https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

13 December 2010

Setindak-Setindak Lurus Jalan Bidak

Aku suka pada bidak
Aku terpesona pada jalannya beringsut

Jalannya tak pernah terburu
Dari dulu sudah begitu
Setindak-setindak saja
Seakan ia mau bilang:
Saya ini pelan, tapi pasti

Ia memberi pemahaman
Paling kena soal ketabahan
Apa artinya merangsek maju
Dan hanya maju, sebab
Mundur adalah tabu

Lihatlah, sebuah bidak
Menyusur dan terus menyusur
Tak hirau ia pada persekongkolan
Busuk para perwira

Bidak itu serdadu tulen
Tiada muslihat, percayalah
Dalam lelangkahnya
Yang lurus-lurus saja

Aku terpesona pada bidak
Aku suka lelangkahnya lurus ke depan itu

09 December 2010

Apa Kabar Anugerah Sastra Pena Kencana?

Setiap awal tahun semenjak 3 tahun yang lalu saya selalu mendapat kiriman surat-e yang mengabarkan bahwa ada puisi saya yang mendapatkan kehormatan—bersama beberapa puluh puisi lainnya yang disortir dari pemuatannya di koran-koran lokal--untuk diiikutkan dalam kitab puisi yang diberi label keren “kitab puisi terbaik setahun”.Itulah sebagian dari kegiatan yang berkaitan dengan program Anugerah Sastra Pena Kencana.

Tapi mulai tahun depan (2011) pemberitahuan seperti itu agaknya tak akan lagi saya terima, karena program sastra itu sepertinya memang tidak berlanjut. Buktinya program tahun ini saja hingga saat ini tiada kabar beritanya. Buku puisi—plus sekian program tambahan lainnya, seperti pengumuman pemenang puisi terbaik dan lain-lainnya—yang semula dengan gegap gempita dijadwalkan berlangsung Februari 2010 tak jelas bagaimana nasibnya.

Tak ada pengumuman apa pun di situsnya yang kini jadi rada mirip toko terbengkalai itu. Saya sangat menyesalkan ketiadaan sikap terbuka dari panitia program ini. Apa sih susahnya mengumumkan masalahnya? Kalau misalnya soalnya lagi-lagi karena cekaknya pendanaan, sehingga segala rencana program tak bisa jalan, rasanya juga tak ada masalah untuk diumumkan. Insan sastra di sini, percayalah, sudahlah amat terbiasa menghadapi hal-hal dan hil-hil semacam ini.

08 December 2010

Enam Langkah Jalan Bidak

Jangan pernah menyebut
Kami bangsa cebol
Hanya karena lelangkah
Kami beringsut pelan

Ingatlah, kami hanya perlu
Enam langkah lurus
Ke depan untuk bisa
Menyudahi raja

Merubuhkab benteng
Membunuhi para
Panglima utama
Turunan dewa keparat

Jangan pernah mengira
Kami gampang saja terusir
Hanya karena lelangkah
Kami senyap menyisir

29 November 2010

Gus tf, "Hantu Kata", KLA

Gus tf Sakai, salah seorang juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun ini, menjagokan Hantu Kata (Kiblat Buku Utama, Bandung) sebagai buku puisi yang “sangat layak” masuk dalam shortlist KLA 2010.

Di bawah ini adalah penilaian tertulisnya yang disampaikannya kepada Panitia penghadiahan sastra lokal yang—sejauh ini—berhadiah duit termahal itu:

Inilah buku puisi yang, dalam sejarah kesusateraan Indonesia, bakal menempati posisi unik, karena paling banyak membicarakan dirinya, yakni puisi itu sendiri. Bukan hanya puisi sebagai salah satu bentuk ekspresi (dengan media kata-kata) yang figuratif, bersimbol, dan karenanya selalu ambigu, tetapi juga pada kenyataan betapa gentingnya apa yang disebut komunikasi. Dan kegentingan ini, secara ajek, dan konsisten, juga menjadi tubuh puisi-puisi lain pada bagian kedua buku ini, bahwa dunia, seperti halnya komunikasi, adalah kesiapan untuk tak mendapatkan apa-apa, menemukan kosong, hampa, sia-sia.

Tapi, sebagaimana kemudian kita tahu, buku itu tidak termasuk dalam daftar 5 besar yang diumumkan Panitia. Dalam emailnya kepada saya, Gus tf mengaku “tak bisa percaya” empat juri lain (Afrizal Malna, Donny Gahral Adian, Eka Kurniawan, Ronny Agustinus) tidak memasukkan Hantu Kata dalam pilihan mereka.

24 November 2010

Kepada Politisi

Kita telah sepakat
Tak akan saling mengusik
Sampai bisa kubuktikan
Dengan sajak ini
Kau berkomplot
Mencuri surga dan melukai
Impian anak-anak

Memutus jalan
Mereka ke sekolah
Menjejalkan sampah
Ke benak mereka lunak
Kau tembuskan peluru
Ke rembulan luruh
Membungkam mulut bumi
Dengan undang-undang palsu

Sampai bisa kubuktikan
Dengan sajak ini
Kita bersebrangan
Tak ada pembicaraan
Bagaimana kita memulai
Zona perang ini tiada batas

15 October 2010

Permainan Akhir Nyonya Polgar

Jika kalian
Sidang pembaca budiman
Masih saja tak yakin
Pada kekuatan pikiran
Kami kaum perempuan
Dalam ini urusan
Memainkan bebiji bidak
Bacalah lebih cermat
Saya punya riwayat
Yang oleh penyair ini
Telah dicatat seperlunya
Agar bisalah kemudian
Ditarik kesimpulan
Sebagaimana mustinya

Judit Polgar namaku
Di Budapest negeri
Hungaria saya terlahir
Jika tuan tilik cermati
Tanggal lahir saya
23 Juli 1976, jelaslah
Dalam hitungan perbintangan
Cina kuna saya ini memanglah
Turunan bukan sembarang
Sebab darah naga
Mengalir deras
Pada sekujur saya
Dengan unsurnya api
Dalam kombinasi bulan
Sabit dan bebintang
Tuan boleh saja
Merasa geli dan tertawa
Membaca ini uraian ganjil
Tapi faktanya bukankah begitu
Tercatat cermat pun resmi
Dalam lembar ensiklopedia?

Namun memanglah
Banyak lagi berjasa
Turut membesarkan saya
Selain urusan talenta
Ajaib warisan sorga itu
Dan Laszlo Polgar
Bapak saya si jenius
Mustilah saya sebutkan
Pertama sebelum lainnya
Keluarga saya tercinta
Utamanya merekalah
Telah menempa saya
Menyulap saya utuh
Jadi petarung tangguh
Silakan saja tuan periksa
Sebagai bukti nyata
Ini bukanlah sesumbar
Kosong semata
Daftar korban saya
Bukanlah sembarang
Pecundang pucat:
Veselin Topalov
Jago Bulgaria, Anand
Pesihir dari Madras
Kasparov si temberang
Pun si jejaring laba-laba
Karpov Anatoly

Jika tuan budiman
Jadi tergoda berpikir
Ini perempuan jelita
Teramat jumawa sungguh
Tak bisalah saya mungkiri
Seratus musim lamanya
Saya mencari siapa
Kiranya sanggup
Menjinakkan bara
Panas dalam darahku
Hanyalah Gustav Fort
Lelaki biasa bukan
Petarung di atas petak
Melainkan di sekat kandang
Kerap ia bertandang
Sebab ialah dokter hewan
Mampu melakukannya
Untuknya, Hana & Oliver
Buah hati kami tersayang
Telah kurubuhkan dengan
Rela benteng dan rajaku
Demi kusempurnakan
Permainan akhir

14 September 2010

Promosi Bidak Tuan Fischer

Misalkan aku
Lahir kelewat cepat
Atau malah telat
Katakanlah
Seperempat abad
Aku hanya akan tercatat
Sebagai pemain catur
Hebat biasa saja

Tapi sebagaimana
Kalian kini sepakat
Aku terlahir
Ke dunia nyatalah
Pada musim yang tepat
Lagi pas cuacanya
Yakni pada puncak
Kulminasi perang dingin

Zaman yang buntu
Memerlukan penawar jemu
Mereka temukan itu
Pada sepak terjangku
Melawan aturan
Yang kupamerkan
Dimuat koran-koran
Dan sepertinya memanglah
Jika ditilik seksama
Agak kegila-gilaan

Sesudah mangkat aku
Mustinya mufakat kita
Banyak ihwal tak tepat
Seputar aku telah dicatat
Maka baiklah kini
Kuluruskan itu
Barang sebaris dua

Robert James Fischer
Kutandaskan di sini
Hanyalah sebiji bidak
Retak dan sunyi
Yang setindak-setindak
Menyusur kelam
Jalur takdirnya
Seraya memimpikan
Nun pada akhir baris itu
Sebuah promosi
Barangkali moksa
Yang membebaskannya
Lepas membubung dari
Ini petak sumpek konyol
Samsara

26 July 2010

Melangkah ke Tengah

Tengah
Adalah pusat
Pergolakan
Kekal
Tapi
Ke sanalah
Kami bergerak
Menyusup

Kavaleri kuda
Membayangi
Langkah kami
Sejumlah
Mata-mata
Telah dikirim
Mendahului
Lain-lainnya
Di garis belakang
Rapat mengawal
Benteng

Apakah kami
Akan mati
Rebah
Tersambar
Jejari gelap
Barangkali
Sebaiknya kami
Simpan saja
Pertanyaan itu
Untukmu

23 June 2010

Hantu Kata, Kumpulan Sajak Ook Nugroho





Sudah terbit, Hantu Kata, kumpulan sajak Ook Nugroho, memuat sajak-sajak dari periode penulisan 1980-2008.

Yang berminat silakan menghubungi:

PT Kiblat Buku Utama
Bagian Pemasaran
Telp/Fax : 022 7330595
Surat e : penerbitkiblat@yahoo.co.id

04 June 2010

Mikhail Tal: Varian Satu

Sebab tak menemu
Kata yang pas
Mereka sebut saya
Tukang tenung dari Riga
Pada mulanya
Itu bukanlah puji
Melainkan semacam cerca
Sebab mereka percaya
Saya bermain dengan
Ajian mantra purba
Guna mengawal raja
Menyusup tak terduga
Merobohkan begitu saja
Sebelum mereka paham
Kuda-kuda terbunuh
Dekat benteng

Pal Benko misalnya
Jawara bidak
Dari negeri Yugo
Memesan kacamata gelap
Sebab percaya betul ia
Saya telah membuatnya
Pandir karena sihir
Pada laga kami
Dua kali ia terseok
Di Bled dan Zagreb
Maka ia kenakan
Itu kacamata kelam
Pada pertarungan ketiga
Belgrade, Yugaslavia, 1959
Sesudah 20 langkah tapi
Ia copot kacamatanya
Menyalami seraya tertawa
Sebab tak berdaya
Menahan serbuan saya
Tapi ia percaya kini
Mikhail Tal sepenuhnya
Bermain hanya dengan
Akal sehat ditambah
Sedikit muslihat

27 May 2010

Kisah Pulang

Mereka terus membangun
Semakin banyak rumah dan gedung
Juga gudang, lorong-lorong dan guha
Rahasia, tapi tambah tak yakin
Musti pulang ke alamat yang mana
Kalau cuaca kembali memberat
Dan malam turun di alun-alun kota

Mereka teramat mendambakan
Kehangatan, barangkali sedikit
Sopan-santun bumi, sehabis jemu
Saling bunuh di jalan-jalan raya
Tapi yang mereka temukan hanyalah
Para leluhur yang terus mengutuki
Turunan sundal telanjur lahir

Dan kalau mereka cukup mujur
Bisa dicapainya batas halaman
Mereka tak akan bisa percaya pula
Bahwa rumah yang terkuak membuka
Pintunya, bukanlah perangkap serupa
Yang menggiring takdir buruk lain

Tapi mereka tak punya pilihan
Malam akan segera jadi sempurna
Membunuh sisa matahari di pohon-pohon
Dan kota akan semakin sulit dikenali
Jadi mereka buru-buru masuk
Mengunci pintu rapat-rapat
Merapal mantra penolak bala
Pada rapuh jalinan cuaca

Mereka sungguh tak punya pilihan
Selain belajar menjadi terbiasa
Dengan segala yang ada di balik pintu itu:
Barang dan perabot yang kerap salah tempat
Para lelaki yang gemar meludah ke udara
Perempuan-perempuan dengan tetek kelabu
Atau para bocah berparu legam kelam
Dengan punuk dan taring berkilat

Agar, setidaknya mereka punya alasan
Mengapa terus bertahan di liang busuk ini
Setidaknya punya tempat sembunyi, bukan?
Barangkali ini lumayan menghibur
Barangkali mereka akan bisa juga tertidur
Melewatkan malam sekali lagi
Dengan bulan separoh di langit-langit
Dengan kilau pisau di bawah bantal
Dan tuhan cemas berjaga di pojok ingatan?

15 May 2010

Kisah Pergi

Aku akan pergi ke balik kabut
Janganlah cemas mencariku
Sebab tak bisa kupastikan benar
Ke jazirah kelam yang mana
Malam menghalau burung-burung

Kuncilah pintu dan jendela
Selagi aku tak ada bersamamu
Jagalah anak-anak, bekali
Mereka pisau dan dongengan
Agar nyenyak tidur mereka
Di redup pusaran bintang

Bertahanlah semampu bisa
Janganlah mudah menyerah
Pada keluh-kesah dinding
Kamar yang mengurungmu dengan
Memar luka-luka bumi

Barangkali aku kembali
Lewat tengah malam nanti
Mengetuk lewat lubang mimpi
Membawakan bagimu
Buah-buah getir langit
Dari sedih kembara hujan

Jika tak kaubaca juga isyarat
Mungkin sebab jam telah berjalan jauh
Melewati ambang yang kita sepakati
Janganlah kau jadi cemas, tetap
Kuncilah pintu dan jendela
Jika malam tiba dengan igauan

Anak-anak akan tumbuh besar
Terbukti mereka lebih kukuh
Lebih rimbun dari angin dan pepohon
Sementara kau menjelma cuaca
Memenuhi lengang petang
Dengan ornamen jingga

Jika kelak suatu hari
Anak-anak bertanya juga padamu
Bawalah mereka ke beranda
Katakan waktu adalah kemestian
Sedang kabut, kabut adalah
Negeri purba para leluhur kita

11 May 2010

Pelajaran Dasar Bermain Catur

1
Mula-mula
Kau akan belajar
Bagaimana
Melangkah
Lurus
Serong
Mundur
Meluncur
Atas petak-petak
Tak terduga
Hidupmu

Ditutup dengan
Varian wajib
Lompat terjang
Gaya kuda
Sisilia

2
Kau akan belajar
Aturan-aturan dasar
Bagaimana bertahan
Dalam tekanan
Situasi yang paling
Absurd

Mengatur langkah
Menggeser jarak
Meniarap
Kabur
Atau sembunyi
Melenyap
Hilang
Dalam gelap
Kabut konspirasi

Jika benteng
(Dan kesetiaan)
Tak bisa diharapkan
Lagi tumbuh di bumi

3
Kini kau paham
Semoga
Tiada guna
Terus bertahan
Sabar dan mandah
Bertahun-tahun

Maka kuasai
Sepenuh arti
Varian lanjutan
Menabrak
Memotong
Membabat
Menyerimpung
Tendang sikut
Tempekeng
Seruduk
Maki

Jangan pernah
Menaruh sungkan
Pada musuhmu
Atau kau
Jadi mangsa
Mungkin itulah
Nasehat bijak terbaik
Bisa kusampaikan
Padamu

4
Jika kau
Tak cukup pandir
Waktu akan
Menuntunmu
Keluar dari sempit
Benteng akalmu

Menempamu
Bahwa pelajaran
Yang paling inti
Memanglah tiada
Pernah tercatat
Dalam notasi

04 May 2010

Tamasya Penyair di Negeri Bidak

: Mikhail Botvinnik

Tuan yang budiman
Pastilah tuan tak pernah
Membayangkan bahwa
Hampit setiap malam
Di sebuah kamar
Sumpek jauh dari Riga
Seorang dengan rasa
Takjub tak terkira
Kerap memainkan
Lagi lelangkah
Bidak-bidak tuan
Puluhan tahun lampau
Masih tercatat seakan
Kekal pada notasi
Tak sengaja kutemukan
Pada emper kaki lima
Kotaku mana peduli

Mengenang lagi
Pertarungan dahsyat
Dengan para jawara
Sangar tempo dulu
Sebutlah saja beberapa
Salo Flohr tuan jinakkan
Dengan pertahanan solid
Belanda varian Stonewall
Di Leningrad, 1933
Juan Raul Capablanca
Alexander Alekhine
Menyerah rajanya
Pada tembok kukuh
Hindia Nimzo varian
Semi Tarrasch Rubinstein
Belum lagi Paul Keres
Si tua keladi Smyslov
Dan tentu saja tak bisalah
Saya lewatkan begitu saja
Laga tuan paling indah
Amsterdam, 1954, lumat
Tuan pecundangi
Miguel Najdorf

Tuan yang budiman
Baiklah tuan berhenti
Heran dan bertanya-tanya
Mengapa seorang biasa
Rendah macam saya ini
Pada ini permainan luarbiasa
Jadi termehek menghiba
Sebab telah saya temukan
Puisi dalam lelangkah
Tak terduga bidak tuan
Presisi teramat sempurna
Pada rumit petak-petak
Sempit konvensi
Yang enampuluhempat
Jumlahnya mengapa persis
Heksagram pada Kitab Perubahan?
Jadi itulah sebabnya
Saya putuskan tamasya
Ke negeri bidak lebih jauh lagi
Sebab pada ini keindahan
Telah saya putuskan
Jiwa saya yang damba
Pasrah layak tawanan

16 April 2010

Seperti Jagal

Seperti jagal
Dingin dan tangkas
Ditunjukkanya betapa
Dengan sedikit kata
Dan ketajaman rasa
Yang terjaga baik
Samasekali tak sukar
Menguliti sunyi
Yang membungkus
Daging cemas
Lantas membelahnya
Atau memotongnya
Jadi beberapa
Irisan syair

Atau mengoyaknya
Dengan torehan kasar
Melintang dari atas
Lurus ke bawah
Supaya tercipta liang
Nganga terbuka
Jelas membayang
Yang terperam
Adalah jantung lebam
Lunglai jeroan

Seperti jagal
Dingin lagi cermat
Dibuktikannya bahwa
Dengan kemauan besar
Dan sedikit ketabahan
Samasekali tak sukar
Menariknya paksa
Terpisah dari takdir
Kebisuan yang semusim
Menyekapnya

04 April 2010

Sajak Juru Masak

: Ags. Arya Dipayana

Kau tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat

Kau buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu, lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan

Tapi kau tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kuah waktu yang telah mendidih
Dengan carut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju

Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar kisah dan jalannya

Kau ingatkan bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas, utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan

01 April 2010

Dongeng dari Depok

: SDD

/1/
Lelah berjalan jauh
menyambangi kota-kota dan
benua bising ia putuskan akhirnya
tinggal menetap di pojok
sebuah metropolis yang masih
ada menyisakan sunyi untuk
seorang orang tua yang menganggur
seperti dirinya. Ia mengajak juga
bergabung ke rumahnya dekat senja itu
kerabat angin, kabut, pun gerimis
dan hujan. Mereka dikenalnya
dulu dalam kembaranya panjang
dan senyap ke alamat-alamat
rimba-raya aksara.

Inilah gaya hidup yang
sedari muda sudah diimpi-impikannya
sepenuh hasrat.

/2/
Tetangga-tetangga dekatnya
sering mendengar ia bercakap-cakap
dan bernyanyi-nyanyi dengan sepi
sampai jauh larut malam bahkan
kadang mendekat pada pagi.
Sahabat-sahabatnya angin dan rinai
gerimis membikin malam jadi semakin
ngelangut. Sesekali hujan turun
dengan dahsyatnya menimpali
perhelatan kudus itu dengan
bunyi-bunyian purba yang segera
saja mengingatkannya kembali pada
kidung putih yang kerap didengarnya
di masa-masa kanaknya dulu.

/3/
Pernah juga, tapi tak sering,
kedengaran ia bertengkar sengit
dengan sepi. Mungkin karena sesama
sepi ternyata juga banyak maunya
dan agak susah diaturnya,
atau semacam itulah.

Dan biasanya sehabis
pecah pertengkaran seperti itu
rumahnya yang memang
sudah sunyi jadi terlebih sepi
pula, jadi seperti tambah menjorok
menjauh ke lubuk kelam.
Tetangga-tetangganya yang
curiga pernah sangaja berindap-indap
mencoba mendekat kepingin
sekadar memastikan, mengetuk
dan menyeru-nyeru : “Tuan, tuan”,
panggil mereka separuh cemas, “Tuan
masih ada, bukan?” dan dari dalam
rumah itu lantas saja terdengar
sahutan (jengkel sepertinya sebab
terusik) : “Sebentar, saya sedang keluar!”

/4/
Semenjak insiden itu
tetangga-tetangganya tak pernah
berani dan mau mengusiknya pula.
Mereka paham dan kini percaya
bahwa ia memang sudah tak
ada lagi. Ia telah terbebas merdeka
dari samsara kata. Telah purna aksara.
Ah, ia telah mencapai puisi. Moksa.

19 March 2010

Kata Kepada Penyair

Kata Kepada Penyair (1)

Sudah puluhan tahun kita bersama
Belum juga kau memahamiku sempurna
Masih juga sering kau ceroboh
Selaku lelaki kau teramat bodoh

Bukankah banyak kali sudah kukata
Memahamiku bukan soal urusan tatabahasa
Mengapa tak kau koyak ruwet jejaring tatakrama
Demi kau alami tubuhku sepenuh rasa?


Kata Kepada Penyair (2)

Kau bernapsu mengulitiku
Selapis demi selapis
Bermimpi menemukan di sebaliknya
Semacam inti atau saripati

Mahluk malang, kini kuberitahu
Leluhur kami dulu beramsal :
Kami terlahir dari semacam perih purba
Mereka tinggal di kekosongan arti

Kalianlah para mahluk dungu
Memaksa kami hadir di batas ambigu
Kini kau ciptakan pula permainan
Semu tanganmu meraba yang tak ada

Adam dan Hawa

Di sebuah losmen
Murah di Jakarta
Adam dan Hawa mengulang
Kembali dosa

Ular yang menggoda Hawa
Sepertinya memang berpunuk
Dan konon dari jenis
Paling berbisa

Sewaktu ia terkapar
Nanar di tengah kamar
Tak bisa dipastikan benar
Itu karena racun si ular
Atau sebab ia memang kepingin?

Perempuan itu tak menyahut
Matanya sembab
Malam telah kembali
Mengarungi terjal tubuhnya

15 March 2010

Bagi Sebuah Sajak

Untuk menulis sajak, katamu, kita tak perlu
Meja yang lapang, pun tak butuh liur bir
Guna merangsang sang syair terlahir
Dari kelangkang takdirnya kelabu

Tapi mungkin kita perlukan sunyi
(Barangkali dalam secangkir kopi) :
Kelam, pekat, mengepul dari pori bumi
Dari kolong waktu yang kenyang dilukai

Jadi kita akan duduk bersama, merenungi
Di meja lapuk yang tak teramat luas ini
Memutuskan sesudah merundingkannya masak
Kata-kata terbaik bagi sebuah sajak

11 March 2010

Pergi

Untuk kepergianku ini kali
Aku tak membawa serta apa pun :
Baju dalam, sikat gigi, kitab-kitab, kacamata
Bahkan tubuh kutinggalkan sendiri di bumi

01 March 2010

Dalam Setiap Sajak

Dalam setiap sajak
Selalu ada bayangan
Seorang lelaki yang gemar berlagak
Dan mengaku saya

Seteru pun sekutuku berseru
Sungguh betapa ia mirip
Lihat saja caranya berjalan
Yang limbung di antara awan-gemawan

Wajahnya memang samar
Sebab derai hujan dan kelebat topan
Menutup arah pandangnya
Yang ditumbuhi ilalang petang

Ia juga gemar
Memainkan waktu di tangannya
Mengubah warna-warni musim
Menukarnya dengan raut malam yang pejam

Aku tak pernah tahu
Ia sebetulnya siapa
Setiap kali kutanya ia tertawa
Seraya lindap nyelinap ke dalam kata

25 February 2010

Sajak yang Menampik

Aku belum juga berhasil
Menuliskannya meski hanya sedesah
Setiap kali kucoba mereka-reka
Mentah ditampiknya salam kataku

Mungkin ia mau bilang
Menyindirku, belum cukup
Pengalamanku di labirin bahasa
Jika kerinduanku belum lagi darah

22 February 2010

Batuk

Jauh di bawah rongga
Ada suara bertalu-talu
Seorang yang lama menunggu
Terus menggedor mencari pintu keluar

Kalau saja aku bisa menolongnya--
Tapi hanya kupunya sedikit kata
Itu pun terhalang dahak waktu
Mengental jadi jarak yang kekal

Seorang yang lama mencari
Gemanya tertahan di bawah rongga
Seperti tak asing bagiku ia siapa
Seperti padaku parau ia memanggil

22 January 2010

"Goro-Goro" Pansus

 Pansus atau “panggung desas-desus”, tentu saja sangat mengedepankan “desas-desus” dalam modus kerjanya.

 Koalisi artinya “kalau ada kesempatan dia bisa kita habisi, kenapa tidak dicoba dihabisi?”.

 Mereka mengundang banyak ahli untuk mengisi ‘frame’ yang sudah telanjur diciptakan. Tapi hanya butuh seorang Marsilam untuk membuktikan bahwa ternyata mereka memang tidak begitu pintar.

 Rumus Pansus = halusinasi + fantasi + maki-maki = politik fiksi.

 Menguasai jurus plintir, syarat utama masuk jadi anggota Pansus.

 Tanya : Dulu kan sudah diaudit dan tak ada masalah, mengapa sekarang koq diributkan? Jawab : Karena order “bikin ribut”nya baru masuk sekarang.

 JK bilang nggak pernah dilapori Menkeu soal bailout itu. Kata Arbi Sanit, lha nggak terima laporan koq diem aja? (Tanya : kenapa nggak ada inisiatif minta. Jawab : Lho saya kan bos, gengsi dong minta-minta).

 Di forum ini silakan saudara berikan klarifikasi. Tapi supaya tak membingungkan (kami), maka kami yang atur kapan saudara boleh mulai menjawab, kapan berhenti menjawab, atau dari mana memulainya, kanan, kiri, atas atau bawah. Jangan macam-macam. Jangan membantah. Kecuali kalau saudara mau dianggap melakukan tindakan “contempt of parlement”.

 Miranda Gultom : Terus terang saya sering tak mengerti apa sebetulnya yang ditanyakan (Jadi pertanyaan Pansus juga membingungkan tuh, mas Bambang).

 Pansus dinilai tidak mencari kebenaran, melainkan sibuk dengan urusan copot-mencopot pejabat, kata Teten Masduki (Oh, mas Teten baru mendusin dari mimpi indah ya, kasihan).

 Omong-omong, kapan ya Marsilam Simanjuntak dipanggil lagi? Saya sangat menunggu terusan “The Great Marsilam Show”. Sungguh tontonan langka.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...