https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 December 2006

Senja Akhir Tahun

Apakah yang membedakan senja ini
Dengan ribuan senja lain
Yang akan datang menjelang
Dan yang lama sudah tenggelam
Dalam kenangan kita merimbun?

Bukankah sepi yang dulu juga
Berdiri di sudut jalan ini tiap kali?
Hanya kadang pandang kita terganggu
Deru mesin kota yang gila
Pun gedung-gedung itu agaknya
Sudah terlalu lama mengubur kita
Jadi kita pun agak melupakannya

Nanti kalau kita sudah tak ada
Masih ada sunyi berjaga setia
Di pojok jalan ini seperti sekarang
Lalu seorang yang seperti kita juga
Terbata-bata datang merenunginya lagi

K e l a k

Jika kelak
Aku tak ada lagi
Setidaknya telah kutulis
Baris-baris ini

Jika kelak
Kenangan pun aus
Setidaknya telah
Kurampungkan sajak ini

28 December 2006

Kutukan Babel

MUSIBAH gempa bumi 7,2 skala Richter di Taiwan belum lama ini yang kemudian berbuntut pada melorot dan kacaunya koneksi internet di negara-negara kawasan Asia, tiba-tiba saja mengingatkan saya pada kisah Menara Babel dalam Perjanjian Lama.

Dalam kisah kuno itu diceritakan bagaimana Tuhan menunjukkan kemurkaanNya atas sikap takabur manusia yang berambisi menyaingiNya dengan membangun sebuah menara yang diniatkan mencapai langit. Dikisahkan bagaimana kemudian Tuhan menghancurkan kesombongan itu dengan cara mengacaukan bahasa manusia ketika itu, dan kemudian mencerai-beraikan mereka ke pelosok-pelosok bumi.

Saya bertanya-tanya, apakah setting zaman kita sekarang tidak atau sudah mirip dengan situasi ketika itu? Bukankah kita juga saat ini dikuasai oleh semacam ambisi dan kesombongan untuk diam-diam “menyaingi” Dia di atas sana? Diam-diam kita begitu bangga dengan segala temuan dan pencapaian teknologi kita, bukan? Seperti di zaman Babel kita berambisi menciptakan sebuah bahasa yang “tunggal”, yang dapat menyatukan seluruh jagat. Teknologi misalnya, barangkali kita percaya sebagai bahasa “tunggal” yang bakal menyatukan jagat ini Teknologi barangkali adalah “menara” yang sedang kita bangun untuk memcapai langit, untuk merendengi Dia.

Tidak ada masalah dengan kemajuan teknologi itu sendiri, tentu saja – kita tidak harus kembali ke zaman batu, bukan? Tapi kesombongan yang diam-diam kita pelihara itulah yang harus diluruskan. Gempa di Taiwan itu mudah-mudahan bisa mengingatkan betapa sebetulnya manusia itu – yang bermula dari setetes mani, kemana-mana membawa tahi, dan ujung-ujungnya jadi bangkai, begitulah saya ingat Aa Gym pernah ngomong -- kagak ada apa-apanya.

Ya, bukankah kita ini hanya sebuah noktah sunyi tak bernama pada atlas semesta raya. Apa alasan dan hak kita untuk merasa diri hebat?

26 December 2006

Desember

Kau mengingatkan
pada batas yang sebentar
harus kulewati. Cemas
karena setiap hal

yang mesti pergi
dan mungkin tak ada lagi
nanti. Pada kisah ysng musti
tamat, meski kita menolak

membilang selesai
pada lembar akhir almanak.
Selebihnya aku suka
jalananmu yang basah

itu. Dan gerimis seharian
yang melukis sempurna
kesedihan, tanpa aku harus
repot membubuhkan

sepotong nama, atau tanda
padanya, Ada saatnya
kita cuma perlu diam memandang
langit dan musim

membeku di jendela. Kota
jadi putih, orang dan peristiwa
sama memutih, sama tenggelam.
Hanyut ke muaramu kelam.

24 December 2006

Natal Itu Hadiah

NATAL adalah sebuah Hadiah (dengan “H”), begitulah seharusnya. Tapi hari-hari ini, pemahaman Natal seperti itu mungkin sudah tak relevan lagi, tak laku lagi. Natal, seperti juga banyak hal lain di sekitar kita, kini adalah juga komoditas, adalah kalkulasi cost dan benefit yang rinci, njelimet, dan rewel. Tuhan telah dikemas dalam paket-paket massal dan seragam untuk dijajakan di ruang-ruang benderang dan wangi, yang dipenuhi orang lalu-lalang yang hidupnya tampaknya juga serba lapang dan gampang.

Gereja pun akan mendadak penuh – meskipun ada ancaman teror bom – oleh umat yang kembali bakal disuguhi kisah kuno “kelahiran di kandang” dan segala kisah ikutannya. Kadang-kadang saya bertanya apakah yang ada di benak para pastor dan pendeta yang entah untuk keberapa kalinya harus mengantarkan lagi kisah itu setiap tahun. Tak ada masalah dengan kisah itu sendiri. Kisah-kisah itu bukan hanya indah, pun sarat muatan sakramental.

Masalahnya adalah bagaimana agar yang “indah” itu, yang sakramental itu, tidak lalu tinggal menjadi onggokan klise yang tak menarik hati lagi. Multatuli konon pernah berkata,“Membuat kebenaran menjadi terasa membosankan adalah sebuah kejahatan”. Saya tak tahu apakah kesadaran semacam itu ada di benak para pastor dan pendeta yang kebagian tugas mengantarkan warta baik itu. Saya juga tak tahu apakah saya sudah menuntut kelewat banyak.

Tiba-tiba saya ingat masa kecil dulu, ketika Natal sungguh-sungguh adalah Hadiah -- dengan “H”. Sebagai siswa “sekolah Minggu” saya selalu menantikan Natal dengan penuh harap. Bukan karena kebajikan atau keindahan teologal yang ditawarkannya tentu saja, tapi karena sejumlah hadiah yang memang bakal saya terima dari para guru “sekolah Minggu” saya. Hadiahnya, sejauh yang bisa saya ingat, tidak pernah heboh. Paling-paling seperangkat alat tulis sekolah, atau beberapa buku cerita bergambar berisi cuplikan kisah dari Alkitab. Tapi hadiah-hadiah itu betul-betul mengesan kuat. Barangkali karena Tuhan saat itu, tanpa setahu saya, sudah sungguh-sungguh hadir – sebagai Hadiah -- dengan cara yang sangat spesial dan pribadi.

Pada titik ini saya teringat sebuah ayat Injil, kata-kata Yesus sendiri, “… barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Markus 10:15). Di sinilah agaknya ayat itu menemukan konteks riilnya. Jadi, hanya kalau kita bisa menjadi “bocah” kembali, barulah kita akan bisa berkesempatan mengalami Natal sungguh-sungguh sebagai Hadiah – dengan “H” itu. Selamat Natal!
.

22 December 2006

Hujan Di Halaman 2

Hujan menumpahkan tangisnya
di halaman. Senja yang sudah tua
dan kenyang melihat banyak hal
cuma memandanginya kalem tanpa
mengucap apa-apa. Merasa tak
diperhatikan, tangis hujan semakin
menjadi-jadi, membuat genangan
dan kenangan di sudut-sudut waktu.
Untunglah malam segera tiba, menyeka
lembut sembab mata hujan dengan
bayang-bayang yang senantiasa
dibawanya dalam kembaranya
yang abadi. Di balik kemilau lampu-
lampu, kini wajah hujan berubah jadi
indah. Ada nuansa magis memantul
miris di antara tetes-tetesnya yang
masih terus mengalir membanjiri
sepi halaman sajak-sajakku.

19 December 2006

Dari Seorang Kawan

(Terima kasih untuk Hendragunawan ST, yang komentarnya di blog ini menjadi pemantik lahirnya catatan ini).

GOENAWAN Mohamad konon merasa banyak dipengaruhi Chairil Anwar, sementara Chairil Anwar sendiri merasa banyak belajar dari penyair Belanda, Marsman, dan Marsman pastilah “mencuri” ilmu menyair dari penyair entah siapa lagi, dan begitu seterusnya. Contoh lain, Rendra pada masa awalnya “menjiplak” Lorca, meskipun ia membantahnya, sementara Shakespeare mengaku terinspirasi Goethe. Daftar ini masih bsa ditambah lagi, tapi yang mau dikatakan di sini adalah, jika begitu masih adakah sebetulnya yang disebut “asli” di kolong langit ini? Jawabannya jelas : tidak ada.

Tantangan penciptaan adalah bagaimana dari kondisi yang “tidak asli” dan “saling mempengaruhi” itu bisa lahir sebentuk “perkawinan” yang kemudian memunculkan sebuah sintesa yang “baru” – bukan “asli”. Jadi tidak masalah Goenawan Mohamad merasa terpengaruh Chairil, yang penting adalah bahwa yang kemudian lahir dari tangannya bukan lagi puisi-puisi milik Chairil, tetapi puisi-puisi yang “baru”, yang kemudian kita bisa mengendusnya sebagai betul milik Goenawan.

Proses untuk mencapai yang “baru” itu seringkali menyakitkan. Afrizal Malna mengakui kuatnya pengaruh puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri pada masa-masa permulaan kepenyairannya. “Tapi”, demikian ia pernah bertutur, “pelan-pelan saya mencoba melepaskan diri dari pengaruh itu”. Dan “melepaskan diri” dari “pengaruh”, dalam praktik konkritnya misalnya bisa berupa tindakan “mencoret” sendiri puisi-puisi yang sudah kita buat, kalau kita sendiri memang meragukannya. Afrizal Malna bahkan pernah membakar – sungguh-sungguh membakar, bukan dalam arti simbolis – naskah kumpulan puisi pertamanya, yang ditolak Balai Pustaka.

Sebagai penulis memang kita dituntut “keras” kepada tulisan kita sendiri. Kalau kita tak sanggup melakukannya, tugas itu akan diambil-alih oleh para pembaca tulisan kita. Ingatlah, pembaca adalah para juri yang jujur, tidak pandang bulu, dan kejam. Mereka selalu menuntut yang “terbaik”, mereka cuma butuh yang “nomor satu”. Maka kalau kita tak tega “merobek” puisi kita, mereka, sidang pembaca yang terhormat itu, akan dengan senang hati membantu melakukannya.

Apakah tak ada semacam “jalan tengah” di sini? Setahu saya sih kagak ada.

17 December 2006

Hujan di Halaman

Kulihat hujan tercurah
Di jalan & halaman
Beberapa lembar daun
Seperti bertempur
Dalam tiupan angin

Satu dua lembar
Mencapai juga beranda
Sebagian sisanya
Mungkin menyerah
Rontok di jalan-jalan

Seperti daun-daun itu
Hidupku melayang
Dalam tiupan waktu
Dalam guyuran hujan
Di jalanan nasib

Akan sempatkah nanti
Lembar-lembar umurku
Mencapai berandamu
Atau menyerah tercecer
Hanyut dalam comberan

15 December 2006

T o m m y

Seperti dikisahkan oleh John Powell, SJ.

14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang gondrong. Penilaian singkatku: dia seorang yang nyentrik, sangat nyentrik. Tommy ternyata betul menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-terusan mengajukan komplain. Dia juga tak bisa percaya bahwa Tuhan mencintai kita tanpa pamrih. Dia melecehkan hal itu.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?" "Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh. "Oh," sahutnya. "Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan." Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil, "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu." Tommy mengangkat bahu, lalu pergi. Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku.

Kemudian kudengar Tommy lulus, dan aku bersyukur. Namun kemudian sebuah kabar sedih : Tommy mengidap kanker, dan sudah mencapai stadium lanjut. Sebelum aku sempat mengunjunginya, dia malah duluan menemuiku. Tubuhnya sudah kisut, dan rambut gondrongnya rontok karena kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas. "Tommy! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya kena kanker, dan hidup saya tinggal beberapa minggu lagi”. Lalu kataku : “Kamu mau membicarakan itu?" Tommy menyahut, "Boleh saja. Apa yang ingin pastor ketahui?" Aku bertanya lagi, "Bagaimana rasanya berumur 24, tapi kematian sudah di depan mata". Dan Tommy menjawab, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tapi mengira bahwa minum, rmain perempuan, dan menguber-nguber harta adalah hal paling penting dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering memikirkan kata-kata pastor itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan, "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital, saya benar-benar menggedor-gedor pintu surga, tapi tak terjadi apa pun. Lalu, saya terbangun suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu. Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa untuk melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy, "Saya teringat tentang pastor dan kata-kata pastor yang lain, “Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kita cintai bahwa kita mencintai mereka. Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit, yaitu... ayah saya."

Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya. "Yah, aku ingin bicara." "Bicara saja.", katanya "Yah, ini penting sekali." Korannya turun perlahan. "Ada apa?". "Yah, aku cinta ayah, aku hanya ingin ayah tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. “Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru mulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya. Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya."

"Tommy," aku tersedak, "Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih.” Lalu aku menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Ia keburu meninggal. Tapi satu hal, ia sudah melangkah jauh dari iman ke visi. Ia sudah menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan banyak orang.

Suster Marietha

(Ini sebuah cerita tentang hal yang, mungkin, bagi banyak dari kita remeh dan sepele. Atau nonsens. Tapi saya ingin membagikannya kepada anda , karena menurut saya kisah ini begitu menyentuh. Semoga bermanfaat. Terima kasih untuk rekan Nicolas Lie yang mengirimkan kisah indah ini).

SAYA adalah seorang biarawati dari tarekat CB yang berkarya di Kupang NTB. Nama saya suster Marietha CB, umur 37. Tiga tahun yang lalu saya divonis oleh dokter di RS Panti Rapih Yogya bahwa saya menderita kanker payudara stadium 1B. Selama 1 tahun lebih saya berusaha minum obat-obatan tradisional dan teh hijau, tapi setelah 1 tahun saya cek kembali ke dokter di Panti Rapih, malah bertambah menjadi stadium 2B. Kemudian oleh seorang ibu di Semarang, saya dianjurkan pergi ke pastor Yohanes Indrakusuma, di desa Cikanyere Cipanas-Jawa Barat, untuk minta didoakan.

Pada waktu pastor Yohanes menumpangkan tangan diatas kepala saya, dia berkata : "Suster, pasti meyimpan dendam yang sudah lama kepada seseorang di hati suster." Mendengar itu saya menangis tersedu-sedu dan saya katakan kepada pastor :"Benar pastor, saya memang membenci ayah saya sejak saya di SMP, karena ayah saya telah menghianati ibu, 2 kakak saya dan saya. Kami diusir dari rumah kami, kemudian ayah dan seorang wanita menempati rumah yang sudah ber-tahun-tahun kami tempati itu".

Sejak itu ibu saya sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkan kami selama-lamanya. Sejak itu saya memendam kebencian terhadap ayah. Setelah mendengarkan cerita saya, pastor Yohanes berkata :"Ya, itulah BIANG dari penyakit suster, selama suster tidak mau mengampuni ayah, obat apapun tidak akan menyembuhkan suster. Dan mengampuni bukan hanya dengan kata-kata, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan."

Setelah itu saya minta izin cuti selam 6 bulan kepada suster provincial CB untuk menengok dan merawat ayah, karena saya dengar dari saudara ayah kalau ayah terkena stroke. Selama 6 bulan itu saya merawat ayah dengan cinta kasih yang tulus. Selama bersama ayah saya tidak minum obat apapun. Setelah selesai masa cuti, sebelum kembali ke Kupang, saya ke RS Panti Rapih di Yogya untuk cek up kembali.

Dokter yang merawat saya sangat heran dia bertanya :"Suster minum obat apa selama ini?" Saya jawab kalau tidak minum apa-apa. Saya balik bertanya ada apa dokter? Dokter menjawab dari hasil pemeriksaan baik darah maupun USG semuanya NEGATIVE. Langsung saya jawab obatnya PENGAMPUNAN. Dokter heran dan bertanya apa maksud suster? Saya ceritakan semuanya, kemudian dokter berkata wah kalau begitu kepada pasien-pasien saya yang menderita kanker, saya akan bertanya apakah Anda punya perasaan dendam atau benci terhadap seseorang. Kalau jawabannya YA, saya akan suruh berdamai dan memberikan pengampunan seperti suster, sambil tertawa-tawa si dokter menepuk pundak saya.

Demikianlah pengalaman yang saya alami bisa dibagikan kepada saudara semua, bahwa PENGAMPUNAN itu sangat besar faedahnya, tidak hanya untuk jasmani tapi juga rohani kita.

14 December 2006

Daun-Daun Menguning

Daun-daun menguning, musim berangkat
coklat, lalu rontok ke bumi --
bagai harapan dan kau. Kita hanya menunggu
segalanya menjadi lengkap. Tak perlu
sajak untuk menandai. Karena kata-kata
juga layu pada saatnya. Kita berbaring saja
diam-diam, di antara musim rebah.
Bermimpi dan mati. Menjelma dongeng
dan asap. Sebelum lalu dilupakan.

12 December 2006

Di Beranda, Larut Malam

Kursi-kursi di beranda
Berkisah padaku
Tentang penantian
Musim dan cuaca tak
Menjanjikan kepastian
Tapi agaknya tak ada
Lagi pilihan lain
Selain menanti

Dari mereka aku
Banyak belajar apa artinya
Kesetiaan dan kesabaran
Aku pun belajar tentang itu
Dari rumput yang merunduk
Tabah di halaman

Tak pernah sekalipun
Kusebut-sebut namamu
Tapi sebagaimana selalu
Diisyaratkan lampu-lampu
Aku senantiasa lebur
Dengan bayangan
Dan tak berjarak
Dengan sunyi

Asalku dulu datang
Dan kembali pulang nanti

10 December 2006

Liburan, Sebuah Tema

Kadang-kadang kau merasa
Tak ubahnya seekor anjing luka
Yang mencoba bersembunyi dari
Keganasan hidup sehari-hari
Lalu kau berharap liburan ini
Bisa menyembuhkan luka-lukamu
Sebelum kau masuki kembali
Hutan belantara dunia

Kalau bisa sebetulnya kau ingin
Cukup menontoni saja hidup
Lewat jendela televisi menyala
Dan mendengar kabarnya dari
Radio tetangga masih berbunyi
Lalu koran-koran lokal barangkali
Bisa juga membantumu tentram
Dengan iklan-iklannya yang edan

Sayangnya kau tak bisa memilih
Liburan bakal segera habis
Televisi akan capek menipumu terus
Lalu kau dengan terpincang-pincang
Melangkah cemas ke luar gua
Dan berhadapan kembali dengan
Kemustahilan demi kemustahilan
Hidup yang satu-satunya ini

08 December 2006

Surat Buat Aa Gym

Aa yang terhormat,

Melalui surat ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aa. Pilihan jujur yang Aa ambil sudah berhasil membangunkan kami dari mimpi “indah” kami yang sebetulnya kosong-melompong. Aa sudah menolong kami menyadari bahwa kita semua ternyata hanya manusia-manusia biasa yang lemah. Bahwa kita hanyalah mahluk rapuh yang tersusun dari daging, tulang , serta sejumlah niat baik yang selalu saja dirongrong niat-niat lainnya.

Tindakan Aa yang tidak populer itu telah membikin banyak orang jadi sewot dan uring-uringan. Memang tidak enak rasanya kalau kita dipaksa bangun dari mimpi indah kita. Tapi siapa yang salah sebetulnya dalam urusan ini? Bukankah kami yang telah memulainya lebih dulu? Kami membutuhkan sebuah sosok “sempurna”, figur “ideal” yang bisa kami jadikan rujukan bahwa hidup kita hari-hari ini belumlah betul-betul bobrok, belum “tamat”. Bahwa masuh ada yang “selamat” dari situasi absurd sekarang ini. Aa telah kami pilih – secara sepihak – untuk menjalankan peran besar dan muskil itu.

Kami telah mendisain Aa sedemikian rupa, memformatnya dengan sempurna, menutup senua celah kemungkinan yang bisa membuat “kacau” citra yang kami ciptakan untuk Aa. Kami telah memaukkan Aa ke dalam semacam kerangkeng, pendek kata kami telah memaksa Aa menjadi “sesuai” dengan apa kehendak kami, seraya melupakan bahwa Aa sebetulnya yang paling berhak mengatur hidup Aa sendiri. Bahwa hidup adalah semacam air yang terus mengalir, dan karenanya manusia – saya, kami. Aa, siapa pun – bisa saja kapan-kapan berubah. Hanya Allah yang tidak berubah, bukan?

Tapi kami rupanya tak siap dengan perubahan itu. Sebagian dari kami begitu marah dan emosional, persis seperti anak-anak yang “ngambek” karena mainannya dirusak. Tapi biar saja begitu. Jalan menuju “pencerahan” sering memang menyakitkan. Saya tetap berterima-kasih kepada Aa karena sudah membantu kami – secara tidak sengaja tentu – mengalami “pencerahan” itu. Tapi urusan kalkulasi “dosa” sebagai akibat dari pilihan yang sudah Aa ambil itu tentu saja menjadi urusan dan tanggung jawab Aa pribadi dengan yang “di atas”. Saya mah kagak ikutan dong.

Demikianlah surat saya ini, yang saya tulis dengan agak terburu-buru, disertai harapan tulus semoga karir Aa tidak lalu jadi ambrol, dan barisan fans Aa tidak juga “bubar jalan” gara-gara kehebohan ini. Salam hormat.

07 December 2006

Belajar Diam

Belajar diam, seperti pohon-pohon
Tunduk dan rendah hati, memandang bumi
Belajar menerima apa pun, seperti rumputan
Mengendap pada tanah, berserah dan istirah

Belajar memberi, seperti lautan
Belajar menerima, seperti pantai, seperti muara
Seperti sungai, tabah dan setia, menghilir
Mengalir pada sunyi kalammu

Belajar diam, seperti batu-batu
Tidak bertanya, seperti musim, seperti cuaca
Mengembang saja, gugur pada saatnya
Seperti daun, seperti bunga

06 December 2006

Senandung

Siapa saya ini kiranya
Selain hanya pejalan saja
Tanpa peta saya susuri gelap usia
Labirin sunyi tanpa nama

Harta dunia dan senjata
Tidak membikin hidup saya lega
Jiwa saya rusuh terus saja ngembara
Dari senja ke senja

Siapa saya ini kiranya
Selain hanya gelandangan saja
Tersaruk-saruk di penjuru benua
Menyandang luka semesta

05 December 2006

H o r i s o n

DIAM-DIAM tanpa disertai banyak keplok tangan majalah sastra Horison memasuki umurnya yang ke-40, Juli 2006 yang lalu. Bisa bertahan begitu lama – di tengah banyak kritik dan cerca serta situasi secara umum yang tidak memihak – sungguh sebuah prestasi yang sangat fenomenal sebetulnya. Empat puluh tahun itu bukanlah masa yang singkat kalau kita ingat bahwa rejim Orde Baru Soeharto saja “hanya” bisa bertahan selama 32 tahun. Jadi, secara goblok bolehlah buat sementara ditarik kesimpulan bahwa majalah Horison ternyata “lebih perkasa” ketimbang sang tiran yang murah senyum itu.

Soal mengapa prestasi fenomenal itu hanya disambut dingin, agaknya itu bersangkutan dengan pamor majalah itu yang oleh banyak pihak diakui kini “sudah luntur”. Sastra Indonesia hari ini mengambil tempat (terbanyak) di halaman-halaman surat kabar, ditambah halaman-halaman buletin di daerah yang secara bergerilya diusahakan para pendukungnya. Kehadiran situs-situs sastra di internet, meskipun untuk saat ini kesannya baru sekadar jadi “penggembira”, diakui atau tidak sudah ikut pula “merongrong” kewibawaan Horison. Jadi, ada banyak “horison” lain, ada banyak pilihan saat ini, sehingga posisi majalah sastra Horison itu sendiri menjadi relatif, bukan lagi “pusat” yang disembah-sembah.

Bermigrasinya sastra kita dari majalah ke koran-koran, mengundang banyak polemik. Katrin Bandel, seorang peneliti sastra Indonesia asal Jerman, memiliki argumen kuat yang mempertanyakan implikasi negatif dari menjamurnya apa yang dengan mudah kini disebut “sastra koran” itu. Dalam analisisnya sastra koran lebih banyak “merugikan” ketimbang “menguntungkan” kehidupan sastra itu sendiri. Lembaran sastra di koran itu sempit kata Katrin, karena itu mustahil mengharapkan lahirnya karya-karya yang dalam dan bermutu dari kondisi itu.

Karena itu ia berharap majalah sastra sekaliber Horison ke depan bisa mengisi kelemahan sastra koran. Hanya saja Horison agaknya tidak (?) tertarik melangkah ke sana. Dalam kata-kata Katrin Bandel : Sayang sekali sampai saat ini Horison tampaknya tidak terlalu berminat memanfaatkan peluang tersebut. Dari tahun ke tahun Horison “begitu-begitu saja”, kalau tidak mau dikatakan “jalan di tempat”, dengan desgin dan format yang ketinggalan zaman dan pilihan tulisan yang sering tidak begitu menarik. Mungkin redaksinya terlalu sibuk mengurus kegiatan lain seperti bertandang ke sana ke mari untuk berinteraksi dengan pelajar di berbagai daerah, atau menyusun keempat “kitab sakti” sastra Indonesia, sehingga tidak sempat memperhatikan kondisi kesehatan majalahnya sendiri (Katrin Bandel dalam :”Majalah Sastra : Sebuah Utopia” – Majalah Horison November 2006).

03 December 2006

Surat Petang

Karena kau tak ada
Aku akan bicara pada kekosongan
Mungkin petang yang tua
Masih sedia mendengarkan
Mungkin akan kutulis
Surat di daun gugur
Atau titip salam
Kepada topan lewat

Dan kalau sebentar
Malam pun turun
Aku mungkin hilang
Atau menjelma ribuan lampu
Atau sekadar bayang-bayang
Malam tak dikenal
Malam-malam biasa
Yang kau lewati
Tanpa menoleh

Karena tak pernah tahu
Kau berada di mana
Aku akan berdamai
Dengan jarak dan kelam
Yang telah mengoyak kita
Jadi jutaan nama
Dan ribuan jurang

Mungkin masih sempat
Kutulis sebaris ke alamat
Langit yang jauh
Tapi untukmu sendiri
Agaknya tak pernah bisa
Selesai kurumuskan

01 December 2006

SmackDown ?

SMACKDOWN sebagai pola pikir dan pola laku sebetulnya sudah lama kita pelihara dan lestarikan. Dalam skala kecil-kecilan kita kerap mempraktikkannya kepada seorang pencuri sandal yang kepergok di masjid, atau seorang maling jemuran yang kebetulan lagi sial. Dalam skala massal dan kolosal kita telah “sukses” menggelar “smackdwon” di Poso, sesudah sebelumnya di Ambon, dan tentu saja di Jakarta saat kerusuhan Mei 1998.

Petugas tramtib di Jakarta juga mahir ber-smackdown. Yang menjadi lawan mereka biasanya para pedagang kakilima atau joki-joki three in one yang kalau pagi pada berdiri berjajar di kawasan elite Jakarta. Belum lama ini ada seorang ibu yang ketangkap, lalu dibotakin kepalanya -- itulah rupanya cara sang petugas tramtib “membanting jatuh” lawannya. Kelompok berjubah putih yang menyebut diri “pembela” salah satu agama mayoritas di sini juga kerap bersmackdown ria ke tempat-tempat yang mereka tuduh sebagai sarang “maksiat”. Di pentas politik? Oh, kita tak pernah kekurangan suguhan “smackdown”.

Maka kalau tayangan “smackdown” diberangus dari layar kaca itu bukan berarti lantas kita bakal kehilangan tontonan itu. Itu juga bukan berarti lalu anak-anak kita menjadi “aman” dari segala ekses pola pikir dan pola laku keras yang tampaknya makin jadi “biasa” itu. Suguhan berita kriminal di koran dan tetelvsi akan tetap dan terus ada, karena memang sebagian dari kita menyukainya. Dan sebagai komoditas ia tak kenal musim. Statistik juga membuktikan bahwa suguhan tontonan keras digemari banyak orang. Ini lalu artinya apa?

Penjelasan “bodoh”nya barangkali, karena di dalam diri setiap kita ternyata mengendon naluri “binatang” yang sesewaktu butuh dpuaskan.Tontonan “smackdown” menjadi kanal bagi sang hewan untuk sebentar memuaskan naluri purbanya itu. Jadi, percuma sajakah kita ribut-ribut melarang tayangan “smackdown” beberapa pekan ini? Tidak juga sih, hanya saja janganlah kelewat berharap bahwa urusan akan begitu gampang selesai dengan cara main larang ini atau itu, seperti kebiasaan kita selama ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...