HASAN Aspahani adalah penyair blog yang menjadi panutan saya sewaktu pertama kali terjun ke ranah blog lebih dua tahun yang lalu. Blognya bagi saya memang sangat inspiring, “enak dan perlu di-blogging”. Saya terutama menyukai terjemahan puisi-puisi luarnya. Karena penguasaan bahasa Inggeris saya yang begitu miskin, saya jadi merasa sangat terbantu dengan terjemahan itu. Sampai kini pun saya masih kerap berkunjung ke sana, mencari-cari (dan sesekali “mencuri”) sesuatu untuk bahan tulisan saya sendiri.
Tapi beberapa hari ini saya merasa blognya menjadi agak kurang nyaman dikunjungi. Itulah sebab tulisan serialnya yang menyoal buku puisi Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu (JLR). Bahwa Hasan tertarik mengulas JLR silakan saja. Yang mengganggu saya adalah mengapa tulisannya lalu bergeser menjadi, katakanlah, sekadar gosip yang begitu repot memasalahkan penyairnya, dan bukan puisinya.
Saya merasa—mudah-mudahan saya keliru—tulisan-tulisan itu sarat dipenuhi aura “dendam” kepada sang penyair JLR, sosok yang selama ini memang selalu berada dalam tegangan antara “puji” dan “benci”. Jika Hasan berniat “membuktikan” kelemahan puisi Nirwan, alangkah eloknya jika ia membatasi diri dengan hanya mengulas puisinya, dan bukan malah sibuk mengolok-olok penyairnya. Zen Hae dengan bagus melakukan ini dalam telaahnya (Ruang Baca, suplemen Koran Tempo, 25 Mei 2008).
Agar tidak disalahpahami, saya perlu buru-buru menambahkan, bahwa tulisan ini sama sekali tak bermaksud “membela” Nirwan. Nirwan terlalu kokoh untuk dijatuhkan hanya dengan serangan-serangan remeh seperti ini. Saya dan dia pun tak punya perhubungan khusus, melainkan sekadar hubungan pertemanan yang jauh dan longgar. Sudah lebih 20 tahun kami tak pernah bertemu, bahkan saya tak hadir dalam acara peluncuran JLR-nya tempo hari.
Sebetulnya saya hanya heran dengan cara Hasan “mengulas” JLR. Saya pun menyayangkan mengapa gerangan penulis dengan nama “seharum” Hasan Aspahani bisa dengan mudah tergelincir (atau menggelincirkan diri?) ke dalam apa yang selama ini lazim dikenal sebagai “sastra gosip”.
Tapi beberapa hari ini saya merasa blognya menjadi agak kurang nyaman dikunjungi. Itulah sebab tulisan serialnya yang menyoal buku puisi Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu (JLR). Bahwa Hasan tertarik mengulas JLR silakan saja. Yang mengganggu saya adalah mengapa tulisannya lalu bergeser menjadi, katakanlah, sekadar gosip yang begitu repot memasalahkan penyairnya, dan bukan puisinya.
Saya merasa—mudah-mudahan saya keliru—tulisan-tulisan itu sarat dipenuhi aura “dendam” kepada sang penyair JLR, sosok yang selama ini memang selalu berada dalam tegangan antara “puji” dan “benci”. Jika Hasan berniat “membuktikan” kelemahan puisi Nirwan, alangkah eloknya jika ia membatasi diri dengan hanya mengulas puisinya, dan bukan malah sibuk mengolok-olok penyairnya. Zen Hae dengan bagus melakukan ini dalam telaahnya (Ruang Baca, suplemen Koran Tempo, 25 Mei 2008).
Agar tidak disalahpahami, saya perlu buru-buru menambahkan, bahwa tulisan ini sama sekali tak bermaksud “membela” Nirwan. Nirwan terlalu kokoh untuk dijatuhkan hanya dengan serangan-serangan remeh seperti ini. Saya dan dia pun tak punya perhubungan khusus, melainkan sekadar hubungan pertemanan yang jauh dan longgar. Sudah lebih 20 tahun kami tak pernah bertemu, bahkan saya tak hadir dalam acara peluncuran JLR-nya tempo hari.
Sebetulnya saya hanya heran dengan cara Hasan “mengulas” JLR. Saya pun menyayangkan mengapa gerangan penulis dengan nama “seharum” Hasan Aspahani bisa dengan mudah tergelincir (atau menggelincirkan diri?) ke dalam apa yang selama ini lazim dikenal sebagai “sastra gosip”.