https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

14 July 2015

Variasi Lirik untuk Sebuah Film

Atau "Masterpiece"



Di dalam rumah itu seorang penyair sohor bekerja
Perempuan yang adalah bininya, di dapur, amat khusuknya
Keheningan yang bak sorga itu terusik sekonyong
Oleh jerit si orok dari kamarnya merengek

“Dia rewel lagi”, bilang si penyair ogah-ogahan
Kepada perempuan, “Bujuklah supaya dia diam”
Dan sahut perempuan di dapur, “Kau kan bapaknya”
“Gendonglah sesekali, kerjaku lagi nanggung, sayang”

“Nggak bisa!”, sembur penyair, “Aku lagi nulis”
“Tahu nggak sih! Sedang kugarap sebuah masterpice!”
Dan perempuan yang adalah bininya itu menghampiri
Menjumput lembar-lembar keramat itu dari meja, menatapnya

Memandanginya dengan pandang meremehkan, “Masterpiece ya?”
Mengoyaknya mendadak saja sampai tinggal serpihan belaka
Teramat lekas kejadiannya, penyair kita pun melongo hanya
Dan rengek orok di kamar mengapa pula sekonyong terdiam

Mungkinkah sebab terkaget-kaget ia, sekecil itu
Seakan turut berduka ia untuk nasib sebuah ‘mahakarya’
Sebuah masterpiece yang barusan saja mendadak mengempis
Padahal belum diberi label dan dunia tak sempat membacanya?

27 June 2015

Semacam Dunia Lain



Aku berada di sebuah ruang tua
Yang dulunya digunakan sebagai gudang pabrik
Sepertinya pabrik kata-kata, atau semacam itu
Entahlah, kusam temboknya membatasi pandangku
Kemudian lampu-lampu dipadamkan semua
Aku ditinggalkan sendirian bersama sebuah kamus
Usang, yang huruf-hurufnya tak bisa dikenali lagi
Tapi masih terasa ada yang berdenyut lembut
Saat kusentuhkan ujung jejariku pada dedaun pintu
Yang menurut kisah lama sudah tak pernah dibuka lagi

Aku mengisi waktu dengan berjalan lambat-lambat
Mengitari ruangan muram itu, mencari-cari alasan
Mengapa gerangan tak kusudahi saja permainan ganjil ini
Melambaikan tangan, meminta lampu-lampu dinyalakan
Malahan aku simpuh sepenuh, merabai kelam halaman kamus itu
Nah, mulai kudengar bunyi lelangkah sayup mendatangi

Menurut kisahnya, di ruang ini kerap berlangsung penampakan
Terlebih jika malam mengandung purnama, di antara senyap bahasa
Bisa kau dengar lagi itu suara tangis mengisak
Seorang perempuan yang mengaku dari tarikh pertama
Pun seorang lelaki meraung hampa
Dari balik pintu yang selamanya tak bisa dibuka itu
Aneh, semakin kusimak semakin kukenali parau suaranya
Di antara gedoran tiada hentinya, semua jadi tak asing
Menggigil depan pintu mulai memanggili sesiapa di dalam sana
Aku telah diingatkan sebelumnya agar senantiasa waspada
Tak gampang terharu oleh sembarang rupa, pun suara

Terlambat, ini kamar tua betapa jahanam
Segera terhisap aku, musim mengunci di belakangku
Aku dalam sebuah tatanan vakum, barangkali sebuah pabrik
Yang sudah lama bangkrut, sebuah dunia yang beda:
Mataharinya mungkin muncul dari utara yang muskil
Atau selatan penuh kabut, pada kali yang lain di kebunnya basah
Pohonan berpindah begitu saja, berpindah membawa segenap bebanmu
Membawanya menembus gaya berat, menabraki pepintu tatabahasa
Kusingkapkan cadar cuacanya, terus kugedor bisu langitnya
Berharap seseorang, atau kau sendiri, mendengar segala kesahku
Kuangkat tanganku, kuingin kini lampu-lampu itu menyala kembali:
Lekaslah aku kau tangkap selagi terperangkap begini

29 May 2015

Lima Tesis untuk "Tanda-tanda yang Bimbang"

Esai Hamzah Muhammad

Tanda-tanda yang Bimbang (TTYB) yang terbit medio 2013 buah tangan penyair Ook Nugroho yang merupakan anak keduanya setelah Hantu Kata (2010). Perbandingannya, terletak bagaimana Ook Nugroho dalam TTYB cenderung leluasa mengungkapkan kemungkinan artikulasi bahasa. Sehingga, ngunyah TTYB tidak sealot Hantu Kata. Salah satu penyebabnya, dikarenakan teks lebih terbuka untuk ditelisik.

Berbeda dari Hantu Kata, TTYB bernuansa segar. Kata-katanya plastis. Kelenturan pelbagai wacana dijajal. Pun, lanskap penghayatan dunia secara tatanan puitik diperluas. Di TTYB, puisi bagaikan tidak perlu khawatir kehilangan rima, atau kepadatan isinya. Meski, hal sebaliknya terjadi pada Hantu Kata. (Baca selanjutnya di sini)

26 May 2015

Tonggak, Nirwana



Saya membayangkan kita mungkin seperti para penumpang dalam bahtera besar yang disebut “waktu”. Jika kau atau seseorang mati, kau diturunkan dari bahtera itu, lalu yang lain segera meneruskan perjalanan. Orang-orang yang mati, yang telah diturunkan dari bahtera, mula-mula mungkin terlihat seperti tonggak-tonggak, setidaknya bagi sejumlah orang, lalu pelan tapi pasti, tonggak-tonggak itu berubah menjadi titik-titik yang segera juga mengabur. Lalu pada akhirnya mereka pun menjelma asap, mungkin dongeng, atau barangkali juga bukan apa-apa?

Mungkin kematian juga bisa dilihat dengan kaca mata yang lebih “gembira”. Barangkali kematian adalah sebuah awal baru yang melegakan. Kalau kau mati, kodratmu sebagai “mahluk kasar” yang terikat pada bumi fana pun berakhir. Bentuk kasar itu tertinggal pada tanah, sedang jiwamu sebagau kupu terbang melayang menembus kepompong samsara dan menjangkau moksa, nirwana, yang diyakini menjadi sumbernya yang mula-mula.

30 March 2015

Sajak Penjaga Perpustakaan



Kitab sebanyak ini
Apa manfatnnya bagi saya?
Guna hidupku sendiri
Cukuplah kupilih beberapa judul:

Sebuah kitab suci
(Yang tak teramat tebal)
Sebuah kitab lain yang lebih sahaja
Memuat tafsir ayat-ayatnya pasti

Sebuah pelajaran tatabahasa
Sehimpun kata dalam sejilid kamus
Dan satu lagi rasanya
Tak eloklah jika saya lewatkan:

Sebuah panduan cermat lagi teliti
Perihal bagaimana menjaga laku tatakrama
Di antara tetangga dan handai tolan--
Sungguh mereka terlebih utama
Ketimbang selaksa kitab apak berdebu ini

Sisa waktu pastilah melimpah, baiklah
Saya haturkan sepenuhnya bagi langit dan bumi
Seraya menghayati nikmat hembus cuaca
Merasakan kesiur musim yang menjalar rahasia
Nembus molos lewat kisi-kisi bahasa
Lapang longgar sebab tiada memuat intrik

Dan kelak suatu hari, saya pun bakal pensiun
Bakal pergi meninggalkan ini semua
Ringan lelangkahku nantinya tak terhadang
Menyibak halaman-halaman tak bernomor

Pada luas maha kitab di rak semesta
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...