Sesekali
Kata-kata juga
Perlu berlibur
Menjenguk sunyi
Yang bertapa di gunung
Melupakan
Rindu dan luka
Yang bikin hidup ngilu
Kembali ke pantai
Melambai ibu lautan
Memulangkan
Ombak ke cakrawala
Sesekali
Kata-kata juga
Perlu refreshing
Ikut tour
Keliling kota-kota jawa
Merambah pulau nusantara
Yang membujur
Dari barat ke timur
Yang merekat
Sekarat dan umur
Jadi bagian
Kisah &
Takdir kita?
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
30 June 2008
27 June 2008
Bunda Puisi
Anak Sajak
Sebelum tumbuh kau dewasa
Wajib aku menjagamu
Mengawalmu dengan rima
Mengantarmu ke pangkal rindu
Kelak tiba masanya
Kata-kata telah matang dewasa
Selesai juga sudah tugas bunda
Mengenalkannya pada luka
Sajak Dewasa
Kini kata-kata sudah dewasa
Tak berhak lagi kucegah mereka
Ngembara pergi ke mana suka
Jauh menyebrang tapal bahasa
Sebelum tumbuh kau dewasa
Wajib aku menjagamu
Mengawalmu dengan rima
Mengantarmu ke pangkal rindu
Kelak tiba masanya
Kata-kata telah matang dewasa
Selesai juga sudah tugas bunda
Mengenalkannya pada luka
Sajak Dewasa
Kini kata-kata sudah dewasa
Tak berhak lagi kucegah mereka
Ngembara pergi ke mana suka
Jauh menyebrang tapal bahasa
26 June 2008
Nyanyian Preman
Karena aku preman
Barangkali aku mati di jalan
Tanpa kuburan namaku
Terhapus angin dan debu
Kalau besok pagi
Atau malam nanti kumati
Yang lain menggantikan
Mengangkangi ini pertigaan
Di dunia kami yang kasar
Semua berlangsung sebentar
Kejadian silih berganti
Bajingan datang dan pergi
Nasib bergulir di jalan
Tak pernah kutahu persisnya
Ajalku di sana barangkali saja
Karena aku tulen preman
Barangkali aku mati di jalan
Tanpa kuburan namaku
Terhapus angin dan debu
Kalau besok pagi
Atau malam nanti kumati
Yang lain menggantikan
Mengangkangi ini pertigaan
Di dunia kami yang kasar
Semua berlangsung sebentar
Kejadian silih berganti
Bajingan datang dan pergi
Nasib bergulir di jalan
Tak pernah kutahu persisnya
Ajalku di sana barangkali saja
Karena aku tulen preman
25 June 2008
Duel
Aku menantimu
Di puncak baris
Dengan sepi terhunus
Datanglah padaku
Jika kau bernyali
Jika sungguh kau pencinta
Kita putuskan
Sengketa purba ini
Dengan kilau kelebat kata
Mungkin kau
Barangkali saya
Rebah bersimbah
Dengan rindu tertebus
Manis pisau puisi
Di puncak baris
Dengan sepi terhunus
Datanglah padaku
Jika kau bernyali
Jika sungguh kau pencinta
Kita putuskan
Sengketa purba ini
Dengan kilau kelebat kata
Mungkin kau
Barangkali saya
Rebah bersimbah
Dengan rindu tertebus
Manis pisau puisi
23 June 2008
Sepatu
Sepatu 1
Seingatku
Tak pernah aku bertanya
Misalnya
Menanyakan padanya
Sopan dan baik-baik
Apakah ia mungkin
Sedang malas keluar
Ini kali
Dan lebih suka
Tinggal aman di rumah?
Sepatu 2
Sewaktu berangkat
Kupaham, betapa kami
Sama tak bisa menduga
Apa menanti kami
Di luar rumah
Nun di jalan sana.
Sewaktu berangkat
Kusadar, sungguh kami
Sama tak berdaya
Piatu menyusur usia
Seingatku
Tak pernah aku bertanya
Misalnya
Menanyakan padanya
Sopan dan baik-baik
Apakah ia mungkin
Sedang malas keluar
Ini kali
Dan lebih suka
Tinggal aman di rumah?
Sepatu 2
Sewaktu berangkat
Kupaham, betapa kami
Sama tak bisa menduga
Apa menanti kami
Di luar rumah
Nun di jalan sana.
Sewaktu berangkat
Kusadar, sungguh kami
Sama tak berdaya
Piatu menyusur usia
20 June 2008
Binhad Nurrohmat, Sang Demonstran Sexi
Kami buang tahi
sambil menulis puisi.
Kami benci puisi
bertampang politisi.
(Sajak "Penyair Murni")
BINHAD NURROHMAT adalah sebuah perlawanan. Begitulah saya menafsirkan segala sepak-terjang sastranya selama ini. Perlawanan itu sudah mulai bahkan dari hal-hal yang “sepele”, misalnya pada kebiasaannya menuliskan puisinya dengan tipografi “rata kanan”. Terlihat sepele, tapi setahu saya hanya dialah penyair kita yang secara konsisten-permanen menulis puisi dengan tata-letak demikian. Dan itu membuat kehadirannya menjadi segera gampang dikenali.
Perlawanan lainnya, yang lebih substansial, adalah ketika ia secara secara sadar dan konsisten menjadikan “tubuh” dengan segala konsekuensi estetis-biologis yang mengikutinya sebagai lahan garapan puisinya. Para pembaca yang sok moralis berlomba-lomba meneriakinya sebagai “penyair perusak ahlak” dan makian lain semacamnya. Tapi begitulah, dengan pilihan puitikanya itu Binhad telah menjadikan dirinya sebuah ikon unik dalam peta perpuisian nasional.
Kitab “Demonstran Sexi”, kumpulan sajaknya yang paling gres (penerbit Koekoesan, Mei 2008) masih meneruskan “perlawanan” itu. Bedanya perlawanan itu dilakukan dengan semangat berolok-olok dan seloroh yang kental. Puisi-puisi Binhad dalam kumpulan ini dengan segera mengingatkan saya pada model sajak yang ditawarkan gerakan puisi mbeling beberapa puluh tahun lalu. Bukankah semangat “perlawanan” juga yang dulu menjadi pemantik awal lahirnya “mazhab” itu?
Binhad Nurohmat kini “memanfaatkan” gaya mbeling itu untuk merespons berbagai hal yang mengusik dan mengganggunya. Ia misalnya meledek dengan satiris gejala “post power syndrome” yang menjangkiti sejumlah penyair “tua” kita (hal. 6 & 7), menyindir kesukaan “bergerombol” pada sejumlah sastrawan (hal. 18), yang buntutnya hanya melahirkan polarisasi tak sehat dalam kehidupan sastra di sini (hal. 17, 20, 41).
Dan kepada mereka yang gemar menjulukinya “seniman perusak ahlak” dengan santai ia menitipkan pesan dalam puisi “Penyair Pidato Kebudayaan 2006” (hal. 11). Ia juga menulis puisi “Monkey Literary Award” (hal. 45) yang menyindir sebuah ajang sastra berhadiah besar di sini, yang maunya menjadi proyek prestisius, tapi karena kelemahan dalam sistem penjuriannya, kini sering malah menjadi bahan sinisme di kalangan sastrawan sendiri. Dan masih banyak hal lain lagi yang ditulis Binhad.
Kumpulan puisi “Demonstran Sexi” memang bukan kitab sastra istimewa, kita mungkin boleh menganggapnya saja sebagai “selingan” dari kiprah sastra penulisnya. Tapi bagi saya sendiri buku ini terasa cukup menyegarkan dan “membebaskan”. Maka jika anda telanjur sudah menjadi penggemar berat Binhad, atau sebaliknya anda adalah “musuh besarnya”, kitab puisi ini, tak bisa tidak, wajib anda miliki.
sambil menulis puisi.
Kami benci puisi
bertampang politisi.
(Sajak "Penyair Murni")
BINHAD NURROHMAT adalah sebuah perlawanan. Begitulah saya menafsirkan segala sepak-terjang sastranya selama ini. Perlawanan itu sudah mulai bahkan dari hal-hal yang “sepele”, misalnya pada kebiasaannya menuliskan puisinya dengan tipografi “rata kanan”. Terlihat sepele, tapi setahu saya hanya dialah penyair kita yang secara konsisten-permanen menulis puisi dengan tata-letak demikian. Dan itu membuat kehadirannya menjadi segera gampang dikenali.
Perlawanan lainnya, yang lebih substansial, adalah ketika ia secara secara sadar dan konsisten menjadikan “tubuh” dengan segala konsekuensi estetis-biologis yang mengikutinya sebagai lahan garapan puisinya. Para pembaca yang sok moralis berlomba-lomba meneriakinya sebagai “penyair perusak ahlak” dan makian lain semacamnya. Tapi begitulah, dengan pilihan puitikanya itu Binhad telah menjadikan dirinya sebuah ikon unik dalam peta perpuisian nasional.
Kitab “Demonstran Sexi”, kumpulan sajaknya yang paling gres (penerbit Koekoesan, Mei 2008) masih meneruskan “perlawanan” itu. Bedanya perlawanan itu dilakukan dengan semangat berolok-olok dan seloroh yang kental. Puisi-puisi Binhad dalam kumpulan ini dengan segera mengingatkan saya pada model sajak yang ditawarkan gerakan puisi mbeling beberapa puluh tahun lalu. Bukankah semangat “perlawanan” juga yang dulu menjadi pemantik awal lahirnya “mazhab” itu?
Binhad Nurohmat kini “memanfaatkan” gaya mbeling itu untuk merespons berbagai hal yang mengusik dan mengganggunya. Ia misalnya meledek dengan satiris gejala “post power syndrome” yang menjangkiti sejumlah penyair “tua” kita (hal. 6 & 7), menyindir kesukaan “bergerombol” pada sejumlah sastrawan (hal. 18), yang buntutnya hanya melahirkan polarisasi tak sehat dalam kehidupan sastra di sini (hal. 17, 20, 41).
Dan kepada mereka yang gemar menjulukinya “seniman perusak ahlak” dengan santai ia menitipkan pesan dalam puisi “Penyair Pidato Kebudayaan 2006” (hal. 11). Ia juga menulis puisi “Monkey Literary Award” (hal. 45) yang menyindir sebuah ajang sastra berhadiah besar di sini, yang maunya menjadi proyek prestisius, tapi karena kelemahan dalam sistem penjuriannya, kini sering malah menjadi bahan sinisme di kalangan sastrawan sendiri. Dan masih banyak hal lain lagi yang ditulis Binhad.
Kumpulan puisi “Demonstran Sexi” memang bukan kitab sastra istimewa, kita mungkin boleh menganggapnya saja sebagai “selingan” dari kiprah sastra penulisnya. Tapi bagi saya sendiri buku ini terasa cukup menyegarkan dan “membebaskan”. Maka jika anda telanjur sudah menjadi penggemar berat Binhad, atau sebaliknya anda adalah “musuh besarnya”, kitab puisi ini, tak bisa tidak, wajib anda miliki.
19 June 2008
Perjalanan Sajak
Dari seratus sajak yang susah payah kau tulis
Sepuluh saja mungkin yang sungguh sajak
Kau kirim lantas yang sepuluh itu
Ke koran lokal suka memuat sajak-sajak majal
Tuan redaktur nan gemar bermain teka-teki
Berkenan mengijinkan dua nampang di pojok
Nun di mana, seorang entah sesiapa, mengutuk:
"Redaktur tolol, penyair goblok, sajak taik!”
Sepuluh saja mungkin yang sungguh sajak
Kau kirim lantas yang sepuluh itu
Ke koran lokal suka memuat sajak-sajak majal
Tuan redaktur nan gemar bermain teka-teki
Berkenan mengijinkan dua nampang di pojok
Nun di mana, seorang entah sesiapa, mengutuk:
"Redaktur tolol, penyair goblok, sajak taik!”
18 June 2008
Penyair Pemalu
Sewaktu datang panitia mengundangnya baca puisi,
dengan tersipu seraya berkeringat menjawab ia :
“Panggung membikin saya canggung, sangar mata
hadirin akan menyihirku gementar dingin.”
Lantas ia pun nyelinap pergi kembali ke belakang sajak,
bahagia mendekap bagian kata yang jadi miliknya
dengan tersipu seraya berkeringat menjawab ia :
“Panggung membikin saya canggung, sangar mata
hadirin akan menyihirku gementar dingin.”
Lantas ia pun nyelinap pergi kembali ke belakang sajak,
bahagia mendekap bagian kata yang jadi miliknya
16 June 2008
Nonton Bola, Nonton Puisi
PUISI yang baik barangkali boleh diumpamakan dengan sebuah permainan sepak bola yang baik. Puisi yang baik, seperti halnya permainan sepak bola yang baik, mengisyaratkan adanya penguasaan skill yang tinggi, stamina yang prima, plus kreativitas yang luar biasa. Puisi yang baik adalah kompilasi dari ketiga faktor itu, ditambah satu lagi, yaitu “nasib baik”.
Pembaca yang cermat akan melihat seorang penyair menyusun puisinya seperti sebuah kesebelasan menyusun serangannya. Kata-kata dialirkan dari baris ke baris lewat operan-operan pendek yang efisien, through pass, wall pass yang menyayat emosi, atau umpan-umpan lambung dan silang yang memanfaatkan lebar dan luas lapangan imajinasi dengan akurasi yang terukur.
Tapi skill tinggi saja tidak memadai. Puisi yang baik ternyata adalah puisi yang juga sukses menjaga tempo dan ritmenya. Konsistensi, adalah persyaratan berikutnya.
Kotak penalti adalah area yang paling krusial dan sensitif. Di sinilah sebuah permainan diuji dan dinilai. Di kotak penalti inilah nyawa sebuah puisi dipertaruhkan. Skill tinggi, stamina bagus, kreativitas yang super menjadi mubazir saja, kalau tidak ada gol yang tercipta, bukan? Seorang penyair akan berdaya sekeras bisa demi menyarangkan gol untuk puisinya.
Begitu krusial dan sensitifnya kotak penalti, sehingga seorang penyair kerap melakukan banyak blunder dan kesalahan yang tidak perlu. Ia mungkin bertindak kesusu, menjadi gugup, sehingga sontekan kaki atau sundulannya melenceng, atau membentur tiang gawang, atau malah nyasar ke pelukan sang kiper lawan.
Seorang penyair mungkin juga tergoda untuk bermain “nakal” di kotak penalti. Ia mungkin terjebak dalam permainan kasar, atau curang, berpura-pura jatuh untuk mengecoh wasit, dengan maksud mendapatkan hadiah penalti, yang akhirnya membuka peluang besar ke arah terciptanya gol. Tujuan menghalalkan cara juga terjadi di lapangan puisi.
Karena itu, tidak pernah ada sajak yang sempurna, seperti juga tak pernah ada permainan sepak bola yang sepenuhnya “fair” dan “sportif: Puisi yang akhirnya “lulus” dianggap baik juga tidak bisa lepas dari cacat-cacat manusiawi sang penyairnya. Konsep luhur “fair play” memang hanya akan jadi slogan dan utopia belaka.
Tapi mungkin justru di situlah letak “kebesaran” dan “keagungan” sebuah karya. Cacat manusiawi yang terbawa padanya dengan demikian menjadi gambaran yang paling sempurna dan representatif dari kondisi kemanusiaan yang hakikatnya memang “retak”, alias tidak paripurna.
Jadi, kalau anda sungguh pencinta puisi, jangan lewatkan perhelatan akbar Euro 2008. Banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa dipelajari seorang penyair di sana. Nggak percaya? Makanya nongton donk …
Pembaca yang cermat akan melihat seorang penyair menyusun puisinya seperti sebuah kesebelasan menyusun serangannya. Kata-kata dialirkan dari baris ke baris lewat operan-operan pendek yang efisien, through pass, wall pass yang menyayat emosi, atau umpan-umpan lambung dan silang yang memanfaatkan lebar dan luas lapangan imajinasi dengan akurasi yang terukur.
Tapi skill tinggi saja tidak memadai. Puisi yang baik ternyata adalah puisi yang juga sukses menjaga tempo dan ritmenya. Konsistensi, adalah persyaratan berikutnya.
Kotak penalti adalah area yang paling krusial dan sensitif. Di sinilah sebuah permainan diuji dan dinilai. Di kotak penalti inilah nyawa sebuah puisi dipertaruhkan. Skill tinggi, stamina bagus, kreativitas yang super menjadi mubazir saja, kalau tidak ada gol yang tercipta, bukan? Seorang penyair akan berdaya sekeras bisa demi menyarangkan gol untuk puisinya.
Begitu krusial dan sensitifnya kotak penalti, sehingga seorang penyair kerap melakukan banyak blunder dan kesalahan yang tidak perlu. Ia mungkin bertindak kesusu, menjadi gugup, sehingga sontekan kaki atau sundulannya melenceng, atau membentur tiang gawang, atau malah nyasar ke pelukan sang kiper lawan.
Seorang penyair mungkin juga tergoda untuk bermain “nakal” di kotak penalti. Ia mungkin terjebak dalam permainan kasar, atau curang, berpura-pura jatuh untuk mengecoh wasit, dengan maksud mendapatkan hadiah penalti, yang akhirnya membuka peluang besar ke arah terciptanya gol. Tujuan menghalalkan cara juga terjadi di lapangan puisi.
Karena itu, tidak pernah ada sajak yang sempurna, seperti juga tak pernah ada permainan sepak bola yang sepenuhnya “fair” dan “sportif: Puisi yang akhirnya “lulus” dianggap baik juga tidak bisa lepas dari cacat-cacat manusiawi sang penyairnya. Konsep luhur “fair play” memang hanya akan jadi slogan dan utopia belaka.
Tapi mungkin justru di situlah letak “kebesaran” dan “keagungan” sebuah karya. Cacat manusiawi yang terbawa padanya dengan demikian menjadi gambaran yang paling sempurna dan representatif dari kondisi kemanusiaan yang hakikatnya memang “retak”, alias tidak paripurna.
Jadi, kalau anda sungguh pencinta puisi, jangan lewatkan perhelatan akbar Euro 2008. Banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa dipelajari seorang penyair di sana. Nggak percaya? Makanya nongton donk …
13 June 2008
Sepak Bola
Main bola
Dan menulis sajak
Nyata banyak miripnya
Ini hanya soal
Menjinakkan situasi
Kau giring bola
Itu seperti penyair
Mengawal kata-kata
Menjaganya cermat
Dengan taruhan luka
Dari sergapan lawan
Yang dalam hal penyair
Ialah waktu si pencuri
Pada akhirnya tak soal
Gaya apa kau pakai
Yang penting ternyata
Kejelian menangkap
Kejadian tak disangka
Sebab kata bagai bola
Liar bergulir menantikan
Siapa kiranya kaki sejati
Menyepaknya mantap
Mendorongnya pasti
Pada wujud takdirnya
Yang sebagai gawang
Nganga terbuka
Dan menulis sajak
Nyata banyak miripnya
Ini hanya soal
Menjinakkan situasi
Kau giring bola
Itu seperti penyair
Mengawal kata-kata
Menjaganya cermat
Dengan taruhan luka
Dari sergapan lawan
Yang dalam hal penyair
Ialah waktu si pencuri
Pada akhirnya tak soal
Gaya apa kau pakai
Yang penting ternyata
Kejelian menangkap
Kejadian tak disangka
Sebab kata bagai bola
Liar bergulir menantikan
Siapa kiranya kaki sejati
Menyepaknya mantap
Mendorongnya pasti
Pada wujud takdirnya
Yang sebagai gawang
Nganga terbuka
12 June 2008
Kutuk Porong
Di sini dulu kalau tak salah letak rumah
Kami, ada halaman kecil, pepohon jambu
Dekat pagarnya dari bambu kuning terpilih
Serambi dan ruang tetamunya teduh menatap
Jauh ke utara, di ruang tengah agak sedikit
Menyudut televisi kami empat belas inci
Berkumpul kami anak beranak saban malamnya
Nonton hiburan murah-meriah melupakan
Keluh kesah ratap sehari-hari sudahlah biasa
Bila malam pelan beranjak semakin jauh
Anak-anak kami tidurkan, memeluk bebintang
Istriku menyusul tak lama sesudahnya sedang
Aku kembali ke ruang tengah di sudut itu
Kuambil koran pagi lusuh belum semua terbaca
Atau kunyalakan lagi televisi kami empat belas
Inci, suara-suara tetangga masih belum terlelap
Nyaring kadang menembus udara kampung kami
Hening bening sungguh tak pernah seingatku
Terendus tanda-tanda mendadak segalanya
Lalu jadi genting dan nasib pun pecah berkeping
Begitu saja, ya, ya sekarang rasanya kupasti di sini
Betul letaknya rumah kami dulu itu, dekat surau
Ada wartel dan puskesmas di ujung jalan sana
Lapangan olah raga dan sekolah anak-anak kami
Tak kupaham bagaimana caranya musti kutebus
Mimpi mereka kini jauh terkubur di bawah
Hitam gegumpal kutukmu Porong
Kami, ada halaman kecil, pepohon jambu
Dekat pagarnya dari bambu kuning terpilih
Serambi dan ruang tetamunya teduh menatap
Jauh ke utara, di ruang tengah agak sedikit
Menyudut televisi kami empat belas inci
Berkumpul kami anak beranak saban malamnya
Nonton hiburan murah-meriah melupakan
Keluh kesah ratap sehari-hari sudahlah biasa
Bila malam pelan beranjak semakin jauh
Anak-anak kami tidurkan, memeluk bebintang
Istriku menyusul tak lama sesudahnya sedang
Aku kembali ke ruang tengah di sudut itu
Kuambil koran pagi lusuh belum semua terbaca
Atau kunyalakan lagi televisi kami empat belas
Inci, suara-suara tetangga masih belum terlelap
Nyaring kadang menembus udara kampung kami
Hening bening sungguh tak pernah seingatku
Terendus tanda-tanda mendadak segalanya
Lalu jadi genting dan nasib pun pecah berkeping
Begitu saja, ya, ya sekarang rasanya kupasti di sini
Betul letaknya rumah kami dulu itu, dekat surau
Ada wartel dan puskesmas di ujung jalan sana
Lapangan olah raga dan sekolah anak-anak kami
Tak kupaham bagaimana caranya musti kutebus
Mimpi mereka kini jauh terkubur di bawah
Hitam gegumpal kutukmu Porong
Menu Siang Porong
Sepiring getir
Kuah bening sayur geram
Segelas tangis yang
Tak juga habis
Dijamin semuanya
Asli asal Porong
Tiada sama sekali
Campur tangan pihak ketiga
Dan selaku
Hidangan penutup
Jika sungguh kau
Asli biadab
Ini kami siapkan
Sedikit jerit putus asa
Anak-anak kami
Semoga lengkap
Dan tambah sedap
Santap siangnya
Kuah bening sayur geram
Segelas tangis yang
Tak juga habis
Dijamin semuanya
Asli asal Porong
Tiada sama sekali
Campur tangan pihak ketiga
Dan selaku
Hidangan penutup
Jika sungguh kau
Asli biadab
Ini kami siapkan
Sedikit jerit putus asa
Anak-anak kami
Semoga lengkap
Dan tambah sedap
Santap siangnya
11 June 2008
Di Porong
Di Porong, di Porong
Daerahku yang akan datang
Bahkan puisi
Tak bisa tumbuh lagi
Daerahku yang akan datang
Bahkan puisi
Tak bisa tumbuh lagi
Peta Porong
Di Porong
Ditebar janji
Kosong
Dari Porong
Kami berkabar
Gosong
Antara kosong
Dan gosong
Batas hanyalah
Panas selat lumpur
Itulah Porong
Tanah kami ternista
Ditebar janji
Kosong
Dari Porong
Kami berkabar
Gosong
Antara kosong
Dan gosong
Batas hanyalah
Panas selat lumpur
Itulah Porong
Tanah kami ternista
Tolong Porong
Presiden
Wakil presiden
Menteri
Gubernur
Walikota
Jaksa
Polisi
Tentara
Ulama
Ilmuwan
Seniman
Dan seterusnya
Sekaliannya sehati
Selaras kompak seirama
Sepikir untuk tak ambil peduli
Porong! Porong! Porong!
Maafkan, saya pun tak berdaya
Stop lumpur itu!
Wakil presiden
Menteri
Gubernur
Walikota
Jaksa
Polisi
Tentara
Ulama
Ilmuwan
Seniman
Dan seterusnya
Sekaliannya sehati
Selaras kompak seirama
Sepikir untuk tak ambil peduli
Porong! Porong! Porong!
Maafkan, saya pun tak berdaya
Stop lumpur itu!
09 June 2008
Kura-kura
Aku tak terbiasa
Dengan lompatan besar
Karena akulah
Si kura-kura
Aku merayap amat pelannya
Sabar lagi cermat
Kurampungkan lakonku
Sebaris sebaris
Aku tak mau
Nanti ada terlewat
Barangkali seujar ayat
Kalam purba
Langkahku tak kentara
Pun tiada suara
Sebab aku
Si kura-kura
Tak kusuka
Tema-tema besar
Tapi kupilih takdirku
Hadir mengalir
Dengan lompatan besar
Karena akulah
Si kura-kura
Aku merayap amat pelannya
Sabar lagi cermat
Kurampungkan lakonku
Sebaris sebaris
Aku tak mau
Nanti ada terlewat
Barangkali seujar ayat
Kalam purba
Langkahku tak kentara
Pun tiada suara
Sebab aku
Si kura-kura
Tak kusuka
Tema-tema besar
Tapi kupilih takdirku
Hadir mengalir
05 June 2008
Jokpin's Poems in Concert
ITB Choir in Concert 2008
Conducted by Indra Listiyanto
Aula Barat ITB
Jl. Ganesa 10 Bandung
Pukul 19:30 WIB
Pukul 19:30 WIB
PSM-ITB akan menyanyikan karya Ananda Sukarlan Jokpiniana No. 1 yang liriknya diambil dari puisi-puisi Joko Pinurbo
Reservasi : Daniel 022 9246 6483
Lebih Jauh tentang Musik Kunjungi Blog Ananda Sukarlan : http://andystarblogger.blogspot.com/
03 June 2008
Film Sapardi Djoko Damono
Undangan
Pemutaran film dokumenter 'Aku Ingin' karya Tonny Trimarsanto dan diskusi pada:
Sabtu, 7 Juni 2008, pk 19.30 wib
di Dusun Manahan, Jl. Menteri Supeno 20 (barat kolam renang tirtomoyo manahan), Solo
Sinopsis:
Aku Ingin
Sebuah film dokumenter yang mengupas dunia kreatif penyair Sapardi Djoko Damono. Puisi puisi Sapardi seakan tidak lelah untuk menginspirasi proses penciptaan bentuk bentuk kesenian yang lain. Puisi Sapardi juga begitu akrab dengan dunia keseharian masyarakat kita, karya karyanya menjadi populer dari anak anak SD hingga ibu-ibu rumah tangga. Lantas, seperti apakah proses kreatif yang dijalani Sapardi sebelum menuangkan puisi?
Program ini diselenggarakan oleh:
Rumah Dokumenter, Mataya arts&heritage, dan Dusun Manahan
Tentang Tonny Trimarsanto:
Tonny Trimarsanto, Klaten 1970
winner Best Film, for " Gerabah Plastik",at Indonesian Doc Film Festival 2002,
winner Excellent Prize, for " The Dream Land ", at 12th Earth Vision, Global Enviroment Documentary Film Festival 2004 Tokyo
Winner BEST ASIA SHORT FILM at 9th CINEMANILA International Film Festival Philipina 2007, dari film "RENITA RENITA"
Film dokumenter panjangnya "SERAMBI" di putar In Competition Selection UN CERTAIN REGARD, 59th CANNES FILM FESTIVAL , In Competition Selection Ibero World Cinema , 24th Miami International Film Festival , Florida US, In Asia Program , Tokyo International Film Festival, In Competition Selection, Vancouver International Film Festival, San Fransisco International Film Festival 2008
Film dokumenter "Renita Renita", diputar masuk kompetisi film Singapore International Film Festival 2007, DOCNZ New Zaeland , CON CAN Tokyo Film Festival 2007, Amnesty International Film Festival Amsterdam 2008, di Turino Gay Lesbian Transexual Film Festival Italia 2008, dan Roma GLBT Film Festival 2008.
Contact:
Heru Mataya 0816675 808, Tonny Trimarsanto 08159 256 503
Email: tonnytrimarsanto@ yahoo.com, infomataya@yahoo. com, udandawet@gmail. com
Pemutaran film dokumenter 'Aku Ingin' karya Tonny Trimarsanto dan diskusi pada:
Sabtu, 7 Juni 2008, pk 19.30 wib
di Dusun Manahan, Jl. Menteri Supeno 20 (barat kolam renang tirtomoyo manahan), Solo
Sinopsis:
Aku Ingin
Sebuah film dokumenter yang mengupas dunia kreatif penyair Sapardi Djoko Damono. Puisi puisi Sapardi seakan tidak lelah untuk menginspirasi proses penciptaan bentuk bentuk kesenian yang lain. Puisi Sapardi juga begitu akrab dengan dunia keseharian masyarakat kita, karya karyanya menjadi populer dari anak anak SD hingga ibu-ibu rumah tangga. Lantas, seperti apakah proses kreatif yang dijalani Sapardi sebelum menuangkan puisi?
Program ini diselenggarakan oleh:
Rumah Dokumenter, Mataya arts&heritage, dan Dusun Manahan
Tentang Tonny Trimarsanto:
Tonny Trimarsanto, Klaten 1970
winner Best Film, for " Gerabah Plastik",at Indonesian Doc Film Festival 2002,
winner Excellent Prize, for " The Dream Land ", at 12th Earth Vision, Global Enviroment Documentary Film Festival 2004 Tokyo
Winner BEST ASIA SHORT FILM at 9th CINEMANILA International Film Festival Philipina 2007, dari film "RENITA RENITA"
Film dokumenter panjangnya "SERAMBI" di putar In Competition Selection UN CERTAIN REGARD, 59th CANNES FILM FESTIVAL , In Competition Selection Ibero World Cinema , 24th Miami International Film Festival , Florida US, In Asia Program , Tokyo International Film Festival, In Competition Selection, Vancouver International Film Festival, San Fransisco International Film Festival 2008
Film dokumenter "Renita Renita", diputar masuk kompetisi film Singapore International Film Festival 2007, DOCNZ New Zaeland , CON CAN Tokyo Film Festival 2007, Amnesty International Film Festival Amsterdam 2008, di Turino Gay Lesbian Transexual Film Festival Italia 2008, dan Roma GLBT Film Festival 2008.
Contact:
Heru Mataya 0816675 808, Tonny Trimarsanto 08159 256 503
Email: tonnytrimarsanto@ yahoo.com, infomataya@yahoo. com, udandawet@gmail. com
02 June 2008
"Matinya" Seorang Penyair
DULU ia adalah salah seorang penyair favorit saya. Namanya sempat cukup menjulang, disebut-sebut sebagai salah satu calon penyair penting di sini--ia berada dalam satu barisan dengan penyair fenomenal Afrizal Malna. Dan memang buku puisi mereka pernah ketiban penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta di tahun yang sama.
Sebagai penyair ia menandai kehadirannya dengan sajak-sajak yang sederhana dan jernih dalam ungkapan.Tema-tema relijius, alam, dan sosial dengan balutan nuansa kontemporer bergantian muncul dalam puisi-puisinya. Memang ia bukanlah jenis penyair yang sekonyong-konyong datang dengan “kejutan”. Tapi seperti banyak penyair lain di masa itu ia mulai dengan merangkak dari kolom-kolom puisi remaja di koran-koran minggu, sebelum akhirnya menaklukkan halaman-halaman “keramat” majalah sastra yang dianggap standar.
Ia berada dalam gerbong besar mainstream puisi Indonesia. Ia tak tampil menyentak, melainkan dengan berindap-indap, sampai suatu saat orang pun menyadari (seraya mengakui) kehadirannya. Ia tak menawarkan “kebaruan”, jika yang dimaksud dengan “kebaruan” adalah hal-hal yang bikin geger. Ia memanfaatkan saja khazanah yang sudah ada. Tapi ia punya style, gaya sendiri, yang membedakannya dari penyair lain—dan bagi seorang penyair bukankah itu yang terpenting?
Suatu kali sebuah radio swasta di Jakarta mewawancarainya. Ada beberapa celutukannya dari obrolan radio itu yang terus saja teringat dan mengiang. Misalnya saya tak akan lupa ketika ia berujar bahwa “… musuh terbesar saya adalah Shakespeare”. Lalu ini, “Saya menulis sajak karena saya penyair, bukan saya menulis sajak supaya disebut penyair”. Yang terakhir itu adalah jawaban ketika kepadanya ditanyakan soal perlu tidaknya “pengakuan” dari orang lain atas kerja menyairnya.
Saya tak pernah sempat berkenalan dengannya, meskipun momen untuk itu bukannya tidak ada. Misalnya, saya pernah melihatnya di kantor majalah Horison yang lama. Di ruang sempit yang selalu acak-acakan itu, ia tampak sedang “pasang omong” dengan Hamsad Rangkuti. Tapi saya merasa kelewat kecil dan tak berarti untuk sekadar menyapanya. Lain ketika, secara mendadak saya berpapasan dengannya di toko buku Gunung Agung. Ketika itu sore, berhujan, saya pas turun di tangga, dan ia sedang naik, dengan payung basah yang belum sempat dilipatnya sempurna. Aih, lagi-lagi saya merasa begitu gugupnya bahkan untuk sekadar menyapanya.
Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Saya makin jarang menemukan puisi-puisinya, dan akhirnya betul seperti kehilangan jejaknya sebagai penyair. Sampai belum lama ini saya memergoki buku barunya, tapi bukan buku sastra, apalagi puisi. Ia sudah bertukar habitat, atau mazhab agaknya? Kabarnya sekarang ia memang sudah orang mapan, dan punya jabatan bagus di perusahaan besar.
Jadi mungkinkah karena itu ia lalu menjadi kelewat sibuk dan “tak sempat” (atau tak merasa perlu) lagi menulis puisi? Sayang sekali kalau betul begitu. Padahal Shakespeare masih terus setia menunggunya …
Sebagai penyair ia menandai kehadirannya dengan sajak-sajak yang sederhana dan jernih dalam ungkapan.Tema-tema relijius, alam, dan sosial dengan balutan nuansa kontemporer bergantian muncul dalam puisi-puisinya. Memang ia bukanlah jenis penyair yang sekonyong-konyong datang dengan “kejutan”. Tapi seperti banyak penyair lain di masa itu ia mulai dengan merangkak dari kolom-kolom puisi remaja di koran-koran minggu, sebelum akhirnya menaklukkan halaman-halaman “keramat” majalah sastra yang dianggap standar.
Ia berada dalam gerbong besar mainstream puisi Indonesia. Ia tak tampil menyentak, melainkan dengan berindap-indap, sampai suatu saat orang pun menyadari (seraya mengakui) kehadirannya. Ia tak menawarkan “kebaruan”, jika yang dimaksud dengan “kebaruan” adalah hal-hal yang bikin geger. Ia memanfaatkan saja khazanah yang sudah ada. Tapi ia punya style, gaya sendiri, yang membedakannya dari penyair lain—dan bagi seorang penyair bukankah itu yang terpenting?
Suatu kali sebuah radio swasta di Jakarta mewawancarainya. Ada beberapa celutukannya dari obrolan radio itu yang terus saja teringat dan mengiang. Misalnya saya tak akan lupa ketika ia berujar bahwa “… musuh terbesar saya adalah Shakespeare”. Lalu ini, “Saya menulis sajak karena saya penyair, bukan saya menulis sajak supaya disebut penyair”. Yang terakhir itu adalah jawaban ketika kepadanya ditanyakan soal perlu tidaknya “pengakuan” dari orang lain atas kerja menyairnya.
Saya tak pernah sempat berkenalan dengannya, meskipun momen untuk itu bukannya tidak ada. Misalnya, saya pernah melihatnya di kantor majalah Horison yang lama. Di ruang sempit yang selalu acak-acakan itu, ia tampak sedang “pasang omong” dengan Hamsad Rangkuti. Tapi saya merasa kelewat kecil dan tak berarti untuk sekadar menyapanya. Lain ketika, secara mendadak saya berpapasan dengannya di toko buku Gunung Agung. Ketika itu sore, berhujan, saya pas turun di tangga, dan ia sedang naik, dengan payung basah yang belum sempat dilipatnya sempurna. Aih, lagi-lagi saya merasa begitu gugupnya bahkan untuk sekadar menyapanya.
Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Saya makin jarang menemukan puisi-puisinya, dan akhirnya betul seperti kehilangan jejaknya sebagai penyair. Sampai belum lama ini saya memergoki buku barunya, tapi bukan buku sastra, apalagi puisi. Ia sudah bertukar habitat, atau mazhab agaknya? Kabarnya sekarang ia memang sudah orang mapan, dan punya jabatan bagus di perusahaan besar.
Jadi mungkinkah karena itu ia lalu menjadi kelewat sibuk dan “tak sempat” (atau tak merasa perlu) lagi menulis puisi? Sayang sekali kalau betul begitu. Padahal Shakespeare masih terus setia menunggunya …
Subscribe to:
Posts (Atom)