https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 January 2009

Halaman Kosong

Jika halaman kosong ini betul semesta
Jika baris-baris tak berarti ini aku adanya
Mengais sunyi antara hampa musim-musimnya
Lantas siapa tangan yang menggerakkannya

27 January 2009

Pemburu

Sesudah semalaman
Berburu, penyair itu
Kembali dengan masgul
Tak ada puisi berhasil
Diringkusnya, hanya
Seekor sepi yang kebetulan
Tersesat dalam kamarnya
Menatapnya kini, menghiba
Memohon : “Daripada kau
Habisi aku begitu saja
Bukankah lebih baik
Jadikan aku sekadar sajak”

16 January 2009

Dua Tukul, Dua Peruntungan


Dunia Tukul yang pertama adalah dunia yang “muram, sunyi dan keras”. Sedemikian sunyi dan kerasnya hingga untuk menyiasatinya hanya tersedia satu cara, “hanya ada satu kata”, kata Tukul yang pertama, yaitu : “lawan!” Tapi perlawanan itu pun kita tahu sia-sia.

09 January 2009

Karena Kau Tak Punya Power

SELAMA 2008 yang barusan lewat, saya antara lain direpotkan oleh usaha “bergerilya” mencoba menawarkan naskah buku puisi saya kepada sejumlah penerbit. Tapi sampai terompet tutup tahun dibunyikan dan pesta kembang api digelar hasrat kepingin memiliki buku itu tetap tinggal jadi impian.

Saya ingat bertahun yang lalu seorang kawan pernah menyebut bahwa sebetulnya tulisan saya “bagus”, hanya sayang “kau tak punya power”, katanya. Ketika itu terus terang saya tak teramat paham apa gerangan yang dimaksudkannya dengan “power” itu. Tapi saya enggan menanyakannya sebab takut terlihat “pandir” di depannya.

Setelah sejumlah penerbit yang saya datangi dengan kompak menolak naskah buku saya, barangkali kini saya telah agak paham apa maksud sang kawan dulu. Ya, saya ternyata memang tak cukup punya power. Tulisan bagus saja tak cukup ternyata. Dan saya juga mulai agak paham bahwa sering tulisan “bagus” pun boleh tidak usah ada.

Sebab, yang penting “power” bung!

(Di tempat lain "power" mungkin dipanggil dengan nama lain juga; "koneksi" umpamanya?)

08 January 2009

Kisah "Hasan" yang Salah Posisi

HASAN adalah seorang guru yang baik dan rajin. Ia bukan hanya disukai para siswanya, tapi juga rekan-rekannya sesama guru, dan bahkan para pesuruh di sekolah tempat ia mengajar pun ikut menyenanginya. Hasan memang bukan guru kemarin sore. Selain menguasai dengan baik materi pengajarannya, ia juga dikenal pandai mengambil hati. Latar belakang pendidikannya juga bagus. Kabarnya ia sempat berguru kepada orang-orang pandai di tanah Jawa, kalau tak keliru di kota Bogor, yang banyak rujak asinannya itu.

Karena prestasi bagusnya itu, pihak yayasan kemudian mempromosikannya menjadi kepala sekolah. Begitulah ia kemudian ditempatkan di sebuah sekolah partikelir di Batam. Semua orang pun senang. Tapi Hasan ternyata tak teramat happy dengan posisi barunya itu. Entah mengapa ia merasa lebih enjoy berdiri berpegal-pegal kaki di depan kelas, menceramahi murid-muridnya yang pada menatapnya seraya terkesima, ketimbang musti duduk di belakang meja menghadapi surat-surat dan kertas-kertas belaka.

Singkat cerita, Hasan ternyata memang tak sukses (dan tak bahagia) sebagai kepala sekolah. Sekolah yang dikelolanya mengalami kemunduran, dan jumlah muridnya terus berkurang. Seandainya dulu Hasan tetap “dibiarkan” menjadi guru, sangat mungkin sumbangsihnya kepada dunia pendidikan akan jauh lebih nyata. Sebagai kepala sekolah ia hanya menang gengsi doang, tapi hanya sedikit yang telah dihasilkannya.

Kisah Hasan yang “salah posisi” banyak terjadi di sekitar kita. Seseorang mungkin menempati posisi salah itu karena kekuasaan di luarnya yang “memaksa”nya begitu (seperti dalam kisah Hasan tokoh kita), tapi lain kali mungkin ia sendiri yang dengan sengaja “mendorong-dorong” dirinya memasuki area yang salah itu. Susahnya, sering ia sendiri terlambat (atau bahkan tak kunjung) menyadari adanya kekeliruan itu.

Di dunia sastra urusan “salah posisi” ini, juga kerap terjadi. Kita semua kenal pada si Badu misalnya, seorang penyair yang lumayan berbakat. Sekiranya ia fokus “hanya” pada kerja “tukang syair” saja, mungkin sekali ia akan menelurkan banyak mahakarya nantinya. Sayang, ia ternyata tergoda juga untuk menjadi “tukang mengritik”. Kejadianlah, karena dasarnya ia memang tak kompeten, kritik-kritiknya jadi terdengar aneh, lucu, tapi kadang bikin sebal juga, sampai-sampai lalu ada yang menjulukinya “tukang kritik palsu”. Ada pula yang menyebutnya “Si Peracau”, “Ember Bocor”, dan beberapa sebutan lainnya.

(Maaf, siapakah ada yang sudi memberitahu Badu supaya ia sebaiknya berhenti saja jadi “kepala sekolah” dan kembali “mengajar” seperti dulu—itu sungguh terlebih manfaat baginya, dan insyallah untuk “sekolah” ini juga. Bilanglah sama dia, saya sangat “sayang” padanya, jadi tolonglah jangan lagi menghabiskan waktu memukuli tong kosong seperti itu. Paham ya, maksud saya?).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...