https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

28 October 2006

Kucing Sang Guru

Setiap kali guru siap untuk
melakukan ibadat malam, kucing
asrama mengeong-ngeong, sehingga
mengganggu orang yang sedang
berdoa. Maka ia menyuruh supaya
kucing itu diikat selama
ibadat malam.

Lama sesudah guru meninggal,
kucing itu masih tetap diikat selama
ibadat malam. Dan setelah kucing itu
mati, dibawalah kucing baru
ke asrama, untuk dapat diikat
sebagaimana biasa terjadi
selama ibadat malam.

Berabad-abad kemudian, kitab-kitab
tafsir penuh dengan tulisan ilmiah
murid-murid sang guru, mengenai
peranan penting seekor kucing
dalam ibadat yang diatur
sebagaimana mestinya.

(Dipetik dari "Burung Berkicau" Anthony de Mello SJ, penerbit Cipta Loka Caraka, 1994)

22 October 2006

Lebaran, Sepotong Kenangan

Meskipun tak pernah merayakannya (saya terlahir dari keluarga Nasrani), Lebaran bagi saya selalu punya arti khusus, atau lebih tepatnya, punya kenangan khusus. Kenangan khusus jauh ke masa-masa bocah dulu.

Lebaran, tentu saja didahului ramadhan, dan pada zaman saya masih di sekolah dasar dulu, ramadhan itu identik dengan libur panjang sekolah. Liburannya betul-betul panjang, karena bisa lebih dari sebulan. Sebagai bocah normal, tentu saja saya menyambut libur panjang itu dengan girang. Tapi apa saja yang saya lakukan selama libur panjang itu? Jangan membayangkan saya mengisinya dengan semacam piknik keluarga ke luar kota umpamanya. Tidak. Itu sebuah kemewahan yang bahkan tak terpikirkan saat itu, mengingat kondisi keuangan keluarga yang "ngos-ngosan". Jadi yang saya pilih adalah kegiatan murah-meriah saja : bermain sepuas-puasnya dengan anak-anak "gang" (baca : geng) saya. Dan yang saya maksud dengan anak-anak "gang saya" itu adalah para anak tukang kebun, tukang sapu, dan tukang sampah. Lho?

Begini. Ceritanya dulu itu saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sebagian besar penghuninya adalah keluarga-keluarga yang lumayan mapan. Ada juga beberapa keluarga tentara di sana. Sisanya adalah keluarga-keluarga yang, sebut saja, agak susah hidupnya. Keluarga saya masuk dalam kelompok kedua ini. Tapi di bawah kami masih ada sebuah "kasta" lagi yang dianggap masih lebih payah lagi keadaannya. Merekalah para tukang kebun, tukang sapu dan tukang sampah di kompleks perumahan itu. Mereka juga tinggal di kompleks, tapi di "bawah", di pinggir kali yang melintas di belakang kompleks. Mereka mendiami rumah-rumah semi permanen yang dibangun seadanya. Sekarang kita menyebutnya bedeng
.

Entah siapa yang memulainya, pembagian "kasta" itu ternyata berlaku juga di kalangan kami, para bocah penghuni kompleks. Ada dua "kasta". Yang pertama disebut atau menyebut diri "anak atas". Kelompok satunya disebut "anak bawah". Anak atas tentu saja anak-anak dari keluarga mapan, dan anak dari keluarga tentara, sedang anak bawah adalah anak dari para tukang sapu dan tukang sampah itu. Anak-anak atas emoh bergaul dengan anak-anak bawah yang sering mereka kata-katai "kotor", "bau", "bego", dan macam-macam lagi. Anak-anak bawah pasrah saja diperlakukan begitu oleh anak-anak atas, yang sering mereka sebut juga "anak-anak gedongan".

Lha, saya sendiri masuk kasta yang mana? Sudah saya ceritakan bahwa keluarga saya adalah anggota dari kasta kedua di kompleks itu. Lalu, kebetulan lokasi rumah saya berdekatan dengan lokasi di mana anak-anak bawah itu tinggal. Mungkin karena faktor kedekatan geografis inilah saya kemudian menjadi lebih dekat dengan kelompok yang dianggap underdog itu. Saya bisa begitu leluasa masuk dan keluar rumah mereka, bahkan kamar tidur mereka pun beberapa pernah saya masuki. Saya pun jadi tahu bahwa mereka ternyata sering mandi tanpa sabun. Hanya gebyar-gebyur air doang. Saya pun tahu menu makan siang mereka, karena suka menemani mereka makan siang sebelum mereka berangkat ke sekolah. Komposisinya biasanya tetap : nasih putih, sayur bening, lalu sambal (yang kayaknya selalu ada). Kadang ada juga potongan tempe goreng dan ikan asinnya. Sementara itu, untuk masuk ke dalam kelompok "anak-anak atas", saya merasa mengalami kesulitan. Lagi pula teman-teman yang "anak-anak gedongan" itu tampaknya tidak begitu rela kalau saya yang "culun" dan sering bergaul dengan anak tukang sampah ikut bergabung dengan mereka.

Tapi, lantas apa hubungannya semua ceritamu itu dengan Lebaran? Lha itu, saya sebetulnya cuma mau cerita bahwa masa-masa liburan ramadhan saya dulu itu saya isi bersama anak-anak dari "bawah" itu, tapi kan saya tidak bisa cerita langsung begitu saja. Maksud saya, settingnya harus disusun dulu. Dan itu adalah salah satu episode hidup saya yang saya anggap indah. Saya bersyukur pernah mengalaminya. Dari merekalah misalnya, saya belajar tahu bahwa kalau sudah bulan puasa, "setan-setan pada ditangkapi, supaya tak mengganggu orang yang puasa". Itulah sebabnya dulu, kalau lagi bulan puasa saya tak takut keluyuran malam sendirian, karena percaya tak bakal ada setan atau kuntillanak yang bakal mengganggu saya.

Dan pada suatu hari Lebaran, saya sudah lupa bagaimana awalnya, saya ikut bergabung dalam rombongan mereka, para anak tukang sapu itu, berkeliling dari rumah ke rumah menadah "angpao". Tuan rumah yang kami datangi rata-rata melengak heran menemukan seorang bocah sipit "nyelip" dalam rombongan. Ada juga yang lantas tertawa-tawa melihat saya ikut-ikutan "silahturahmi". Tapi yang penting dan masih saya ingat, lumayan juga "angpao" yang berhasil saya kumpulkan. Di rumah, waktu saya tunjukkan tumpukan uang recehan hasil jerih payah saya hari itu, ayah saya terdiam. Tapi ibu saya tertawa-tawa geli. Saya pun heran kenapa saya koq diketawaian. Saya juga tak mengerti mengapa ayah saya mendadak terdiam
.

20 October 2006

Ini Bukan Artinya Kita Sudah Kalah

Syair Orang Biasa
Saya bukan sufi
Saya jemaah biasa saja
Sembahyang saya biasa
Sadaqah saya biasa
Puasa saya biasa
Ibadah saya tak ada luar biasanya
Malah kadang suka terlupa
Bukti saya masih manusia biasa

Insyaallah
Saya bisa bahagia
Menjadi manusia biasa
Hidup dengan sangat biasa
Di zaman yang katanya sudah gila
Di republik yang kabarnya kaya raya
Korupsinya subur merata
Petingginya mukim di sorga
Sedang jelatanya pasrah nelangsa

Saya cumalah jemaah biasa
Orang kebanyakan tak bernama
Dalam tabel statistika cuma angka
Maka terhadap urusan begini gawatnya
Saya tak berdaya apa
Bisa saya paling berdoa
Dengan cara yang biasa saja
Dan semangat sekadarnya juga
Layaknya orang biasa pergi berdoa

17 October 2006

Saya (Juga) Pernah Nyolong Buku

Kejadiannya sudah lama sekali. Tahun 1983, atau sekitar itulah. Buku yang disasar adalah kumpulan esai Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, penerbitnya, kalau tak keliru, Gramedia. Dan toko bukunya "SA", di lantai bawah gedung "S" di Thamrin Jakarta. Harga buku itu saya sudah lupa, tapi seingat saya buat ukuran kantong saya waktu itu, yang hanya seorang karyawan gurem, lumayan membebani. Sebetulnya saya tak merencanakan pencurian itu sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya. saya sudah sempat membolak-balik buku itu. Menurut saya, buku itu tidaklah bagus-bagus amat (kita sama tahu Rendra besar karena sajak-sajak dan dramanya, dan bukan karena esai-esainya bukan?), tapi juga tidak jelek sih. Melihat kualitas buku yang "tanggung" seperti itu saya merasa sayang kalau harus memiliki dengan membelinya. Apalagi saat itu adalah periode "sulit" buat saya. Itulah masa ketika kadang saya makan siang hanya dengan pepaya sepotong yang saya beli dari tukang rujak gerobak pinggir jalan di dekat kantor. Harganya ketika itu seratus perak sepotongnya.

Juga ada semacam "rasa marah" yang mengusik saya : mosok buku semutu itu harus dijual semahal itu? Maka muncullah godaan untuk mencuri saja buku itu. Ketika memutuskan hal "besar" ini, saya pun terbayang pada sosok penyair sohor Chairil Anwar, yang konon katanya dulu suka juga melakukan hal ini. Tentu saja saya tak bermaksud menyaingi beliau dengan merencanakan pencurian ini. Tapi motif kami kurang lebih sama ternyata : sama-sama bokek. Bedanya, Chairil (begitu pernah saya baca) melakukan ini dengan sangat tenang dan santainya. Mungkin karena toko bukunya sepi, dan sudah pasti tak ada kamera yang diam-diam membayangi gerak-geriknya. Sebab lain, barangkali ia memang betul "ahli" atau "berbakat" dalam urusan ini.

Saya pun menjalankan rencana "besar" saya, pada suatu siang, sewaktu jam istirahat kantor. Lokasi toko buku "SA" memang dekat dengan kantor. Saya masuki toko buku dengan sikap yang sebiasa mungkin. Sengaja hari itu saya memakai kemeja yang agak gedombrangan, dengan dua kancing depan saya biarkan terbuka. Suasana toko buku lumayan ramai, tapi untunglah konter buku-buku sastra (sebagaimana kita juga tahu) selalu sepi. Singkat cerita, operasi itu berjalan sukses, meski saya melakukannya dengan sedikit gugup dan gemetaran. Ada satu hal "kecil" yang masih terus teringat dari kejadian itu. Saya ingat di sebelah saya berdiri seorang entah siapa, sedang asyik membaca. Saya hampir yakin dia sebetulnya melihat segala perbuatan saya, karena sewaktu akan memasukkan buku ke dalam baju yang kancingnya sudah saya buka itu, buku itu sempat tersangkut, karena saya gugup, jadi manuver saya agak sedikit terhambat. Tapi untunglah seorang entah siapa itu tak mau usilan.

Saya pun buru-buru pulang ke kantor, memamerkan hasil operasi itu kepada beberapa teman sembari ketawa-ketiwi dengan puasnya. I was really excited at that time. Dan saya katakan kepada diri saya, bukan, yang kau lakukan bukanlah kejahatan, ini hanya semacam kenakalan, jadi tenang saja. Saya pun mulai membaca buku itu. Selesai. Mendadak muncul keinginan membuat resensinya. Saya kerjakan, dan selesai, lalu iseng-iseng saya kirim resensi buku curian itu ke majalah Horison. Lantas saya mencoba melupakannya. Beberapa bulan kemudian, seorang kawan penyair, Oewiek Sanuri Emwe (sekarang almarhum) memberitahu bahwa esai yang saya kirim itu sudah di-acc redaksi Horison. Teman ini memang "orang dalam" Horison, dia bekerja lepas membantu menulis kolom "Kronik" di majalah itu. Kaget. Surprise. Itulah reaksi saya. Dan benar, akhirnya resensi dengan judul Mempertimbangkan Tradisi, Menolak Kebekuan itu muncul di majalah sastra yang saat itu pamornya masih lumayan kinclong. Dan itulah juga tulisan saya yang pertama sekali dimuat Horison
. Tapi kisahnya belum selesai. Kawan saya, yang "orang dalam" majalah Horison itu meminta honor tulisan saya yang baru dimuat itu. Untuk menebus obat, katanya. Dia memang saya tahu sakit-sakitan ketika itu. Dan kondisi dompetnya lebih runyam dari saya. Saya pun merelakannya dengan senang hati. Saya anggap ini semacam tebusan untuk harga buku Rendra yang saya dapat dari nyolong itu. Jadi, impaskah "dosa" saya karena itu. Tentu saja saya tak tahu, tapi saya harap begitu.

10 October 2006

Lukisan Rumah

Dulu aku sering berangan
Punya rumah bagus di pinggir pantai
Supaya bisa menatap laut sepuasnya
Dari teras atas di balkonnya luas
Ingin kuserap rahasia ombak

Tapi keindahan laut tiada tara
Menyimpan juga kengerian tak terduga
Jadi begitulah aku pun pindah
Ke lereng hijau tanah perbukitan
Sembunyi dari jangkauan samodra

Aku pun belajar bahasa tumbuhan
Rahasia tanah basah dan embun jatuh
Seraya berangkat tua dan bahagia
Kurasa lengkap sudah lakonku begini
Sempurna kulukis dalam lamunan

06 October 2006

Losmen

Tubuhku adalah
Sebuah losmen
Tidak gemerlap
Tapi lumayanlah

Alamatku gampang
Di pojok simpang :
Siang dan malam
Pintuku mengundang

Silakan sesekali
Ke sana mampirlah
Singgah sekadar
Rebahan sebentar

Atau menginap
Melewatkan gelap?
Tubuhku nyaman
Mendekapmu aman

2006

05 October 2006

Cerita Buat Sian

Hampir tengah malam. Hujan sudah berhenti. Di rumput basah di halaman, lelaki itu menemukan seekor anak kucing meringkuk, basah kuyup. Seseorang telah membuang mahluk malang itu, lalu nasib mempertemukan sang kucing dengan lelaki itu. Anak kucing itu diangkatnya, di pindahkannya ke atas keset. Melihat anak kucing itu, lelaki itu seperti melihat potret dirinya. Basah kuyup, kedinginan, kesepian, dan sendirian. Ia jadi iba sekali. Tapi lalu ia ingat, 30 tahun yang lalu, waktu umurnya masih 5 tahun, dia pernah membunuh tiga ekor anak kucing yang baru berumur beberapa hari dengan tindihan batu-batu besar, bekas runtuhan bangunan dekat rumahnya. Dia tidak mengerti kenapa dia bisa berbuat seperti itu. Dia masih ingat bagaimana 3 ekor anak kucing itu mengeliat sekarat di bawah batu-batu yang dilemparkannya. Suara erangan tiga mahluk itu kadang masih bisa didengarnya kembali, agak sayup, tapi tampaknya tak bisa dimatikan, dan akan terus menguntitnya sepanjang hidupnya -- seperti kutukan, atau torehan perih yang membuatnya merasa kotor, biadab, dan malang. Tengah malam ini, lelaki itu ingin menangis, untuk nasib ketiga anak kucing yang dulu itu. Tapi siapa tahu, dia sebetulnya juga menangisi nasibnya, yang ternyata tidak lebih baik dari ketiga ekor anak kucing yang pernah dibunuhnya. Aku juga seperti kucing-kucing itu pikirnya. Hantaman demi hantaman terus menghajarku, tapi malangnya aku tak juga mati-mati, seperti tiga anak kucing itu. Aku terus saja menggeliat, sekarat, tapi tak kunjung mati. Apakah karena aku begitu kuatnya, ataukah karena nasib sebetulnya tidak menghajarku terlalu keras, cuma aku saja suka cengeng dan sentimentil.

Lelaki itu memandangi kembali anak kucing yang tadi dipindahkannya ke keset. Dia mendadak merasa sedikit terhibur. Mungkin karena merasa bisa sedikit menebus kesalahannya yang dulu, dengan sedikit bantuan kecil terhadap mahluk malang itu. Sehingga setidaknya malam ini, kalau hujan turun lagi, anak kucing itu bisa tidur aman. Setidaknya malam ini. Dengan pikiran itu, lelaki itu merasa agak lega. Ia masuk kembali ke rumah, mengunci pintu, kencing, mengambil selembar kertas, memasukkannya ke mesin tik, lalu menuliskan cerita ini buat kamu. Hanya buat kamu, supaya kamu lebih mengerti siapa sebetulnya saya ini.
(28/2/1996 - pukul 1 pagi)

02 October 2006

Kepada Siapa Aku Bicara

Aku tidak pernah tahu
Kepada siapa kata-kata ini
Kelak akan sampai akhirnya
Pastilah aku tidak menuliskannya
Untuk sebuah kekosongan belaka
Engkaulah yang kutuju itu
Tapi siapakah engkau kiranya
Bukankah kita tidak saling kenal
Dan alamatmu tidak pula tercatat
Dalam kenanganku merimbun
Di luar sajak ini akhirnya
Hanya ada dunia, senjakala jingga
Lalu barangkali juga kau di sana
Di sebuah kota nun di mana
Dan tetap tak bisa kupastikan
Kepada siapa aku bicara
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...