Untunglah tidak semua
Yang melintas gila di angan
Lantas terukir juga
Di jidat sebelah depan ini
Untunglah lidah tak bertulang
Bersama bibir terkulum
Paham caranya menyimpan
Rapat pada mulut sepi terkunci
Rahasia busuk keji
Mengiang masuk di kuping
Sebelah kanan tak mungkin
Kau cegah dengan tangan
Tak bisa kau tahan dengan
Dua puluh jemari pembenaran
Untunglah tapi kaki sepasang
Melangkah tak pasti
Ke mana arah yang dituju
Bergantung juga pada yang lintas
Seram dalam hutan angan
Meski hidung tak bisa
Berhenti mengendus anyir sungguh
Darah yang tersibak di semak
Tangan tak bebas leluasa
Membuka yang sembunyi
Dalam jejari berjumlah sepuluh
Kisah tak bakal lengkap sepenuh
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
27 November 2011
09 November 2011
Jepun Bali
Sepulang nanti ke kotamu
Ke rumah asalmu, bersama
Istri dan anak-anak tersayang
Janganlah terlalu lekas
Melupakan saya begitu saja
Ingatlah malam-malam putih
Yang kita seberangi bersama
Kuingat, kau tidur teramat pulas
Sehabis menuntas waktu
Yang lama terganjal rindu
Di atas lunak kasur dan temaram
Lelampu taman yang menyeret karam
Bumi, aku tak tega membangunkan
Kumatikan maka setelan alarm jam
Supaya kau bisa terus terpejam
Hingga menembus ambang
Paling kelam
Aku tahu, cepat atau sebentar
Kau akan melupakan juga saya
Tenggelam dalam kebanalan kerja
Sehari-hari, sepulang nanti ke Jakarta
Dua jam kurang perjalanan dari sini
Dengan penerbangan yang biasa
Saya hanya berharap, semoga
Tak semua hal tentang saya terlupa
Begitu saja, ingatlah misalnya lukisan
Kembang jepun di senyap dinding kamar:
Lukisan itu biasa & pasaran belaka kutahu
Seperti katamu juga, tapi bukan itu soalnya
Soalnya pada gegurat garis dan warnanya
Kini telanjur terbawa kisah kita
Berdua, terpapar pada ini latarnya
Juga meja kecil, di sebelah ranjang
Di atasnya, ketika itu kau letakkan sembarang:
Dompetmu, kaca mata, uang receh, kitab doa
Yang sengaja kau bawa dari rumah
Guna mengawal liburanmu pendek sayang
Dari kerumun roh dan jin tanah Bali
Yakinlah, pintu kamar ini
Terbuka kini senantiasa, guna kau masuki
Kembali kapan juga, seakan kenangan tak rela surut
Tulislah sajak jika sempat
Sepulangmu nanti
Agar cerita kita awet tersimpan lama
Terlindung dari hembusan cuaca
Ekstrem belakangan ini
Ke rumah asalmu, bersama
Istri dan anak-anak tersayang
Janganlah terlalu lekas
Melupakan saya begitu saja
Ingatlah malam-malam putih
Yang kita seberangi bersama
Kuingat, kau tidur teramat pulas
Sehabis menuntas waktu
Yang lama terganjal rindu
Di atas lunak kasur dan temaram
Lelampu taman yang menyeret karam
Bumi, aku tak tega membangunkan
Kumatikan maka setelan alarm jam
Supaya kau bisa terus terpejam
Hingga menembus ambang
Paling kelam
Aku tahu, cepat atau sebentar
Kau akan melupakan juga saya
Tenggelam dalam kebanalan kerja
Sehari-hari, sepulang nanti ke Jakarta
Dua jam kurang perjalanan dari sini
Dengan penerbangan yang biasa
Saya hanya berharap, semoga
Tak semua hal tentang saya terlupa
Begitu saja, ingatlah misalnya lukisan
Kembang jepun di senyap dinding kamar:
Lukisan itu biasa & pasaran belaka kutahu
Seperti katamu juga, tapi bukan itu soalnya
Soalnya pada gegurat garis dan warnanya
Kini telanjur terbawa kisah kita
Berdua, terpapar pada ini latarnya
Juga meja kecil, di sebelah ranjang
Di atasnya, ketika itu kau letakkan sembarang:
Dompetmu, kaca mata, uang receh, kitab doa
Yang sengaja kau bawa dari rumah
Guna mengawal liburanmu pendek sayang
Dari kerumun roh dan jin tanah Bali
Yakinlah, pintu kamar ini
Terbuka kini senantiasa, guna kau masuki
Kembali kapan juga, seakan kenangan tak rela surut
Tulislah sajak jika sempat
Sepulangmu nanti
Agar cerita kita awet tersimpan lama
Terlindung dari hembusan cuaca
Ekstrem belakangan ini
01 November 2011
Pulau Miring
: Mardi Luhung
Dalam sajakmu, mengapa kurasa langit berat, menekan
Meski hujan tak mengancam samasekali, orang-orang
Yang sepertinya tak bahagia, tapi juga tak berduka
Mendiami kampung gersang, gersang yang gelisah tak ramah
Mereka punya matahari yang berwarna ungu
Sepanjang tahun, meski siang telah mengirimkan
Gelombang pasangnya ke jalan-jalannya lengang kurasa
Dengan angin kering yang usil menubruki dinding
Karena ini kota pantai, mereka coba menjelaskan:
Kami pun dekat dengan laut, mengenal maut seperti
Memahami tetangga sebelah kami,yang bisa saja
Sekonyong datang berkunjung larut malam, menjenguk
Mengingatkan kami pada sebuah kenduri purba
Maka, di pantai yang selamanya senyap
Orang-orang bermata cekung kadang bertemu, menetapi janji
Membagi-bagikan ciuman kelabu pada mulut pasir
Sebelum mereka santap beramai hidangan surga itu:
Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan
Mereka akan pulang sesudah puas menumpahkan sisa muntahan
Di gili-gili seram pulau cantik, pulau cantik yang menangis
Orang-orang yang sepertinya sulit berbahagia ini
(Kuduga sebagian bermata ganjil, sebagiannya bertanduk.
Tanduk keling yang menancap pada pelipisnya tipis memar):
Dengan apa kusapa, jika berpapasan kami di jalan pulang?
Tapi kudengar mereka memang anonim, tak paham silsilah
Tinggal tak betah di rumah-rumah yang berdiri miring
Di sepanjang pesisir gering, di mana tak ada cukup jendela melambai
Terbuka, dan jika maut mendatangi, mereka akan memanjati genting
Menuntaskan takdir dan kepalanya di sebelah utara
Menyerahkan tubuh pada selatan yang lebih berkabut dan biru.
Kabut tebal pekat yang turun menaungi, menyembunyikan
Tuhan dan surga ungu, dalam selarik sajak miring
Dalam sajakmu, mengapa kurasa langit berat, menekan
Meski hujan tak mengancam samasekali, orang-orang
Yang sepertinya tak bahagia, tapi juga tak berduka
Mendiami kampung gersang, gersang yang gelisah tak ramah
Mereka punya matahari yang berwarna ungu
Sepanjang tahun, meski siang telah mengirimkan
Gelombang pasangnya ke jalan-jalannya lengang kurasa
Dengan angin kering yang usil menubruki dinding
Karena ini kota pantai, mereka coba menjelaskan:
Kami pun dekat dengan laut, mengenal maut seperti
Memahami tetangga sebelah kami,yang bisa saja
Sekonyong datang berkunjung larut malam, menjenguk
Mengingatkan kami pada sebuah kenduri purba
Maka, di pantai yang selamanya senyap
Orang-orang bermata cekung kadang bertemu, menetapi janji
Membagi-bagikan ciuman kelabu pada mulut pasir
Sebelum mereka santap beramai hidangan surga itu:
Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan
Mereka akan pulang sesudah puas menumpahkan sisa muntahan
Di gili-gili seram pulau cantik, pulau cantik yang menangis
Orang-orang yang sepertinya sulit berbahagia ini
(Kuduga sebagian bermata ganjil, sebagiannya bertanduk.
Tanduk keling yang menancap pada pelipisnya tipis memar):
Dengan apa kusapa, jika berpapasan kami di jalan pulang?
Tapi kudengar mereka memang anonim, tak paham silsilah
Tinggal tak betah di rumah-rumah yang berdiri miring
Di sepanjang pesisir gering, di mana tak ada cukup jendela melambai
Terbuka, dan jika maut mendatangi, mereka akan memanjati genting
Menuntaskan takdir dan kepalanya di sebelah utara
Menyerahkan tubuh pada selatan yang lebih berkabut dan biru.
Kabut tebal pekat yang turun menaungi, menyembunyikan
Tuhan dan surga ungu, dalam selarik sajak miring
Subscribe to:
Posts (Atom)