https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

22 December 2008

Puisi untuk Ibu

Puisi untuk ibu
Tak kunjung rampung
Dituliskan

Selalu saja
Ada kata yang
Belum pas
Kalimat yang
Melesat dari siasat

Atau rasa yang
Sepertinya berlebihan
Sewaktu akhirnya
Diucapkan

Ibu adalah kewajaran
Sekaligus kepenuhan

Bagaimana
Menuang ibu
Ke dalam sajak
Mengaduknya
Dengan selaras

Sebelum
Mereguknya
Tandas

Serasa bakal tiada
Selesai kugagas

19 December 2008

Berhentilah Mengetuk

Sudah,
berhentilah mengetuk--

kamar ini
tak pernah berkunci.
Kau bebas

masuk & keluar
kapan waktu.

Hanya saja
apa gerangan
kau cari?

Tiada apa
pun sesiapa
di dalam sini

sejak mula.
Bukankah kita

paham belaka :
hanyalah hampa
beberapa potong nama

dan lelakon
yang disisakan
musim dan cuaca

pada kita.

15 December 2008

Kondangan

Kami pergi kondangan :
Bulan dan matahari
Kawin dan dikawinkan

Di pusat jagat yang riang
Di ranjang putih semesta
Dipandu bapak langit
Ditunjang ibunda bumi

Bersama bebintang
Kami jadi saksinya
Dalam kenduri sorga

Betapa cinta
Tiada bernama
Pada awal mulanya

10 December 2008

Kenangan Kantor Pos

SAMPAI waktu yang belum terlalu lama lewat, saya masih suka mondar-mandir ke kantor pos. Itu saya lakukan dalam kaitan dengan “kerepotan” saya selaku (konon) penulis : dari kantor poslah karya-karya “besar” saya (ehm) memulai peruntungan nasibnya. Kadang saya tiba di tempat itu dengan amplop naskah yang belum sempat dilem. Kadang saya malah mengeluarkan sekali lagi naskah itu, membacainya, sebelum melipatnya kembali dan menempelkan perangko di pojok kanan atasnya. Pada halaman muka amplop itu biasanya saya cantumkan kata “KILAT”, walaupun nilai perangko yang dibubuhkan sudah cukup menerangkan. Saya hanya ingin memastikan naskah itu selamat sampai di tujuan.

Ritual pelepasan naskah adalah momen yang diruapi suasana hati penuh harap sekaligus keraguan juga. Saya suka merasa menjadi seorang “ibu” yang sedang mengantar keberangkatan “anak-anak”nya ke rantau. Begitulah, kantor pos adalah stasiun atau terminal tempat sejumlah harapan diberangkatkan. Sebagai “ibu”, tugas saya adalah menyiapkan bekal perjalanan yang cukup untuk “anak-anak” saya, supaya mereka tidak keleleran di jalan. Tapi sesudah mereka tiba di “kota tujuan” nanti, saya tak berdaya lagi berbuat apa jua guna menolong mereka. Mereka harus berjuang sendirian menghadapi tatapan dingin dan angkuh dari yang “maha kuasa” para redakur itu. Saya pun pulang dan menanti-nanti warta siapa tahu ada “anak” saya yang bisa juga sukses di rantau. Kadang, layaknya ibu yang baik, suka juga saya mengirim doa untuk mereka.

Alhamdulillah, meskipun tidak semua, biasanya ada saja kabar dari satu dua “anak” saya di rantau yang mewarta bahwa mereka sudah berhasil “diterima” di kota tujuan. Mereka sungguh “anak-anak” yang berbakti. Sebagai bukti tak pernah lupa jasa “ibu”nya, yang sudah susah payah selama 9 bulan merahimi dan melahirkan mereka dengan taruhan luka, mereka pun mengirimi saya sejumlah uang lewat wesel pos, yang suka saya pandangi dengan tatapan berbinar dan saya genggam dengan tangan gementar penuh rasa syukur—meskipun jumlah duitnya terus-terang saja tidaklah seberapa.

Maka saya pun bergegas kembali ke kantor pos guna menguangkan kiriman wesel “anak” saya itu. Biasanya saya suka membawa juga lembaran koran yang mewartakan ihwal “anak” saya di kota. Untuk jaga-jaga saja, soalnya petugas di kantor pos biasanya bekerja ekstra teliti. Mereka misalnya akan bertanya kenapa nama yang tercantum di wesel tidak sama dengan nama saya yang dicetak di KTP. Maka, dengan agak malu-malu, saya akan menjelaskan bahwa yang di wesel itu “nama samaran” saya (saya tak menyebut “nama pena”, kuatir nanti ia tambah puyeng). Biasanya petugas pos itu diam saja. Tapi pernah ada juga yang “nekat” menasehati. Katanya : “Lain kali kalau menulis nggak usah pakai nama samaran ya”. Saya ingat waktu itu saya menjawab “iya pak”, seraya masih kemalu-maluan.

07 December 2008

Tema Mutilasi

Sengaja kutinggalkan
Tangan dan kakiku dalam bis berjalan

Kini carilah olehmu
Di mana kuperam jantungku

Susuri kota ini
Sungai terus ke muara di utara

Meski menyimpan aroma surga
Riwayatku dekat pada luka

Darah dan mimpi tercerai, memencar
Temukan, satukan lagi kisahku yang dulu

05 December 2008

Kisah Tidur

Mungkin ada pesan
Yang dibisikkan ranjang
Kepada tubuh
Sewaktu ia putuskan
Merebah

Mungkin tubuh
Sempat menyahut juga
Entah apa kepada ranjang
Sebelum telanjur
Lelap

Kini kamar sunyi
Gelap menyimpan
Pekat pesan-pesan itu
Pada yang rebah dan lelap
Waktu menitipkan kisahnya

02 December 2008

Lukisan Anak

Pemandangan telah berubah
Gunung biru masih ada
Juga matahari yang tertawa
Jalanan berkelok ke cakrawala

Tapi sawah di kanan-kiri itu
Telah bertukar alamat
Dengan real estate mewah
Di situ mukim orang kaya kota

Ke mana sawah pergi?
Di mana para petani mati?
Gunung tak menyahut
Matahari hanya tertawa
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...