https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 May 2008

Hasan Melucuti Nirwan

HASAN Aspahani adalah penyair blog yang menjadi panutan saya sewaktu pertama kali terjun ke ranah blog lebih dua tahun yang lalu. Blognya bagi saya memang sangat inspiring, “enak dan perlu di-blogging”. Saya terutama menyukai terjemahan puisi-puisi luarnya. Karena penguasaan bahasa Inggeris saya yang begitu miskin, saya jadi merasa sangat terbantu dengan terjemahan itu. Sampai kini pun saya masih kerap berkunjung ke sana, mencari-cari (dan sesekali “mencuri”) sesuatu untuk bahan tulisan saya sendiri.

Tapi beberapa hari ini saya merasa blognya menjadi agak kurang nyaman dikunjungi. Itulah sebab tulisan serialnya yang menyoal buku puisi Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu (JLR). Bahwa Hasan tertarik mengulas JLR silakan saja. Yang mengganggu saya adalah mengapa tulisannya lalu bergeser menjadi, katakanlah, sekadar gosip yang begitu repot memasalahkan penyairnya, dan bukan puisinya.

Saya merasa—mudah-mudahan saya keliru—tulisan-tulisan itu sarat dipenuhi aura “dendam” kepada sang penyair JLR, sosok yang selama ini memang selalu berada dalam tegangan antara “puji” dan “benci”. Jika Hasan berniat “membuktikan” kelemahan puisi Nirwan, alangkah eloknya jika ia membatasi diri dengan hanya mengulas puisinya, dan bukan malah sibuk mengolok-olok penyairnya. Zen Hae dengan bagus melakukan ini dalam telaahnya (Ruang Baca, suplemen Koran Tempo, 25 Mei 2008).

Agar tidak disalahpahami, saya perlu buru-buru menambahkan, bahwa tulisan ini sama sekali tak bermaksud “membela” Nirwan. Nirwan terlalu kokoh untuk dijatuhkan hanya dengan serangan-serangan remeh seperti ini. Saya dan dia pun tak punya perhubungan khusus, melainkan sekadar hubungan pertemanan yang jauh dan longgar. Sudah lebih 20 tahun kami tak pernah bertemu, bahkan saya tak hadir dalam acara peluncuran JLR-nya tempo hari.

Sebetulnya saya hanya heran dengan cara Hasan “mengulas” JLR. Saya pun menyayangkan mengapa gerangan penulis dengan nama “seharum” Hasan Aspahani bisa dengan mudah tergelincir (atau menggelincirkan diri?) ke dalam apa yang selama ini lazim dikenal sebagai “sastra gosip”.

26 May 2008

Pintu Sajak

Kau terus saja
Menguntitku, seperti
Pencuri coba kau masuki
Samar pintu sajakku
Kau jamah judul
Berharap menemu
Secercah celah, tapi
Tanganmu menjangkau
Buntu, sebab tak kutinggalkan
Rahasia pada kata
Pada baris mendaki
Lereng-lereng terjal bebait
Yang kububuhkan
Pada dinding waktu
Samaran semata
Sebab sesungguhnya
Aku tak punya wajah
Pun tak berjudul
Tapi kuserakkan
Sedikit tanda di bumi
Agar kau percaya
Aku sungguh ada
Hadir dan mengalir
Dengan pukau sihir
Yang menghalaumu
Jauh ke pesisir, menembus
Batas baris dan rima
Hanya jika cintamu
Sabar selebar lautan
Rahasia ombak
Inti sajak, semogalah
Bisa terdekap

23 May 2008

Daging Jamban

Dengan sabar kutahankan
Lonjoran demi lonjoran najis
Tahi dan cucuran deras urina
Yang kau tumpahkan buatku
Dengan sempurna kutelan
(Kadang ceceran getah mani)
Kuserap hingga tertinggal samar
Bebayang liangmu pada wajahku
Liang yang teramat pemurah
Teruslah kau di atas sana
Puas mengangkangi nasibku
Seraya muntah tak henti-henti
Menumpahkan endapan mimpi
Dari ampas melimpah busuk ini
Setamat kulumat barulah kupilah
Sebagian kukirim ke lambung bumi
Selaku sesembahan murni bagimu
Sisanya biarlah tinggal mengendap
Kelak jika musim mengandung kata
Kuracik jadi sedap daging sajak

19 May 2008

Pulang

Pulang adalah rumah
Rumah adalah pintu
Pintu adalah jalan
Jalan adalah rindu
Rindu adalah kamu
Kamu adalah tuju
Tuju adalah satu
Satu adalah kita
Kita adalah luka
Luka adalah asal
Asal adalah dia
Dia adalah sumber
Sumber adalah rahim
Rahim adalah bunda
Bunda adalah sorga
Sorga adalah moksa
Moksa adalah pulang

16 May 2008

Menyoal yang "Panjang", yang "Kuat"

YANG penting bukan “panjang” atau “pendek” ukuran—tapi seberapa “kuat” daya cengkeramnya. Sebaiknya saya buru-buru menambahkan bahwa saya tak sedang bermaksud bicara urusan “obat kuat” atau semacamnya. Mohon diingat, bahwa urusan “panjang” dan “pendek” serta kekuatan “daya cengkeram” adalah hal-hal yang juga sangat relevan dan signifikan dalam pembicaraan puisi.

Maksudnya jelas dan sederhana. Bagus tidaknya sebuah puisi tidak tergantung pada “panjang” atau “pendek” puisi itu.. Seperti juga bermutu tidaknya omongan kita bukan tergantung pada makin panjangnya tutur-kata kita. Yang penting adalah seberapa “berisi” atau “berguna” omongannya. Dengan kata lain, seberapa kuat pembicaraan itu mampu “mencekeram” pendengarnya.

Puisi pun setali tiga kepeng. Sajak-sajak “pendek” tidak bisa begitu saja dianggap kalah perkasa dari sajak “panjang”. Khazanah sastra penuh dengan contoh yang bisa dicomot untuk membuktikan hal itu. Bagi seorang penyair pilihannya juga jelas. Jika dengan empat baris bisa dirangkum 10.000 hal, untuk apa berlelah-lelah mencipta berpuluh atau beratus larik yang ternyata tak cukup berbicara?

Tapi memang menulis sajak panjang, atau sajak yang “sedikit agak panjang”, menjadi tantangan tersendiri bagi seorang penyair. Dan tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjaga agar “ereksi-puitik” bisa bertahan cukup lama, tidak keburu lunglai saat sedang seru-serunya terjadi penetrasi, supaya “permainan” yang disebut proses penciptaan itu bisa diselesaikan dengan tuntas, dan masing-masing pihak pun merasa “terpuaskan”.

Terus terang saya sering “iri” kalau melihat puisi dari sejumlah penyair yang selain ukurannya “panjang” juga kelihatan “kuat”, dengan urat-urat kata yang bertonjolan samar pada sekujur barisnya. Apa ya gerangan resep mereka sehingga mereka bisa memiliki kebugaran puitik seperti itu? Adakah mereka secara rutin menyantap “suplemen” tertentu, mungkin reramuan tradisional apa begitu. Atau ada trik-trik latihan khusus—selain rajin “ber-aerobik” puisi dan khusuk mengangkat-angkat barbel kata setiap harinya?

14 May 2008

Bahasa Gunung

Bahasa Gunung 1

Ke gunung kami pergi
Hendak melukis angin pagi
Sebab kota teramat sarat
Bercinta kami tiada sempat

Kami rindu bahasa angin
Berkasih antara sela pepohon
Menjaga di ujung dedaun
Mimpi betapa rimbun

Cinta kami teramat nyaring
Sabar menggapai terjal tebing
Terus meninggi arah ke puncak
Jejak beriring dalam sajak

Lembah curam dan dalam
Bahasa lain kidung asmaradhana
Maka terjun kami dan karam
Lebur ke dasar jurang kata


Bahasa Gunung 2

Pulang dari gunung
Hijau dedaun
Tumbuh melebat pada
Rimbun sapaku

Langkahku jadi sabar
Menapak lambat
Sebab akarku
Tertambat masih
Di lerengnya
Jauh di selatan
Bersama kepak senja
Menggoda kawanan burung

Pulang dari gunung
Rimbun belukar
Melebat menutup
Pintuku berselimut kabut

Tanganku masih
Berbalur embun
Pelan mengetuknya
Adakah kau di dalam
Atau sepi di lubuk jeram
Nyaring menyeru namaku
Menarikku ke curam jurang

12 May 2008

Dongeng Mei

Mei yang berduka
Maaf, jika tak kupunya lagi
Cukup ingatan

Guna mengenang
Kisah itu

Tinggal hanya
Asap
Reruntuk
Kata-kata

Yang tak cukup mendidih
Tak cukup perih, Mei

Aku ingin
Menyalakan lagi
Kobaran itu, Mei
Agar sempurna dongengmu

Tapi tak kupunya
Minyak dan korek apinya

09 May 2008

Sajak

Yang menanti
Sebelum kata

Yang kotoreh
Dalam leleh

Yang kureka
Dengan taruhan luka

Jauh kuburu
Ke penghujung baris

Aih, tapi sembunyi ia
Di balik judul

08 May 2008

M u s e u m

Rak-rak kaca
Menyimpan rerupa senjata
Beribu nian di lubuknya kisah
Memuara hanya di arus darah

Ini katapel nabi Daud
Yang itu keris jahat penebar maut
Satu itu atas nama sorga
Lainnya pahala dunia

Reruncing tombak dan parang
Tajam berkilau di remang ruang
Nyawa yang tertebas melayang
Terus menagih alamat pulang

Di sudut agak sembunyi
Teronggok bebatu purba
Dulu sekali pernah kupakai
Menghabisi adikku di pinggir desa

Rak-rak kaca
Menyimpan rerupa cerita
Sejarah dan peradaban
Sarat hawa pembunuhan

06 May 2008

Selepas Senja

Selepas senja
Aku tak lagi di sini

Lampu-lampu
Dan gelap halaman
Melahirkanku kembali

Sebagai bayang tapi
Murni masih belum bernama

Layaknya turunan kelam
Aku menempel rapuh
Merapat pada malam

Bergantung pada
Lubang hitam
Dan terjal bebintang--

Di mana mungkin aku hilang
Ke mana jejakku terbang

Selepas senja
Turun di halaman ini

05 May 2008

Pawang Kata

Jangan sekali-kali main kasar
Pada kata. Kau tahu, mereka juga
Punya perasaan, paham sungguh bahasa
Kasih sayang. Terus belajarlah saja
Memaklumi sifat-sifatnya yang sering
Tak terduga itu. Agar tak lacur kau
Dalam ucapan. Jika sudah masak
Kau putuskan, jangan sangsi
Tinggallah bersamanya. Sebaiknya
Tapi sebelum telanjur ia tumbuh perkasa
Menjelma buas mengaum beringas penuh
Ancaman. Jadilah ibu sejati bagi rapuh
Tangisnya. Pun tebusan sepadan bagi
Rindu dendamnya yang purba itu.Agar
Jika nanti ia tumbuh matang dewasa
Darahmu juga mengalir dalam setiap tutur
Sapanya. Kata-kata tapi juga tak abadi
Seperti benda-benda dan hewan jinak
Peliharaan di rumah. Kelak renta, sakit-
Sakitan dan kapan-kapan mungkin
Mati. Kalau itu terjadi, jangan ia lalu
Di jalan kau tinggalkan sendiri. Melainkan
Kuburlah jejaknya rahasia dalam kekal
Liang puisi yang kau gali sendiri

02 May 2008

Pisang Sutarji Calzoum Bachri

SUATU ketika dalam sebuah perhelatan sastra yang diadakan para pengarang perempuan dari sebuah majalah perempuan terkemuka di Jakarta, penyair Sutarji Calzoum Bachri ditanya gerangan apa bedanya sastra pop, sastra mainstream, dan sastra garda depan. Dan dengan tangkas (seraya tetap santai) “sang presiden penyair” itu bilang begini. Itu seperti kita makan pisang, katanya. Pisang? Ya, pisang, tidak salah.

Sastra pop itu seperti kita makan pisang yang sudah disiapkan dalam sebuah piring. Pisangnya juga sudah dikupas, jadi tinggal kita comot dan kunyah. Sastra mainstream, katanya, mirip dengan itu, tapi ada bedanya sedikit. Bedanya pisang di atas piring itu belum dikupas, jadi untuk memakannya perlu ada “sedikit perjuangan”. Kita musti mengupas dulu kulitnya, sebelum bisa merasakan gurihnya daging sang pisang.

Sastra garda depan lain lagi. Itu seperti kita disuruh makan pisang di atas piring, tapi pisangnya tidak ada di piring itu. Jadi di mana pisangnya, dan bagaimana kita bisa menyantapnya? Lho itulah “hebat”nya sastra garda depan : pisangnya silakan cari sendiri-- pengarang tak menyediakannya. Terserah, mau mencarinya di pasar buah, atau mencurinya di kebun tetangga.

Malahan, kalau pisang yang dicari tidak ketemu juga, tidak ditabukan kalau anda lalu berusaha menciptakan “pisang” sendiri. Soal “ukuran” dan “rasa” pisangnya, juga tidak ada patokan resmi. Pengarangnya membebaskan. Jadi, suka-suka andalah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...