https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

10 December 2008

Kenangan Kantor Pos

SAMPAI waktu yang belum terlalu lama lewat, saya masih suka mondar-mandir ke kantor pos. Itu saya lakukan dalam kaitan dengan “kerepotan” saya selaku (konon) penulis : dari kantor poslah karya-karya “besar” saya (ehm) memulai peruntungan nasibnya. Kadang saya tiba di tempat itu dengan amplop naskah yang belum sempat dilem. Kadang saya malah mengeluarkan sekali lagi naskah itu, membacainya, sebelum melipatnya kembali dan menempelkan perangko di pojok kanan atasnya. Pada halaman muka amplop itu biasanya saya cantumkan kata “KILAT”, walaupun nilai perangko yang dibubuhkan sudah cukup menerangkan. Saya hanya ingin memastikan naskah itu selamat sampai di tujuan.

Ritual pelepasan naskah adalah momen yang diruapi suasana hati penuh harap sekaligus keraguan juga. Saya suka merasa menjadi seorang “ibu” yang sedang mengantar keberangkatan “anak-anak”nya ke rantau. Begitulah, kantor pos adalah stasiun atau terminal tempat sejumlah harapan diberangkatkan. Sebagai “ibu”, tugas saya adalah menyiapkan bekal perjalanan yang cukup untuk “anak-anak” saya, supaya mereka tidak keleleran di jalan. Tapi sesudah mereka tiba di “kota tujuan” nanti, saya tak berdaya lagi berbuat apa jua guna menolong mereka. Mereka harus berjuang sendirian menghadapi tatapan dingin dan angkuh dari yang “maha kuasa” para redakur itu. Saya pun pulang dan menanti-nanti warta siapa tahu ada “anak” saya yang bisa juga sukses di rantau. Kadang, layaknya ibu yang baik, suka juga saya mengirim doa untuk mereka.

Alhamdulillah, meskipun tidak semua, biasanya ada saja kabar dari satu dua “anak” saya di rantau yang mewarta bahwa mereka sudah berhasil “diterima” di kota tujuan. Mereka sungguh “anak-anak” yang berbakti. Sebagai bukti tak pernah lupa jasa “ibu”nya, yang sudah susah payah selama 9 bulan merahimi dan melahirkan mereka dengan taruhan luka, mereka pun mengirimi saya sejumlah uang lewat wesel pos, yang suka saya pandangi dengan tatapan berbinar dan saya genggam dengan tangan gementar penuh rasa syukur—meskipun jumlah duitnya terus-terang saja tidaklah seberapa.

Maka saya pun bergegas kembali ke kantor pos guna menguangkan kiriman wesel “anak” saya itu. Biasanya saya suka membawa juga lembaran koran yang mewartakan ihwal “anak” saya di kota. Untuk jaga-jaga saja, soalnya petugas di kantor pos biasanya bekerja ekstra teliti. Mereka misalnya akan bertanya kenapa nama yang tercantum di wesel tidak sama dengan nama saya yang dicetak di KTP. Maka, dengan agak malu-malu, saya akan menjelaskan bahwa yang di wesel itu “nama samaran” saya (saya tak menyebut “nama pena”, kuatir nanti ia tambah puyeng). Biasanya petugas pos itu diam saja. Tapi pernah ada juga yang “nekat” menasehati. Katanya : “Lain kali kalau menulis nggak usah pakai nama samaran ya”. Saya ingat waktu itu saya menjawab “iya pak”, seraya masih kemalu-maluan.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...