https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 July 2008

Halo, Saya Ryan ...

HALO, perkenalkan saya Ryan. Sebetulnya tak perlu saya memperkenalkan diri, sebab sesungguhnya sudah lama sekali saya berada di antara anda. Karena itu saya heran, mengapa orang baru meributkan saya sekarang? Mengapa mereka begitu cepat lupa, bukankah di tahun 2002 saya telah dengan terang benderang menyatakan kehadiran saya. Dua ratus nyawa lebih saya habisi hanya dalam hitungan menit, mungkin malah detik. Ya di Bali saya melakukannya, anda ingat sekarang, bukan?

Bukan hanya di Bali itu saja saya mengumumkan kehadiran saya. Masih ingat 27 Juli 1996? Ketika itu saya memimpin “orang-orang saya“ menduduki sebuah kantor parpol di jalan Diponegoro. Tentu saja, banyak korban yang berjatuhan akibat keganasan saya. Bohong, kalau dibilang yang mati sedikit. Tapi sebagai orang “kuat”, tak bisa seorang pun menuntut saya. Lihat saja, buktinya karir politik saya malah tambah maju. Tahun depan, insyallah, saya akan maju sebagai calon presiden.

Apa yang tak bisa saya lakukan? Di bulan Mei 1998, sesudah menembak mati sejumlah mahasiswa, saya memimpin “orang-orang saya” membakar ludes Jakarta. Sekalian, saya perintahkan mereka memperkosa amoy-amoy Cina nan molek-molek itu. Mengapa saya lakukan perbuatan biadab itu? Sederhana saja. Saya tahu keberadaan kelompok Cina di negeri ini selalu menjadi “duri dalam daging” bagi kelompok mayoritas. Dengan berbuat ini, saya hanya “membantu” menyalurkan dendam kolektif bawah sadar mereka. Ya, kalau bukan waktu itu, kapan-kapan dendam itu juga pasti meledak. Jadi, apa bedanya?

Saya Ryan, memang dikaruniai bakat yang hebat untuk bersikap luwes dalam situasi apa pun. Sewaktu seluruh bangsa ini terjerat eforia reformasi yang kepagian itu, diam-diam saya pun menyiapkan diri. Saya lalu rajin muncul dalam berbagai kesempatan, sebagai sosok pembawa kabar baik. Dengan bersemangat saya berkoar dari seminar ke seminar, memesona para pendengar dengan wacana separuh jadi. Oh, mereka sungguh teramat lapar, sesudah tahun-tahun yang membisukan itu. Kini dalam tempo yang begitu singkat mereka sudah menjadi kekenyangan, gendut, dan malas bernalar. Ini memudahkan saya membantai dan mencincangnya nanti.

Saya pun berhasil menyelundup ke dalam gedung parlemen, lalu duduk di sana dengan santainya. Boleh dibilang tak ada kerja berarti yang saya buat. Tapi supaya tak kelewat kentara, sesekali saya pun bikin heboh, supaya terkesan betapa saya sungguh concern dengan nasib orang banyak. Luar biasa asyiknya permainan itu. Saya pun sukses sebagai juragan, karena dengan kelihayan saya, saya juga bisa nangkring di kursi empuk kabinet. Dari sini saya bisa leluasa sekali mengatur bisnis saya. Tak ada yang bisa mengotak-atik saya, karena musuh-musuh saya tahu belaka duit sayalah yang bikin mereka bertahan.

Jadi, apa yang tak bisa saya lakukan. Ya, saya, yang hari-hari ini membuat anda terlongong-longong itu, sebetulnya sudah lama ada, dan akan senantiasa ada, memenuhi seluruh pojok negeri. Bukan, saya bukan gay, yang benar adalah saya bisa tampil leluasa sebagai apa saja, atau siapa saja, seturut situasi yang ada. Betul, nama saya memang Ryan, dan sebaiknya jangan pernah melupakan saya, atau anda akan jadi korban saya yang berikut …

25 July 2008

Peristiwa 27 Juli : Tentang 2 Sajak

KIRA-KIRA sepekan (saya tak ingat pasti) setelah “Peristiwa 27 Juli 1996”, saya menulis sebuah sajak yang embrionya bersumber dari horor politik itu. Karena sajak itu saya anggap “gagal” saya pun hanya menyimpannya, dan pelan-pelan belajar melupakannya. Tapi saya tak membuangnya.

Pada Maret 2000 penerbit Pustaka Firdaus menerbitkan kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono, “Ayat-Ayat Api”. Sewaktu membolak-balik buku itu saya menemukan sebuah sajak Sapardi berjudul “Jakarta Juli 1996”. Sewaktu kali pertama membacanya saya tercengang, dan sempat membatin “mengapa puisi saya bisa ada dalam buku Sapardi?”

Ketercengangan itu terjadi karena puisi Sapardi itu bagi saya begitu mirip dengan puisi saya : keduanya berseting “Peristiwa 27 Juli”, keduanya juga menggunakan gaya prosa yang mirip sekali. Belakangan saya sadar bahwa yang semacam ini adalah soal biasa dan lumrah saja dalam urusan cipta mencipta.

Hanya saja, karena Sapardi adalah sebuah nama besar dalam panggung puisi Indonesia (dan sudah “mentas” lebi dulu), sedang saya hanyalah “penyair gurem” belaka, orang pasti akan dengan gampang bilang, misalnya, “wah, sajak Ook yang ini sangat Sapardi sekali ya.” Berikut ini adalah dua sajak yang saya maksud. Yang pertama puisi saya, yang kedua punya Sapardi.


Malam Sehabis Huru-Hara

Malam sehabis huru-hara itu
jalanan jadi lebih sepi
dari biasa. Kabar-kabar palsu menguasai
seluruh kota. Mengetuk setiap pintu
seraya menggertakkan ancaman. Tak ada lagi
yang sedia bicara. Tak seorang pun kini
siap jadi saksi. Malam sehabis huru-hara
itu, sepi jadi terasa aneh. Di bawah
tiang-tiang listrik dan kesenyapan
gang-gang kota, seperti ada yang ingin terus
berkisah padaku. Tentang berapa jumlah korban
yang luka-luka, hilang, dan mati dalam
kerusuhan siang tadi itu.


Jakarta Juli 1996

Katamu kemarin telah terjadi
ribut-ribut di sini.
Sisa-sisa pidato, yel, teriakan.
umpatan, rintihan, derum truk,
semprotan air, dan tembakan
masih terekam lirih sekali di got
dan selokan yang mampet.
Aku seperti mengenali suaramu
di sela-sela ribut-ribut yang lirih itu,
tapi sungguh mati aku tak tahu
kau ini sebenarnya sang pemburu
atau hewan yang luka itu.

22 July 2008

Nasehat Mandi Pinurbo

Mandi dan sembahyang itu ada miripnya
Yang pertama mencuci bersih badan
Satunya mengawal rapuh jiwa

Kalau mandimu bukan asal mandi
Dan sembahyangmu tak asal meradang
Insyallah, sehat afiat sekujur hidupmu itu

18 July 2008

Gerbang

/1/
Jika semua orang memilih berdagang
Siapa gerangan menjaga ini pintu gerbang
Jadi pergilah kalian berniaga ke kota
Aku di sini saja tinggal merawat kata

/2/
Berpuisi itu laku orang masih punya nurani
Menjadi puisi kukira puncak pencapaian insani
Tapi aku cumalah penjaga di pintu gerbang ini
Bahagia menampak sesaat jejaknya melintas di hati

16 July 2008

Buku yang Tak Dibaca

Ia sebuah buku
Yang tak dibaca lagi
Terselip kesepian
Dalam rak kenangan

Kulit sampul meluntur
Saru dimangsa waktu
Judulnya gagap
Kikuk menatap zaman

Tema dan gaya
Sama kadaluwarsa
Halaman yang pernah perkasa
Nelangsa tak berdaya

Ia sebuah buku
Yang tak dibaca lagi
Bahkan saya lupa
Dulu pernah membelinya

11 July 2008

Surat dari Penerbit

Saudara Ook yang terhotmat,

Singkat dan langsung saja ya bung. Kami sudah menerima kiriman naskah puisi anda, kami juga sudah mempelajarinya, dan kami pun telah mengambil keputusan untuk “tidak menerbitkannya”. Seperti anda pun pasti sudah paham, proyek penerbitan buku puisi adalah proyek “tumbal”, proyek “makan hati”, alias proyek pasti rugi melulu.

Anda juga tahu harga bensin belum lama ini naik, dan itu menyebabkan lonjakan yang tinggi pada biaya produksi buku. Sementara sebelumnya harga kertas juga sudah duluan naik. Cobalah anda hitung berapa tinggi resiko yang harus kami tanggung jika kami menerbitkan naskah puisi anda. Apalagi, maaf sekali, anda hanya penyair gurem yang “tidak menjual”.

Kami lebih mendahulukan penulis-penulis yang “menjual”, yang sudah punya merk. Bahkan bukan penulis pun apabila mereka berpotensi “laku” pasti akan kami pertimbangkan serius. Misalnya, kami akan mempertimbangkan jika ia misalnya mantan aktivis politik yang pernah masuk penjara, atau minimal pernah ikut rame-rame turun ke jalan dan digebuki tentara. Tokoh selebriti yang kontroversial pun akan kami prioritaskan.

Soal mutu karya, bagi kami nomor dua. Kami punya tim hebat yang sanggup menyulap karya yang hanya “sampah” sekalipun menjadi “maha karya” yang berpotensi “best seller”. Akan halnya karya anda, mohon maaf, kami tak melihat peluang sama sekali untuk bisa disulap menjadi “laku”. Jadi ini kami kembalikan naskah anda, cobalah ke yang lain, siapa tahu ada juga penerbit “sinting” yang mau menerimanya.

Salam dan semoga anda tidak jadi putus asa, atau murka, karena surat kami yang terlalu berterus-terang. Ini.memang sudah menjadi kebijakan dan gaya kami selaku penerbit besar dan terkenal yang mengusung motto “mencerdaskan bangsa seraya menggendutkan dompet sendiri”.

09 July 2008

Kisah Dua Kepala

Kepala yang satu
Kelewat repot berpikir
Merenung-renung sok filosofis

Soal mudah
Dibuatnya jadi susah
Soal sudah susah
Ditambahnya parah

Jadilah ia beruban
Dan akhirnya membotak
Sebelum mati

Kepala satunya
Justru paling malas
Diajak berpikir

Maunya berontak melulu
Hajar dulu urusan belakang

Jadilah ia gelisah
Menggeliat tak henti
Dalam gerah sarangnya

07 July 2008

Dongeng Jakarta

Dari Jakarta
Sorga tak jauh lagi

Begitu petuah
Si tua dalam kitab tak bernama

Tapi sebelum
Tiba kau di sana
Ada sebuah simpangan

Yang mirip nirwana
Menggodamu dengan bayangan
Hiburan dan nujuman
Hari akhir

Itulah puisi
Maha puisi, ujar
Si tua itu lagi mengingatkan

Di sana banyak sudah
Rebah para penziarah
Rubuh atau sekadar terbunuh

Habis umur dimakan sajak

Tapi dari Jakarta
Dari Jakarta, sungguh
Sorga tak berapa jauh lagi

04 July 2008

Misalkan, Saya Ini Buku

Misalkan, saya ini buku
Sejauh mana sudah kau jelajah
Halaman-halamannya?

Di luar urusan salah cetak
Yang mengganggu ada-ada saja

Apa komentarmu
Perihal tema dan isinya :

Cukup dalam atau banalkah?

Bagaimana pula
Struktur narasinya digarap?

Antara kadar literasi
Dan kemestian gramatikanya
Sudahkah terjalin serasi
Sebagai darah dan lukanya?

Adakah menjemukan
Pilihan sampul depanku?

Misalkan, misalkan
Saya ini benar sebuah buku
Di rak perpustakaan mana gerangan
Kelak ia bakal disimpan?

02 July 2008

Sajak Tamu : Eka Budianta

Eka Budianta, yang lahir di Ngimbang, 1 Februari 1956, adalah salah seorang penyair kita yang cukup penting. Ia dikenal melalui sajak-sajaknya yang bergaya-ucap jernih dan sederhana. Sajak “Teringat pada Daun” adalah contoh tipikal puisinya. Ia pun kerap menyisipkan idiom-idiom kontemporer ke dalam puisinya. Ini adalah kecendrungan dominan lain padanya, selain kesukaannya bermain dengan imaji-imaji alam. Sajak “Tembang Biasa” mewakili tren itu.

Dua sajak yang dimuat di sini dipetik dari kumpulan puisi “Sejuta Milyar Satu” (penerbit Arcan, 1984). Kumpulan ini mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Sayang, kiprah kepenyairannya menyurut kemudian. Sajak-sajaknya tak pernah muncul lagi kepada kita. Sungguh sudah “habiskah” Eka Budianta sebagai penyair?


Teringat pada Daun

Bagaimana aku bisa lupa padamu, daun
Setelah kauajar selama bertahun-tahun
Menghadapi berbagai musim dan kekecewaan
Di laut, sekarang aku jadi biduk
Tak berdaya, kosong dan sakit-sakitan
Jauh dari hutan, jauh dari kalian
Tapi lupakah aku padamu begitu saja?

Nasib membuatku jadi sepotong gabus
Kapal tanpa kompas, perahu tanpa layar
Tapi jangan bilang aku lupakan kalian
Hutang rindu, hutang kasih sayang
Tak tertebus dengan sejuta bait gurindam
Hidup bukan sekedar iuran perkataan
Sejak dulu telah kauajar aku membuktikan

Sekarang, di tengah lautan kata-kata
Aku memanggilimu, daun-daun
Yang telah menghijaukan perasaan
Dengan usapan dan tamparan di masa kecil
Ombak kini menggantikanmu
Dengan ayunan dan hempasan
Mendekatkan aku ke akhir perjalanan


Tembang Biasa

Pemenang Nobel perdamaian
Bukanlah ayahku
Meskipun setetes spermanya
Bersama ovum bintang film itu
Tumbuh menjadi aku
Seperti engkau
Di dunia ini aku sendiri
Normal dan terasing

Akulah mereka
Penanam modal di planit Yupiter
Pendatang baru di galaksi tanpa nama
Aku membuat semilyar komputer
Reaktor-reaktor atom dan mesin sinar laser
Untuk membunuh orang-orang Kamboja
Membantai sisa-sisa Palestina
Menghabisi Indian Amerika, Yahudi di Eropa
Aku perintis teknologi metafisika
Sekaligus pelacur, tukang sepatu
Algojo, muazin dan perawat yang rajin

Aku lari meninggalkan firdaus
Menyumpahi Tuhan sepuas-puasku
Dan menyembah-nyembahnya lagi
Aku membangun piramida dan tembok Cina
Dan tidak menangis
Ketika Hiroshima berantakan
Tidak marah melihat rakyat dibantai di Gullac
Aku tersenyum bersama cahaya
Menyusup ke segala rongga, seperti biasa
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...