Kalau saja mereka orang asing
Kalau saja raut wajah mereka beda
Mata mereka menatap bercuriga
Hidung mereka mengendus tak sabaran
Dan mulut mereka, senyum mereka
Tak enak dilihat, mirip seringai
Anjing, kejam dan tiada belas kasih
Bahasa mereka terlebih lagi beda
Macam kawanan lebah menggerutu
Parau, kita tak paham impian mereka
Kita tak tahu apa saja diomongkan
Kalau saja mereka melawan berterang
Tapi tidak, mereka bukanlah orang asing
Mereka tinggal bersama di kampung ini
Mereka sopan, terpuji laku ibadah mereka
Kitab suci mereka serupa, hanya tak paham
Kita mereka membacanya bagaimana
Mungkin kilau pisau mereka sisipkan
Di antara rerimbun menyemak ayat putih
Mungkin benih malam juga mereka peram
Pada dalam maha rahasia kalam Al Khalik
Sorga macam apakah mereka angankan
Tuhan manakah mereka puji sembah
Dengan berdarah sepenuh hujah begitu
Mengapa kita rasa mereka jauh, mereka
Padahal bukanlah orang asing di sini
Bahasa mereka santun, tak macam igau
Kawanan burung hutan, dan mulut mereka
Suara mereka selayaknya semarak kidung
Dan pandang mata mereka adalah sendang
Teduh, tiada kita temukan lembing dan pedang
Tiada kita dapatkan alasan masuk akal mengapa
Menabas perang di ladang-ladang sendiri
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
31 August 2009
28 August 2009
Wiji Thukul
Aku Wiji Thukul
Aku bukanlah peluru
Menyesal aku tak bisa
Menjadi peluru
Aku Wiji Thukul
Aku hanyalah ingatan
Yang dilukai waktu
Kuingin menyapamu, kawan
Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Sehat dan berkacamata
Apa kabarmu, kawan?
Jadi kini kau terlibat
Ikut main muslihat
Dengan kertas-kertas
Gaya retorika sekolahan?
Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Terhormat dan berkacamata
Kau tampak bahagia, kawan
Aku Wiji Thukul
Hanyalah separuh ingatan
Yang dikucilkan waktu
Kumau melambaimu, kawan
Dari garis depan
Jauh dari garis depan
(Yang tak tersebut dalam kata)
Wiji Thukul menantikan
Aku bukanlah peluru
Menyesal aku tak bisa
Menjadi peluru
Aku Wiji Thukul
Aku hanyalah ingatan
Yang dilukai waktu
Kuingin menyapamu, kawan
Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Sehat dan berkacamata
Apa kabarmu, kawan?
Jadi kini kau terlibat
Ikut main muslihat
Dengan kertas-kertas
Gaya retorika sekolahan?
Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Terhormat dan berkacamata
Kau tampak bahagia, kawan
Aku Wiji Thukul
Hanyalah separuh ingatan
Yang dikucilkan waktu
Kumau melambaimu, kawan
Dari garis depan
Jauh dari garis depan
(Yang tak tersebut dalam kata)
Wiji Thukul menantikan
26 August 2009
Nyawa Puisi
Nyawa Puisi
Aku hanya butuh sereguk kopi
Untuk menulis puisi katanya
Dan sekerat mimpi
Akan membuatnya berdaging
(Selain berjudul belaka)
Tapi membikin
Baris-baris ini menggeliat
Menggigil bernyawa
Mungkin perlu aku
Mati dulu sekali setidaknya--
Begitu ia bertanya-tanya sangsi
Tamsil
Pernah kudengar serupa tamsil begini
Konon penyair itu jenis mahluk paling celaka
Tersesat ia dalam kelam berliku guha jiwanya sendiri
Hanya demi beberapa kata bertuah disangkanya ada di sana
Aku hanya butuh sereguk kopi
Untuk menulis puisi katanya
Dan sekerat mimpi
Akan membuatnya berdaging
(Selain berjudul belaka)
Tapi membikin
Baris-baris ini menggeliat
Menggigil bernyawa
Mungkin perlu aku
Mati dulu sekali setidaknya--
Begitu ia bertanya-tanya sangsi
Tamsil
Pernah kudengar serupa tamsil begini
Konon penyair itu jenis mahluk paling celaka
Tersesat ia dalam kelam berliku guha jiwanya sendiri
Hanya demi beberapa kata bertuah disangkanya ada di sana
24 August 2009
Sisa Kata
Dengan sisa kata
Yang masih ada padanya
Ia bertanya
Kepada jendela
Kepada langit membuka
Di luarnya sana
Adakah dibenarkan masih
Jika tak sanggup lagi
Ia percaya
Bahkan kepada
Pertanyaan-pertanyaan
Yang dirancangnya sendiri
Jika misalnya
Ia menampik
Segala jawaban
Yang disodorkan langit
Tawaran lembut
Dibawakan angin
Lewat jendela membuka
Dengan sisa kata
Yang belum telanjur sirna
Bisakah kiranya
Ia terima?
Yang masih ada padanya
Ia bertanya
Kepada jendela
Kepada langit membuka
Di luarnya sana
Adakah dibenarkan masih
Jika tak sanggup lagi
Ia percaya
Bahkan kepada
Pertanyaan-pertanyaan
Yang dirancangnya sendiri
Jika misalnya
Ia menampik
Segala jawaban
Yang disodorkan langit
Tawaran lembut
Dibawakan angin
Lewat jendela membuka
Dengan sisa kata
Yang belum telanjur sirna
Bisakah kiranya
Ia terima?
21 August 2009
Kitab yang Buruk
Kitab yang Buruk
Kitab yang baik
Tak gampang ditamatkan
Pada halaman akhirnya
Selalu membuka lagi
Kisah baru mengalir
Hidup yang buruk
Seperti kitab yang buruk
Sudah tamat sebelum
Halaman akhirnya
Kau singkapkan
Mungkin hidupku
Sebuah kitab yang buruk
Bebuah separoh matang
Kisah-kisah setengah jadi
Di ruang yang tak lapang
Halaman Kesekian
Jangan aku kaucari
Meski memang aku ada
Pada halaman kesekian
Dengan sekian tanda kurung
Yang sepertinya luput
Disebutkan dalam indeks
Lewati saja halaman itu
Meski misalnya kau jumpa
Tamat
Mati itu tamat
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya
Kosong
Halaman
Sesudahnya
Mungkin
Takusah dibaca
Kitab yang baik
Tak gampang ditamatkan
Pada halaman akhirnya
Selalu membuka lagi
Kisah baru mengalir
Hidup yang buruk
Seperti kitab yang buruk
Sudah tamat sebelum
Halaman akhirnya
Kau singkapkan
Mungkin hidupku
Sebuah kitab yang buruk
Bebuah separoh matang
Kisah-kisah setengah jadi
Di ruang yang tak lapang
Halaman Kesekian
Jangan aku kaucari
Meski memang aku ada
Pada halaman kesekian
Dengan sekian tanda kurung
Yang sepertinya luput
Disebutkan dalam indeks
Lewati saja halaman itu
Meski misalnya kau jumpa
Tamat
Mati itu tamat
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya
Kosong
Halaman
Sesudahnya
Mungkin
Takusah dibaca
19 August 2009
Sisa Malam
Ada
Sisa malam
Tertinggal
Dalam
Tas kerja
Terbawa
Tak sengaja
Bersama
Berkas berkas
Ke tempat
Kerja
Beberapa
Butir bintang
Tak hendak jua
Padam
Meski
Tengah hari
Membelalak
Sengit
Mereka
Bersikeras
Membentangkan
Mimpi
Mengitari
Mengingkari
Angka-angka
Nama-nama luka
Yang tertembus
Lembing jam
Berputar
Arah ke kanan
Setengah putaran
Sempurna
Mereka
Rampungkan
Tarian hari
Tanpa matahari
Sisa malam
Tertinggal
Dalam
Tas kerja
Terbawa
Tak sengaja
Bersama
Berkas berkas
Ke tempat
Kerja
Beberapa
Butir bintang
Tak hendak jua
Padam
Meski
Tengah hari
Membelalak
Sengit
Mereka
Bersikeras
Membentangkan
Mimpi
Mengitari
Mengingkari
Angka-angka
Nama-nama luka
Yang tertembus
Lembing jam
Berputar
Arah ke kanan
Setengah putaran
Sempurna
Mereka
Rampungkan
Tarian hari
Tanpa matahari
17 August 2009
Patung Penyair
Lihat penyair itu
Demikian takzim ia
Berjam-jam merunduk duduk
Macam patung terkutuk
Ia berjuang keras
Teramat amat keras
Untuk sebuah kata
Demi sekilas kilat terang
Dalam guha bahasa
Yang dimasukinya semula
Bagai tak sengaja, kini seakan
Permainan meminta nyawanya
Demikian takzim ia
Berjam-jam merunduk duduk
Macam patung terkutuk
Ia berjuang keras
Teramat amat keras
Untuk sebuah kata
Demi sekilas kilat terang
Dalam guha bahasa
Yang dimasukinya semula
Bagai tak sengaja, kini seakan
Permainan meminta nyawanya
14 August 2009
Perjalanan
Seperti biasa
Kita memilih diam
Menyerahkan perjalanan
Kepada sunyi
Kita percaya saja
Ia terlebih paham
Bagaimana mengurai jarak
Dalam sejumlah kelokan
Rambu-rambu cuaca
Di luar jendela
(Dan diri kita)
Tak berarti apa-apa
Kadang seseorang
Mencoba juga memecah
Kebuntuan dengan kata
Tapi ia yang duduk di depan
(Yang teramat paham
Menyatukan arah) menggeleng
Memohon agar tak seorang pun
Mengacau perjalanan
Kita memilih diam
Menyerahkan perjalanan
Kepada sunyi
Kita percaya saja
Ia terlebih paham
Bagaimana mengurai jarak
Dalam sejumlah kelokan
Rambu-rambu cuaca
Di luar jendela
(Dan diri kita)
Tak berarti apa-apa
Kadang seseorang
Mencoba juga memecah
Kebuntuan dengan kata
Tapi ia yang duduk di depan
(Yang teramat paham
Menyatukan arah) menggeleng
Memohon agar tak seorang pun
Mengacau perjalanan
12 August 2009
Di Lapangan Parkir
Mobil-mobil ini
Mungkin serupa
Dengan majikannya
Mengilap dan kenes
Serta suka menatap kita
Dengan pandang meremehkan
Lihat coba bagaimana
Mereka bergaya
Di atas empat kakinya
Bangga pada statusnya
Pada merek dan pabrikan
Yang mencuci bersih otaknya
Jadi mesin upahan semata?
Mobil-mobil ini
Mungkin betul
Mirip majikannya
Gemar main bentak
Dengan klakson dan gas
Yang dibunyikan semaunya
Mungkin serupa
Dengan majikannya
Mengilap dan kenes
Serta suka menatap kita
Dengan pandang meremehkan
Lihat coba bagaimana
Mereka bergaya
Di atas empat kakinya
Bangga pada statusnya
Pada merek dan pabrikan
Yang mencuci bersih otaknya
Jadi mesin upahan semata?
Mobil-mobil ini
Mungkin betul
Mirip majikannya
Gemar main bentak
Dengan klakson dan gas
Yang dibunyikan semaunya
10 August 2009
Melukis Laut
Bagaimana melukis laut
Dengan benar
Berapa banyak
(Kau tanyakan)
Ombak kata-kata
Kuperlukan
Guna menangkap
Memerangkap
Itu sunyi
Maha luas
Pada kanvas
Diamlah
Hati yang selalu meminta
Sepi tak bisa
Kau perangkap
Ke dalam lanskap
Pergi ke pantai
Berdiri dan saksikan
Bagaimana laut
Melukismu
Mengikismu
Jadi tinggal
Serpih buih
Memercik
Tak berdaya
Di pinggir tema
Yang kau goreskan
(Penyair
Yang mahir
Paham sungguh
Di mana berakhir
Kata kata)
Dengan benar
Berapa banyak
(Kau tanyakan)
Ombak kata-kata
Kuperlukan
Guna menangkap
Memerangkap
Itu sunyi
Maha luas
Pada kanvas
Diamlah
Hati yang selalu meminta
Sepi tak bisa
Kau perangkap
Ke dalam lanskap
Pergi ke pantai
Berdiri dan saksikan
Bagaimana laut
Melukismu
Mengikismu
Jadi tinggal
Serpih buih
Memercik
Tak berdaya
Di pinggir tema
Yang kau goreskan
(Penyair
Yang mahir
Paham sungguh
Di mana berakhir
Kata kata)
07 August 2009
Rendra dalam Kenangan (1935-2009)
Kebun Belakang Rumah Tuan Suryo
Di tempat yang lama
aku teringat lagi
akan segala kesedihanku
yang telah lalu.
Di kebun rumah tetangga ini
di mana aku biasa bersembunyi
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Pohon-pohon di sini masih seperti dulu
cuma lebih tua, lebih akrab, dan tahu.
Pohon mangga, pohon nangka, dan pohon randu.
Di pokok menempel lumutan dan di dahan benalu.
Pagarnya bunga merak, bunga sepatu dan rumput perdu.
Semuanya masih ada di sini
dan sekarang dengan akrab
Kami berpandangan lagi.
Kepada pohonan di sini aku biasa berlari
dan dengan aman aku uraikan
segala duka yang aku rahasiakan
segala tangis yang kusembunyikan
dan bahkan kasmaran yang pertama.
Mereka tahu memegang rahasia
dan selalu sabar
memandang kelemahan.
Melihat tanah di sini yang kelabu
dan mendengar daun berisik di dahan-dahan
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Tapi menyenangkan juga dikenangkan
bahwa akhirnya satu demi satu
berpuluh kesedihan
telah terkalahkan.
(Dari Kumpulan Puisi “Sajak-Sajak Sepatu Tua”, penerbit Pustaka Jaya, 1978)
05 August 2009
Suara Anak-anak
Suara anak-anak di halaman
Murni seperti hujan
Seperti hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Di dalamnya kita dengar
Janji baik kehidupan
Dunia sebelum dilukai
Sengketa musim dan cuaca
Kini hidup adalah siasat
Kita pun main muslihat
Dengan topeng dan tipu
Terpasang pada muka
Dunia tinggal terbagi
Petak-petak sempit sajak
Tempat kawanan katak
Menguak memanggil hujan
Bisakah kita kembali
Menjelma hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Suara anak-anak di halaman
Murni seperti hujan
Seperti hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Di dalamnya kita dengar
Janji baik kehidupan
Dunia sebelum dilukai
Sengketa musim dan cuaca
Kini hidup adalah siasat
Kita pun main muslihat
Dengan topeng dan tipu
Terpasang pada muka
Dunia tinggal terbagi
Petak-petak sempit sajak
Tempat kawanan katak
Menguak memanggil hujan
Bisakah kita kembali
Menjelma hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Suara anak-anak di halaman
03 August 2009
Remang
Wajahku yang rata
Adalah samaran belaka
Warnaku yang abu-abu
Memang bisa menipu
Apa yang paling inti
Katakanlah, jantungku
Tinggal tersimpan, jauh
Di balik remang waktu
Yang datang padamu
Adalah lambang-lambang
Tanda-tanda yang bimbang
Yang sebentar menghilang
Adalah samaran belaka
Warnaku yang abu-abu
Memang bisa menipu
Apa yang paling inti
Katakanlah, jantungku
Tinggal tersimpan, jauh
Di balik remang waktu
Yang datang padamu
Adalah lambang-lambang
Tanda-tanda yang bimbang
Yang sebentar menghilang
Subscribe to:
Posts (Atom)