https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 April 2008

Kertas Kosong

Untukmu aku sedia berjaga
Sampai pagi. Kubukakan selapangnya
Ruang bagimu : putih, kosong, tak bernama
Agar leluasa kau memasukiku. Agar
Nyatalah di sebalik yang serba putih ini
Sesungguhnya ruangku tak kosong
Tak pernah kosong. Sudut-sudutku yang
Terjauh penuh memuat kisah yang
Semula memang tak bernama. Tapi
Untukmu, hanya untukmu, kubukakan
Pepintu purba mencapai rahasia itu
Agar kisah berlanjut lagi, luka-lukanya
Berdenyut kembali, merembes darahnya
Di antara jari-jemarimu. Membanjiri
Empat sudut semesta pada putih kosong
Tak bernama bidang lengangku

28 April 2008

Kata Berlebih

Jika ada kata berlebih, kasihlah aku
Barang sepatah, jika ada baris
Tersisa, kirimkan padaku jangan
Berlambat, jika ada tema tak sempat
Relakan bagiku nanti kubela, jika
Ada judul kau ragu, tinggalkan satu
Buatku, jika ada rindu tak bisa dekap
Biarlah datang ia padaku, jika ada sakit
Ngilu berdarah padamu, jika tiada lagi
Ruang dalam sajakmu, huruf-hurufmu
Piatu tak bernama di bumi, pintuku
Kelu melambaimu sayu, masuklah sini
Masih kupunya seliang kelam bakal
Tidurmu kekal pastilah rela kubagi

24 April 2008

T o p a n

Kata-katamu serupa topan
Maka aku berlindung
Berpegangan pada bayangan
Gunung-gunung dan pohon di awan
Kugali lubang hitam di langit
Sementara kau membadai
Meruntuhkan mimpiku ke jurang
Kupinjam senyap alamat bebintang
Sekadar luput dari buas pandang
Berabad lamanya aku sembunyi
Mengelak dari api kata-katamu
Seraya mematangkan kesumat
Dendam purba turunan moyang
Kelak setelah sempurna
Tapa dan samadiku rahasia
Aku bakal kembali ke dunia
Dengan musim hijau tua
Tumbuh pada sepasang lengan
Membangun kembali rumah
Membariskan lagi fajar di bukit
Terang dan rerimbun cuaca
Kata-katamu masih juga topan
Panas bergolak bagai pedang
Berkilau tapi bakal kuredam dengan
Tembangku yang lama terperam

21 April 2008

Sajak tak Bernama

Pergilah
Jangan lagi menggodaku
Dengan kata

Telah kutanggalkan
Huruf-huruf
Yang meracuni
Kemurnian baris

Ketahuilah
Namaku sunyi
Aliasku api

Jadi biarkan
Kini aku terbakar

Hangus
Mengabu
Tanpa judul

Kau menjauhlah
Jangan pula menyeruku

Dengan nama itu

18 April 2008

Tafsir Daniel

Disorong nyawaku ke moncong kata
Sebuah kerangkeng bernama sunyi
Menawanku dalam sangit kobaran puisi
Aku tak mati hanya kepayang di pintu sorga

17 April 2008

Lagu Simpang

Aku seperti sopir mikrolet tua itu
Berlama-lama menunggu di simpang waktu
Barangkali ada luka lintas nyebrang di situ
Biar kupanggil kujebak ke pangkal ngilu

16 April 2008

Rumah Omi

Jendelanya menghadap senja
Pintunya menatap malam
Dindingnya bernama diam
Lakonmu muda karam di sana

10 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (5 Habis)

Sastra yang Normal

Ini adalah bagian pamungkas dari “obrolan” panjang dengan Nirwan Dewanto. Saya pribadi merasa mendapat banyak pelajaran berharga dari percakapan tertulis ini—dan saya harap anda sekalian pun demikian. Kepada rekan Nirwan Dewanto yang sudah bersedia meluangkan waktunya meladeni tawaran wawancara ini saya ucapkan terima kasih banyak.

Catatan akhir, Nirwan Dewanto juga mengemukakan niatnya untuk ngeblog—mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat ini, katanya. Semogalah sungguh demikian. Jagat blog kita niscaya akan semakin meriah dengan kehadirannya
.

Pada banyak kesempatan anda kerap megingatkan perlunya kita berguru pada khazanah sastra dunia. Begitu burukkah pencapaian sastra kita? Dan menurut anda bagaimana kondisi perpuisian kita saat ini?

Sastra dunia bukanlah kumpulan karya sastra dari seluruh dunia, apalagi karya sastra dari luar negeri. Jika itu yang dinamakan sastra dunia, sudah pasti kita tak mampu mengenalnya, apalagi memanfaatkannya. Sastra dunia itu sebuah perspektif, yang bisa menerangi masalah kesastraan kita sendiri. Seperti halnya kita tak bisa melihat ekonomi nasional tanpa perspektif global. Buat saya, sastra dunia punya arti praktis. Pertama, kita, setiap penulis, memperhubungkan sejumlah karya yang melintasi batas kampung-kampung dan negeri-negeri, sesuai dengan kebutuhan sendiri, untuk memelihara sumber-sumber kreativitas. Kita memilih model-model yang paling masuk akal bagi mekarnya kreativitas kita sendiri. (Saya ingatkan sekali lagi, sastra dunia ini juga melingkupi sastra-sastra dari kampung sendiri atau kampung tetangga, tapi yang sudah dilihat lagi dengan perspektif baru, perspektif global.) Kedua, dunia itu mengikis megalomania kita; artinya, jika kita berkarya, kita berpotensi sekadar menambahkan setitik debu polusi ke lautan karya cemerlang yang sudah dibuat manusia sepanjang sejarah. Jadi, perspektif dunia itu memberi kita kemampuan kritik-diri, sehingga kita tidak gampang terperangkap ke dalam model-model yang tidak hidup. Ketiga, kita menegakkan profesi di dunia modern. Semua profesi di dunia ini, sejak ilmuwan hingga juru masak, mengukur dan mengembangkan diri dengan standar disiplin transnasional. Kenapa kaum sastrawan harus mengistimewakan diri dengan ukuran yang ditetapkan di negerinya sendiri, sementara mereka sudah pula mengarungi internet? Keempat, bahasa, kesenian dan sastra-sastra kita mencapai bentuk terbaiknya ketika membuka diri terhadap arus-arus dunia, sebagaimana sudah terbukti dalam sejarah. Kenapa kita sekarang melihat sastra dunia sebagai ancaman terhadap sastra nasional?

Jadi, saya tidak mengatakan bahwa kita “perlu berguru kepada sastra dunia”. Sastra dunia itu sudah berada dalam diri kita. Mengingkarinya hanya akan mempertebal kemikiskinan dan keremajaan kita sendiri. Maaf, saya tidak menjawab dua pertanyaan anda yang lain. Atau sudah saya jawab dalam kesempatan sebelumnya. Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyataan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling kongkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu

Ajang award sastra dengan hadiah besar, apakah efektif untuk memancing munculnya karya-karya besar?

Hadiah sastra (yang saya sempitkan di sini sebagai penghargaan untuk buku atau karya yang sudah terbit, bukan sayembara penulisan) sangat penting untuk menghargai dan menegakkan profesi sastra dan memeliharanya sebagai sumber kreativitas sosial. Di negeri-negeri yang normal kehidupan sastranya (sebutlah wilayah Asia saja—Korea Selatan, Cina Daratan, Jepang, India, misalnya), begitu banyak hadiah sastra yang bersungguh-sungguh, yang dijalankan oleh juri yang serius menilai. Menilai itu, bagi juri, tidak lain ketimbang mencari putusan terbaik, berkumpul, bertengkar, mempertanggung-jawabkan pilihan dan argumen masing-masing. Lalu, masing-masing penghadiahan itu juga bersaing satu sama lain, berebut tempat mana yang paling bergengsi dan berpengaruh. Sayang di negeri kita hal itu belum ada; yang ada hanyalah penghadiahan yang berpretensi “populis” atau “demokratis”; yang kita lihat hanyalah penjurian yang seperti tebak lotere, karena yang telanjur bernama juri itu tidak berkumpul, atau berkumpul sekadarnya, dan tidak beradu argumen. Hasilnya, yang menang bisa apa saja dan siapa saja. Jadi, tolonglah, jangan gunakan hiperbol seperti “karya-karya besar”. Kita
hanya perlu menegakkan kehidupan sastra yang normal-normal saja, yang sehat. Penghadiahan yang sudah ada perlu diperbaiki penjuriannya, namun lebih perlu lagi pengadaan aneka penghadiahan lain yang lebih rasional, lebih profesional. Anda jangan lupa, penghadiahan bagi kekaryaan profesi ini terjadi dalam bidang manapun di dunia modern ini—keilmuan, kesenian, keteknikan, dan seterusnya.

Terakhir, tidak tertarik bikin blog?

Saya perlu menyiarkan pendapat saya yang lebih spontan, yang sangat terikat kepada situasi, seperti wawancara ini misalnya. Saya juga perlu menuliskan penggalan riwayat saya, misalnya masa kanak saya, tamasya saya, aneka peristiwa kecil yang menggugah saya. Mungkin juga saya perlu menyiarkan sebagian karya yang tengah saya garap, work in progress, yang memerlukan semacam umpan balik dari lingkaran pembaca ideal saya. Semua itu tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun. Singkatnya, saya perlu membuat blog atau website sendiri. Mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat. Terakhir, Bung: rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya. Tentu saya kepingin menuliskan apa-apa yang belum terkatakan itu, selangkah demi selangkah. Ah, jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya. Semoga tidak. Bagaimanapun, saya ucapkan terima kasih banyak atas “interogasi” Bung.

08 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (4)

Sumber

Sumber yang tersedia untuk seorang penyair begitu luas. Sedemikian melimpah sesungguhnya, sehingga tak ada alasan baginya untuk bercengeng diri. Ia bahkan bisa melanglang bebas melampaui batas-batas teritorial sastra—jika “batas” itu memang ada—melongok “dunia lain” nun di luar sana, sebelum kelak kembali pulang dengan berkas-berkas puisi yang senantiasa “baru” dan segar.

Adakah penyair yang sedemikian mempengaruhi anda, sehingga anda menjadi penyair dengan puisi seperti sekarang?

Ibu puisi saya adalah bahasa Indonesia, sementara saya bisa memilih aneka bapa perpuisian dari mana saja—dari kampung saya, kampung-kampung tetangga, negeri saya, atau mancanegara. Sampai kapanpun sang ibu akan terus hidup dan menghidupi saya, namun saya bisa menyingkirkan atau membinasakan kaum bapa itu, sebagian atau seluruhnya, dan memilih lagi bapa-bapa yang lain. Sang ibu abadi, sementara sang bapa tidak. Saya gampang tertarik kepada puisi cemerlang dari mana saja, tapi saya sangat berhati-hati dalam mengambilnya sebagai model. Seandainya saja ada model-model itu—yaitu apa yang dalam teori sastra disebut hipogram—dalam sajak-sajak saya, maka saya lebih suka tidak mengatakannya, supaya si penyair tak menghalangi proses pembacaan (juga, supaya saya tak kelihatan keren-kerenan membaca para penyair dari luar sana). Adalah tugas anda sekalian—pengulas, pembaca dan penyair—untuk menemukan dan
menciptakan kembali model-model itu berdasarkan prinsip intertekstualitas. Namun, tak jarang pula, alusi itu, isyarat terhadap rujukan itu, sudah terbimbing oleh beberapa kata dan nama kunci (misalnya saja, Hiroshi Sekine dan Juan Jose Arreola) dalam puisinya sendiri. Bahkan saya menyertakan pula catatan belakang untuk itu. Namun alusi terhadap penyair tertentu, atau terhadap sejumlah baris dalam sajaknya belaka, tidak dengan sendirinya berarti bahwa sajak saya itu bermodelkan apa yang dialusikan.

Saya juga harus mengatakan bahwa model atau “sumber inspirasi” saya bukan hanya puisi. Saya bisa bertolak dari lirik lagu-lagu populer “Selendang Sutra” dan “Sepasang Mata Bola” (keduanya karya Ismail Marzuki) dan “Keroncong Sapu Lidi” (Sukamto); hasilnya adalah sajak “Selendang Sutra”. Khazanah seni rupa sudah pasti merupakan salah satu sumber yang terpenting juga. Ketika menonton pameran “patung” Martin Puryear di Museum of Modern Art, New York, pada awal November lalu, misalnya, citra bubu segera mengembang dalam diri saya; citra itu makin menguat manakala saya menghubungkan Puryear dengan seorang pematung mutakhir kita, Anusapati, yang, seperti Puryear, juga bertolak dari bentuk-bentuk perkakas kampung. Saya ingin menulis kajian perbandingan tentang Anusapati dan Puryear untuk melengkapi (dan “mengoreksi”) ulasan saya tentang pameran Anusapati di Jakarta pada 2001, namun saya berbelok untuk menulis puisi berjudul “Bubu”, yang sudah terlepas sama sekali dari lingkaran dua pematung itu. Selanjutnya, anda akan menemukan sejumlah nama kunci dalam sejumlah puisi saya: karya mereka membuka jalan bagi sajak-sajak saya.

Saya juga gemar melakukan “pembacaan jauh” terhadap aneka lanskap perpuisian nasional di luaran, mencari kaitan antara situasi sosial-politik dengan situasi kebahasaan dan kesastraan di situ. Kait-mengait ini menggugah saya meneliti situasi kebahasaan di negeri sendiri, untuk mencari bentuk-bentuk pengucapan yang paling mungkin, katakanlah yang “strategis”. Situasi sosial-politik selalu memaksa kita membentuk gambaran dunia yang baru melalui bahasa. Puisi buat saya selalu bersifat subversif, dalam arti bahwa dia menantang semua bentuk komunikasi yang sudah mengalami komodifikasi. Puisi mengubah cara kita berbahasa, artinya juga cara kita memandang dunia. (Bersambung)

06 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (3)

Proses

Pada mulanya adalah citra. Mungkin bahkan hanya separuh, atau seperempat citra saja. Tugas penyairlah mengutuhkan citra itu, melengkapkannya. Lalu memberinya bentuk. Membuatnya terlihat oleh pembaca--orang lain selain dirinya. Menyumbangkan sehembus “nyawa” di bumi.

Mungkin itulah bukti bahwa menyair bukanlah kerja di awang-awang. Dan seorang penyair dengan begitu juga bukanlah sejenis hantu jadi-jadian. Ia berdaging, berada di tengah sejarah. Berkelindan dengan segenap unsur yang tak kunjung henti membetot-betotnya-- memprosesnya
.

Dalam puisi-puisi mutakhir anda, kelihatan anda begitu leluasa memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan. Masalah bentuk sepertinya sudah “selesai” bagi anda?

Jika anda menggunakan istilah “bentuk”, maka buat saya bentuk bukanlah wadah—atau bukan sekadar wadah—bagi isi (misalnya seperti ember, yang menjadi wadah bagi air yang ditampungnya). Bentuk, buat saya adalah buah dari aspirasi si penyair sendiri. Saya tidak mengejar-ngejar bentuk, namun apa yang dinamakan bentuk itu seperti datang sendiri menyambut cara saya, jalan saya, dalam “menangani” citra, motif, kata, frase, kalimat. Saya “mendengar” bentuk itu, dan hanya membuatnya terlihat bagi pembaca. Kenapa “Putri Malu” berbentuk (seperti) gurindam, “Di Restoran Turki” sonet, “Cumi-cumi” puisi bebas, “Burung Merak” puisi-prosa (prose-poem), dan seterusnya—niscayalah semua itu disebabkan semacam derap, ketukan, atau irama yang beriringan dengan larinya citraan yang mengejar saya atau saya kejar. Namun ada juga cara lain. Bila ada citra atau sederet citra yang terus mengambang di depan saya namun tak kunjung tertangkap, maka saya menyiapkan setengah-desain atau setengah-struktur untuk memerangkapnya. Bila pemerangkapan berhasil, maka citra itu akan berkembang-biak seturut kebutuhannya sendiri, sementara desain itu, struktur itu, juga akan tumbuh sampai menjadi cukup-diri.

Saya selalu curiga kepada kreasi. Sehingga, tahap berikutnya menjadi lebih berat dan seringkali lebih lama: ketika saya benar-benar harus mengerjakan puisi itu, melakukan penyuntingan. Ini adalah tahap memeriksa detil, menambah-kurangi, membongkar-pasang. Saya bisa sekadar memperkuat atau bahkan merombak sama sekali bangunan (desain, struktur, bentuk) yang sudah wujud sebelumnya. Dalam puisi, detil akan tampak cemerlang bila strukturnya kokoh; dan bangunan, struktur, bentuk itu akan cemerlang pula bila jalinan antar-detilnya saling mengunci. Seberapa jauh anda harus menyediakan sunyi dan bunyi, keselarasan dan ketidakselarasan, terang dan bayangan—ini adalah hasil seluruh daya anda bermain dan bertarung dengan gramatika, kekayaan kosakata, semantika dalam bahasa terpakai, juga dengan khazanah perpuisian yang seluas mungkin. Prinsip saya jelas: ambiguitas dan kompleksitas hanya dimungkinkan oleh komposisi yang kuat; tanpa komposisi, hanya ada kegelapan dan keruwetan.

Tentang keleluasaan “memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan,” saya ingin mengatakan bahwa setiap penyair sesungguhnya hidup di atas semua tradisi perpuisian yang ada sebelum dia; ya, semua, karena berbagai tradisi itu saling berkelindan hingga mencakup seluruh buana, terlepas dari apakah si penyair peduli atau tidak. Baik yang menganggap diri pembaharu ataupun pengusung tradisi pada dasarnya hanya berlaku ironis belaka tanpa mereka sadari. Masalahnya, keduanya tidak tahu seberapa luas dunia puisi atau puisi dunia karena mereka terpenjara oleh bahasa(-bahasa) yang mereka kuasai. Saya ingin menyuratkan, mengeksplisitkan, ironi itu: anda tidak bisa menjadi baharu, tanpa kemampuan bergerak ke depan (masa depan) dan ke belakang (masa lampau), ke atas (seni luhur) dan ke bawah (seni handap, serta budaya massa). Artinya, anda bisa menulis gurindam atau pantun, tapi anda bisa jauh lebih segar daripada mereka yang membuat puisi bebas, atau mereka yang sibuk memperkarakan lirisisme, misalnya. Atau, jika anda menulis puisi bebas atau puisi-prosa, dengan citra-citra urban misalnya, belum tentu anda menjadi ultramodernis atau pascamodernis; sebaliknya, anda bisa terlihat sangat terkebelakang. Sementara itu, jika anda bersikeras menggali akar tradisi, maka anda bisa sekadar terjerumus ke dalam fundamentalisme dan orientalisme, yang membuahkan bukan puisi, tapi klise dan “politik sastra” belaka. Anda tidak bisa kembali ke akar, tetapi harus menciptakannya. Ya, menciptakan bukan hanya satu akar, tapi aneka akar. Berikut ini contoh, mudah-mudahan tidak memalukan. Setelah membaca sejumlah sajak saya seperti “Putri Malu” dan “Madah Merah”, misalnya, ada penyair Sumatra berkata kepada saya, “Wah, dikau lebih Sumatra daripada aku”; atau, “Aku cemburu, seharusnya akulah yang menulis sajak-sajak seperti itu.” Namun boleh juga kita berandai-andai. Jika saja ada yang berkeberatan dengan kemelayuan atau kesumatraan sajak-sajak saya yang berpola pantun atau gurindam, niscayalah mereka bukan sedang menilai sajak-sajak itu, namun menghubung-hubungkannya dengan riwayat hidup si penyair, yang berdarah Jawa-Using. Jadi, saya harap anda membunuh si penyair dan menatap puisinya belaka.

Ada satu-dua hal lagi yang harus saya sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda. Sebagian besar penyair kita merasa membubuhkan cap jari dengan bertahan pada gaya atau bentuk pengucapan tertentu, bahkan pada kosakata tertentu. Mereka mereproduksikan diri terus-menerus. Amatlah aneh jika penyair berlaku seperti mesin, meskipun mesin yang bersifat romantik, ya, kurang-lebih mesin keharuan! Baru-baru ini ada diskusi tentang lirisisme di Jakarta. Dicemaskan bahwa lirisisme berkuasa, bahkan menjadi semacam imperium. Hiperbol yang dilemparkan penggagas diskusi itu tidak tepat. Yang mereka persoalkan mestinya, kenapa lirisisme dalam perpuisian Indonesia kurus-kering, terkerangkeng pada dua-tiga model belaka. Atau, mereka seharusnya bertanya lebih “radikal” lagi, kenapa di zaman yang sungguh prosais ini kita masih menulis puisi. (Saya ingat Adorno, “Menulis puisi setelah Auschwitz itu barbar.”)

Kelihatannya anda juga berhasil keluar dari “kepungan” imaji-imaji alam yang begitu lama menjadi klise dan “menguasai” jagat puisi kita.

Saya sudah menjawab sebagian pertanyaan ini di atas. (Dan seharusnya anda lebih tegas lagi dalam menilai sajak-sajak saya!) Baiklah saya teruskan. Soalnya bukanlah imaji-imaji alam—atau bahkan alam—itu sendiri. Saya ingin mengajukan analogi di sini. Seorang fisikawan dan biologiwan itu juga berurusan dengan alam, unsur-unsur alam, tapi beda mereka dengan penikmat pemandangan, turis, atau puak penghuni hutan, misalnya, adalah bahwa mereka mengambil jarak tertentu dengan alam dan mengajukan pertanyaan kritis terhadapnya. Demikian juga dalam dunia puisi. Yang jadi soal bukanlah imaji-imaji alam atau alam itu sendiri, tapi sikap kita terhadapnya. Kalau kita menggunakan citra-citra alam, belum tentu kita menjadi penyair romantik. Sebaliknya, dengan mengusung citra urban, kita bisa telak menjadi penyair romantik (miriplah kurang-lebih dengan perilaku kedusun-dusunan yang kian menjadi-jadi di ranah metropolitan). Saya pernah mengatakan bahwa para penyair kita asyik berburu lambang-lambang, seakan mereka mengamalkan kreativitas yang paling mustahil. Padahal yang terjadi sesungguhnya, lelambang yang mereka buru itu terbatas adanya, hanya kosakata tertentu yang sudah menjadi rumus dan klise dalam perpuisian Indonesia, pun hanya dalam dua-tiga model yang itu-itu juga, barangkali hanya dengan sedikit variasi. Jadi, para penyair harus berhenti memanjakan keharuan dan berburu lambang sekenanya, lalu mengajukan pertanyaan kritis terhadap kosakata dan kosacitra yang telanjur tersedia, dan mengambil jarak yang masuk akal terhadap perpuisian nasional. Pada saat yang sama, mereka harus menyadari bahwa baru sebagian kecil belaka potensi bahasa Indonesia yang tergali. Mereka harus membuktikan bahwa puisi bukan topeng bagi cacat berbahasa. (Bersambung)

04 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (2)

Pemurnian

SEORANG penyair ternyata bisa “memusuhi” karyanya sendiri. Penyebabnya tidak selalu jelas. Mungkin saja ia kecewa, muak, lelah, pada apa yang sudah dihasilkannya. Lantas ia tergoda untuk murtad dari iman puisinya, lalu mencoba-coba selingkuh, bikin affair dan mencoba-coba yang lain di “luar“ puisi. Seraya berusaha membunuh penyair dalam dirinya.

Selingan itu mungkin membuatnya heboh dan kuat kembali. Tapi bisa saja hanya membawanya pada kemuakan baru, kelelahan lain lagi. Ia mulai membenci teman selingkuhnya, menyesali pengembaraannya yang tak keruan juntrungan. Ia mulai menyadari kenyamanan rumah lamanya. Ia mulai belajar lagi apa artinya rindu. Lantas ia pun memutuskan pulang. Ia telah dimurnikan.

Antara periode 1989 – 2004, publik (atau setidaknya saya) sempat lama kehilangan puisi-puisi anda. Baru pada 2005, “mendadak” lima sajak anda muncul di Kompas. Apa yang menahan anda untuk “menghilang” begitu lama, dan apa pula yang akhirnya mendorong anda untuk turun gunung lagi?

Periode anda “kehilangan puisi-puisi” saya mestinya tidaklah sepanjang itu. Saya masih menerbitkan, meski jarang, sejumlah puisi sampai tahun 1995—di harian Surabaya Post, jurnal Ulumul Quran, dan harian Media Indonesia edisi Minggu. Selanjutnya, sampai 2004, saya masih menulis puisi, yaitu sebagai proses mendisiplinkan diri yang sudah saya sebut tadi, namun nafsu saya untuk menerbitkannya sudah padam. Sajak-sajak itu sekadar tinggal dalam laci, buku harian, atau lenyap; akhirnya memang sebagian besar benar-benar lenyap. Tapi saya tidak berpisah sama sekali dari dunia sastra. Saya menjadi ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam sejak 1994, dan sejak 2002 menjadi penjaga lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu. Menjadi editor mengharuskan saya mengambil jarak tertentu dengan, dan makin kritis terhadap, sastra. Saya terbiasa melihat lanskap, bukan menyempitkan pandangan terhadap karya-karya tertentu saja. Saya makin kejam terhadap diri sendiri, “Jangan menerbitkan karyamu deh, supaya engkau bisa jernih memilih karya orang lain.”

Dan sejak 1991, saya menjajal kemampuan “diskursif” saya. Yaitu menilai kesenian. Sejak kecil, minat saya memang bukan hanya sastra, tapi kesenian. Teman-teman dikusi saya berasal dari disiplin-disiplin seni rupa, teater, tari, musik, arsitektur, dan sinema; juga ekonomi, fisika, dan ilmu politik. Nah, saya pun menulis ulasan kesenian dan ulasan “kebudayaan”. Di samping itu, minat saya juga mengarah ke sejumlah bidang lain, misalnya saja ke botani dan zoologi. Namun tentulah konsentrasi saya yang terbanyak tetap pada sastra. Intuisi saya yang tertajam tertuju pada sastra. Ini sudah terlatih sejak kecil, paling tidak sejak SMP. Sebagai redaktur lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu, saya menghadapi segunung naskah tiap minggu. Saya juga “mengawasi” lembar sastra sejumlah koran dan mengikuti penerbitan sastra dari berbagai daerah, juga “sastra di dunia cyber”. Setiap akhir tahun, saya menuliskan penilaian saya. Demikianlah saya percaya, banyak sekali yang belum dikerjakan para sastrawan kita. Saya tahu bahwa saya tidak bisa sekadar berharap atau melancarkan kritik. Apa yang tidak dikerjakan itu, harus saya kerjakan sendiri, paling tidak sebagian. Bolehlah kini saya anggap bahwa tulisan kritis saya hanyalah semacam pendahuluan untuk penulisan puisi saya yang berlangsung sepanjang 2005-2007, yang berujung pada Jantung Lebah Ratu ini.

Sebenarnya sejak 1997-1998, saya terus melakukan percobaan untuk menjelajahi batas antara prosa dan puisi. Ketika membaca sejumlah novel terbaru dari luar, saya sungguh-sungguh cemburu kepada kaum novelis itu, tapi saya tidak ingin menulis seperti mereka. Saya pun menulis cerita, atau semacam cerita, cerita panjang, yang selalu saja tertarik-tarik ke arah puisi; atau saya ingin melupakan puisi, dengan cara menulis prosa yang tidak prosais. Hasilnya adalah beberapa fragmen, tiga di antaranya sempat terbit di Kalam (2000-2001) dan jurnal Prosa (2002). Pada pertengahan 2004, saya lakukan percobaan dengan puisi lagi. Entah kenapa, ada sejumlah citra tertentu yang sering lewat di depan saya, dan terus mengganggu. Mungkin citra-citra itu berasal dari kunjungan saya ke sejumlah museum dan kebun binatang di mancanegara. Saya harus menjinakkan mereka, dengan cara memberi mereka bentuk tertentu. Kadang saya berhasil, kadang gagal; namun, akhirnya saya muak dengan apa yang saya capai; sebagaimana sebelumnya, sajak-sajak itu saya buang belaka. Namun saya terus terangsang, karena saya menemukan sejumlah puisi dari luar yang begitu cemerlang. Pada akhir tahun 2004, saya putuskan untuk betul-betul berkonsentrasi: saya bisa duduk berjam-jam mengotak-atik setiap bangunan bahasa yang mungkin untuk menjadi rumah bagi citra atau motif yang “mengganggu” saya. Sampai pertengahan Februari 2005, saya menghasilkan kurang-lebih 12 sajak (yang lima di antaranya dimuat Kompas pada akhir Maret 2005). Sejak itu saya tahu telah mendapatkan lagi gairah kepuisian. Suara penyair menghuni diri saya lagi. (Bersambung)

03 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (1)

Kelahiran Kembali

Nirwan Dewanto boleh jadi kadung dikenal (atau diakui) lebih sebagai esais. Namun sesungguhnya ia juga seorang penyair yang tangguh. Sajak-sajaknya yang penuh pukau dan tenaga sudah membanjiri lembar puisi koran-koran penting di sini sejak awal 1980-an. Anehnya, meski memiliki modal segebung puisi kuat ia tak kunjung membukukan sajak-sajaknya. Baru pada tahun inilah kumpulan puisi pertamanya, yang ia beri judul Jantung Lebah Ratu, bakal terbit.

Dalam kaitan dengan kehadiran Jantung Lebah Ratu itulah wawancara ini dirancang. Kepadanya juga diajukan sejumlah pertanyaan ihwal beberapa topik aktual dalam kehidupan puisi kita hari ini. Karena “obrolan” kami yang dilakukan secara tertulis lewat surat elektronik ini cukup panjang, maka “wawancara” ini akan disajikan secara bersambung dalam beberapa kali pemuatan. Berikut ini adalah penggalan pertamanya. Selamat membaca!

Kumpulan puisi pertama anda akhirnya bakal terbit, tapi mengapa baru sekarang? Mengapa begitu lama? Apa yang membuat seorang Nirwan Dewanto bisa begitu bersabar menunggu selama itu?

Sesungguhnya saya tidaklah pernah merasa “bersabar menunggu selama itu”. Bahkan saya merasa tidak menunggu sama sekali. Barangkali karena saya tidak pernah bertegang-tegang dengan dunia sastra, misalnya saja mencari posisi atau pengaruh. Menulis buat saya adalah semacam laku mendisiplinkan diri. Jika saya menulis, saya sering merasa karya saya adalah karya dalam proses, seakan proyek seumur hidup. Tapi ini tidak realistis, bukan? Banyak tulisan saya yang tersimpan dalam laci. Kadang-kadang saja saya menengoknya dan berpikir bahwa beberapa di antaranya layak terbit. Namun, saya juga terlalu kritis terhadap diri sendiri. Seringkali laku kritik-diri ini bersifat patologis. Saya senang mencoret-coret dan membuang karya sendiri. Meski saya tak putus-putusnya menulis, akhirnya jumlah karya saya tidak banyak juga. Sebagian besar sudah lenyap. Dan sudah saya lupakan pula. (Sebagian lagi digambari oleh dua keponakan saya sehingga teks-nya tak terbaca lagi.) Berlaku sebagai kritikus terhadap karya sendiri ini ada sisi “positif”-nya juga: saya bisa merasa lahir kembali pada tahap-tahap tertentu. Namun pada gilirannya, jika anda merasa terlalu sering merasa diri lahir kembali, anda tidak berpikir tentang produktivitas, tentang himpunan karya yang bisa diukur panjang-pendeknya, tentang buku, tentang daftar karya sendiri.

Nah, tiba-tiba kita merasa waktu berjalan cepat sekali. Dan anda mulai berpikir bahwa waktu anda terbatas. Begitu pula saya. Paling tidak, untuk setiap masa “kelahiran kembali”, kita harus terdorong menghasilkan satu buku. Anda harus bersikap kritis terhadap karya sendiri memang, tapi anda harus memberi kesempatan kepada karya anda untuk menjumpai pembaca dan penilainya sendiri. Ya, sekaranglah saatnya. Dan jangan berpura-pura bahwa anda bisa lahir lagi nanti.

Kumpulan ini, kalau boleh dapat bocoran, mencakup puisi dari periode puisi anda yang mana saja? Dan kapan persisnya bakal keluar?

Tak ada yang harus dirahasiakan, Bung. Buku saya memuat 46 judul puisi yang saya buat sepanjang 2005-2007, hampir setengah di antaranya belum pernah termuat di mana pun. Buku itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan akan beredar, kalau tak ada halangan yang berarti, pada 22 April 2008. Oh ya, judulnya Jantung Lebah Ratu. Ini judul terbaik yang bisa saya kenakan untuk buku puisi saya. (Jadi bukan Perenang Buta, Bung, seperti yang pernah sempat tersiar.) Saya merasa alangkah baiknya kalau judul buku bukan judul salah satu puisi. Buat saya, judul final yang “enak bunyinya” ini akan menggoda pembaca.

Lama sebelum ini anda pernah merencanakan terbitnya kumpulan puisi “Buku Cacing”. Bagaimana nasib kumpulan itu?

Setiap kali ada yang bertanya tentang “Buku Cacing”, saya terhenyak, oh, tak sedikit yang mengingat manuskrip itu. Bahkan ada sejumlah kolega, pembaca dan penyair (termasuk yang jauh lebih muda ketimbang saya), menanyakan kumpulan itu. Saya heran, bagaimana mereka tahu dan masih mengingat “Buku Cacing”. Mungkin karena mereka membaca Tonggak (suntingan Linus Suryadi AG) jilid keempat. Mungkin sebagian yang lain adalah “kawan-kawan” yang mengamat-amati saya sejak pembacaan puisi saya dalam “Tiga Penyair Bandung” yang ditaja Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta di Teater Arena TIM pada 19 Juni 1987, di mana saya membacakan sebagian dari “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah hasil pergaulan saya dengan perpuisian Indonesia—mungkin lebih tepat dikatakan kepenyairan Indonesia—sepanjang kurang lebih 1983-1986, khususnya kalangan penyair di Bandung dan, lebih khusus lagi, lingkungan Grup Apresiasi Sastra ITB (tempat kuliah saya). Dengan menulis sajak-sajak itu, pada waktu itu saya begitu yakin bahwa saya mampu memasuki dunia puisi Indonesia. Dan ini sungguh-sungguh terjadi. Sajak-sajak saya dimuat sejumlah lembar sastra bergengsi, dan kaum penyair menganggap saya sebagai kaum mereka. Namun, selepas 1987, ketika saya membaca-baca lagi “Buku Cacing”, ketika saya nyaris menerbitkannya, saya sudah mampu bersikap keras terhadap diri sendiri. Saya ingin membunuh si penyair yang hidup dalam diri saya. Lantas begitu saja padamlah hasrat saya menerbitkan “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah masa lalu saya, yang hendak saya tolak, namun ternyata selalu hadir kembali. Bahwa tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya, itu mungkin menyatakan bahwa “Buku Cacing” ada juga nilainya. Jika akhir-akhir ini saya menengoknya lagi, saya mencoba belajar menghargainya kembali, seperti melihat masa muda saya, yang tentulah mengandung sendu dan marah tesendiri. Jika nanti saya membuat himpunan sajak lengkap atau himpunan sajak terpilih, saya pasti akan menyertakan sejumlah sajak—tentu setelah melakukan sedikit revisi atasnya—dari manuskrip itu. (Bersambung)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...