https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

16 April 2010

Seperti Jagal

Seperti jagal
Dingin dan tangkas
Ditunjukkanya betapa
Dengan sedikit kata
Dan ketajaman rasa
Yang terjaga baik
Samasekali tak sukar
Menguliti sunyi
Yang membungkus
Daging cemas
Lantas membelahnya
Atau memotongnya
Jadi beberapa
Irisan syair

Atau mengoyaknya
Dengan torehan kasar
Melintang dari atas
Lurus ke bawah
Supaya tercipta liang
Nganga terbuka
Jelas membayang
Yang terperam
Adalah jantung lebam
Lunglai jeroan

Seperti jagal
Dingin lagi cermat
Dibuktikannya bahwa
Dengan kemauan besar
Dan sedikit ketabahan
Samasekali tak sukar
Menariknya paksa
Terpisah dari takdir
Kebisuan yang semusim
Menyekapnya

04 April 2010

Sajak Juru Masak

: Ags. Arya Dipayana

Kau tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat

Kau buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu, lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan

Tapi kau tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kuah waktu yang telah mendidih
Dengan carut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju

Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar kisah dan jalannya

Kau ingatkan bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas, utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan

01 April 2010

Dongeng dari Depok

: SDD

/1/
Lelah berjalan jauh
menyambangi kota-kota dan
benua bising ia putuskan akhirnya
tinggal menetap di pojok
sebuah metropolis yang masih
ada menyisakan sunyi untuk
seorang orang tua yang menganggur
seperti dirinya. Ia mengajak juga
bergabung ke rumahnya dekat senja itu
kerabat angin, kabut, pun gerimis
dan hujan. Mereka dikenalnya
dulu dalam kembaranya panjang
dan senyap ke alamat-alamat
rimba-raya aksara.

Inilah gaya hidup yang
sedari muda sudah diimpi-impikannya
sepenuh hasrat.

/2/
Tetangga-tetangga dekatnya
sering mendengar ia bercakap-cakap
dan bernyanyi-nyanyi dengan sepi
sampai jauh larut malam bahkan
kadang mendekat pada pagi.
Sahabat-sahabatnya angin dan rinai
gerimis membikin malam jadi semakin
ngelangut. Sesekali hujan turun
dengan dahsyatnya menimpali
perhelatan kudus itu dengan
bunyi-bunyian purba yang segera
saja mengingatkannya kembali pada
kidung putih yang kerap didengarnya
di masa-masa kanaknya dulu.

/3/
Pernah juga, tapi tak sering,
kedengaran ia bertengkar sengit
dengan sepi. Mungkin karena sesama
sepi ternyata juga banyak maunya
dan agak susah diaturnya,
atau semacam itulah.

Dan biasanya sehabis
pecah pertengkaran seperti itu
rumahnya yang memang
sudah sunyi jadi terlebih sepi
pula, jadi seperti tambah menjorok
menjauh ke lubuk kelam.
Tetangga-tetangganya yang
curiga pernah sangaja berindap-indap
mencoba mendekat kepingin
sekadar memastikan, mengetuk
dan menyeru-nyeru : “Tuan, tuan”,
panggil mereka separuh cemas, “Tuan
masih ada, bukan?” dan dari dalam
rumah itu lantas saja terdengar
sahutan (jengkel sepertinya sebab
terusik) : “Sebentar, saya sedang keluar!”

/4/
Semenjak insiden itu
tetangga-tetangganya tak pernah
berani dan mau mengusiknya pula.
Mereka paham dan kini percaya
bahwa ia memang sudah tak
ada lagi. Ia telah terbebas merdeka
dari samsara kata. Telah purna aksara.
Ah, ia telah mencapai puisi. Moksa.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...