dunia tinggal terbagi
Petak-petak sempit sajak
Tempat kawanan katak
Menguak memanggil hujan

Bisakah kita kembali
Menjelma hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Suara anak-anak di halaman

03 August 2009

Remang

Wajahku yang rata
Adalah samaran belaka
Warnaku yang abu-abu
Memang bisa menipu

Apa yang paling inti
Katakanlah, jantungku
Tinggal tersimpan, jauh
Di balik remang waktu

Yang datang padamu
Adalah lambang-lambang
Tanda-tanda yang bimbang
Yang sebentar menghilang
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...