https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 October 2007

Di Depan Sebuah Lukisan

Gunung-gunung dan langit tak berubah
Mereka tetap seperti dahulu kala : menunggu setia
Kitalah yang tak pernah bisa menepati janji
Berputar-putar, akhirnya lenyap dalam bahasa

25 October 2007

Setiap Kata

Setiap huruf
Punya harga
Setiap bunyi
Punya arti

Setiap kata
Adalah taruhan


Setiap baris
Bahkan desis
Adalah seru
Lambai padamu

Setiap judul
Adalah jejak
Selangkah
Lebih dekat

Setiap sajak
Adalah teriak


Sekarat
Kerapuhan
Yang menolak
Tumbang

21 October 2007

Bab Perpiahan

Setelah kau pergi
Hidup jadi remeh dan tak berarti
Musim hanya lewat, angin melengos bisu
Kota tak menyapa, dan aku kembali
Jadi robot yang tak berpikir

Setelah kau pergi
Aku mengerti sakitnya ditinggal
Berdiri sunyi di persimpangan ini
Kulihat waktu melindasku
Dan cuaca bagai mengejekku

Setelah kau betul pergi
Dunia kembali jadi ancaman
Sedang aku tak punya lagi apa pun :
Sekadar nama buat kubanggakan
Atau alamat tempat singgah

17 October 2007

Tiada Lawan Selain Waktu

TAHUKAH Anda bahwa lawan yang terutama harus dihadapi seorang penulis bukanlah para kritikus yang suka asal bantai, atau para redaktur kolom sastra di koran yang sering diganyang dari belakang, dan dituduh telah “memacetkan” perkembangan kesusasteraan. Bukan juga para editor penerbitan yang diam-diam bertindak sebagai “tuhan” atas karya-karya yang ditawarkan pada mereka. Bukan. Bukan. Bukan. Lawan terberat seorang penulis adalah waktu.

Pernah ada “sindiran” bahwa umur kreatif sastrawan Indonesia mencapai puncaknya pada saat sastrawannya berumur 20 atau 30-an, dan sesudahnya mulai meredup, lalu pada usia 40 semakin suram, untuk akhirnya “mati” pada umur 50. Tapi sinyalemen itu ternyatalah tidak sepenuhnya benar. Sitor Situmorang, umpamanya, masih menulis sampai saat ini. Dan jangan dilupakan Goenawan Mohamad, yang tambah tua tampaknya makin menjadi.

Tapi di sisi lain memang ada cukup contoh yang membuktikan kebenaran omongan itu. Eka Budianta, seorang penyair cukup ternama, sepertinya cocok sekali dengan gambaran pendeknya umur kreatif itu. Eka Budianta—bersama sejumlah nama “besar” lain, sebutlah si kembar Yudhis dan Noorca—berguguran, atau setidaknya menunjukkan penurunan kualitas karya sewaktu memasuki umur pertengahan.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa Sitor dan Goenawan bisa awet, sedang Yudhis cs begitu cepat kehabisan bensin? Kita mungkin akan menyebut hal-hal seperti kesibukan kerja, dan perubahan kondisi hidup ke arah kemapanan finansial sebagai faktor penyebab kendurnya spirit kreatif itu. Marilah kita lihat sejauh mana pendapat itu benar, atau salah.

Sitor mungkin betul bukan figur “sibuk”, sehingga ia beruntung bisa memanfaatkan situasi “nganggur”nya untuk tetap menulis. Tapi Goenawan Mohamad kita tahu adalah seorang yang super sibuk, tapi tetap bisa menjaga “iman” puisinya. Dan kalau bicara kemapanan finansial, kurang mapan dan makmur bagaimana lagi beliau? Toh semua itu tak mengguyahkan gairahnya untuk terus menulis.

Ada istilah “passionate blogger’, untuk menyebut para blogger yang terus dengan bergairah ngeblog tanpa peduli apakah ada orang yang membaca atau mengomentari tulisannya. Mereka terus ngeblog, karena dasarnya memang mencintai kerja ngeblog itu. Cinta jugalah agaknya yang terus memompa Sitor, Goenawan (juga Sapardi) untuk terus menulis puisi. Dan, cinta jugalah agaknya yang sanggup menaklukkan waktu.

11 October 2007

Jalan Kembali

Aku sekedar pengulangan
dari yang pernah ada, dan akan kembali
ada. Bukankah begitu? Hidupku
tak lebih jelek jadinya
dibanding lainnya. Sekian luka
menusuk tahun-tahun kosong umurku.
Sekian mimpi melambai perih
di ruang-ruang sunyi. Kecewa dan putus asa ini
pasti juga menjerat yang lain. Hidupku
tak jadi lebih beruntung. Semua
hanya pengulangan. Sekian kehilangan
merampokku, sekian tanda kehormatan
menodai tujuan dan makna hidupku
yang di balik bayang-bayang
tumbuh mengembang. Merentang
serupa maut menghadang
di jalan rembang. Bukankah betul –
aku sekedar mengulangi lagi yang dulu
pernah juga menderamu?

08 October 2007

Tak Ada Cerita

Tak ada teori
Bagaimana menulis puisi

Tapi begini saja
Menulis puisi barangkali
Sama dengan kencing
Atau mirip berak

Artinya
Kapan saja
Di mana saja
Kalau sudah saatnya
Kau pun terbirit mencari jamban

Dalam jongkok nikmat
Rasakan itu kelegaan
Saat kata-kata bagai tahi
Meluberi jambanmu

Jika penjelasan ini
Jauh dari memadai
Malah terkesan asal
Haraplah bersabar
Dan mohon dimaafkan

Sebab memang
Tak pernah ada cerita
Bagaimana keindahan tercipta

03 October 2007

Sastra Gosip

GOSIP memang bukan monopoli kelompok seleb tertentu saja. Kelompok yang menyebut dirinya sastrawan pun ternyata meminatinya. Bedanya, kalau gosip di kalangan seleb biasanya muncul dalam beragam gaya dan tema, maka gosip di kubu sastrawan, tema dan gayanya dari dulu itu ke itu saja. Polanya selalu berulang. Ini agak menyedihkan tentu, karena untuk sekedar bergosip pun sastrawan kita sepertinya miskin kreasi.

Kalau hari-hari ini Komunitas Utan Kayu (selanjutnya KUK) atau Teater Utan Kayu (seterusnya TUK) kebanjiran caci-maki dari sekelompok sastrawan yang terang-terangan menyebut diri sebagai“Anti KUK”, maka ingatlah bahwa itu semua hanya pengulangan dari cerita lama.

Kalau sekarang yang jadi sasaran tembak adalah KUK, maka dulu kelompok yang kebagian hujat an itu bernama Majalah Sastra Horison, dan TIM dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Inti ceritanya pun masih sama. Ada sejumlah nama yang merasa “tidak puas” pada kelompok sastrawan lain yang mereka tuduh sudah berlaku “tidak adil” karena hanya mengakomodir karya-karya penulis yang dianggap senafas ideologinya.

Dasar keberatan seperti ini sungguh mengherankan—dan terasa kekanakan. Sebab bukankah wajar dan sah saja apabila seorang redaktur, atau sebuah tim redaksi, atau sebuah kelompok seni, menetapkan sebuah standar nilai baginya dan dengan konsisten lalu membentenginya dari segala “rongrongan” nilai lain yang tidak sepaham—sebagaimana kelompok “Anti KUK” pun dengan ngotot melakoninya? Artinya wajar dan sah saja kalau Jurnal Kalam, umpamanya, menerapkan aturan yang berbeda dengan Majalah Horison, sebagaimana Majalah Bobo pun berbeda hembus auranya dengan majalah Mombi, dan seterusnya.

Dengan logika seterang benderang begini maka “sastra gosip” sebetulnya tak perlu ada. Kecuali bagi mereka yang merasa betul-betul sudah mentok berkarya, lantas mereka yakin bahwa sejumlah manuver “aneh” karenanya perlu dilakukan guna memaksa orang banyak berpaling padanya. Adakah kelompok “Anti KUK” termasuk kategori sastrawan seperti ini?

Mohon dicatat, sejumlah nama yang dulu pernah terlibat dalam Pengadilan Puisi 1977—sebuah manuver “aneh” yang dilakukan untuk menggoyang Majalah Horison—akhirnya dikenal bukan karena peristiwa Pengadilan Puisinya sendiri, tapi karena karya-karya mereka memang terbukti layak dikenang. Mereka itu antara lain Sutarji Calzoum Bachri, Abdul hadi WM, Darmanto Yatman, Sides Sudyarto DS, dan sejumlah nama beken lainnya.

Kini baiklah kita menunggu, adakah kelompok sastrawan “Anti KUK” akan bisa meninggalkan juga jejak-jejak karya yang memang layak dikenang—di luar aksi-aksi non literer mereka yang memang musti dikatakan jauh dari kaidah estetika—dan etika--itu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...