https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 February 2008

Di Meja Makan Teringat Sapardi

Di meja ini kami bertiga : aku, lapar, dan piring
Kalian pasti tahu, lapar barulah sempurna lapar
Kalau ada nasi yang bisa dikunyah habis
Tak peduli itu nasiku, atau nasi orang lain

Halte

Kita berdiri di sini
seperti yang lainnya,

menanti kata tiba,
menjemput & membawakan

kisah-kisah baru.

Tapi kita tak tahu,
seperti juga yang lainnya,

bisa sampaikah kata
pada judul baru,

atau alamat singgah,

yang melambai
di antara remang baris
pada kelok waktu.

Yang menunggu kita
di antara gigil sakit,

pada akhir bait.

27 February 2008

Penjara

Kini aku tahu
Waktu terbikin dari kamu
Pecahannya yang tak sempurna
Memenjarakanku di dalamnya
Sebagai pesakitan dungu
Lapar lagi kesepian
Mengintip dari sela jerujinya
Kalau-kalau sipir pendiam
Tapi baik hati itu
Datang membawakan
Serenceng kunci pembebasan
Sebagai bekalku menempuh
Dunia di luar kurungan ini
Sebab kini aku paham
Waktu sebetulnya adalah kita
Rindu yang tak terbagikan
Kisah-kisah yang menolak
Terpisah dalam penjara

25 February 2008

Membaca Peta

Kaki tak pernah
Merasa mengerti
Ke mana tujuan
Perjalanan ini

Sepatu tak merasa
Perlu mengusut
Ke mana sebetulnya
Ia diajak pergi

Jalan tak pernah
Berjanji akan membawa
Mereka sampai pada
Alamat tujuan

Kaki dan sepatu
Aku pun tak paham
Bagaimana membaca
Peta buta musim ini

22 February 2008

Berapa Honor "Layak" untuk Puisi?

BERAPA honor yang “pantas” diterima seorang penyair atas sajaknya? Sampai saat ini tak ada patokan, ukuran, atau apalagi aturan tentang itu. Tentu saja setiap koran atau media berhak menerapkan aturannya sendiri. Konon honor terendah atas puisi di koran sekarang 50 ribu. Tapi saya tak yakin. Rasanya masih ada penyair yang sekarang dibayar di bawah bilangan itu, tapi sayang saya tak punya datanya.

Di tahun 1980-an honor yang saya terima dari koran dan majalah yang memuat puisi saya berkisar antara 4 ribu sampai 15 ribu per puisinya. Honor puisi majalah Horison ketika itu juga berkisar antara 5 sampai 10 ribu per puisi. Seperti banyak penyair lokal lainnya saya tak pernah kelewat merisaukan masalah honor ini.

Para penyair kita agaknya sudah terkondisi secara psikologis untuk menerima kenyataan bahwa penyair memang “pantas” dibayar sekadarnya. Alih-alih meributkan honor, bahwa ternyata ada koran yang masih mau memuat puisi saja kami sudah pada senang sekali. Di masa itu (1980-an), asal tahu saja, Kompas “mengharamkan” halamannya dimuati sajak. Maka bayaran honor yang murah meriah itu kemudian diterima sebagai “bonus” yang sudah selayaknya disyukuri.

Karena itu pula sewaktu di tahun 1992 Rendra bikin acara baca puisi dan ia menerima bayaran 12 juta banyak orang pada geger. Ada yang meneriakinya “pengkhianat”, “pedagang”, “komersial”, seakan-akan tabu hukumnya kalau seorang penyair mendapat banyak duit dari karyanya. Seolah hanya profesi lain yang pantas mendapat perlakuan semacam itu.

Sekarang ini boleh dikata kondisi sudah lebih membaik. Ada sejumlah lembaga yang secara berkala rajin membagi-bagikan hadiah yang nilainya bagi saya sungguh “ruar biasa”. Selain hajatan Khatulistiwa Literary Award, dan sejumlah award dari lembaga lain, kini juga ada Anugerah Sastra Pena Kencana.yang juga menganggarkan dana besar untuk, dalam kata-kata Triyanto Triwikromo, Direktur Program ini, “lebih memartabatkan sastrawan”.

Tentu saja ini semua cerita baik. Tetapi barangkali tak ada salahnya justru dalam kondisi yang sudah makin membaik ini para penyair diam-diam saling bertanya kepada diri sendiri, layakkah sebetulnya karya-karya mereka diganjar seroyal itu?

21 February 2008

Puisi Anak

Puisi Anak 1

Anakku menulis puisi
Baris-baris sederhana
Merekam pikiran sederhana
Hidup yang belum dilukai


Puisi Anak 2

Anakku menulis tentang lemari
Tempat baju-bajunya disimpan
Saya hendak sedikit menambahkan
Tapi lantas saya batalkan sendiri

Kelak suatu hari nanti
Dia juga bakal paham pasti
Betapa baju hanyalah selubung semu
Dan lemari merawat kepalsuan itu

20 February 2008

Menunggu Kau Tiba

Koran dibolak-balik
Headline yang itu-itu juga
Lusuh dalam genggaman
Bahan yang mau diobrolkan
Diringkas sambil lalu
Kabar apa dia bawa nanti
Sudah sepuluh tahun lalu
Apakah dia akan berseru
Memanggil dari balik pagar
Atau pelan diketuknya pintu
Barangkali sedikit sangsi
Betulkah ini alamatnya kini
Koran yang sama ditaruh
Headline yang itu-itu lagi
Mengabur huruf-hurufnya
Mengapa belum datang juga
Pasti bukan lantaran macet
Ini Sabtu pagi kau tahu
Jalanan lengang mustinya
Sudah kusiapkan kejutan
Sekadar memaksanya tertegun
Sungguh senang melihatnya
Ternganga seraya membelalak
Tapi sudah sepuluh tahun lalu
Masihkah dia seperti itu
Sekarang hampir jam sebelas
Sepertinya kudengar suara keras
Mobil diparkir lambat-lambat
Atau semata hatiku yang tercekat

18 February 2008

Mula Puisi

Rahib saleh Benediktus
Mencopot apak jubahnya
Melempar diri konon
Bugil telanjang begitu saja
Ke rimbun semak duri
Guna sembunyi dari
Dan membunuh mati
Itu bebayang peri
Mengapa nian teramat
Menggoda dalam benak

Adam bapakku
Dulu tak begitu amat
Sewaktu datang
Itu bidari merayu
Menyodorinya bebuah
Matang lagi lasak
Melompatlah mereka
Melompat berdua-dua
Bugil telanjang begitu saja
Ke rimbun semak sepi

Hingga lahirlah lalu puisi
Dan mengisi penuh ini bumi
Dengan mimpi sehari

17 February 2008

Bayi Puisi

Jangan memaksaku
Lahir sebelum waktu
Sembilan bulan
Kiranya digenapkan

Sembilan bulan
Waktu yang kuperlukan
Melengkapkan kata
Merampungkan tapa

15 February 2008

Bongkar Pasang Sajak

SEORANG penyair bisa terkecoh oleh puisinya sendiri. Sering terjadi ia mengira baru saja melahirkan sebuah masterpiece, tapi kemudian—kadang hanya perlu waktu sehari, atau malah beberapa jam saja--dia sadar yang barusan dibuatnya ternyata hanya “sampah”. Pada momen yang “menyakitkan” ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Dia mungkin akan mencoba menyelamatkan “karya besar”nya itu, mengobrak-abriknya lagi di sana-sini. Atau, kalau dia tak melihat peluang untuk itu, dia akan melupakannya.

Kegagalan seorang penyair untuk memuaskan libido estetiknya sendiri ini, mungkin pertanda bahwa puisi itu memang belum waktunya lahir. Mungkin saja itu berarti tema atau muatan puisi itu masih perlu pengendapan lebih jauh. Atau, bisa saja kegagalan itu petunjuk sederhana bahwa amunisi puitiknya tak memadai untuk menembak jatuh bahan yang dibidiknya.

Maaf, saya tak hendak menggurui anda. Ini hanya sekedar pengantar untuk contoh kasus yang saya alami sendiri dengan puisi “Larik Bachri” yang pernah dipajang di halaman ini beberapa waktu lalu. Kini puisi yang sama dipublish kembali setelah diobok-obok di sana-sini. Saya merasa puisi itu sekarang tampil “mendingan”, tapi bisa dan boleh-boleh saja pembaca tak sepakat, bukan?

Larik Bachri

Bachri perlu bir katanya
Supaya darah ngalir
Nembus musim dalam aorta

Bachri mimpi kapak
Menetak leher sendiri
Meretas jalan luka

Bachri rindu langit
Memanjat baris sajak
Mau sampai puncak katanya

Oh Bachri minta tuhan
Untuk mati sehari
Agar tenang di bumi

13 February 2008

Terobosan Besar Pena Kencana

MASYARAKAT puisi Indonesia mendapat kado istimewa tahun ini. Sesudah bertahun-tahun mendapat perlakuan layaknya “kasta paria”—terlunta dan kagak dianggap--mereka kini bolehlah sedikit ge-er karena adanya hajatan royal Anugerah Sastra Pena Kencana. Hajatan yang diprakarsai PT Kharisma Pena Kencana ini rencananya akan digelar saban tahun. Dari forum ini tiap tahunnya akan dipilih 100 puisi yang dianggap terbaik, hasil seleksi dari sejumlah koran nasional dan daerah selama satu tahun sebelumnya.

Disediakan honor “layak” untuk puisi yang berhasil terpilih. Puisi-puisi itu kemudian akan diterbitkan sebagai buku oleh sebuah penerbit besar di sini. Selesai? Belum. Dari 100 puisi itu nantinya akan dipilih satu yang dianggap “terbaik”. Dan pilihan menuju “nomor 1” itu diserahkan sepenuhnya ke para pembaca buku tersebut lewat polling SMS. Dan bagi yang beruntung terpilih menjadi yang “nomor 1” itu panitia telah menganggarkan duit 50 juta rupiah (!) sebagai imbalannya.

Bukan itu saja. Para pengirim polling SMS itu pun berpeluang mengantongi sejumlah hadiah yang sangat lumayan jumlahnya. Untuk pemenang pertama disediakan 25 juta, pemenang kedua 15 juta, dan 10 juta untuk pemenang ketiganya. Menarik bukan? Kalau kepingin tahu lebih jelasnya silakan masuk ke situs Pena Kencana, silakan klik saja di sini.

12 February 2008

Merebus Kata

Campurkan air mata
Jangan lupa tambahkan juga
Kecut keringat bumi

Aduklah sekaliannya
Dalam deras kuah waktu

Tunggu sebentar
Cuaca yang mendidih
Bakal mematangkannya

Kamu yang lapar
Ayo santaplah
Ini rebusan luka musim

Sudah sedapkah
Atau belum cukup biadab?

10 February 2008

Larik Bachri

Dia perlu bir
Supaya darah mengalir
Lebih deras dari sungai

Dia mimpi kapak
Menetak leher sendiri
Meretas jalan ke langit

Dia rindu puncak
Yahudi lapar buas
Sebuah golgota

Oh dia minta tuhan
Untuk mati sehari
Agar tenang di bumi

08 February 2008

Horor dan Proses Penciptaan

PROSES penciptaan adalah jalan yang penuh resiko.Yang dimaksud di sini adalah resiko untuk gagal. Dan itu seringkali menjadi momen yang “menyakitkan”. Seorang pencipta. sebutlah seorang penyair, bisa saja meniatkan menulis sebuah puisi bagus. Tapi niat saja ternyata tak cukup. Tak pernah akan cukup.

Karena puisi bukan aljabar, maka tak ada jaminan ia bakal sampai dengan selamat di ujung lorong yang remang itu. Tak ada “seribu rumus ilmu penuh janji”—untuk mengutip Subagio Sastrowardoyo—yang akan menuntunnya dengan ramah-tamah sampai di tujuan. Maka betullah juga apa yang pernah dikatakannya dulu, yaitu bahwa seorang penyair adalah seorang “petarung tunggal” yang mempertaruhkan “segalanya” di garis depan.

Meskipun dalam praksisnya kadang ada saja puisi yang bisa dirampungkan dalam hitungan menit, sementara puisi lainnya menyita waktu berpekan-pekan, atau bahkan berbulan-bulan, hakikatnya tak pernah ada proses penciptaan yang “mudah”. Dalam urusan penciptaan, peluang untuk “berhasil” atau “gagal” selalu sama besarnya. Selalu ada semacam “horor” yang membayangi sewaktu sebuah sajak mulai dituliskan.

Atau dalam kata-kata Goenawan Mohamad, “Tiap karya adalah permainan dengan kegagalan”(periksa bukunya, Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai, KataKita 2007).

Genangan Sajak Ini

Genangan

Aku percaya
Sudut-sudutmu menyimpan kisah
Tak terduga

Maka
Sebelum sirna
Surut ke dasar waktu

Sudilah kiranya berbagi
Rahasiamu barang sesajak


Sajak Ini

Sajak ini
Hanya semacam
Persinggahan sebentar

Aku tak tahu
Ke mana lagi musim bertiup
Sesudah ini

Jadi tak ada apa pun
Bisa kujanjikan padamu

Kata-kata ini
Tak kekal
Seperti cuaca

Dan aku sekadar bertolak
Dari judul ke judul

Merampungkan sakitnya

05 February 2008

Sajak Pinggir Jalan

Kata-katanya kupungut
Sembarang dari dalam comberan
Tak sempat lagi kubersihkan
Lumpur dan busuk bau sampah
Masih melumuri barisnya

Tak bisa memilih tema
Jam di sini begitu bergegas
Mendesakkan tawaran
Kukira semacam ancaman
Yang tak bisa kutampik

Mungkin ada yang terbunuh
Pada akhir bait ia menjerit
Tapi tak bisa kupastikan betul
Sebab jalanan begitu gemuruh
Menghapus judul yang kutorehkan

03 February 2008

Dua Sajak dari Berita Koran

Bab Mutilasi

Meski kau bunuh aku
Beset dagingku
Sebait demi sebait
Meski kau penggal judul
Putuskan baris dan kata
Jiwaku yang lara
Lukaku yang purba
Luput masih kau baca
Sebab sajak hanyalah jejak
Semu di ambang gerbang
Yang tak bisa dibuka
Tak bisa lagi kau kuak
Kata menjelma kembali
Burung terbang merdeka
Melintas samar cuaca
Batas remang kejadian
Begitu rampung dituliskan


Bunuh Diri

Telah kuputuskan
Di sini hidupku berakhir

Kuterjunkan diri
Sempurna tak bersisa
Ke jurang kata
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...