https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 November 2006

G i e

SOE HOK GIE (Gie) adalah sebuah inspirasi, setidaknya bagi Riri Riza, sineas muda berbakat yang kemudian mengangkat sosok kontroversial itu ke dalam film. Gie dengan demikian adalah sebuah “model” , sebuah contoh “hero” yang lain. Kenyataan ini bagi saya sedikit membingungkan, dan “ganjil”. Mengapa gerangan di sebuah zaman yang dikomando oleh perilaku hidup konsumtif dan mental serba gengsi, perhatian bisa terarah pada sosok kurus bersahaja yang meninggal tragis di Semeru, Desember 1969 itu? Apa yang sebetulnya menarik dari Gie?

Kalau anda terlahir sebagai “cina” di negara ini, anda akan tahu bahwa pilihan hidup anda tidaklah banyak. Pilihannya paling-paling antara menjadi “juragan”, atau juara badminton. Maka kalau kemudian ada “cina” yang menjadi penyair – seperti Tan Lioe Ie, atau Oei Sien Tjwan dulu – kita pun menatap fenomena itu dengan sedikit heran dan takjub. Keheranan itu akan berubah menjadi “kebingungan” kalau si “cina” itu menjadi aktivis politik, pilihan yang dengan sadar diambil Gie. Pilihan sensitif yang bahkan oleh kelompok “non-cina” pun tidak banyak diminati.

Jadi agaknya itulah beberapa hal yang membuat sosok Gie menjadi terasa “eksotis”. Pertama, ia seorang cina, dan kedua ia memilih bidang yang “tak biasa”. Di luar itu, Gie, secara qua individu memang berada di atas rata-rata. Ia bukanlah eksemplar “biasa” yang lahir dari bokong zamannya. Almarhum Nugroho Notosusanto menggambarkannya sebagai “seorang yang selalu lurus memegang prinsipnya” dan karena itu ia menjadi sosok yang “mengerikan”. Di zaman ketika berkata “tidak” – juga “tidak” kepada tawaran hidup yang edan dan hedonistik --terasa begitu merepotkan, maka sosok “mengerikan” seperti Gie tentu saja menyodorkan sebuah “pencerahan”.

Diterimanya figur Gie sebagai sebuah “model” membuktikan juga bahwa kita ternyata masih cukup “sehat”. Masih cukup “waras” untuk tidak terkerangkeng begitu saja dalam penjara dungu bernama fanatisme etnis, golongan, atau entah bagaimana sajalah anda menyebutnya. Dan Gie, bagi saya, adalah spirit yang tak mau sudah untuk tetap berkata “tidak” kepada begitu banyak hal “tak waras” yang pada hari-hari ini terus mengepung dan mencoba menggasak kita
.

28 November 2006

Gerbang Kata

Kata-kata ini tidak kucari
Rasa yang begitu dalam
Membentuk rautnya sendiri
Dari buah-buah waktu yang masak
Dijelmakan tangan bumi

Seperti lempung pada tembikar
Demikian sajakku hanya wadag
Tak ada apa pun kau jumpa hanya kosong
Wujudku yang mula bukan rupa
Samar depan gerbang kata

26 November 2006

Tonggak dan Saya

KALAU anda kebetulan mengoleksi lengkap "Tonggak", Antologi Puisi Indonesia Modern, yang diterbitkan Gramedia (1987), silakan anda ambil Tonggak jilid 4. Lalu buka halaman 335 dari buku tebal itu, yaitu halaman yang memuat sajak-sajak Acep Zamzam Noor, itu penyair ganteng asal Tasikmalaya, yang baris-baris puisinya sanggup membuat saya seraya diayun-ayun dengan sedapnya.

Nah, di halaman 335 itu ada sebuah "kesalahan kecil" yang selama ini agaknya luput dari perhatian. Sajak "Episode" yang mengawali rangkaian sajak-sajak Acep dalam antologi itu, sesungguhnya dan sebenar-benarnya adalah sajak saya, bukan sajak Acep. Puisi itu dulu pernah dimuat rubrik puisi "Pertemuan Kecil" koran Pikiran Rakyat, tanggal 14 Januari 1986. Saya masih menyimpan baik klipingnya sampai sekarang. "Tonggak" pun dengan jelas mencantumkan sumber puisi itu, yaitu Pikiran Rakyat 14 Januari 1986.

Tentu saja, blunder ini murni kesalahan sang editor, yaitu Linus Suryadi, yang sayangnya sudah marhum, sehingga saya pun tak lagi punya kesempatan mengonfirmasi soal ini. Tapi sebetulnya sebelum Linus Suryadi meninggal (lama sebelum ia meninggal) saya pernah menyurati Garmedia menanyakan soal ini. Pihak Gramedia waktu itu menjawab akan meneruskan masalah ini ke Linus. Setelah itu saya tak mendapat kabar apa-apa lagi, sampai akhirnya diberitakan bahwa Linus "Pengakuan Pariyem" Suryadi berpulang karena sakit.

Sebetulnya saya pun tak begitu berharap akan mendapat respons memadai dari pihak Gramedia maupun Linus. Saya sadar betul bahwa proyek besar seperti "Tonggak" kecil sekali kemungkinannya akan dilanjutkan. Di sisi lain saya pun menyadari posisi saya yang cuma penulis "pinggiran", tidak penting dan tidak pula menentukan. Hanya saja saya jadi suka iseng bertanya-tanya.

Fakta bahwa "Episode" bisa hadir di "Tonggak" menjelaskan dengan gamblang bahwa sajak itu dianggap "layak" tampil oleh sang redakturnya. Jangan-jangan -- perkenankanlah saya sekadar menduga-duga -- ada banyak puisi saya yang lain yang juga dianggap "layak" olehnya, namun nama sayalah yang dianggap "belum layak" tampil. Jangan-jangan masalahnya bukan sekadar "human error" belaka. Ah, jangan-jangan saya hanyalah korban dari ... tapi sudahlah.

E p i s o d e

Tak punya tujuan pasti hari itu
Tanpa rancangan kau pun terdamparlah di tempat itu
Bagai si tokoh dalam lagu dan cerita murahan
Kau pilih perempuan dan petualangan tapi dalam angan

Pengunjung yang lumayan melimpah
Sungguh tak membikinmu terhibur
Agak gelisah jadinya kau teruskan juga melangkah
Menembus lapangan rumput dan daun gugur

Ada semak dan sungai mengalir
Jauh di bawah sana kau tahu pasti
Bunyi gemuruhnya masih murni
Agak deras dan jelas sekonyong rindumu mendebur

Ada pasangan dan bocah bermain
Dalam rindang taman mereka sibuk berjamahan
Agak tersindir kau pun menyingkirlah dari sana
Tahu hidupmu sendiri biru lengang semata

(Sajak Ook Nugroho termuat dalam antologi Tonggak 4 atas nama Acep Zamzam Noor, semata "human error" editor buku atau ada cerita lain -- tanya Kenapa?)

24 November 2006

Langgam Jakarta

Berapa abad lagi masih harus menunggu
Aku seperti Sisifus dalam dongeng tua itu
Mengais terjal waktumu, mendorong bulan ke puncak
Hanya untuk sampai pada kebosanan lain lagi

Dari keheningan bumi dan doa burung-burung
Kubangun tangga demi tangga ke langit
Tapi angin senantiasa bangkit merobohkan
Mengembalikanku pada gemuruhmu

Ninabobo Jakarta

Tidurlah Jakarta, tidurlah.
Lupakan sementara korban
pembunuhan di koran-koran itu,
polisimu yang senang disuap,

hadiah lotere satu milyar,
dan liburan akhir pekan
di pulau. Lupakan juga rumah
bagus di Simpruk, dan

jaminan pensiun hari tua
buat pacar gelap. Bukankah
Kramat Tunggak sudah cukup
menghiburmu selama ini?

Jadi, tidurlah Jakarta,
tidurlah berbantal Monas, dan
berselimutkan merek-merek asing.
Biarlah Sudirman dan Thamrin

menerangi borokmu sepanjang
Tanah Abang Bongkaran..
Sementara itu, Senen
bersama Klender, di ujung

timur, akan membedaki
parasmu berlumuran. Lalu
dangdut di warung-warung,
akan menggoyang seru mimpimu,

sampai pagi tiba lagi,
dan nerakamu mulai lagi.

22 November 2006

Hadiah Sastra

DEWAN juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005-2006 telah menuntaskan tugasnya pekan silam. Mereka sepakat "menuduh" kumpulan cerpen Mandi Api dari Gde Aryantha Soethama (penerbit buku Kompas, 2006) sebagai buku terbaik untuk kategori prosa. Sementara kumpulan puisi Santa Rosa, hasil jerih payah Dorothea Rosa Herliany (Indonesia Tera, 2005) "didakwa" sebagai pemenang untuk kategori puisi. Selaku pemenang mereka berdua berhak atas hadiah uang tunai sebesar masing-masing seratus juta rupiah.

Sebagai sesama warga dari "suku terasing" yang disebut komunitas sastra indonesia, saya ikut bersyukur dengan adanya tradisi sastra tahunan KLA ini. Agak susah saya membayangkan bahwa di zaman "repotnasi' seperti sekarang ini ternyata masih ada juga "sinterklas" yang mau bermurah hati menggelontorkan duit sebegitu besar untuk mengongkosi sebuah kegiatan yang di mata sebagian besar anggota masyarakat pastilah masih dianggap "ganjil" itu. Persis di situlah sebuah pertanyaan nakal menggoda saya : sungguhkan hadiah duit sebanyak itu sudah jatuh ke tangan pemenang yang memang "layak"?

Jangan keliru. Saya tak bermaksud mempertanyakan hasil kerja dewan juri. Saya hanya tergoda untuk sekedar mempertanyakan format dari lombanya. KLA, sepengetahuan saya hanya menjadikan buku -- artinya naskah yang sudah naik cetak dan beruntung diterbitkan -- sebagai bahan acuan lombanya. Di situlah letak masalahnya, karena kita paham betul betapa masih centang perenangnya iklim penerbitan buku-buku sastra kita. Dengan meletakkan format lomba KLA pada perspektif buram itu, orang pun, atau setidaknya saya, akan dengan gampang bertanya seberapa representatifkah buku-buku yang dilombakan itu memberi gambaran riil dari kekuatan atau kualitas kehidupan sastra kita hari ini?

Mernjadikan buku sebagai bahan sebuah lomba sastra adalah pilihan yang sah dan baik-baik saja. Tapi dalam konteks iklim pernerbitan kita kini, format seperti itu dengan sadar dan sengaja telah mengabaikan kemungkinan adanya materi lain yang "lebih baik" -- dan karenanya juga "lebih layak" untuk dimenangkan -- di luar buku-buku itu. Saya tengah membayangkan sebuah Khatulitiwa Literarry Award -- dan juga award-award sastra yang lainnya -- di masa depan yang mau juga sedikit repot mengikutsertakan materi yang masih belum beruntung terbit untuk ikut juga dilombakan.

Dengan cara begini, pertandingan akan berjalan lebih seru dan fair. Dan kelak, siapapun pemenangnya, mungkin akan lebih memberi gambaran nyata dari geliat hidup dan mutu kesusasteraan kita di lapangan. Tapi saya tak tahu, usulan semacam ini terdengar berlebihan atau tidak di kuping para petinggi sastra kita.

21 November 2006

Dua Sahabat

Mujiono, sahabatku protestan fundamentalis
Bernurah hati mengajariku rahasia reiki
Paulus Darman, sahabatku yang katolik sejati
Tergopoh datang menanyaiku serius sekali
Kuatir kugadai rahmat ekaristi dengan mantra kundalini

Kamar 24

pernah ada seorang lelaki
yang tidak biasa
datang ke kamar itu

mungkin dia sedikit gila
sebab dia tak jamah tubuhmu

malah dia bilang
ada rembulan sepotong
di langit-langit kusam kamar itu

barangkali dia betul tak waras
sebab bersikeras dia
memetik itu bulan
untuk dibawanya pulang

dan tetap ditampiknya tubuhmu
meski dibayarnya kau
di atas tarip biasa

20 November 2006

Kepada Seekor Keledai

TOKOH kita hari ini tentu saja George Bush. Tapi saya lebih tertarik bercerita yang lain. Sebuah kisah cinta. Bukan cinta biasa. Mungkin tergolong luar biasa. Malah sedikit gila. Tapi bukan cinta namanya kalau tidak edan, bukan? Saya mengutipnya dari seorang kawan.

Alkisah, di Hongaria dulu hidup seorang penyair, yang cintanya kepada puisi sungguh tak terbagi. Begitu cintanya dia pada puisi hingga ia cuma punya tiga hal yang dengan bersemangat kerap diperkatakannya kepada setiap orang yang ia jumpai. Yang pertama adalah puisi, yang kedua adalah puisi, dan yang ketiga juga puisi, sehingga orang-orang pun belajar menjadi bosan dan mulai menjauhinya.

Tapi, sang penyair tokoh kita ini, tak menyerah begitu saja. Begitulah, sesudah memeras otak berhari-hari ia pun menemukan sebuah gagasan yang tidak biasa. Ia pergi ke sebuah pasar hewan dan membeli seekor keledai di sana. Keledai itu dibawanya pulang, dibuatkan kandang yang bagus, dicukupkan makan dan minumnya, yah pokoknya dijaganya dengan cermat lagi teliti. Dan setiap sore, kalau cuaca bagus, keledai itu dibawanya keluar. Dengan telaten ia menuntun keledai itu menyusuri jalanan desa yang tentram. Seraya menikmati udara sore yang sejuk di Hongaria sana, sang penyair tokoh kita ini pun mulailah bertutur segala apa perihal puisi kepada keledainya. Itulah yang ia lakukan setiap sore. Dan sang keledai, layaknya sahabat yang "bijak" dengan sabar mengunyah segala ocehan itu.

Mungkin anda bertanya, bagaimana kalau kebetulan cuaca hujan? Ah, gampang. Tokoh kita ini akan menyambangi keledainya di kandangnya, dan meneruskan "diskusi sastranya" di tempat itu. Ia juga punya kiat lain guna mencegah kebosanan. Biasanya ia akan masuk ke kamarnya yang sesak dijejali buku-buku puisi,, mengunci pintunya dengan cermat, lalu seraya dengan takzim menghadap dinding, mulailah ia kembali bertutur apa saja seputar puisi, kepada dinding kamarnya itu. Dan sang dinding, layaknya "pencinta" yang setia, dengan telaten mendengarkan segala omong kosong itu
.

19 November 2006

T a h y u l

SASTRA Indonesia modern, meskipun menyandang predikat "modern", ternyata tidak terbebas dari "tahyul". Dari masa ke masa, dari angkatan ke angkatan, tahyul itu dengan cermat dan takzim terus dijaga dan dipelihara oleh para penyembah setianya.

Di tahun 50'an tahyul itu bernama Majalah "Kisah" dan HB Jassin. Pada masa itu, siapa saja yang kepingin diakui sebagai sastrawan haruslah mengurus "ijazahnya" ke HB Jassin. Celakalah mereka yang gagal mendapatkannya, karena konsekuensinya martabat kesastrawanan mereka akan jadi kurang legitimate. Almarhum Trisno Sumarjo konon pernah mengalami hal semacam ini. Dengan memelas ia akhirnya menyurati Jassin, menanyakan kenapa gerangan "sang paus sastra" itu tidak juga menowel karya-karyanya.

Di zaman sesudahnya, tahyul itu bersalin rupa menjadi Majalah Sastra Horison. Di masa itu untuk bisa diakui resmi sebagai sastrawan, seorang penulis haruslah bisa menembus halaman-halaman majalah sastra yang tipis, omzetnya cuma 3000, dan waktu terbitnya juga suka tidak menentu itu. Tidak peduli berapa bagus sajakmu atau cerpenmu, sebelum sajakmu atau cermenmu itu bisa nongol di Horison, maka kau masih bukan apa-apa.

Dan kalau derajat kesastawananmu kepingin lebih lengkap, ada satu ujian lagi yang mesti ditembus : TIM, dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Di tahun 70'an khususnya, sampai awal 80'an, pamor TIM begitu mencorong. TIM waktu itu sering digembar-gemborkan sebagai tempat "pembantaian" para sastrawan yang baru mau mulai pasang merek. Kalau anda bisa sukses melewati ajang pembantaian itu, bereslah sudah. Maka diundang ke TIM pada masa itu menjadi impian banyak sastrawan kita.

Biasanya kalau tahapan-tahapan itu bisa dilalui dengan sukses, akan ada "bonus" yang didapat. Bonusnya biasanya berupa undangan baca puisi di Roterdam, atau diundang dolan-dolan ke Iowa City. Yah, paling apes-apesnya anda akan bisa keluyuran gratis ke Brunei Darusalam. Lalu biasanya juga tawaran atau akses ke penerbit jadi lebih gampang dan mulus.

Saya tak tahu, hari-hari ini "tahyul" apa lagi yang menjagkiti kehidupan sastra kita. Ada desas dan desus yang mengatakan bahwa rubrik puisi koran Kompas Minggu kini mendapat giliran dijadikan tahyul dan berhala baru. Apa iya?

17 November 2006

Monolog Jakarta

Aku harus bertarung tiap kali
melawan diriku. Dan bertanya
ulang, apakah aku masih aku yang dulu
atau mereka diam-diam telah mengubahnya
tanpa setahuku. Aku harus yakin, tapi
Jakarta pasti melumatku. Aku hanya
berharap, di antara gemuruh hutan buas
ini, masih ada sedikit tersisa
suara sepi. Supaya masih sempat
kutulis sajak buatmu biar hanyalah
sebaris dan tak sempat pula selesai.

Sajak Belalang dan Kupu-Kupu

Belalang dan kupu-kupu
Tak mengenal segala pil penenang
Dan tak butuh nasehat bulukan
Seorang psikolog

Mereka terbang merdeka
Tampaknya senang dan bahagia belaka
Meloncat dari bunga ke bunga
Merangkai musim dan cuaca

Sedang aku terus juga gelisah
Dari tahun ke tahun terus kupendam
Rindu dendamku yang diam
Dan luka-lukaku yang terdalam

Kata-kataku yang fana
Telah menyeretku pergi jauh
Memasuki sajak-sajak, kesepian
Kekosongan dan jalan buntu peradaban

Kubaca ribuan buku dan risalah
Kujejalkan juga obat ke mulutku hampa
Cuma karena aku ingin pulang, sayang
Menjelma kembali belalang dan kupu-kupu

15 November 2006

Pulang

Orang-orang begitu repot mencariku kesana-kemari
Ada yang berduyun-duyun pergi berziarah ke tanah suci
Sebagian lagi mau saja disuruh berpayah-payah
Naik turun gunung terjal, keluar masuk gua dan
Tempat-tempat lain yang katanya suci dan keramat
Padahal dari dulu aku tak pernah kemana-mana
Tak ada tempat yang lebih kusuka, selain hati manusia
Di situlah kudirikan rumahku sejak mula, dan dengan sabar
Kutunggu orang-orang itu suatu hari nanti pulang

12 November 2006

1 9 9 8

1998 niscaya akan dicatat sebagai salah satu tahun yang kelam dan dramatis dalam kalender republik ini. Mungkin hebohnya hanya bisa direndeng dengan gonjang-ganjing 1945 dan 1965/66. Di tahun itu, diawali dengan krisis moneter di tahun sebelumnya, kita disuguhi serangkaian horor politik yang mengklimaks pada tersungkurnya tiran Orde Baru, Soeharto. Ada orang hilang. Ada mahasiswa diberondong pelor. Dan ada pula kerusuhan rasial yang sangat sangat edan dan (lagi-lagi) menjadikan etnis Cina sebagai targetnya. Betapa mahal nian ongkos yang musti dibayar untuk menjemput zaman baru yang diyakini akan membawa banyak perubahan dan perbaikan.

Bahwa zaman baru itu, yang secara prematur dan terburu-buru diproklamirkan sebagai zaman reformasi, ternyata kemudian berbelok arah dan berubah menjadi zaman "repotnasi", itu adalah cerita lain. Tapi pada waktu itu, kita, atau setidaknya sebagian dari kita, sungguh percaya bahwa sebuah era yang baru dan lebih baik sudah datang mengetuk pintu. Sekarang, banyak dari kita pasti kecewa, karena yang datang mengetuk pintu itu ternyata cuma sejumlah pencoleng yang berniat merampas kembali impian-impian kita.

1998, bagi saya pribadi juga sebuah tahun penting (dan genting). Di tahun itulah saya secara resmi mengakhiri status saya sebagai jomblo. Momen pribadi ini pun ternyata tidak bisa lepas atau bebas dari kegaduhan suasana politik saat itu. Ada cerita kecil di baliknya
.

Untuk rencana resepsi pernikahan tanggal 15 November 1998, lebih setengah tahun sebelumnya kami sudah membook sebuah restoran di bilangan Ketapang. Sudah sejak awal saya sebetulnya kurang sreg dengan pilihan tanggal 15 November itu. Bukan karena hitung-hitungan fengshuinya, tapi karena tanggal itu berdempetan sekali dengan sebuah hajatan besar, Sidang Istimewa (SI) MPR. Tapi istri saya mengabaikan keberatan saya. Saya pun kemudian tak memasalahkannya lagi.

Tapi beberapa bulan kemudian istri saya berubah pikiran. Ada seorang teman memberi saran supaya tanggal pestanya jangan 15 November. Alasannya ya itu, tanggal itu kelewat mepet dengan jadwal SI MPR. Aneh, omongan saya tidak digubris, tapi omongan sang teman bisa mengubah pikirannya. Singkat cerita kami pun mengganti tanggal resepsi menjadi 10 Oktober, kira-kira sebulan lebih cepat dari rencana semula
.

Ternyata itu sebuah langkah tepat, karena betul saja SI MPR berujung pada keributan berdarah di Semanggi. Suasana Jakarta yang masih belum sembuh dari trauma kerusuhan Mei mendadak mencekam lagi. Orang pada takut pergi jauh dari rumah. Bayangkan, akan seperti apa suasana pesta kawinan kami kalau saja kami tetap ngotot memilih tanggal 15 November sebagai hari H kami. Pilihan yang bisa kami lakukan adalah memundurkan pestanya menjadi seminggu kemudian paling tidak. Tapi apa lacur? Seminggu setelah keributan Semanggi itu pun, di Jakarta meletup lagi sebuah keributan. Skalanya jauh lebih kecil dibanding kerusuhan Mei, tapi masalahnya, lokasi keributan itu justru di Ketapang (kelak peristiwa itu dicatat sebagai "Peristiwa Ketapang"), lokasi di mana restoran yang kami booking itu berada. Betapa gila dan absurdnya! Untunglah, karena kami memang sudah mengganti tanggal resepsi menjadi sebulan sebelumnya, kami pun batal menjadi sinting.

Saya menceritakan ini semua lebih sebagai sebuah sharing iman, karena saya percaya betul, ada campur tangan Tuhan di sana. Saya yakin, bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa istri saya kemudian bisa berubah pikiran, sehingga akhirnya kami pun sepakat mengubah tanggal resepsi perkawinan kami.

11 November 2006

Saya Mengerti

Saya mengerti, keadaan tak bakal berubah
karena sepotong sajak. Zaman
tak mendengarkan samasekali kata-kata
yang kutimbang lama, sebelum akhirnya
kutuliskan. Para penguasa dengan
bedil dan undang-undangnya, meludah jijik
di atas kepala para penyair. Saya
tahu itu semua. Tapi toh saya kembali
ke tempat semula. Duduk, dan menuliskan
setidaknya sebuah sikap untuk dunia ini.

Lewat Semanggi

Di trotoar ini Yun Hap terbunuh.
Di jalan ini, penjaja koran yang entah siapa
itu, ikut pula mati. Di jalan ini juga,
agak ke sana sedikit, mereka

memukulimu hari itu. Melemparkanmu
ke atas truk yang kemudian buru-buru
menghilang di balik kelokan sejarah.
Barangkali ke laut Jawa bangkaimu

dibenamkan. Mungkin sebuah
peternakan buaya di Jakarta Utara
menjadi alamat akhirmu. Tapi,
ke mana pun kau dibawa waktu itu,

semuanya tak penting lagi. Zaman
cepat saja berputar, bertukar. Rejim
sudah diganti. Tiran yang lain lagi datang.
Meludah dan menghapus ingatan itu.

Kepada Wiji Thukul

Sebagian dari kami akhirnya
percaya, bahwa kau memang masih
ada. Di sebuah alamat tapi entah
di mana. Barangkali tak bisa

kami temukan, tak akan pernah
bisa kami cari alamat itu
pada atlas yang biasa. Tapi, satu
hal kami pasti, kau merdeka

kini. Lepas dari jangkauan
sang tiran dan penguasa
mana pun. Sebagian dari kami
akhirnya juga percaya, itulah

ujung lakonmu yang absurd dan
singkat. Di zaman bobrok,
di republik para perampok,
yang membantai sajak-sajak

seperti anjing. Sebab mereka tahu,
kata-kata bisa berbahaya
sekali saja jatuh ketanganmu.
Sajak-sajakmu akan jadi peluru,

atau barangkali bom waktu
yang sabar menunggu saatnya.
Itu sebabnya, sebagian dari kami
terus percaya, kau masih ada.

10 November 2006

Risalah Preman

Preman jalanan
Preman gedongan
Beda habitatnya
Sama bangsatnya

Tapi bicara nasib
Preman gedongan
Preman jalanan
Lainlah ihwalnya

Preman jalanan
Barangkali mati di jalan
Sebagai garong
Dengan jidat bolong

Preman gedongan
Bisa hidup aman
Melunaskan hukuman
Dalam sel nyaman

Sebab segala urusan
Bisalah dibereskan
Asal ada anunya
Dan paham tatakramanya

Preman jalanan
Preman gedongan
Sama bajingan
Beda peruntungan

Tak usah heran
Jangan penasaran
Ini sudah kisah usang
Di republik tersayang

09 November 2006

Kunyahlah Sendiri

Seorang murid mengeluh kepada gurunya :
"Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tak pernah
menerangkan maknanya kepada kami."

Sang guru, dengan kalem menjawab :
"Bagaimana pendapatmu, nak, andaikata
seseorang menawarkan buah kepadamu, namun
mengunyahkannya dulu bagimu?"

(Dikutip dari buku "Burung Berkicau" Anthony de Mello, penerbit Cipta Loka Caraka, 1994)

Maaf Penyair

Aku cuma punya sedikit kata
Aku tak tahu bagaimana caranya
Supaya semua bisa kebagian
Tak ada yang kecewa dan memaki
Tapi pulang membawa kelegaan

Aku mohon maaf saja pada semua
Jika ada yang belum terpuaskan
Betapa kurindu bisa seperti kau dulu
Dengan kesepuluh jemari anganku
Kubikin semua tak lapar lagi

07 November 2006

S a j a k

Benih yang kukandung ini,
adalah titipan waktu,
hasil perselingkuhan kami
di ranjang reyot pengalaman.

Langit dan bumi
tak pernah merestui hubungan kami,
maka anak yang bakal lahir nanti
akan dianggap jadah :

sendiri menjelajah sejarah.
Seperti juga bapaknya,
ia penuh dengan kemungkinan
dan berlumur darah.

Dan seperti ibunya,
akan ia tahankan
sakit dan kutukan purba ini
sampai baris terakhir.

05 November 2006

Lirik Untuk Sebuah Film

Jangan pandang dan sentuh aku
Jangan pernah menginginkanku
Karena aku sebenarnya tak ada
Aku ini tak nyata, cuma lamunan
Ngembara di kerlip lampu kota

Percuma saja kau memburuku
Barangkali dalam kelebat kenangan
Singgah aku padamu tak sengaja
Tapi waktu cepat saja memisah
Mengubur kita dalam bahasa

Jadi berhentilah menungguku
Aku cuma suatu hari yang lewat
Suatu hari yang tak ada di almanak
Nyelinap diam-diam tanpa setahumu
Ke muara yang tak kupasti pula di mana

02 November 2006

Menengok Ayah

Sudah 20 tahun lebih ayah pindah
ke alamat barunya, sementara kami masih
menetap di alamat lama, yang disebut dunia.
Karena sarana transportasi yang tidak
mungkin, dan kerepotan sehari-hari yang
terus saja bertambah, belakangan ini
kami makan jarang datang menengok ayah.
Kalau datang berkunjung biasanya kami
bawakan untuknya beberapa tangkai anggrek
ungu dan kembang sedap malam kesukaannya.
Tidak lupa juga sekuntum doa, tanda cinta
dansetia kami yang tak pernah luntur
meskipun tahun dan musim terus rontok
dan robek dari penanggalan. Tapi biasanya
kami lebih sering ketemu tak sengaja
bersapaan di sepi kelokan waktu yang disebut
kenangan. Sejauh yang bisa kami rasakan
ayah kelihatan sehat-sehat saja. Tumor
jahanam yang dulu merongrongnya sudah
tak ada lagi. Kami harap ayah juga betah
tinggal di alamat barunya. Kami tak pernah
sempat menanyakan hal itu padanya, sebab
pertemuan kami biasanya berlangsung singkat
dan terburu-buru. Maklum, namanya juga
tinggal di dunia, selalu ada-ada saja urusan
mendadak yang mengganggu. Ayah juga
pasti mengerti dan mau memaafkan, karena
dulu juga ia selalu direpotkan dengan yang
begituan. Tapi kami sungguh berharap ayah
memang betul sudah hidup bahagia saat
ini. Sudah bisa melupakan sakit hatinya
kepada tetangga sebelah yang menipunya
habis-habisan, juga atasan-atasannya yang
selalu menindas dan menilep kariernya.
Mudah-mudahan ayah juga sudah berhenti
bermusuhan denganMu. Menurutnya dulu
Kau tak serius mengurus nasibnya.

Obituari Ayah (1921-1980)

Ayah saya, seperti jutaan ayah lain di dunia, hanya manusia biasa. Ia lahir di Jamblang, sebuah kota kecamatan yang lengang di pinggir Cirebon, beberapa puluh kilometer dari Jatiwangi, kampungnya sastrawan Ajip Rosidi. Ia hanya sempat sekolah sampai MULO (sekarang SLP), lalu dengan bercelana pendek merantau ke Jakarta. Itu sekitar tahun 50’an. Ia memulai perjuangannya sebagai klerk di sebuah perusahaan asuransi swasta Inggris, dan kelak pensiun sebagai seorang manajer, juga di sebuah perusahaan asuransi yang lumayan besar. Ia mencapai itu semua lewat jalur otodidak. Tapi banyak orang mengakui tangan dinginnya dalam urusan perasuransian. Ia juga dianggap berhasil mempertahankan integritasnya sebagai seorang pegawai yang jujur, padahal pada tahun-tahun terakhir masa kerjanya, ia memiliki banyak peluang untuk, katakanlah , sedikit bermain sulap. Tapi ia tak mengambil kesempatan itu.

Saya mengenangnya sebagai ayah yang penyabar. Setidaknya dibanding ibu yang pemberang, dan kerap “menghajar” saja dengan pecutan ikat pinggang atau rotan kalau saya keluyuran agak berlama-lama. Ia mengajari saya beberapa jurus silat waktu saya SD. Ia pengagum berat Prof Sumitro, bapaknya Prabowo, yang mantunya Suharto itu. Tapi ia meremehkan figur semacam Benyamin S, yang walaupun sesosok figur sukses, dianggapnya “kasar” dan (maaf) “kampungan”. Untuk pelawak, pilihannya jatuh pada Bing Slamet. Sedang penyanyi idolanya adalah Jim Reeves, Pat Boone, Conny Francis, tapi ia bisa menikmati juga beberapa lagu The Bee Gees. Ah, ia juga penyuka tontonan tinju.. Ia memaksakan diri bangun dari ranjang sakitnya hanya untuk melihat bagaimana si “mulut besar” Muhammad Ali dibungkamkan muridnya sendiri, Larry Holmes.

Ia tak bosannya menasehati saya supaya “pandai bergaul”. Ia sungguh khawatir melihat anak pertamanya, lelaki pula, begitu pemalu dan malas bergaul. Pandai bergaul adalah kunci pertama untuk bisa sukses, itu beberapa kali diulangnya. Dan tidak sukes, yang artinya di sini adalah “hidup miskin” sungguh tidak enak, katanya meyakinkan. Dan ia memang mengenal betul apa artinya “hidup tidak enak dalam kemiskinan itu”. Ia pernah kena tipu tetangga Arab di sebelah rumah yang mengajaknya kongsian bikin kecap. Membuat kecap adalah salah satu keahlian sampingannya. Banyak yang bilang kecap buatanya “lumayan”, tapi barangkali karena “kurang pandai bergaul” modal bagus itu terbuang percuma. Ia, agaknya, tak mau saya mengulang kesalahan itu.

Di masa mudanya ia jauh dari agama. Ia malah dekat dengan ilmu kebatinan, bahkan menggaulinya dengan cukup intens. Ia juga belajar hipnotisme, sampai tingkat yang lumayan jauh. Menginjak usia pertengahan, ia meninggalkan semua itu, dan kembali ke pangkuan agama. Mungkin karena latar belakangnya yang begitu, ia tak memaksa sewaktu saya kelihatan seperti mengikuti jejaknya dulu. Ia malah menyerahkan sebuah buku berisi catatan pelajaran kebatinannya. Ah, adegan penyerahan kitab itu, kalau saya mengenangnya sekarang, bak adegan dalam sebuah cerita silat saja.

Tiga bulan sesudah menyerahkan kitab itu, ia tak tertolong lagi. Ibu saya bercerita bahwa ayah saya sudah pernah 2 kali nyaris meninggal sebelumnya. Ia pernah coba “diserang” dengan semacam ilmu santet. Tiga hari terlentang di rumah sakit. Gejalanya mirip tbc akut, begitulah kata dokter rumah sakit yang merawatnya. Dan dokter itu menyerah, seraya menyebut ayah hanya tinggal menunggu waktu. Tapi ia tertolong oleh seorang paranormal, begitulah sekarang kita biasa menyebutnya, yang kemudian menjadi gurunya. Kali lain sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan hebat dengan sebuah truk di sebuah pengkolan. Ajaib. Ia tak langsung mati. Waktu sadar ia menemukan tubuhnya masih terbujur di jalan, berdarah-darah. Orang-orang hanya asyik menontoninya. Tapi lalu lewat serombongan suster Belanda. Dan ia kembali selamat.

Tapi hari itu, ia tak terselamatkan lagi. Dokter mendiagnosa penyakitnya sebagai kanker. Tapi ia sendiri percaya kankernya adalah “kiriman” seseorang. Karena ia memang pernah tahu soal seputar ini, saya pun cenderung agak mempercayainya. Tapi ketika saya mendesak siapa kira-kira “seseorang” yang mengiriminya paket kanker itu, ia hanya menggeleng lemah. “Takut salah”, katanya. Saya pun hanya terdiam.

Kalau masih hidup, umurnya kini 85. Tapi, 2 November, 26 tahun yang lalu, pada suatu Minggu pagi yang biasa, ia pergi buat selamanya. Sabtu kemarinnya, adalah hari pertama saya masuk kerja. Ada tahyul yang bilang bahwa “tak baik memulai sesuatu pada hari Sabtu”. Apakah ini ada hubungannya? Entahlah. Sebetulnya sudah sejak Kamis kondisinya memburuk. Tapi ia seperti mencoba bertahan sampai mendapat kepastian bahwa anak lelaki pertamanya, yang pemalu dan malas bergaul itu, akhirnya masuk kerja. Apa betul demikianlah halnya? Tentu saja, lagi-lagi, saya tak tahu.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...