Nak, sukalah kiranya
Kau maklumi bapakmu ini
Sudah setua begini
Tahunya cuma nulis puisi
Pilihan sepi tak biasa
Banyak merenungnya
Tapi tak ada uangnya –
Begitu pun masih ia tak jera
Tak bisa kujelaskan padamu
Ini semacam kegilaan
Mungkinkah juga kutukan
Dewa-dewa pada manusia?
Manusia celaka macam aku
Lebih suka kutabrak aturan
Pun lebih rela terkucil dari
Nyaman dunia benda
Nak, sekali lagi kumohon
Sukalah kau maklumi aku ini
Bapakmu ini sudah telanjur gila
Biarlah dia bahagia dalam gilanya
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
30 April 2007
29 April 2007
Ode buat Sajakku
Di tengah segala kerepotanku
Mengurus kertas-kertas
Di puncak rasa mualku
Terbenam dalam jadwal
Sajak-sajakku berlahiran
Tak ada tembok kelewat tinggi
Tak ada pintu cukup tebal ternyata
Bahkan tak ada jebakan begitu rumit
Sanggup membatalkan kelahiranmu
Dan menunda kesaksianmu
Mengurus kertas-kertas
Di puncak rasa mualku
Terbenam dalam jadwal
Sajak-sajakku berlahiran
Tak ada tembok kelewat tinggi
Tak ada pintu cukup tebal ternyata
Bahkan tak ada jebakan begitu rumit
Sanggup membatalkan kelahiranmu
Dan menunda kesaksianmu
27 April 2007
Lirik Bola
Kita ini betul mirip bola
Disepak dari kaki ke kaki
Digiring dari pojok ke pojok
Sungguh tontonan yang asyik
Siapa saja boleh ikutan
Dan menendang sekeras bisa
Atau jadi penonton saja :
Duduk aman di tribun
Kita ini betul cuma bola
Sendirian di lapangan nasib
Tanpa wasit, tanpa aturan
Dikocok dari pojok ke pojok
Disepak dari kaki ke kaki
Digiring dari pojok ke pojok
Sungguh tontonan yang asyik
Siapa saja boleh ikutan
Dan menendang sekeras bisa
Atau jadi penonton saja :
Duduk aman di tribun
Kita ini betul cuma bola
Sendirian di lapangan nasib
Tanpa wasit, tanpa aturan
Dikocok dari pojok ke pojok
26 April 2007
L a g u
Tak seorang pun mengerti
Apa yang sebetulnya kucari
Setelah berjalan sejauh ini
Kadang aku sendiri pun sangsi
Dari mana dulu aku mulai
Sudah tak kuingat lagi
Dan apa yang nantinya kutemu
Tak pernah jelas buatku
Apa yang sebetulnya kucari
Setelah berjalan sejauh ini
Kadang aku sendiri pun sangsi
Dari mana dulu aku mulai
Sudah tak kuingat lagi
Dan apa yang nantinya kutemu
Tak pernah jelas buatku
24 April 2007
Sisa-Sisa Kata
Sisa Kata
Masih ada
Sedikit sisa kata
Ini
Kukirimkan
Semua
Kamu
Yang lapar
Makanlah
Ketahuilah
Dari yang sedikit ini
Aku bertahan
Melawan
Musim dan cuaca
Skema Umur
Umurku menjulur pelan dan pasti
mendekati batas. Tak mungkin kucegah.
Cepat atau lambat, senja tiba juga
menggugurkan batas. Memaksa beranda ini
termangu. Disisakannya sejumlah
kenangan. Tapi begitu malam lengkap
semuanya terhapus sempurna.
Penguburan
Kutabur kata-kata di atas sepi kuburmu.
Lalu melengkapinya dengan semacam keharuan yang tak bisa
diberi nama. Kulakukan itu, meski kutahu cuaca segera
bertukar, musim tenggelam, dan kenangan bakal segera pula
merapuh. Sementara itu, pelan dan pasti, engkau pun menghilang
dalam jarak. Menjelma asap dan menjadi dongeng.
Masih ada
Sedikit sisa kata
Ini
Kukirimkan
Semua
Kamu
Yang lapar
Makanlah
Ketahuilah
Dari yang sedikit ini
Aku bertahan
Melawan
Musim dan cuaca
Skema Umur
Umurku menjulur pelan dan pasti
mendekati batas. Tak mungkin kucegah.
Cepat atau lambat, senja tiba juga
menggugurkan batas. Memaksa beranda ini
termangu. Disisakannya sejumlah
kenangan. Tapi begitu malam lengkap
semuanya terhapus sempurna.
Penguburan
Kutabur kata-kata di atas sepi kuburmu.
Lalu melengkapinya dengan semacam keharuan yang tak bisa
diberi nama. Kulakukan itu, meski kutahu cuaca segera
bertukar, musim tenggelam, dan kenangan bakal segera pula
merapuh. Sementara itu, pelan dan pasti, engkau pun menghilang
dalam jarak. Menjelma asap dan menjadi dongeng.
20 April 2007
Turunan-Turunan Kain
DI DALAM Perjanjian Lama kita menemukan kisah Kain dan Abel, dua anak pasangan Adam dan Hawa. Kain adalah seorang pemburu, sedang Abel seorang peladang. Dikisahkan suatu kali mereka memberikan sesembahan kepada Tuhan, tapi Tuhan menampik persembahan Kain, sebaliknya sesembahan Abel diterima.
Tindakan “diskriminatif” ini menyalakan kemarahan Kain, yang kemudian kita tahu berujung pada dibunuhnya Abel. Konon, inilah pembunuhan pertama di bumi, dosa kedua yang dibuat manusia setelah pelanggaran di Firdaus sebelumnya.
Motif Kain membantai saudaranya adalah rasa iri yang dipicu oleh tindakan “diskriminatif” Tuhan. Kitab Suci tidak secara jelas menceritakan mengapa Tuhan menolak sesembahan Kain. Bersalakah Kain sebetulnya? Saya menemukan penafsiran menarik perihal ini dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono yang menyebut pembunuhan purba itu sebagai “dendam pertama kemanusiaan” dari “manusia yang setia tapi tersisih” (baca “Dua Sajak Di Bawah Satu Nama”, kump. Puisi DukaMu Abadi).
Pembantaian Kain atas Abel menjadi pola yang terus berulang. Di satu sisi ada “Kain”, si “manusia yang setia tapi tersisih” itu, dan di seberang sana Abel, ia yang selalu beruntung, hidup riang dalam kelimpahan dan kesenangan di ruang-ruang yang terang dan berbau wangi. Kain melihat ada yang “tidak beres” dalam kehidupan Abel yang berkelimpahan itu. Lalu muncullah kemudian kemarahan, dan niat “membereskan” yang “tidak beres” itu.
Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan, yang minggu ini menggegerkan Amerika dengan membantai puluhan rekannya di Virginia Tech, barangkali juga seperti Kain. Ia, dikabarkan membenci lingkungannya yang “mapan”, yang “terang dsn wangi”, karena mungkin ia melihat ada banyak yang “tidak beres” di sana. Ia sendiri, seperti Kain, merasa sudah menjalani hidup dengan “setia” tapi toh tetap melarat dan tersisih.
Cho, dengan gaya dan caranya sendiri, mungkin merasa tengah melakukan “jihad”. Kita di sini mungkin akan ketawa seraya menyebutnya “sakit”, tapi bukankah kita tak asing dengan kegilaan semacam ini? Bukankah gerombolan teroris yang mengacau di sekitar kita juga menyebut diri mereka sekadar melakukan “jihad “ atas nama hal-hal luhur?
Dan seperti Cho Seng-hui mereka juga tak pernah merasa perlu bertanya siapa atau layakkah kerumunan yang anonim itu dikorbankan.
Tindakan “diskriminatif” ini menyalakan kemarahan Kain, yang kemudian kita tahu berujung pada dibunuhnya Abel. Konon, inilah pembunuhan pertama di bumi, dosa kedua yang dibuat manusia setelah pelanggaran di Firdaus sebelumnya.
Motif Kain membantai saudaranya adalah rasa iri yang dipicu oleh tindakan “diskriminatif” Tuhan. Kitab Suci tidak secara jelas menceritakan mengapa Tuhan menolak sesembahan Kain. Bersalakah Kain sebetulnya? Saya menemukan penafsiran menarik perihal ini dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono yang menyebut pembunuhan purba itu sebagai “dendam pertama kemanusiaan” dari “manusia yang setia tapi tersisih” (baca “Dua Sajak Di Bawah Satu Nama”, kump. Puisi DukaMu Abadi).
Pembantaian Kain atas Abel menjadi pola yang terus berulang. Di satu sisi ada “Kain”, si “manusia yang setia tapi tersisih” itu, dan di seberang sana Abel, ia yang selalu beruntung, hidup riang dalam kelimpahan dan kesenangan di ruang-ruang yang terang dan berbau wangi. Kain melihat ada yang “tidak beres” dalam kehidupan Abel yang berkelimpahan itu. Lalu muncullah kemudian kemarahan, dan niat “membereskan” yang “tidak beres” itu.
Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan, yang minggu ini menggegerkan Amerika dengan membantai puluhan rekannya di Virginia Tech, barangkali juga seperti Kain. Ia, dikabarkan membenci lingkungannya yang “mapan”, yang “terang dsn wangi”, karena mungkin ia melihat ada banyak yang “tidak beres” di sana. Ia sendiri, seperti Kain, merasa sudah menjalani hidup dengan “setia” tapi toh tetap melarat dan tersisih.
Cho, dengan gaya dan caranya sendiri, mungkin merasa tengah melakukan “jihad”. Kita di sini mungkin akan ketawa seraya menyebutnya “sakit”, tapi bukankah kita tak asing dengan kegilaan semacam ini? Bukankah gerombolan teroris yang mengacau di sekitar kita juga menyebut diri mereka sekadar melakukan “jihad “ atas nama hal-hal luhur?
Dan seperti Cho Seng-hui mereka juga tak pernah merasa perlu bertanya siapa atau layakkah kerumunan yang anonim itu dikorbankan.
Kedai "Celana" Juga Ditutup
NIAT penyair Joko Pinurbo alias Jokpin untuk menanggalkan “celana” yang sudah menjadi “merek” puisinya tidak kepalang tanggung. Bahkan blognya yang diberi nama “Kedai Arsip Celana Senja” pun ikut ditutup, seakan ingin menghapus samasekali semua jejak yang bisa mengingatkan orang pada merek sohornya itu.
Menutup blog tentu saja menjadi hak prerogatif si pemilik blog. Hanya saja apa yang dibuat Jokpin ini membawa saya pada kesimpulan lain, yaitu bahwa ngeblog ternyata “belum perlu” buat Jokpin. Mungkin juga itu bisa diartikan bahwa blog atau ngeblog tidak penting buatnya.
Memang, dengan atau tanpa blog nama besar Jokpin tidak terpengaruh. Ia tetap penyair fenomeal yang sudah membawa sumbangan besar untuk khazanah puisi kita. Sebaliknya, bisa saja kegiatan ngeblog malah membuatnya repot dan jangan-jangan ujungnya mencederai mutu kerja sastranya.
Ada hipotesis lain yang selama ini saya simpan perihal perilaku ngeblog ini, yang gara-gara Jokpin menutup blognya menjadi semakin saya yakini. Yaitu bahwa blog untuk saat ini—dengan sejumlah pengecualian, tentu--hanya menjadi tempat berkubangnya penulis yang “gagal” mendapat tempat di ranah sastra cetak. Lucunya nama-nama yang telanjur dianggap “besar” di khazanah sastra cetak itu malah “meremehkan” eksistensi blog.
Senang atau tidak, seperti itulah faktanya saat ini. Tapi daripada mengeluh bukankah lebih baik saya mendadani saja statemen keren Chairil Anwar “yang bukan penyair tidak ambil bagian” menjadi “yang bukan blogger tidak usah ikutan”. Begini jauh lebih nyaman rasanya.
Menutup blog tentu saja menjadi hak prerogatif si pemilik blog. Hanya saja apa yang dibuat Jokpin ini membawa saya pada kesimpulan lain, yaitu bahwa ngeblog ternyata “belum perlu” buat Jokpin. Mungkin juga itu bisa diartikan bahwa blog atau ngeblog tidak penting buatnya.
Memang, dengan atau tanpa blog nama besar Jokpin tidak terpengaruh. Ia tetap penyair fenomeal yang sudah membawa sumbangan besar untuk khazanah puisi kita. Sebaliknya, bisa saja kegiatan ngeblog malah membuatnya repot dan jangan-jangan ujungnya mencederai mutu kerja sastranya.
Ada hipotesis lain yang selama ini saya simpan perihal perilaku ngeblog ini, yang gara-gara Jokpin menutup blognya menjadi semakin saya yakini. Yaitu bahwa blog untuk saat ini—dengan sejumlah pengecualian, tentu--hanya menjadi tempat berkubangnya penulis yang “gagal” mendapat tempat di ranah sastra cetak. Lucunya nama-nama yang telanjur dianggap “besar” di khazanah sastra cetak itu malah “meremehkan” eksistensi blog.
Senang atau tidak, seperti itulah faktanya saat ini. Tapi daripada mengeluh bukankah lebih baik saya mendadani saja statemen keren Chairil Anwar “yang bukan penyair tidak ambil bagian” menjadi “yang bukan blogger tidak usah ikutan”. Begini jauh lebih nyaman rasanya.
18 April 2007
In Memoriam "Celana"
KEJADIANNYA sudah seminggu yang lalu, tapi saya baru membacanya hari ini (Koran Tempo, 18 April 2007). Penyair Joko Pinurbo--akrab dengan sapaan Jokpin—menyampaikan niatnya untuk mencopot “celana” yang selama ini sudah menjadi “merek” puisinya. Antologi puisi Kepada Cium yang baru saja terbit disebutnya sebagai edisi pamungkas dari episode “celana” itu.
Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan di halaman ini beberapa waktu lalu saya memberi catatan khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.
Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutarji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.
Jokpin sudah berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.
Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …
Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan di halaman ini beberapa waktu lalu saya memberi catatan khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.
Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutarji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.
Jokpin sudah berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.
Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …
Serupa Anak
Sajak
Kau serupa anak
Waktu itulah
Yang merahimimu
Sampai tiba masanya
Bebiji menjelma buah
Pada musim panenan
Ada pun kata
Samaran fana
Kehadiranmu sehari di dunia
Ada pun saya
Liang kelam dan ngeri
Dari mana kau hadir
Sajak
Kau serupa anak
Tangismu murni
Kabarkan keluh bumi
Tak terangkum
Sepuluh jemari angan
Kau serupa anak
Waktu itulah
Yang merahimimu
Sampai tiba masanya
Bebiji menjelma buah
Pada musim panenan
Ada pun kata
Samaran fana
Kehadiranmu sehari di dunia
Ada pun saya
Liang kelam dan ngeri
Dari mana kau hadir
Sajak
Kau serupa anak
Tangismu murni
Kabarkan keluh bumi
Tak terangkum
Sepuluh jemari angan
16 April 2007
Rumah Ini
Aku sekadar mampir di sini
Barangkali numpang tidur
Mengulur mimpi sampai ujungnya
Buat sehari dua –
Melupakan musim di luar
Menyinggahi lagi kenangan
Membacai nama-nama
Merabai luka-luka lama
Yang dulu ditinggalkan menganga
Aku sekadar mampir di sini
(Barangkali juga terusir)
Dalam ngelindur tak sengaja
Mungkin kusebut juga namamu
Sekali dua –
Lelakon merah muda
Pada sudutnya tak bernama
Barangkali numpang tidur
Mengulur mimpi sampai ujungnya
Buat sehari dua –
Melupakan musim di luar
Menyinggahi lagi kenangan
Membacai nama-nama
Merabai luka-luka lama
Yang dulu ditinggalkan menganga
Aku sekadar mampir di sini
(Barangkali juga terusir)
Dalam ngelindur tak sengaja
Mungkin kusebut juga namamu
Sekali dua –
Lelakon merah muda
Pada sudutnya tak bernama
13 April 2007
Merawat Kesetiaan
DALAM kata pengantar untuk kumpulan puisi lengkap Goenawan Mohamad (1961-2001), Ayu Utami dan Sitok Srengenge menulis antara lain bahwa penerbitan secara lengkap karya seorang penyair adalah sebentuk penghargaan untuk “kesetiaan” yang sudah dilakoninya. Seorang penyair, mungkin saja lelah dan bosan, atau malahan membenci tulisannya sendiri, tapi toh ia—dalam konteks ini Goenawan Mohamad—ternyata terus bertahan menulis.
Banyak sekali godaan yang bisa merontokkan “iman” seorang penyair berhenti menulis. Banyak alasan untuk “murtad”. Panggung puisi kita pada era 1980-an pernah diisi antara lain oleh nama-nama “besar” dari dinasti Masardi : Yudhistira, Noorca, Adhie. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang pernah diharapkan bakal menyumbang banyak. Tapi sesudah sempat bikin “ribut” sebentar, pelan-pelan mereka malah menghilang dari panggung.
Contoh seperti mereka lumayan banyak. Marilah coba iseng kita hadirkan lagi mereka : Adri Darmaji Woko, B Priyono Sudiono, Adek Alwi, Fakhrunnas MA Jabbar, Irawan Sandya Wiraatmaja, Lazuardi Adi Zage, Heryus Saputro, Heru Emka, Suparwan G Parikesit, Beni Setia, Andrik Purwasito, Lucianus Bambang Suryanto, Bambang Widiatmoko, Aming Aminudin, Slamet Raharjo Rais, Nasrudin Anshory—silakan menambah sendiri daftar ini.
Sebagian kecil dari mereka pernah “kepergok” ternyata masih menulis, tapi dengan produktivitas dan kualitas yang sudah jauh merosot. Sisanya tak sempat terlacak. Bisa saja mereka pun masih terus menulis, hanya mungkin—dengan alasan yang tidak bisa diganggu gugat--tidak berminat lagi ikut bermain di panggung. Kalau begitu duduk soalnya kita pun tidak bisa apa-apa.
Di luar itu pastilah ada mereka yang betul-betul “mati”. Sebagian dari mereka mungkin “dibunuh” oleh rutinitas keseharian--ini barangkali kasus terbanyak—lainnya oleh sebab-sebab yang bisa disebut “ideologis”—misalnya karena hilangnya rasa respek mereka kepada puisi itu sendiri. Nah yang begini ini baru repot.
Dalam urusan “kesetiaan” kepada puisi ini, tentulah juga menarik menunggu bagaimana gerangan kelanjutan kiprah sejumlah besar nama “baru” yang belum lama ini pernah direkomendasi oleh Joko Pinurbo sebagai bibit-bibit unggul di panggung puisi kita hari ini. Sampai berapa lamakah mereka bisa bertahan untuk tidak jatuh pada godaan-godaan untuk, katakanlah, “selingkuh” dari puisi? Silakan menjawab, dengan karya …
Banyak sekali godaan yang bisa merontokkan “iman” seorang penyair berhenti menulis. Banyak alasan untuk “murtad”. Panggung puisi kita pada era 1980-an pernah diisi antara lain oleh nama-nama “besar” dari dinasti Masardi : Yudhistira, Noorca, Adhie. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang pernah diharapkan bakal menyumbang banyak. Tapi sesudah sempat bikin “ribut” sebentar, pelan-pelan mereka malah menghilang dari panggung.
Contoh seperti mereka lumayan banyak. Marilah coba iseng kita hadirkan lagi mereka : Adri Darmaji Woko, B Priyono Sudiono, Adek Alwi, Fakhrunnas MA Jabbar, Irawan Sandya Wiraatmaja, Lazuardi Adi Zage, Heryus Saputro, Heru Emka, Suparwan G Parikesit, Beni Setia, Andrik Purwasito, Lucianus Bambang Suryanto, Bambang Widiatmoko, Aming Aminudin, Slamet Raharjo Rais, Nasrudin Anshory—silakan menambah sendiri daftar ini.
Sebagian kecil dari mereka pernah “kepergok” ternyata masih menulis, tapi dengan produktivitas dan kualitas yang sudah jauh merosot. Sisanya tak sempat terlacak. Bisa saja mereka pun masih terus menulis, hanya mungkin—dengan alasan yang tidak bisa diganggu gugat--tidak berminat lagi ikut bermain di panggung. Kalau begitu duduk soalnya kita pun tidak bisa apa-apa.
Di luar itu pastilah ada mereka yang betul-betul “mati”. Sebagian dari mereka mungkin “dibunuh” oleh rutinitas keseharian--ini barangkali kasus terbanyak—lainnya oleh sebab-sebab yang bisa disebut “ideologis”—misalnya karena hilangnya rasa respek mereka kepada puisi itu sendiri. Nah yang begini ini baru repot.
Dalam urusan “kesetiaan” kepada puisi ini, tentulah juga menarik menunggu bagaimana gerangan kelanjutan kiprah sejumlah besar nama “baru” yang belum lama ini pernah direkomendasi oleh Joko Pinurbo sebagai bibit-bibit unggul di panggung puisi kita hari ini. Sampai berapa lamakah mereka bisa bertahan untuk tidak jatuh pada godaan-godaan untuk, katakanlah, “selingkuh” dari puisi? Silakan menjawab, dengan karya …
12 April 2007
S o r g a
Kalau sorga
Ternyata tak ada
Setidaknya kita masih punya
Kata-kata
Bikin saja
Rongga di sana
Semacam sorga juga
Dari serpih cuaca
Pasang tuhan
Alamat ke kayangan
Serupa jembatan
Menuju ketiadaan
Kalau sorga
Ternyata tak ada
Setidaknya kita pernah punya
Hiburan ini
Ternyata tak ada
Setidaknya kita masih punya
Kata-kata
Bikin saja
Rongga di sana
Semacam sorga juga
Dari serpih cuaca
Pasang tuhan
Alamat ke kayangan
Serupa jembatan
Menuju ketiadaan
Kalau sorga
Ternyata tak ada
Setidaknya kita pernah punya
Hiburan ini
10 April 2007
Setiap Kata
Setiap huruf
Punya harga
Setiap bunyi
Punya arti
Setiap kata
Adalah taruhan
Setiap baris
Bahkan desis
Adalah seru
Lambai padamu
Setiap judul
Adalah jejak
Selangkah
Lebih dekat
Setiap sajak
Adalah teriak
Sekarat
Kerapuhan
Yang menolak
Tumbang
Punya harga
Setiap bunyi
Punya arti
Setiap kata
Adalah taruhan
Setiap baris
Bahkan desis
Adalah seru
Lambai padamu
Setiap judul
Adalah jejak
Selangkah
Lebih dekat
Setiap sajak
Adalah teriak
Sekarat
Kerapuhan
Yang menolak
Tumbang
08 April 2007
Pandang
Pandang dengan sayang
Segala yang mengisi ruang
Rumah ini, perabot, istri
Belai dengan sajak
Kata-kata yang memutus jarak
Jelajah dengan gairah
Kisah yang sempat singgah
Pada celah waktu
Timbang dengan terang
Barangkali hanya sekali datang
Sudah itu terjun raib
Ke jurang kenang
Sebagai bayang nantinya
Selayaknya genang
Membenammu dalam dan jauh
Luput tak teraih
Jadi puncak sesal
Pada perjalanan kekal
Ke alamat asal
Segala yang mengisi ruang
Rumah ini, perabot, istri
Belai dengan sajak
Kata-kata yang memutus jarak
Jelajah dengan gairah
Kisah yang sempat singgah
Pada celah waktu
Timbang dengan terang
Barangkali hanya sekali datang
Sudah itu terjun raib
Ke jurang kenang
Sebagai bayang nantinya
Selayaknya genang
Membenammu dalam dan jauh
Luput tak teraih
Jadi puncak sesal
Pada perjalanan kekal
Ke alamat asal
05 April 2007
Sisifus atau Kristus?
ADA sedikit kemiripan setting kalau kita membandingkan kisah Sisifus dan kisah penyaliban Kristus. Sisifus harus mendorong batu besar ke puncak gunung, sementara Kristus menggotong salibmendaki sebuah bukit yang dikenal dengan nama Golgota, atau Tempat Tengkorak. Keduanya terlihat sebagai sosok-sosok yang tragis, berkeringat dan berdarah-darah, di bawah tindasan nasib yang bengis.
Tapi hanya sampai di situ kemiripannya. Sisifus adalah korban para dewa. Batu besar yang dengan susah payah didorongnya itu tak pernah sampai ke puncak. Selalu, sebelum tiba di puncak, batu itu menggelinding lagi jatuh, dan Sisifus harus kembali turun, mulai lagi dari nol, dan mencoba mendorong kembali batu sialan itu. Begitu terjadi berulang-ulang, selama ribuan tahun. Sisifus, adalah sebuah lakon kesia-siaan.
Kristus memang akhirnya mati. Sebuah tikaman pada lambung menyudahi kehadiran lahiriahnya di dunia. Tapi kita tahu kisahnya tidak selesai sampai di situ. Ada kemudian kebangkitan sesudah kematian tubuh itu. Ada kemenangan menjemput di balik yang kelihatan seperti “kekalahan” itu.
Dan kemenangan, seperti pijar fajar, hanya bisa dijumpai sesudah genap seluruh malam dijalani. Tidak ada yang instan apalagi gratis. Kebangkitan itu, kemenangan itu, menjadi satu paket dengan sengsara dan kematian. Bukankah hanya kalau sebuah biji jatuh dan mati, barulah ia bisa tunbuh dan berbuah? Ini ada miripnya dengan ajaran sebuah agama timur lain yang mengajarkan bahwa moksa, nirvana, hanya tersedia sesudah rampung samsara.
Pencipta dongeng Sisifus hanya sampai pada samsara. Ia gagal menjumpai fajar di ujung malam. Atau barangkali fajar itu, moksa dan nirvana itu, baginya hanya hiburan palsu di tengah carut-marut hidup. Hanya sebuah nonsens.
Tapi hanya sampai di situ kemiripannya. Sisifus adalah korban para dewa. Batu besar yang dengan susah payah didorongnya itu tak pernah sampai ke puncak. Selalu, sebelum tiba di puncak, batu itu menggelinding lagi jatuh, dan Sisifus harus kembali turun, mulai lagi dari nol, dan mencoba mendorong kembali batu sialan itu. Begitu terjadi berulang-ulang, selama ribuan tahun. Sisifus, adalah sebuah lakon kesia-siaan.
Kristus memang akhirnya mati. Sebuah tikaman pada lambung menyudahi kehadiran lahiriahnya di dunia. Tapi kita tahu kisahnya tidak selesai sampai di situ. Ada kemudian kebangkitan sesudah kematian tubuh itu. Ada kemenangan menjemput di balik yang kelihatan seperti “kekalahan” itu.
Dan kemenangan, seperti pijar fajar, hanya bisa dijumpai sesudah genap seluruh malam dijalani. Tidak ada yang instan apalagi gratis. Kebangkitan itu, kemenangan itu, menjadi satu paket dengan sengsara dan kematian. Bukankah hanya kalau sebuah biji jatuh dan mati, barulah ia bisa tunbuh dan berbuah? Ini ada miripnya dengan ajaran sebuah agama timur lain yang mengajarkan bahwa moksa, nirvana, hanya tersedia sesudah rampung samsara.
Pencipta dongeng Sisifus hanya sampai pada samsara. Ia gagal menjumpai fajar di ujung malam. Atau barangkali fajar itu, moksa dan nirvana itu, baginya hanya hiburan palsu di tengah carut-marut hidup. Hanya sebuah nonsens.
02 April 2007
Serius Ngeblog? Belajarlah ke Pak Cosa
KALAU anda kepingin serius ngeblog, bahkan mau melangkah lebih jauh lagi, misalnya memanfaatkan blog anda sebagai sumber penghasilan “tambahan” misalnya—selain sebagai tempat anda hahahihi--maka sangat tidak ada salahnya kalau anda rajin-rajin mendatangi blognya pak Cosa, yang bisa diklik di sini.
Di sana pak Cosa dengan murah hati membagikan seabrek trik dan akal-akalan lihai bagaimana caranya supaya blog anda menjadi tidak sekedar hadir gitu lho.
Ada 3 paket utama yang disediakan pak Cosa di blognya itu : rubrik konsultasi AdSence, rubrik konsultasi Search Engine Optimation (SEO) dan satunya lagi rubrik buat anda yang kepincut mau belajar Wordpress. Tinggal pilih. Di luar itu masih banyak topik bahasan lain yang uenaak dikunyah.
Pak Cosa dengan bahasa yang sederhana akan memandu anda. Kalau misalnya masih belum puas atau nggak mudeng dengan panduan itu, pak Cosa mempersilakan anda mengontaknya secara pribadi. Boleh lewat email, malah bisa lewat HP, bahkan kopi darat pun diladeni. Hebat kan? Kalau nggak percaya klik aja di sini untuk informasi sejelasnya.
Sebetulnya situs tutorial seperti punyanya pak Cosa ada banyak. Misalnya yang juga sangat layak dikunjungi adalah Blog Tutorial, atau juga blognya pak Budi Putra, mantan wartawan Tempo. Satu lagi padepokan yang juga pantas didatangi adalah punyanya Agushery Bandung. Blog-blog ini tentu saja memiliki kelebihannya masing-masing, dan saling melengkapi.
Meskipun blog saya berbeda “genre” dengan blog pak Cosa, bukan tabu bagi saya datang bertamu lama-lama di sana setiap hari. Pak Cosa dan blognya bagaimana pun memang beda. Kalau meminjam motto blognya Tempo, situsnya pak Cosa itu memang “enak diblog dan perlu”.
Lalu kenapa juga saya mau repot-repot bikin tulisan yang isinya memuji-muji blognya pak Cosa yang memang nyatanya muantab itu? Ceritanya blognya pak Cosa kan mau ulang tahun, 13 April besok. Nah, bukan pak Cosa namanya kalau lantas nggak bikin hajatan spesial. Dan heboh. Lha, postingan ini dibuat sehubungan dengan hajatan ultah itu. Kalau mau tahu lebih jelas soal hajatan itu (ada hadiahnya lho), klik di sini ya.
Di sana pak Cosa dengan murah hati membagikan seabrek trik dan akal-akalan lihai bagaimana caranya supaya blog anda menjadi tidak sekedar hadir gitu lho.
Ada 3 paket utama yang disediakan pak Cosa di blognya itu : rubrik konsultasi AdSence, rubrik konsultasi Search Engine Optimation (SEO) dan satunya lagi rubrik buat anda yang kepincut mau belajar Wordpress. Tinggal pilih. Di luar itu masih banyak topik bahasan lain yang uenaak dikunyah.
Pak Cosa dengan bahasa yang sederhana akan memandu anda. Kalau misalnya masih belum puas atau nggak mudeng dengan panduan itu, pak Cosa mempersilakan anda mengontaknya secara pribadi. Boleh lewat email, malah bisa lewat HP, bahkan kopi darat pun diladeni. Hebat kan? Kalau nggak percaya klik aja di sini untuk informasi sejelasnya.
Sebetulnya situs tutorial seperti punyanya pak Cosa ada banyak. Misalnya yang juga sangat layak dikunjungi adalah Blog Tutorial, atau juga blognya pak Budi Putra, mantan wartawan Tempo. Satu lagi padepokan yang juga pantas didatangi adalah punyanya Agushery Bandung. Blog-blog ini tentu saja memiliki kelebihannya masing-masing, dan saling melengkapi.
Meskipun blog saya berbeda “genre” dengan blog pak Cosa, bukan tabu bagi saya datang bertamu lama-lama di sana setiap hari. Pak Cosa dan blognya bagaimana pun memang beda. Kalau meminjam motto blognya Tempo, situsnya pak Cosa itu memang “enak diblog dan perlu”.
Lalu kenapa juga saya mau repot-repot bikin tulisan yang isinya memuji-muji blognya pak Cosa yang memang nyatanya muantab itu? Ceritanya blognya pak Cosa kan mau ulang tahun, 13 April besok. Nah, bukan pak Cosa namanya kalau lantas nggak bikin hajatan spesial. Dan heboh. Lha, postingan ini dibuat sehubungan dengan hajatan ultah itu. Kalau mau tahu lebih jelas soal hajatan itu (ada hadiahnya lho), klik di sini ya.
01 April 2007
S u j u d
di zaman susah nasi
saya mabuk pesta puisi
tuhan yang di mana
ampuni saya yang di sini
bisa saya memang ini
nulis sajak melipur berahi
sudi kiranya kautimbang juga
ini sujudku yang paling
tidak membikin kenyang
melainkan sekadar kepayang
saya mabuk pesta puisi
tuhan yang di mana
ampuni saya yang di sini
bisa saya memang ini
nulis sajak melipur berahi
sudi kiranya kautimbang juga
ini sujudku yang paling
tidak membikin kenyang
melainkan sekadar kepayang
Subscribe to:
Posts (Atom)