https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

17 December 2009

Sajak Bagi yang Tak Suka Sajak

Aku tahu
Kau tak baca puisi
Maka aku tulis ini
Puisi untuk kau
Yang tak baca puisi
Jika kau ijinkan aku
Sekali ini saja
Memberimu petuah
Maka inilah nasehatku
Boleh saja tak kau gubris
Boleh saja kau musuhi
Mahluk ganjil tengil
Yang kau sebut penyair
(Atau penyihir, apa bedanya)
Yang artinya ia yang terusir
Jauh ke pesisir waktu

Tapi kenalilah puisi
Sebab bukankah
Sembilan bulan kalian
Genapi kata
Dalam senyap relung
Bulatan semesta
Pun sesudahnya
Di dunia antah barantah
Sarat hawa busuk
Tempat buruk
Di mana turunanmu
Tumbuh dan mati
Hanya saja ternyata
Puisi tapi tak mati-mati

Sebab bukankah
Ia saudara kembar
Bersamamu terdampar
Dalam kesamaran
Sekat-sekat bahasa
Maka kenalilah
Pecahkanlah olehmu
Dinding tak nampak ini
Yang mengurungmu konyol
Dalam ini wujud kasar

Aku tahu
Kau tak suka puisi
Maka aku tulis ini
Puisi untuk kau
Yang tak suka puisi
Sudah kubuatkan
Kususun kata-katanya
Seakan baru saja aku
Belajar mengurai
Tanda-tanda baca
Alifbata mula pertama
Semogalah manfaat
Jika kau temukan
Di sana-sini terasa
Dibuat-buat terlalu
Dengan sekalian hormat
Di sini kumintakan
Setulus maaf

Sebab penyihir
(Atau penyair, apa bedanya)
Hanyalah mahkluk
Malang tapadaksa
Bisanya ia bertutur
Lebih seringnya melantur
Tak lagi keruan
Kiblat dan sujudnya
Memanglah hanya
Menghadap seluruh pada
Yang maha puisi

24 November 2009

2012

PADA tahun 2012 umur saya—tentu, jika tiada aral melintang--bakal genap 52 tahun. Anak saya yang pertama bakal berusia 12, sedang adiknya pas 10. Ia mungkin akan tetap seperti saat ini, gemuk padat (bayangkanlah tokoh film anak-anak “Boboho” jika ingin mendapatlan gambaran tentangnya), dan kakaknya sudah musti repot dengan persiapan memasuki kelas 7. Kakaknya itu selalu menjadi langganan “juara” di kelasnya, mungkin di tahun itu pun ia masih tetap “juara”, dengan barisan teman dan “penggemar” (ia mewarisi sebagian watak ibunya yang selalu kepingin “lebih cepat lebih baik”, dan bukan kebiasaan bapaknya yang suka kelewat lama menimbang-nimbang urusan) yang semakin berkerumun di sekitarnya.

Saya tak tahu apakah saya masih bekerja di tempat yang sekarang, di tahun 2012 nanti. Ketika saya menuliskan ini situasi di perusahaan sedang agak resah. Kabar-kabar seputar “perampingan” (mereka membuat sebutan sopan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya) terus bergulir saban hari. Siapa bakal jadi “korban” berikutnya? Mungkin saya termasuk salah satu “korban” dalam daftar yang mereka siapkan, siapa yang tahu? Jika ternyata betul saya ikut “dibabat” (tahun ini juga?), saya belum punya gambaran persis akan bikin apa sesudahnya.

Beberapa waktu yang lalu saya mencoba menjajaki peluang bisnis di jagat maya, tapi hasilnya bikin saya (sementara) patah semangat. Tapi jika saya betul “dibabat” (apakah awal tahun depan?), mungkin saya akan kembali menjajal peluang di sana, dan mungkin siapa tahu, di tahun 2012, bisnis online saya sudah maju pesat, karena kali ini saya punya banyak kesempatan waktu (dan tekad) untuk mencoba lebih maksimal “main-main” di dunia maya ini. Karena situasinya sudah “to kill or be killed” bagi saya. Maka saya, seperti para pebisnis online lain yang sukses, cukup “ngantor” di rumah saja : terhindar dari stress karena kemacetan jalan-jalan Jakarta, yang menurut ramalan para pakar bakal tambah menjadi-jadi. (Di tahun itu, 2012, Fauzi Bowo, mungkin kembali sibuk memamerkan kumis ijuknya, mencalonkan diri lagi jadi gubernur).

Di tahun 2012, saya juga tak tahu apakah saya masih menulis puisi. Meskipun tidak terpikir niatan untuk berhenti, segala hal bisa saja terjadi. Mungkin saja karena saya di tahun itu menjadi terlalu repot (dan asyik) mendulang dolar dari bisnis internet saya yang booming, maka saya pun jadi “lupa” bagaimana caranya menulis sajak. Saya lalu menjadi “tumpul”, menjadi kehilangan minat pada hil-hil yang berurusan dengan estetika, dan bisa saja kemudian, kehilangan pula penghargaan kepada puisi.

Atau sebaliknya, karena saat itu saya sudah menjadi cukup kaya raya (meski belum setajir Anggoro Widjojo), dan ternyata minat saya pada sastra dan kesenian tidak menjadi mati, saya kemudian berinisiatif membuat program hadiah sastra yang lebih keren dari Khatulistiwa Award. Saya juga mungkin akan sibuk memantau dan mencari benih-benih unggulan di ranah sastra untuk “diselamatkan”. Jadi saya berharap, tak ada lagi penyair berbakat yang terlunta-lunta tidak bisa menerbitkan bukunya, hanya karena ia tak cukup punya “power”, atau duit, atau “koneksi”, atau “mantra”, atau entah apa sebutannya, yang bisa meluluhkan hati beton para juragan penerbitan.

(Di tahun 2012, jangan-jangan, tak banyak hal yang berubah. Indonesia masih begini-begini saja. PSSI tak kunjung juga bikin prestasi. Chris John mungkin sudah tak juara lagi, ia memilih berbisnis jamu kuat. Hukum rimba masih jadi panglima. Ada banyak blog yang dilarang tayang karena dianggap “menghina” ini dan itu. Mama Lauren sudah pikun, dan ramalannya jadi tidak lagi akurat. Banjir besar melanda Jakarta, sesuai “skedul” banjir bandang 10 tahunan (ingat banjir dahsyat 2002?). Tapi di tengah-tengah situasi muram itu ada juga menyeruak kabar baik, dan kabar baik itu anehnya datang dari dunia sastra : hadiah nobel sastra tahun itu ternyata jatuh kepada seorang sastrawan nusantara ...).

20 November 2009

Gelap

Mereka menyukai
Suasana gelap
Dan remang-remang
Pun hawa yang lembab

Ke sanalah mereka
Terbang mengitari
Mencucukkan rasa gatal
Mungkin juga sesal itu

Pada sukma gelisah
Yang rentan diburu tanya
Dan gamang dibalur
Warna abu-abu

Mereka paham betapa
Nilai-nilai alangkah semu
Menempel rapuh pada kulit waktu
Mungkin serupa daki

Mereka menyukai
Suasana yang gelap
Dan samar-samar
Pun hawa yang lembab

11 November 2009

Sindu Putra Raih Khatulistiwa Literary Award 2009


PENYAIR Sindu Putra (lahir 31 Juli 1968) meraih Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009 untuk kategori puisi lewat kumpulan sajaknya “Dongeng Anjing Api” (penerbit Arti Foundation, Juli 2008). Sindu bukanlah nama baru dalam panggung puisi kita. Ia sudah menulis sejak 1980-an, hanya sepertinya selama ini “luput” dari perhatian. Ia mengaku “telat” masuk ke dalam “tim nasional”, mungkin karena selama ini “kurang bersemangat berkampanye” di media pusat.

Tapi “keterlambatan” itu barangkali malah menjadi berkah baginya, karena waktu “penantian” yang lama ini pada akhirnya memberinya kesempatan untuk terus berbenah sembari mematangkan diri. Hasilnya kemudian, seperti secara sepintas saya singgung dalam pengantar “obrolan” kami di halaman ini, adalah “satu dari sedikit saja buku puisi unggulan yang sempat terbit belakangan ini”. Kini, mungkin adalah waktu yang paling tepat untuk menengok kembali wawancara dengan Sindu Putra itu.

06 November 2009

Aku Hanya Mencatat

Aku hanya mencatat
Kabar-kabar pucat
Hal ihwal biasa
Yang sedari mula
Melekat pada kita erat
Serupa tanah
Lembab cokelat
Yang kupijak ini
Musim yang melaju
Di bawah langit
Yang suwung
Yang biru
Dan sepinya
Melengkung di hati
Yang bisunya
Meringkas waktu
Jadi hanya rindu
Yang padamu
Sampai sebagai luka
Warisan purba
Yang serupa
Ibunda bumi
Mesra mendekap

02 November 2009

Membaca Batu

Membacamu, seperti
membaca batu : tak kutahu
di mana pintu masuknya, yang mana
celah perihnya?

Membacamu, mungkin
kuperlu kapak, biar kutetak
untuk tahu mana yang sungguh batu
mana yang hanya ambigu

(Yang mengurungmu
menawan kita
dalam kelu
waktu)

28 October 2009

Pelajaran Menulis Puisi

Pelajaran Menulis Puisi

: fn

Puisi adalah
Keheningan dan secangkir kopi

Maksudku, kau harus
Mengaduk kisahmu, mengaduknya
Sabar lalu melebar, aduklah
Sampai merata serbuk sepinya

Kemudian reguklah tandas
Maksudku, kau harus menemukan
Liang luka pada ampas katanya
Pada dasar cangkir itu, pada

Dasar waktu, maksudku, pada
Pekat malam yang lembab mengendap


Wujud

Tak berwajah
Sebab ia bukan milik sesiapa

Bersayap ganda
Karena jauhlah kembaranya

Dan seperti kau
Ada luka berdarah

Bekas tikaman
Waktu pada lambungnya

21 October 2009

Buah, Sebagai Umpama

Akhirnya, sampai ia di ujung musim
Sesudah ditempuhnya jalanan cuaca
Yang tak selalu aman dan rata
Dari penyamun dan putus asa yang mendera
Peperangan licik, yang tak
Selamanya dimenangkan
Pun percintaan yang isinya
Banyak juga serong dan tipu busuknya
Bahwa bebuah masak
Yang dalam nampan kau jamah
Yang dalam mulut kini kau kunyah
Lasak tubuhnya manis kau sedot jeroannya
Tak cukup kau pahami sepertinya
Berliku sangat jalannya sampai padamu
Tak terbaca pada topeng judulnya
Jalinan cerita yang tak pernah rata itu
Sebab bijak tangan waktu
Menyisakan hanya yang hakikat
Menyorongkan padamu wujud yang lezat
Bebuah kata-kata bersahaja ini

19 October 2009

Dunia Jam 2 Pagi

Di kerajaan sunyi jam 2 pagi
Aku hanya sepenggal baris
Terlontar dari halaman waktu
Tanpa kutahu judul dan tema kisahku

Tak ada pintu masih membuka
Tapi mungkin masih ada seliang luka
Menganga dan belum diberi nama
Di kerajaan sunyi jam 2 pagi

14 October 2009

Mulut yang Mengunyah (2)

Kau mengunyah pelan
Tidak terlihat terburu-buru
Seakan kau tak lapar
Tubuhku masuk gemeretak
Ke dalam anyir guha mulutmu
Taringmu sepasang membenam
Pada lambungku sekonyong nyeri
Kesedihan menganga bagai luka
Dia yang tergantung pada salib
Meski aku pasti bukan dia
Bukan juga sesiapa bagimu
Terus kau mengunyah pelan
Tidak juga terburu nafsu
Betulkah kau tak berasa lapar
Barangkali tak cukup menarik
Dagingku liat sarat pun pahit
Mengandung malam dan jerit
Lama tertimbun batu bebintang
Jadi kau perlukan bumbu
Penyedap lebih banyak lagi
Sedikit bermain dengan rasa
Di atas meja dan piring waktu
Bagiku itulah tambahan siksa
Tapi kesakitanku tak punya nama
Sewaktu kau kunyah remuk
Akhirnya tulang-belulangku
Mimpi-mimpiku pun berujung
Berakhir pada kelam curam
Terowong kerongkongmu

10 October 2009

Pakaian Dalam (5)

Sejatinya pakaian dalam
Adalah mahluk yang tabah
Bukankah tiada pernah terdengar
Ia berkeluh melontar kesah
Meski panas sungguh udara
Dalam dunianya sunyi
Jauh di ceruk semesta
Garing gasang ranggas itu
Sebab sirkulasi yang payah
Belum lagi tekanan berat
Musti dialaminya selama
Jam-jam yang sarat penat
Menahankan itu beban urina
Belum lagi pelik aroma najis
Bagaimana menangkisnya
Dengan tiada pernah menangis
Sungguh patutlah kita
Sejenak saja bertanya lagi
Sebab luarbiasa terlalu
Teramat gila bukankah
Pengalaman menderanya itu

28 September 2009

Pakaian Dalam (4)

Di dunia lembab rahasia
Kawanan pakaian dalam
Keluwesan dan kesetimbangan
Sungguh teramat dipujikan
Teramat paham mereka
Bagaimana menjaga tata
Supaya selaras terjaga harmoni
Dunia sini dan dunia sana
Kelenturan adalah hukum
Satu-satunya mereka yakini
Aturan ketat terlalu
Pun longgar kebablas
Sungguhlah mereka pungkiri
Kebebasan bergerak dihargai
Sepanjang tak mengusik
Kenyamanan warga setempat
Yang sudah payah terlalu
Oleh karat peluh seharinya
Maka di lembab dunia pakaian dalam
Demokrasi lama sudah berjalan
Bukan melulu bahan kajian
Gonjang-ganjing musim kampanye
Sebab itu memang aturan utama
Jika negara ingin tinggal sentosa
Seimbang mustilah sekalian unsurnya
Padu lagi rata terbagi bebannya
Bukankah ini sudah pepatah lama
Mengapa pula kita berpura tanya

25 September 2009

Koleksi Pakaian Dalam (2)

Pakaian Dalam Perempuan Diperkosa

Sesudah kejadian ini
Aku tak akan dipakai lagi
Ia akan berusaha melupakan
Kejadian itu dan membuangku jauh-jauh


Pakaian Dalam Ibu

Putih, selalu putih
Sepanjang yang kuingat


Pakaian Dalam Istri

Tak banyak pilihan
Hampir seragam
Dari Senin ke Senin lagi


Pakaian Dalam Anak

Hiasan bunga
Pada polanya bersahaja
Sedikit tercemar:
Bekas pipis tak juga terkikis


Pakaian Dalam Filsuf

Saya berbau
Karena itu saya ada


Pakaian Dalam Penyair

Meski mulai luntur warnanya
Daya lenturnya belum berkurang
Ia seperti mau bilang pada dunia:
Aku masih tahan seribu tahun lagi!

23 September 2009

Mulut yang Mengunyah (1)

Tentang mulut yang mengunyah
Hendak ia menulis semacam pendapat
Barangkali dalam sepantun ayat
Darimana tapi memulainya
Demikian masih sangsi ia bertanya
Mungkinkah dari kilat taring sepasang
Atau liur terus menetes-netes itu
Syairku membuka mengalir
Tapi lebih tertarik ia sebetulnya
Pada daging korban tersayat
Dalam itu piring rebah melintang
Jagal mana mengirimnya ke sini datang
Dalam ini kisah sungguh telanjang
Hendak kutangkap lagi pekik ngeri
Sewaktu melayang nyawanya terbang
Tapi piring sungguh bising terlalu
Taring sepasang berkilau layak pedang
Pun liur terus menetes-netes itu
Jadi mengatup rasaku yang di dalam
Pada jantung korban tersayat melintang
Terang tak sampai jiwaku memegang

19 September 2009

Mudik 2

Sesudah ditinggal
Mudik kata-kata
Kota kami jadi lebih
Sunyi dan aneh rasanya

Tinggal hanya beberapa
Tanda baca berjaga
Setia di persimpangan
Bersama waktu sepertinya

Mereka sedikit kesepian
Sejumlah tanda seru
Gagal menghidupkan
Kota ini agaknya memilih

Menyerah pada sejumlah
Tanda tanya, yang membawa
Kisah pada semacam
Kebuntuan tema

17 September 2009

Mudik 1

Jika kata-kata ini dibolehkan mudik
Ke mana kiranya mereka bakal mudik?

Kukira mereka akan kembali
Ke mula bahasa, ke pangkal bunyi

Pulang ke desa Sumber Sunyi, menemui lagi
Sanak keluarganya masih imut-imut sepi

Di sana, bunyi masih belum bernama
Di sana, kata belum bermakna ganda

Mereka pun bersahut-sahutan tulus
Tangan dan senyum terulur mengelus

Menjamah luka perih dalam dan membara
Luka-luka yang didapat dari peperangan di kota

Maka, jika kata-kata ini dibolehkan pulang
Mudik, ke sumber mereka akan balik mengulang

16 September 2009

Anak Malam

Kami tinggal di jazirah
Yang kausebut kelam
Kami minum dari tetes
Embun fajar dan dinihari
Menyusu pada sari bebintang
Dari galaksi yang lama hilang
Itu sebabnya kami jauh
Dari pemahamanmu
Berkilauan di sudut mimpi
Kami hidup dari bayang-bayang
Yang ditanggalkan waktu
Bagi bumi yang sabar menanti
Menempati ruang-ruang kosong
Yang belum diisi pengertian
Kami tak mengenal batasan
Kami satu sekaligus semua
Kami ada tapi juga tak ada
Kami tinggal di tepian malam
Di mana gelap menghapus jarak

14 September 2009

Pakaian Dalam (3)

Masalahnya adalah
Minimalis sebagai konsep
Bagaimana kemudian
Menuangkannya menjadi
Tak sembarang praksis
Yang dengan sedikit bahan saja
Memuat beribu pesan
Menyorong beribu kesan
Sebagaimana penyair haiku
Bertutur sepuluh ribu peristiwa
Dalam tiga baris syair hanya
Soalnya apakah pakaian dalam
Boleh juga disamaratakan
Dalam ini bahasan sekenanya
Dengan baris-baris puisi
Yang pun menganut paham
Ekonomis irit dengan bahannya
Melainkan maksimal penuh
Dengan hasil olahannya
Marilah sejenak merenung
Menimangnya dengan kepala
Bersih dari bercak-bercak
Yang menodai benak

11 September 2009

Koleksi Pakaian Dalam (1)

Pakaian Dalam Politisi

Banyak model
Beragam gaya
Bergantung pada
Peran dan situasinya


Pakaian Dalam Pensiunan

Pola dan jahitan
Sungguh seadanya
Terserah saja bagaimana
Yang sekarang berkuasa


Pakaian Dalam Demonstran

Bercak-bercak darah
Bekas amuk pukulan polisi
Sengaja dibiarkannya

Ini adalah bukti katanya
Dulu pernah saya berjuang
Demi ibu pertiwi


Pakaian Dalam Polisi

Bercak darah mahasiswa
Yang pernah diamuknya
Sengaja dibiarkannya

Ini adalah bukti katanya
Saya pernah dulu berjuang
Mengganyang anarki

09 September 2009

Pakaian Dalam (2)

Pakaian dalam yang baik
Dan yang benar
Mestilah mematuhi
Kaidahnya tiada tertulis
Dari angkatan ke angkatan
Terus menitis berkelanjutan
Tiada pernah berkeputusan
Begitulah sama kita sepakati
Sebulat-bulat hati dan pikiran
Bahwa mestilah ia menganut
Menjalankannya setia misalnya
Sebagai prinsipnya utama
Bahwa ia dirancang seturut
Prinsip-prinsip minimalis
Tak menjadi soal benar
Bahannya dari sutera secarik
Ataukah pelepah pisang belaka
Sebab fungsinya strategis
Memaksanya bertindak taktis
Dengan tiada menafikan
Samasekali alasan estetika
Pun norma aturan etika
Selaku warga masyarakat
Konon sangatlah berbudidaya

08 September 2009

Pakaian Dalam (1)

Tentang pakaian dalam
Yang erat melekat
Tak bisa kita alpakan
Tapi terlupakan begitu saja
Pas selesai kita memasangnya
Sebab mungkin teramat dekat
Tiada terpisahkan seakan
Menyatu ketat berpaut pada
Jiwa kita liat berkeringat
Mungkinkah sudah waktunya
Sedikit catatan dibuat
Tinjauan agak menyeluruh
Bukan semata melihatnya
Dari segi praktisnya belaka
Lebih jauh barangkali juga
Kajian pada sisi antropologis
Bahkan mengapa tidak
Kita membahasnya sesekali
Sedikit filosofis begitu seraya
Menyelipkan di dalamnya
Di antara pengap bau amismya
Pesan-pesan bernuansa politis
Sebab bicara pakaian dalam
Benda segitiga bentuknya itu
Lentur kodratnya memanglah
Tema pun bebas di ulur-tarik
Ke sana atau ke sini merdeka
Sesuai minat masing-masingnya

04 September 2009

Kadang Aku Datang

Kadang aku datang
Padamu sebagai gempa
(Seperti pada petang itu)
Membawakan bagimu
Kabar dari sumber
Yang jauh, getar gema
Yang makin kau alpa
Tambah kau anggap
Tak penting bukankah
Karena itu kadang
Kusempatkan datang
Padamu sekonyong
Tanpa tanda-tanda
Sebelumnya tiada warta
Kuketukkan pada cuaca
Begitu saja aku hadir
Mengalir tak tercegah
Mengingatkan sekadar
Asalmu yang sepi jauh
Tetangkaimu yang rapuh
Pada kekal musim-musimku
Mengapa kau terperanjat
Seakan tak kau kenali lagi
Wajah bumi yang memeram
Beribu mimpi seram ini
Adalah kisahmu yang lama
Darimana sumbermu
Pada jantungku menyusu

02 September 2009

Orang Kaya Membuang Ingus

Saya perhatikan beginilah
Ternyata seorang orang kaya
Membuang ingusnya :
Ia rogoh saku celana
Saputangan mahal jelas
Terlihat dari bahan kainnya
(Dan ada mereknya di sana)
Bukan tisu selembar rapuh
Terkoyak ngilu sekali sentuh
Lantas ia tumpahkan sepenuh hasrat
Itu cairan sunyi hijau warnanya
Sapu tangan mahal habislah daya
(Merek kesohor apalah artinya)
Lembab lengket dirapikan lagi
Sunyi tersimpan dalam lipatan
Aman ia masuk saku celana pula
Begitulah kiranya sidang pembaca
Seorang orang kaya agaknya
Membuang ingus ia tak rela
Dibuatnya kemudian sebuah ritual
Melibatkan saputangan mahal
Pun tak ketinggalan merek terkenal
Yang bagi saya entah mengapa
Dari dulu sampai pun sekarang ini
Terasa mokal tak masuk akal

31 August 2009

Orang Asing

Kalau saja mereka orang asing
Kalau saja raut wajah mereka beda
Mata mereka menatap bercuriga
Hidung mereka mengendus tak sabaran
Dan mulut mereka, senyum mereka
Tak enak dilihat, mirip seringai
Anjing, kejam dan tiada belas kasih
Bahasa mereka terlebih lagi beda
Macam kawanan lebah menggerutu
Parau, kita tak paham impian mereka
Kita tak tahu apa saja diomongkan
Kalau saja mereka melawan berterang
Tapi tidak, mereka bukanlah orang asing
Mereka tinggal bersama di kampung ini
Mereka sopan, terpuji laku ibadah mereka
Kitab suci mereka serupa, hanya tak paham
Kita mereka membacanya bagaimana
Mungkin kilau pisau mereka sisipkan
Di antara rerimbun menyemak ayat putih
Mungkin benih malam juga mereka peram
Pada dalam maha rahasia kalam Al Khalik
Sorga macam apakah mereka angankan
Tuhan manakah mereka puji sembah
Dengan berdarah sepenuh hujah begitu
Mengapa kita rasa mereka jauh, mereka
Padahal bukanlah orang asing di sini
Bahasa mereka santun, tak macam igau
Kawanan burung hutan, dan mulut mereka
Suara mereka selayaknya semarak kidung
Dan pandang mata mereka adalah sendang
Teduh, tiada kita temukan lembing dan pedang
Tiada kita dapatkan alasan masuk akal mengapa
Menabas perang di ladang-ladang sendiri

28 August 2009

Wiji Thukul

Aku Wiji Thukul
Aku bukanlah peluru
Menyesal aku tak bisa
Menjadi peluru

Aku Wiji Thukul
Aku hanyalah ingatan
Yang dilukai waktu
Kuingin menyapamu, kawan

Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Sehat dan berkacamata
Apa kabarmu, kawan?

Jadi kini kau terlibat
Ikut main muslihat
Dengan kertas-kertas
Gaya retorika sekolahan?

Aku lihat gambarmu
Di koran dan televisi
Terhormat dan berkacamata
Kau tampak bahagia, kawan

Aku Wiji Thukul
Hanyalah separuh ingatan
Yang dikucilkan waktu
Kumau melambaimu, kawan

Dari garis depan
Jauh dari garis depan
(Yang tak tersebut dalam kata)
Wiji Thukul menantikan

26 August 2009

Nyawa Puisi

Nyawa Puisi

Aku hanya butuh sereguk kopi
Untuk menulis puisi katanya

Dan sekerat mimpi
Akan membuatnya berdaging
(Selain berjudul belaka)

Tapi membikin
Baris-baris ini menggeliat
Menggigil bernyawa

Mungkin perlu aku
Mati dulu sekali setidaknya--
Begitu ia bertanya-tanya sangsi


Tamsil

Pernah kudengar serupa tamsil begini
Konon penyair itu jenis mahluk paling celaka
Tersesat ia dalam kelam berliku guha jiwanya sendiri
Hanya demi beberapa kata bertuah disangkanya ada di sana

24 August 2009

Sisa Kata

Dengan sisa kata
Yang masih ada padanya
Ia bertanya
Kepada jendela
Kepada langit membuka
Di luarnya sana
Adakah dibenarkan masih
Jika tak sanggup lagi
Ia percaya
Bahkan kepada
Pertanyaan-pertanyaan
Yang dirancangnya sendiri
Jika misalnya
Ia menampik
Segala jawaban
Yang disodorkan langit
Tawaran lembut
Dibawakan angin
Lewat jendela membuka
Dengan sisa kata
Yang belum telanjur sirna
Bisakah kiranya
Ia terima?

21 August 2009

Kitab yang Buruk

Kitab yang Buruk

Kitab yang baik
Tak gampang ditamatkan
Pada halaman akhirnya
Selalu membuka lagi
Kisah baru mengalir

Hidup yang buruk
Seperti kitab yang buruk
Sudah tamat sebelum
Halaman akhirnya
Kau singkapkan

Mungkin hidupku
Sebuah kitab yang buruk
Bebuah separoh matang
Kisah-kisah setengah jadi
Di ruang yang tak lapang


Halaman Kesekian

Jangan aku kaucari
Meski memang aku ada
Pada halaman kesekian
Dengan sekian tanda kurung

Yang sepertinya luput
Disebutkan dalam indeks
Lewati saja halaman itu
Meski misalnya kau jumpa


Tamat

Mati itu tamat
Selesai
Tiada lagi
Alias lainnya

Kosong
Halaman
Sesudahnya

Mungkin
Takusah dibaca

19 August 2009

Sisa Malam

Ada
Sisa malam
Tertinggal
Dalam
Tas kerja
Terbawa
Tak sengaja
Bersama
Berkas berkas
Ke tempat
Kerja

Beberapa
Butir bintang
Tak hendak jua
Padam
Meski
Tengah hari
Membelalak
Sengit

Mereka
Bersikeras
Membentangkan
Mimpi

Mengitari
Mengingkari
Angka-angka
Nama-nama luka
Yang tertembus
Lembing jam

Berputar
Arah ke kanan
Setengah putaran
Sempurna
Mereka
Rampungkan

Tarian hari
Tanpa matahari

17 August 2009

Patung Penyair

Lihat penyair itu
Demikian takzim ia
Berjam-jam merunduk duduk
Macam patung terkutuk

Ia berjuang keras
Teramat amat keras
Untuk sebuah kata
Demi sekilas kilat terang

Dalam guha bahasa
Yang dimasukinya semula
Bagai tak sengaja, kini seakan
Permainan meminta nyawanya

14 August 2009

Perjalanan

Seperti biasa
Kita memilih diam
Menyerahkan perjalanan
Kepada sunyi

Kita percaya saja
Ia terlebih paham
Bagaimana mengurai jarak
Dalam sejumlah kelokan

Rambu-rambu cuaca
Di luar jendela
(Dan diri kita)
Tak berarti apa-apa

Kadang seseorang
Mencoba juga memecah
Kebuntuan dengan kata
Tapi ia yang duduk di depan

(Yang teramat paham
Menyatukan arah) menggeleng
Memohon agar tak seorang pun
Mengacau perjalanan

12 August 2009

Di Lapangan Parkir

Mobil-mobil ini
Mungkin serupa
Dengan majikannya
Mengilap dan kenes
Serta suka menatap kita
Dengan pandang meremehkan

Lihat coba bagaimana
Mereka bergaya
Di atas empat kakinya
Bangga pada statusnya
Pada merek dan pabrikan
Yang mencuci bersih otaknya
Jadi mesin upahan semata?

Mobil-mobil ini
Mungkin betul
Mirip majikannya
Gemar main bentak
Dengan klakson dan gas
Yang dibunyikan semaunya

10 August 2009

Melukis Laut

Bagaimana melukis laut
Dengan benar
Berapa banyak
(Kau tanyakan)
Ombak kata-kata
Kuperlukan
Guna menangkap
Memerangkap
Itu sunyi
Maha luas
Pada kanvas

Diamlah
Hati yang selalu meminta
Sepi tak bisa
Kau perangkap
Ke dalam lanskap

Pergi ke pantai
Berdiri dan saksikan
Bagaimana laut
Melukismu
Mengikismu
Jadi tinggal
Serpih buih
Memercik
Tak berdaya
Di pinggir tema
Yang kau goreskan

(Penyair
Yang mahir
Paham sungguh
Di mana berakhir
Kata kata)

07 August 2009

Rendra dalam Kenangan (1935-2009)




Kebun Belakang Rumah Tuan Suryo

Di tempat yang lama
aku teringat lagi
akan segala kesedihanku
yang telah lalu.
Di kebun rumah tetangga ini
di mana aku biasa bersembunyi
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Pohon-pohon di sini masih seperti dulu
cuma lebih tua, lebih akrab, dan tahu.
Pohon mangga, pohon nangka, dan pohon randu.
Di pokok menempel lumutan dan di dahan benalu.
Pagarnya bunga merak, bunga sepatu dan rumput perdu.
Semuanya masih ada di sini
dan sekarang dengan akrab
Kami berpandangan lagi.

Kepada pohonan di sini aku biasa berlari
dan dengan aman aku uraikan
segala duka yang aku rahasiakan
segala tangis yang kusembunyikan
dan bahkan kasmaran yang pertama.
Mereka tahu memegang rahasia
dan selalu sabar
memandang kelemahan.

Melihat tanah di sini yang kelabu
dan mendengar daun berisik di dahan-dahan
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Tapi menyenangkan juga dikenangkan
bahwa akhirnya satu demi satu
berpuluh kesedihan
telah terkalahkan.

(Dari Kumpulan Puisi “Sajak-Sajak Sepatu Tua”, penerbit Pustaka Jaya, 1978)

05 August 2009

Suara Anak-anak

Suara anak-anak di halaman
Murni seperti hujan
Seperti hujan tercurah
Di tanah kering berbatu

Di dalamnya kita dengar
Janji baik kehidupan
Dunia sebelum dilukai
Sengketa musim dan cuaca

Kini hidup adalah siasat
Kita pun main muslihat
Dengan topeng dan tipu
Terpasang pada muka

Dunia tinggal terbagi
Petak-petak sempit sajak
Tempat kawanan katak
Menguak memanggil hujan

Bisakah kita kembali
Menjelma hujan tercurah
Di tanah kering berbatu
Suara anak-anak di halaman

03 August 2009

Remang

Wajahku yang rata
Adalah samaran belaka
Warnaku yang abu-abu
Memang bisa menipu

Apa yang paling inti
Katakanlah, jantungku
Tinggal tersimpan, jauh
Di balik remang waktu

Yang datang padamu
Adalah lambang-lambang
Tanda-tanda yang bimbang
Yang sebentar menghilang

31 July 2009

Silence Detector

Silence Detector

Kau teramat fasih membaca
Bahasa logam dan struktur gramatikanya
Tapi luput kau selami yang lebih baka :
Sunyi dan sekalian struktur genetikanya


Jum’at

Bagimu semua sudah lalu
Bagiku semua serasa baru
Hari Jum’at selalu datang lagi
Jam tujuh pagi bom itu meledak lagi

Bagimu semua sudah usai
Bagiku semua baru saja mulai
Jum’at pagi selalu kembali lagi
Suamiku yang mati kembali mati

30 July 2009

Penyair Noor Din

Penyair Noor Din

Jangan pandang saya sebelah mata
Sudah ternyata saya bukan penyair biasa

Saya adalah isyarat, bayangan
Barangkali tanda-tanda kehilangan

Jangan lacak saya di ruwet bahasa
Sebab luput saya dari tangkapan kata


Darah

Meski sama turunan Adam
Nyata darah kita beda
Ada yang terlebih legam, lebih membara
Sebab mengandung benih malam

28 July 2009

Penata Bunga

Dulu saya penata bunga
Itu memberi saya cukup latihan
Sewaktu kelak menata
Bunga-bunga api
Dari bom yang
Saya susun
Ketika mereka
Berledakkan meriah
Tenang saya menatapnya
Tak lagi terperangah

Bom dan bunga
Secara hakiki tak jauh
Mereka saling mendekatkan
Coba saja pikirkan
Orang-orang sekarat
Terkena bom
Sebagian mati
Penata bunga pun
Ramah menyambangi
Menyematkan sunyi
Dengan bebunga

Dulu saya penata bunga
Mungkin juga kini
Tak ada beda
Bom dan bunga
Secara hakiki dekat
Mereka saling mengisi
Mereka tumbuh dan meledak
Di sekitar hidupmu
Di dekat matimu

26 July 2009

Kamar 666

Pintu kamar melihat mereka datang
Meja kursi tahu persis jumlah mereka
Jam dinding menonton mereka berunding
Tembok kamar menguping obrolan itu
Televisi menyala menyusun kabar-kabar
Telpon diam dibikin bungkam sengaja
Ranjang tidur paham agak gugup mereka
Room boy menjenguk tahu apakah ia
Tetangga sebelah mana pula menyapa
Kamar mandi menghapus jejak-jejak
Tas ransel coklat menyimpan isyarat
Mimpi alangkah berat tapi kita sepakat
Cuaca di luar mengirimi mereka tanda
Hari berkemas mundur tak mungkin lagi
Masukkan dalam kopor pak lebih rapi
Rencana tak berubah ya besok saatnya
Jangan ada tertinggal sidik jejari malam
Pada wastafel bersihkan juga sisa cemas
Arahan singkat lagi diulang takzim
Jam beringsut mundur sudah tak bisa
Kita bergerak sebentar waktu sarapan
Lelangit kamar mungkin kenal mereka
Meja kursi tahu persis jumlah mereka
Ada salam peluk cium sekadar sebelum
Pintu kamar melepas mereka bergegas
Formasi mati mengiring sang dajal

24 July 2009

Teroris, Satpam, Kepala, Kaki

Teroris

Sejumlah teroris telah menguasai tubuhnya
Lama semenjak ia dilahirkan dulu hari itu
Mereka merakit banyak sepi dan menunggu
Dengan sabar kapan hari baik untuk meledakkannya


Satpam

Sudah sepuluh tahun saya di sini menjaga
Saya tak percaya bakal ada bom di sini
Tapi saya percaya ada banyak sepi di sini
Satu atau dua mungkin meletus melanggar saya


Kepala

Sehabis bom meledak saya tinggal kepala
Setelah tinggal kepala barulah orang bertanya
Mereka-reka siapa saya, asalnya dulu desa mana
Datang jauh-jauh menebar petaka kok bisa ya


Kaki

Saya adalah kaki sebelah kiri
Siapa bilang nomor sepatu saya empat dua?
Sesudah bom meledak saya pun tak tahu lagi
Saya ini siapa, saya sekarang di mana

19 July 2009

Bom Bunuh Diri

Sudah semenjak lama ia tahu
Ada bom tersimpan dalam dirinya
Kalau mau sebetulnya, bisa saja sesewaktu
Ia meledakkannya di antara kerumunan

Atau tempat-tempat terhormat lainnya
Tapi malahan ia memilih sebuah sajak
Sebagai target tempat bom itu diledakkan
Sebuah sajak sepi yang tak dibaca orang

17 July 2009

Perakit Kata

Ia seorang perakit kata yang telaten
Dikumpulkannya mula-mula semua bahan
Yang dibutuhkannya : sejumlah kabel sepi
Saling telikung dalam kenyerian yang sempurna
Tapi luka, luka itulah nanti yang bakal memantik
Mereka, menciptakan semacam kehebohan

Di dalam kamar ingatan yang disewanya tunai
Ia rampungkan segala rencana rahasianya
Kabel-kabel sepi itu mewakili banyak suara
Yang lama ditindas, bumi yang memeram impian
Ada pun luka yang berujung pada ledakan-ledakan
Hanyalah bentuk paling murni dari kerinduan musim

Ia seorang perakit kata yang cekatan
Dikumpulkannya mula-mula semua bahan
Yang diperlukannya : serbuk sepi yang dipadatkan
Kabel & mur pengikat luka, jam penunjuk waktu
Sederhana, sekadar untuk memastikan belaka kapan
Kiranya saat terbaik meledakkan itu sunyi

Gudang Bawah Tanah

Jika boleh diumpamakan
Hatiku mungkin semacam rumah
Dengan banyak kamar dan pintu masuk
Yang membingungkan

Ada kamar tempat istri
Dan anak-anakku tinggal menetap
Tapi ada juga kamar lain
Terkunci siang malam karena
Di situlah kusimpan segala rahasiaku
Yang paling bangsat

Lainnya lagi ada kamar tempat
Ibuku ketemu dengan mendiang bapak
Kusiapkan juga beberapa ruang
Kecil saja untuk kerabat dan sahabat
Beberapa nama lain yang tak begitu rapat

Aku bahkan menyiapkan
Sejumlah kamar untuk musuh-musuhku
Kurancang bentuknya mirip penjara
Sungguhan, dengan kerangkeng terbikin
Dari jari-jeruji waktu

Tentu saja aku pun menyiapkan
Kamar rahasia tempat pacar-pacar gelapku
Sabar dan setia melayani nafsu bejatku
Jika sesewaktu aku kepingin

Masih ada lagi sebuah kamar kosong
Sebetulnya, yang ini lebih mirip gudang
Bawah tanah tempat segala iblis bertemu
Aku tak pernah masuk ke sana, kecuali saat
Rindu memuncak ingin menulis sajak-sajak

16 July 2009

Piknik ke Pantai

: Frida Nathania

Kalau jadi nanti
Pergi piknik ke pantai
Tolong sampaikan salam saya

Kepada ombak
Kepada samudra
Kepada cakrawala

Bilanglah begini
Meski jauh dari kalian
Masih bisa kurasakan
Debur ombak bolak-balik
Menjotos nasibku

Meski jauh dari pantai
Di lubuk sajak kukecap
Ombak laut langit yang sama

15 July 2009

Di Warung Sate Cak Dar

Saya memesan sepuluh tusuk sepi
Disertai pesan wanti-wanti, jangan dicampur
Dengan yang bukan sepi, dan satu pesan penting
Lagi, bakarlah yang matang, kata saya

Bakar yang matang, jangan setengah-setengah
Biar masak daging sepinya, sampai mengaduh sakitnya
Sampai mengerang lukanya, sedap sungguh nanti terkecap
Di ujung lidah bersama liur & pedas sambal waktu

14 July 2009

Catatan

/1/
Aku pernah percaya
Penyair semacam mahluk budiman
Belakangan aku mendusin
Dan mendapat tahu

Kecuali mahir berolah matra
Bertukar mimpi dan warna
Mereka tiada lebih ternyata
Bajingan biasa macam saya juga

/2/
Aku pernah percaya
Puisi adalah semacam ayat suci
Belakangan aku sering risau
Dan bertanya : tidakkah ia

Semacam lubang sembunyi belaka?
Seperti agama mengasingkan tuhan
Dari kemanusiaan, sering aku pun
Kehilangan kita dalam sajakmu

12 July 2009

Memulai Hari

Memulai hari, adalah
Seperti memulai sebuah sajak
Kita tak pernah bisa yakin
Di mana nanti ujungnya
Meski bisa saja kita memilah
Kata-kata yang kita suka
Kita paham sebetulnya
Pilihan tiada sebebas itu
Waktu melangkah keluar
Dari sempit gang dalam tubuh kita
Keluar menemui jalan raya dunia
Kelokan dan pertigaan yang kemarin
Kembali telah menantikan :
Nyatalah, kita hanya mengulang tema
Seperti dalam sebujur sajak, seraya
Menorehkan judul di lekuk-lekuknya

10 July 2009

Pada Suatu Hari Pemilihan Umum

Ia tak menemukan kesulitan samasekali
Menentukan siapa pemimpin yang harus dipilihnya
Ia sudah punya perhitungan dan alasan sendiri

Begitulah, dengan tenang dan penuh keyakinan
Ia mencontreng calon yang paling sepi, calon yang
Tak bernomor dan tak ada gambarnya di lembar pemilih

09 July 2009

Peti Mati Sang Biduan

: Michael Jackson (1958-2009)

Mereka berdebat sengit tentang peti mati
Yang pantas untuk upacara penguburannya nanti
Mereka bertengkar perihal ukuran peti yang pas
Tentang berapa sebaiknya kadar karat emas
Yang paling baik digunakan melapis itu
Kotak segi empat bakal tubuhnya direbahkan
Supaya tak lekas dimakan bumi dimangsa waktu
Pihak-pihak yang berkompetan telah pula dipanggil
Sudah pada tempatnya saran mereka didengarkan
Mereka meributkan keadaan dalam peti
Apakah cukup sudah ketebalan bantalan beludru
Yang dipasang di sana, dan warna yang dipilihkan
Itu adakah cocok sudah dan seturut dengan gambaran
Yang mau ditampilkan kepada publik nantinya
Meskipun kita tak mengundang pihak luar manapun
Datang ke dalam ini upacara khidmat rahasia
Jangan kiranya hal-hal kecil sepele jadi terlewatkan
Buatlah dia kelihatan seperti tengah tidur, bukan, tapi
Ciptakan kesan dia tidak mati karena kesedihan
Yang bertahun-tahun diperamnya dalam kesepian
Mereka agak bersepakat akhirnya soal kemeja dan jas
Yang sebaiknya nanti dikenakannya, jangan lupa
Kaus tangannya nanti sebaiknya yang sering
Dipakainya waktu ia manggung, juga sepatunya
Kaca mata hitamnya taruh saja dekat kepalanya
Siapa tahu ia masih memerlukannya, juga topi itu
Coba bereskan dan tata lagi rambutnya lebih santun
Jangan macam seniman bohemian penyakitan begitu
Kita sebaiknya mengaturnya sedemikian agar terlihat
Ia bukan hendak pergi meninggalkan kita selamanya
Bukan begitu, tapi ia hanya melancong sebentar
Katakanlah jalan-jalan piknik ke bulan melupakan
Sesaat penat musim dan cuaca di bumi hampa

07 July 2009

Moon Walk

: Jacko (1958-2009)

Kini kita percaya
Biduan kita tak bahagia

Mungkin itu sebabnya
Ia merasa perlu sembunyi
Menukar kulit dan jantungnya
Dengan serupa kerudung kabung

Mungkin ia suka melamun
Hanya di bulan manusia bahagia
Maka terseok-seok ia berjalan
Coba sebrangi galaksi

Kini kita paham
Semua tak kunjung menolong
Sampai ia pun berhenti melolong

04 July 2009

Langgam Lama 2

Kami akan pergi
Kembali kepada sungai
Sebab mereka paham
Arah ke muara

Kami akan mendaki
Berguru kepada gunung
Mereka teramat tabah
Menjunjung langit

Kami akan datang
Merambah ke dalam hutan
Guna menemu kembali
Akar sengketa

Mungkin akan kami
Tinggalkan kota-kota
Rumah dan asal-usul
Riwayat bumi yang cemar

Kami akan mengadu
Kepada ibu samudra
Memulangkan segala luka
Ke lubuk gelombang

02 July 2009

Rumah Baru

Sebuah rumah baru
Dibangun dekat simpangan itu

Kau tergoda bertanya
Berapa sepi kelak
Tinggal di rumah bagus itu?

Berapa cemas
Bakal beranak pinak?

Berapa luka
Mengisi ruang tetamunya
Menghadap senja?

Ada patung
Patung sepi
Pada halamannya
Kolam dan ikan-ikan
Lelampu di satu pojoknya

Cukup terangkah
Dibanding bebayang
Malam dan bintang mati?

Sebuah rumah baru
Dua kamar di lotengnya
Mungkin tiga kamar di lotengnya

Kau terusik bertanya
Dari jendela loteng itu

Langit masih berapa jauh lagi?

30 June 2009

Langgam Lama

Para lelaki menjaring matahari
Pulang, mereka bawakan keringat dan daki
Perempuan mengolahnya jadi mimpi, menyimpannya
Di lubuk bulan, sampai matang musimnya

Anak-anak yang kelak lahir dari rahimnya
Memanggil gunung dan awan ibu bapaknya
Mereka sendiri sungai, berpencaran ke muara
Dan kota-kota, mendekap benih laut dan ombak

25 June 2009

Penyelamatan

Dan tubuh kami
Tubuh kami tersusun molek
Dari uap malam dan embun fajar
Dari kesedihan dan kemarahan
Mungkin bertahun-tahun

Kami bayangkan tuhan
Mustilah membungkuk dalam
Guna meraih nasib kami
Sebab kami tercecer sunyi
Jauh di liang busuk sejarah

Kami harap tuhan
Bergerak cepat atau kawanan anjing
Perempuan jalang dan juru tenung
Menarik kami lebih dulu
Melelapkan kami dalam
Nina bobo tembang payau

23 June 2009

R o t i

Kami diberitahu
Tubuh tuhan adalah roti
Tersaji saban pagi
Di altar tinggi

Ke tempat itu
Kami saksikan serangga
Pelacur dan juru sita
Terbang menghampiri

Hanya jika paham
Sanubari langit
Dan duka cerita bumi
Mereka bisa sampai

Ke altar tinggi
Di mana tuhan dibantai
Dibunuh lantas digantung
Abadi

21 June 2009

Dalam Tidur

Dalam tidur
Aku ingin ketemu sajak
Kata-kata baik
Bebunyian rancak
Baris-baris giris
Melukis gerimis hidupku

Dalam tidur
Aku ingin terus menulis
Dan merampungkan semua
Pas bangun esoknya
Tinggal kububuhkan saja
Semacam kata penutup

Demi langit di atas
Demikianlah kiranya terjadi :
Mimpi yang menunas di bumi
Di sorga benihnya disemai

18 June 2009

Dongeng dari Depok

Lelah berjalan jauh menyambangi kota-kota dan benua sepi ia putuskan akhirnya tinggal di pojok sebuah metropolis yang masih ada menyisakan sepi untuk seorang orang tua yang menganggur seperti dirinya. Ia mengajak juga sejumlah sahabat sepi yang sempat dikenalnya dulu dalam pengembaraannya yang panjang dan sunyi ke alamat-alamat sepi. Sungguh ia merasa sangat berbahagia dengan lakon hidup sepi yang sekarang dipilihnya itu. Ia tak ingin apa-apa lagi.

Tetangga-tetangga dekatnya sering mendengar ia bercakap dan bernyanyi-nyanyi dengan sepi sampai jauh larut malam bahkan mendekat pada pagi. Pernah juga tapi tak sering kedengaran ia bertengkar sengit dengan sepi entah mungkin karena sesama sepi ternyata juga punya maunya sendiri dan agak susah diaturnya. Dan biasanya sehabis pecah pertengkaran seperti itu rumahnya jadi lebih sepi lagi. Tetangga-tetangga yang curiga berindap-indap mencoba mendekat kepingin sekadar memastikan mengetuk dan memanggil-manggil : “Tuan, tuan”, teriak mereka separuh cemas, “Tuan masih ada, bukan?” dan dari dalam rumah itu lantas saja terdengar sahutan (jengkel sepertinya sebab terusik) : “Sebentar, saya sedang keluar!”

Semenjak kejadian itu tetangga-tetangganya tak pernah berani dan mau mengusiknya pula. Mereka paham dan kini sungguh percaya bahwa ia memang sudah tak ada lagi. Sudah menjelma menjadi sepi.

16 June 2009

Adam di Jakarta

sekarang adam di jakarta
adam naik bus kota
bus kota penuh berjejal
adam dalam bus
bayangkan adam
berdiri berimpitan
perempuan dalam bus kota
berdiri berimpitan
adam di jakarta
bayangkan adam di jakarta
adam naik bus kota
adam tak turun di slipi
adam tak turun di senen
adam tak turun di mana pun
perempuan tak turun di bintaro
perempuan tak turun di mana pun
perempuan tak suka turun
adam juga tak turun
bus laju menghambur
lakon kencang meluncur
nembus selangkang jakarta

14 June 2009

Tubuh

Tubuh, pinta nyawa
Berilah aku rupa
Supaya aku nyata ada

Nyawa, kata tubuh
Merasuklah ke dalamku
Agar nyata aku pun berdaya

Kemudian mereka
Tubuh dan nyawa
Pergi mengembara
Menjelajah semesta

Kadang mereka
Tersesat jauh
Ke sudut-sudut sepi
Sebentang sajak

Di mana mereka
Tubuh dan nyawa
Temukan sumber

Daya bagi tubuh
Rupa sang nyawa
Pada yang maha puisi

Di mana nyawa
Di mana tubuh
Ialah urat katanya

08 June 2009

Tema Insomnia

(Aan Mansyur)

Di hari tuanya
Tak banyak lagi urusan
Yang mengusiknya

Ia pun lebih banyak
Tinggal di rumah
Membaca atau sesekali

Menerima
Kunjungan kata
(Beberapa patah kata)

Yang mengaku
Tak tahu lagi
Mesti pergi ke mana

Selain bertamu
Pada penyair
(Beberapa penyair)

Yang mengeluh
Suka tak bisa tidur

01 June 2009

Lubang

Lubang Buaya
Tempat menimbun konon
Sejarah yang dipalsu

Lubang Hitam
Tempat tuan Hawking
Nyepi mengusut semesta

Lubang kata
Tempat penyair
Duduk mengintip aih
Terperosok ia ke entah

Lubang ibu
Tempat muasal
Saya tersesat ke dunia

Lubang makam
Tempat kisah
Rebah dan ditamatkan

(Dari lubang
Pulang ke lubang
Inti hakikat kita agaknya)

20 February 2009

Kantor Bubar

Kantor Bubar

Setelah semuanya pulang, bubar
Barulah mungkin kau sempat terusik, sadar
Hanya hampa, semua yang seharian kau kejar
Yang di atas mejamu kini berserak terlantar


Belum Penyair

Belum penyair saya
Masih tingkat pengrajin kata
Payah mengais aksara
Di rimba raya alifbataNya


Doa di Pantai

Mintalah kepada sang pemilik lautan
Supaya diberinya kau kekuatan
Sebuah perahu bernama keyakinan
Sebelum kautempuh ini keluasan


Malam di Gang

Tukang sekoteng barusan lewat
Televisi barusan saja kumatikan
Ada yang batuk-batuk di rumah sebelah
Nyaring suara ketawa di gardu ronda

18 February 2009

Mimbar

Terlalu banyak orang
Naik ke atas mimbar ini
Terlalu banyak janji
Di atas mimbar ini

Terlalu banyak petuah
Untuk soal yang begitu jelas
Terlalu banyak mimbar
Terlalu banyak sesumbar

06 February 2009

Tiga Pasang Sepatu

Nah, ia kini sudah punya tiga pasang sepatu :
Sepatu kerja, sepatu buat santai
Satunya lagi sepatu khusus ke gereja

Sungguh celaka nasib sepatu kerja!
Pagi buta sudah musti terjaga
Lantas berkemas seraya cemas
Pulang baru sesudah petang tenggelam
Lima hari begitu dalam sepekannya
Belum kalau ada lembur mendadak

Sepatu santai sungguh santai hidupnya
Kerjanya cuma keluyuran ke mal, bioskop
Tamasya ke pantai, kebun binatang
Malah sesekali kalau masih tanggal muda
Ia suka diajak juga keluyuran iseng
Keluar masuk panti pijat di pusat kota

Dan sepatu gereja, bagaimana kabarnya ia?
Sepatu gereja sebetulnya lumayan
Tugasnya tidak berat samasekali
Lagi cuma sehari saja dalam seminggunya
Cuma bosan saja mendengar omongan itu-itu terus!

30 January 2009

Halaman Kosong

Jika halaman kosong ini betul semesta
Jika baris-baris tak berarti ini aku adanya
Mengais sunyi antara hampa musim-musimnya
Lantas siapa tangan yang menggerakkannya

27 January 2009

Pemburu

Sesudah semalaman
Berburu, penyair itu
Kembali dengan masgul
Tak ada puisi berhasil
Diringkusnya, hanya
Seekor sepi yang kebetulan
Tersesat dalam kamarnya
Menatapnya kini, menghiba
Memohon : “Daripada kau
Habisi aku begitu saja
Bukankah lebih baik
Jadikan aku sekadar sajak”

16 January 2009

Dua Tukul, Dua Peruntungan


Dunia Tukul yang pertama adalah dunia yang “muram, sunyi dan keras”. Sedemikian sunyi dan kerasnya hingga untuk menyiasatinya hanya tersedia satu cara, “hanya ada satu kata”, kata Tukul yang pertama, yaitu : “lawan!” Tapi perlawanan itu pun kita tahu sia-sia.

09 January 2009

Karena Kau Tak Punya Power

SELAMA 2008 yang barusan lewat, saya antara lain direpotkan oleh usaha “bergerilya” mencoba menawarkan naskah buku puisi saya kepada sejumlah penerbit. Tapi sampai terompet tutup tahun dibunyikan dan pesta kembang api digelar hasrat kepingin memiliki buku itu tetap tinggal jadi impian.

Saya ingat bertahun yang lalu seorang kawan pernah menyebut bahwa sebetulnya tulisan saya “bagus”, hanya sayang “kau tak punya power”, katanya. Ketika itu terus terang saya tak teramat paham apa gerangan yang dimaksudkannya dengan “power” itu. Tapi saya enggan menanyakannya sebab takut terlihat “pandir” di depannya.

Setelah sejumlah penerbit yang saya datangi dengan kompak menolak naskah buku saya, barangkali kini saya telah agak paham apa maksud sang kawan dulu. Ya, saya ternyata memang tak cukup punya power. Tulisan bagus saja tak cukup ternyata. Dan saya juga mulai agak paham bahwa sering tulisan “bagus” pun boleh tidak usah ada.

Sebab, yang penting “power” bung!

(Di tempat lain "power" mungkin dipanggil dengan nama lain juga; "koneksi" umpamanya?)

08 January 2009

Kisah "Hasan" yang Salah Posisi

HASAN adalah seorang guru yang baik dan rajin. Ia bukan hanya disukai para siswanya, tapi juga rekan-rekannya sesama guru, dan bahkan para pesuruh di sekolah tempat ia mengajar pun ikut menyenanginya. Hasan memang bukan guru kemarin sore. Selain menguasai dengan baik materi pengajarannya, ia juga dikenal pandai mengambil hati. Latar belakang pendidikannya juga bagus. Kabarnya ia sempat berguru kepada orang-orang pandai di tanah Jawa, kalau tak keliru di kota Bogor, yang banyak rujak asinannya itu.

Karena prestasi bagusnya itu, pihak yayasan kemudian mempromosikannya menjadi kepala sekolah. Begitulah ia kemudian ditempatkan di sebuah sekolah partikelir di Batam. Semua orang pun senang. Tapi Hasan ternyata tak teramat happy dengan posisi barunya itu. Entah mengapa ia merasa lebih enjoy berdiri berpegal-pegal kaki di depan kelas, menceramahi murid-muridnya yang pada menatapnya seraya terkesima, ketimbang musti duduk di belakang meja menghadapi surat-surat dan kertas-kertas belaka.

Singkat cerita, Hasan ternyata memang tak sukses (dan tak bahagia) sebagai kepala sekolah. Sekolah yang dikelolanya mengalami kemunduran, dan jumlah muridnya terus berkurang. Seandainya dulu Hasan tetap “dibiarkan” menjadi guru, sangat mungkin sumbangsihnya kepada dunia pendidikan akan jauh lebih nyata. Sebagai kepala sekolah ia hanya menang gengsi doang, tapi hanya sedikit yang telah dihasilkannya.

Kisah Hasan yang “salah posisi” banyak terjadi di sekitar kita. Seseorang mungkin menempati posisi salah itu karena kekuasaan di luarnya yang “memaksa”nya begitu (seperti dalam kisah Hasan tokoh kita), tapi lain kali mungkin ia sendiri yang dengan sengaja “mendorong-dorong” dirinya memasuki area yang salah itu. Susahnya, sering ia sendiri terlambat (atau bahkan tak kunjung) menyadari adanya kekeliruan itu.

Di dunia sastra urusan “salah posisi” ini, juga kerap terjadi. Kita semua kenal pada si Badu misalnya, seorang penyair yang lumayan berbakat. Sekiranya ia fokus “hanya” pada kerja “tukang syair” saja, mungkin sekali ia akan menelurkan banyak mahakarya nantinya. Sayang, ia ternyata tergoda juga untuk menjadi “tukang mengritik”. Kejadianlah, karena dasarnya ia memang tak kompeten, kritik-kritiknya jadi terdengar aneh, lucu, tapi kadang bikin sebal juga, sampai-sampai lalu ada yang menjulukinya “tukang kritik palsu”. Ada pula yang menyebutnya “Si Peracau”, “Ember Bocor”, dan beberapa sebutan lainnya.

(Maaf, siapakah ada yang sudi memberitahu Badu supaya ia sebaiknya berhenti saja jadi “kepala sekolah” dan kembali “mengajar” seperti dulu—itu sungguh terlebih manfaat baginya, dan insyallah untuk “sekolah” ini juga. Bilanglah sama dia, saya sangat “sayang” padanya, jadi tolonglah jangan lagi menghabiskan waktu memukuli tong kosong seperti itu. Paham ya, maksud saya?).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...