https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

31 October 2008

Sajak Penghabisan

Bertahun-tahun ia mencari
Kata pertama, untuk mulai menyajak
Tapi yang ia temukan hanya separoh kata
Sering juga ia tertipu dengan
Bukan kata yang mengaku kata

Akhirnya ia menyajak juga
Dengan separoh kata yang dipunya
Membiasakan diri dengan bukan kata
Yang suka mengaku sebagai kata
Seraya terus berharap kelak suatu hari

Bakal dijumpainya juga kata pertama
Kata sejati yang lama dirindunya
Untuk mulai menuliskan sajaknya
Sajaknya yang pertama, dan mungkin
Juga sajaknya yang penghabisan

27 October 2008

Doa Untuk Bapak Kami

Bapak kami yang ada di sawah
Di pabrik, di simpang-simpang jalan
Di kantor, di mana saja bapak kami berada
Dimuliakanlah kiranya harkatmu

Jadilah kiranya kehendak majikan
Seperti bapak kami tiap malam impikan

Berilah gaji dan tunjangan manusiawi
Uang lauk pauk dan ganti rugi transport
Secukupnya, sekadar mencegah bapak kami
Tergoda bunuh diri

Ampunilah dosa, sumpah serapah
Kebohongan bapak kami, seperti sudah lama
Bapak kami selalu memaklumi kekurangajaran
Dan kebohongan yang sengaja ditimpakan padanya

Janganlah kiranya membuat bapak kami
Lupa diri, gelap mata, terbujuk godaan setan
Sehingga membikin kekacauan macam-macam

Melainkan bebaskanlah bapak kami dari segala
Tipu muslihat majikan yang keji

Amin

24 October 2008

Kidung Mandi

: JP

Penyair itu mandi
Mandi seperti kita semua mandi
Di ambang pintu tubuhnya
Membayang peluh bumi

Dicopotnya baju
Yang sekadar tipu
Dihempasnya kucel tubuh
Yang lama ngangkangi ruh

Ia loloskan juga
Tulang-tulangnya miskin
Menggantungnya sembarang
Pada cantelan kenang

Lantas khusuk ia sabuni
Mimpi yang dipenuhi daki
Cinta yang tambah meluntur
Umur yang sebentar tergusur

Penyair itu mandi
Mandi seperti saya mandi
Keluar dari pintu tubuhnya
Mewangi aroma malam

21 October 2008

Hantu Kata

Lewat tengah malam
Habis sudah waktu kalian!

Kini para hantu
Mengambil alih ruang tamu
Mendudukkan sundel bolong
Dan jerangkong gondrong
Di kursi utama

Aku pun di sana
Sebab aku serupa mereka

Tak punya wajah
Pun tanpa silsilah
Lihat kakiku melayang

Tak membekaskan bayang
Pada waktu
Dan lelampu

Akulah hantu kata
Terlunta dari cuaca ke cuaca

Hanya jika
Bisa kutemu dekap
Dalam rengkuhan sajak

Hadirku yang sejenak
Bakal berjejak pada bumi

Maka, lewat tengah malam
Kutunggu kau di ruang tamu!

20 October 2008

Peminum Kopi

Untuk setiap puisi
Aku perlukan secangkir kopi

Campurkan gula secukupnya :
Puisi juga butuh semacam pemanis
Barangkali sebaiknya pada penghujung baris?

Menuangkan rasa :
Tuanglah selagi panas masih
Nanti meruap sangit aroma langit

Mengaduknya pelan saja :
Cermat lagi hati-hati
Sebelum mereguknya sedap

Aku selalu percaya
Dari balik pekat ampas waktunya
Bakal terbaca isyarat

Tapi, untuk setiap pertanda
Aku perlukan sesayat luka

17 October 2008

Rumah

Jika aku pergi
Sebagian diriku
Tertinggal di rumah
Tak bisa kubawa serta

Dan jika kumati
Sebagian kisahku
Tertahan padamu--
Seperti menolak

Seakan bertahan
Dari bumi yang
Mau menariknya
Pulang pada tanah

Aku bertanya
Jika kelak kau mati
Kisahku fana
Ke mana berumah?

13 October 2008

Rumah Dijual

Rumah ini terpaksa akan kujual.
Hasil penjualannya nanti akan
kujadikan modal awal. Aku akan
mengungsi ke sebuah masa
depan. Rumah ini tak buruk
samasekali. Aku sebetulnya
malah sudah betah netap di sini.
Tapi letaknya kelewat dekat
ke masa lampau. Padahal aku
butuh akses lebih cepat ke pusat
waktu. Anak-anak sudah tambah
besar. Lagi pula bisnisku maju
pesat. Sudah tak mungkin lagi
kupertahankan masa laluku
di sini. Aku perlu lebih banyak
lagi kamar, halaman yang lebih
luas, juga jalan layang untuk
menunjang mobilitasku. Rumah
ini terpaksa kujual. Selamat
tinggal para tetangga budiman.
Salam buat abang sayur, tukang
air keliling. Daag pak Amin tukang
sampah. Aku pindah ke sebuah
masa depan yang penuh
kabel dan tombol. Kelak suatu
hari mungkin akan kuganti hatiku
dengan plastik dan mataku
dengan beling. Di balik silau
lampu-lampu masa depan yang
jauh darimu, aku mungkin bisa
pura-pura tentram dan bahagia.

10 October 2008

Orang Pandai yang Bersembunyi

SALAH satu hal yang menarik perhatian saya dalam membaca cerita silat Cina adalah kehadiran mereka yang baiklah saya sebut saja “orang pandai yang bersembunyi”. Mereka bukanlah tokoh utama dalam cerita, tapi kemunculannya—yang juga tidak kerap, kadang bahkan hanya muncul sekali saja--sering menentukan, dan bagi saya sebagai pembaca, selalu terasa “mengilhami”. Sering malah kehadiran mereka lebih membetot perhatian saya ketimbang tokoh utamanya sendiri.

Dalam prolog dari Kisah Membunuh Naga (Ie Thien To Liong) versi OKT diceritakan tentang seorang rahib lugu bernama Kak Wan Taysu, yang sebetulnya sudah muncul dalam penghujung cerita Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar atawa Sin Tiau Hip Lu. Kak Wan adalah “paderi bodoh” yang bekerja di perpustakaan biara Siauw Liem. Tugasnya sehari-hari adalah menjaga keamanan dan kebersihan ribuan kitab di perpustakaan itu. Ia sendiri diceritakan tak mengerti ilmu silat, dan memang begitulah adanya.

Syahdan, suatu ketika dalam keasyikannya membersihkan kitab, secara tak sengaja ia menemukan sejilid kitab tipis yang berisi pelajaran ilmu silat dahsyat yang secara ajaib luput dari perhatian para penghuni Siauw Liem lainnya. Meskipun “tolol” ia toh mengerti kitab itu sebuah mustika yang tiada taranya sebab ditulis langsung oleh Bodidharma, tokoh yang konon adalah peletak dasar silat Siauw Liem.

Begitulah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun rahib “bodoh” itu meyakinkan ilmu dalam kitab tipis itu, dan tanpa ada yang tahu ia kemudian mengalami metamorfosis dari seorang yang tak paham ilmu silat menjadi seorang sakti yang tersembunyi. Tersembunyi,karena ia, setelah jadi hebat tak tertarik untuk gembar-gembor, melainkan terus tinggal di perpustakaan merawat ribuan kitab yang jadi tanggung jawabnya.

Dalam kehidupan kita sehari-hari tokoh seperti Kak Wan ini--“orang pandai yang bersembunyi”—pasti juga ada. Mereka tak begitu hirau dengan segala ingar bingar publisitas semu. Mereka lebih memilih tinggal di sudutnya, dalam kesendirian dan kesepian, seraya terus mendalami dan meyakinkan bidang yang menjadi pilihannya. Saya membayangkan, ia mungkin saja seorang penyair jenius yang lebih memilih menyimpan saja puisi-puisinya (dan pikiran-pikirannya) dalam laci—kita pasti teringat Emily Dickinson ….

Pertanyaannya kini, salahkah pilihan “bersembunyi” yang mereka ambil? Kak Wan dalam Kisah Membunuh Naga, lantaran terpaksa sekali, akhirnya muncul ke gelanggang, mengobrak-abrik musuh dan sekaligus membuka mata banyak orang. Ia pun kemudian, menurut sang empunya cerita konon, menjadi inspirator bagi lahirnya silat Wudang dan ilmu pedang Gunung Emei.

07 October 2008

Terima Kasih

Sajak yang baik
Tak pernah menagih pujian
Barangkali ia malah keberatan
Disebut sajak

Ia seperti jejak
Memanjang sepi di jalan setapak
Sehabis reda hujan sore

Kita melihat bekasnya
Kita mengenali tandanya
Kita rasakan kehadirannya

Sajak sebenar sajak
Sungguh semata jejak
Berjalan ia di depan
Membimbingmu ke puncak

Kita kenal baik tanda-tandanya
Kita bisa rasakan degupnya di sini
Ah, kita juga mau berterima kasih
Buat kehadirannya yang menyehatkan bumi

06 October 2008

Kemenangan yang Merepotkan?

MEMPERCAYAKAN penilaian atas puisi kepada para “juri anonim”—seperti dilakukan Pena Kencana —sungguh mengandung resiko. Belum mapannya kehidupan sastra di sini menjadi alasan kuat untuk skeptis. Saya pernah menyebut manuver Pena Kencana ini sebagai sebuah “eksperimen yang berani” (atau kepagian?), yang biarpun hasilnya bisa saja konyol, tapi tetap saja menarik ditunggu.

Seraya mengingat bahwa siapa pun yang kemudian muncul sebagai pemenang dalam kontes seperti itu bolehlah dipandang sebagai seorang yang “benar sedang mujur”. Kemenangannya bukan kemenangan artistik, sebab sesungguhnya tak ada peristiwa literer di sana. Yang terjadi adalah sebuah kegiatan yang berlangsung “untung-untungan”, yang melibatkan sejumlah orang yang tak jelas siapa saja, serta tak jelas juga mereka sudah memilih puisi siapa.

Maka bagaimana kemudian sang pemenang musti bersikap menghadapi hal ini? Saya tanyakan itu kepada Jimmy Maruli Alfian, yang memenangkan kontes ini untuk kategori puisi. Saya tanyakan juga apakah ia mempunyai usulan untuk perbaikan supaya award ini tidak lalu berkembang menjadi sekadar sasaran sinisme belaka. Saya pikir menarik sekali menguping apa komentarnya. Kebetulan kemudian memang ada sedikit “ribut-ribut” di blognya Hasan Aspahani tentang hasil kontes ini, maka saya pikir ini adalah kesempatan bagus bagi Jimmy untuk bicara.

Sayang sekali, Jimmy Maruli Alfian, penyair muda potensial--yang saya sukai puisinya, antara lain karena bahasa sajaknya yang lugas dan tidak bertele-tele--itu agaknya tak tertarik merespons pertanyaan saya, pun mengurusi “ribut-ribut” itu. Mungkinkah karena kemenangan ini sudah membikinnya menjadi “serba salah” dan “repot”? Tapi mengapa harus jadi merasa "bersalah" dan "repot"? Jimmy yang berhak menjawabnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...