https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

26 August 2007

Nirwan Dewanto, 20 Tahun Kemudian

NIRWAN DEWANTO adalah sebuah fenomena. Ia membuat banyak orang terlongong-longong pada Kongres Kebudayaan 1991 dengan perfoma intelektualnya yang begitu prima saat itu. Dalam usia begitu muda ia tak kelihatan jadi kagok atau minder duduk berendeng dengan sejumlah nama besar dalam jagat “persilatan” intelektual di negeri ini..

Namun sebetulnya beberapa tahun sebelumnya ia sudah “hadir”, tapi boleh jadi banyak orang belum begitu memperhitungkannya. Sajak-sajaknya yang memikat membombardir Dialog, ruang budaya koran Berita Buana yang pada masa itu menjadi salah satu forum sastra yang paling diperhitungkan—di luar majalah sastra Horison.


Pada 19 Juni 1987 bersama Acep Zamzam Noor dan Soni Farid Maulana ia tampil di TIM dalam sebuah acara baca puisi yang diberi label “Tiga Penyair Bandung”. Bagi saya pribadi forum ini menjadi sebuah penanda awal yang cukup meyakinkan bahwa betul seorang penyair (dan pemikir) baru sudah lahir di tengah kita.

Dalam diskusi yang diadakan sesudah pembacaan puisi itu ada beberapa hal menarik yang terlontar. Nirwan bertutur perihal sajak-sajak yang barusan dibacakannya, yang dicomotnya dari Buku Cacing, kumpulan sajak pertamanya yang entah mengapa hingga kini urung terbit.

Sajak-sajak dalam buku itu adalah hasil pengembaraan teknisnya. Di sana persoalan “bentuk” lebih mendapatkan perhatiannya. Bentuk di situ digarapnya habis-habisan. Hasilnya memang sajak-sajak yang secara teknis "sempurna”. Tapi bukan tanpa resiko. Irawan Sandya menyebut sajak-sajaknya sebagai “gelap dan sukar didekati”. Sajak berikut ini mungkin bisa dijadikan contohnya :


Improvisasi 4

Bulan telah pecah
Oleh ombak :
Dan kini ia mengeras kembali
Di antara rerumputan

Bagai sekuntum bunga

Dengan sisa wewangian
Aku menyusun malam
Yakni ketika lautan
Memantulkan wajah kita

Mataku penuh pasir
Dari kuntum ke kuntum pastilah
Kau tengah bergulir

Biarkanlah embun berkilat
Memimpikan ombak
Langit tak bakal mengenali kita
Tapi ingin bernyanyi di jalanan :
Tak ada rahasia di lautan
Tak ada luka di taman

Jika bulan mencurimu
Memabukkanmu dalam ayunan
Aku akan terbaring beku
Menampung cahayanya dengan mulutku

Atas penilaian itu Nirwan menjawab bahwa dia sudah beranjak pada tren lain. Bentuk tidak lagi menjadi tujuan utama. Buku Cacing adalah sebagian dari masa silamnya, yang tak bakal kembali, katanya menegaskan. Ia pun menunjuk beberapa sajak untuk lebih menjelaskan maksudnya, seperti misalnya penggalan dua sajaknya di bawah ini :

Jika cinta bertanya, manakah yang lebih indah
Memiliki seorang perempuan atau seekor anjing?
Tundalah jawabanmu sampai akhirnya kau mati
Dan cinta akan akan tahu
Bahwa kau masih terikat di bumi

(Dari sajak Cinta adalah Teror)

Dan jika aku tak bisa membedakan lagi
Satu musim lewat dan satu musim lain datang
Aku akan membuang semua pakaian dan sepatuku
Berlari telanjang di jalanan memandang arah neraka
Biarlah gedung-gedung itu tersipu malu melihatku
Sampai seorang anak datang mengerat kelaminku
Dan dari lapangan rumput kering yang masih tersisa
Kutulis surat kepada ikan-ikan di laut dengan darahku
Agar mereka selalu bersabar menunggu hari kematianku

(Dari sajak Masa Kanak-Kanakku Mengambang di Laut)

Terasa memang ada perbedaan “suasana” dalam baris-baris di atas. Dalam istilahnya sendiri Nirwan berkata bahwa ia tengah beranjak dari model sajak-sajak yang “tertutup” ke bentuk sajak yang lebih “terbuka”, lebih longgar dalam struktur pengucapannya. "Saya ingin bahasa puisi saya menjadi bahasa sehari-hari, dan bahasa sehari-hari saya menjadi puisi", ujarnya..

Tentulah menarik untuk melihat seperti apa sajak-sajaknya 20 tahun sesudah statemen retorisnya itu. Kalau mengambil sajak-sajaknya di Kompas sebagai contoh, maka menurut saya Nirwan saat ini justru "kembali" pada periode awalnya, periode tatkala “bentuk” menjadi target artistiknya. Sajak-sajaknya kembali pada bentuk yang “tertutup”, dan bagi saya masih saja terasa “pekat serta susah” didekati. Kita lihat saja kutipan berikut :


Perenang Buta

Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.

(Dikutip dari Kompas, 5 Agustus 2007)

Kecenderungan untuk beranjak pada model sajak yang lebih “terbuka” ternyata tidak berlanjut.Tapi secara kualitatif tak ada keberatan yang bisa diajukan pada puisi-puisi terbarunya itu. Sajak-sajaknya masihlah sangat sedap dinikmati. Saya pribadi teramat menantikan kelahiran atau terbitnya buku puisinya. Tapi Nirwan Dewanto agaknya bukanlah jenis penulis yang suka terburu-buru menerbitkan buku, meskipun kesempatan baginya begitu terbuka.

23 August 2007

Minggu Petang Seorang Pegawai

Berilah Kata

Berilah aku kata secukupnya
Dan baris yang tak berlebih
Sekadar menjaga akal warasku
Supaya tidak kulampaui batas

Seraya merawat luka bumi
Pada sejudul yang kiranya pantas
Dalam seayat yang semogalah sarat
Utuh kurangkum sekarat musim


Minggu Petang Seorang Pegawai

Semua sudah disiapkan
Kaus kaki bolong dan sepatunya

Semua sudah dipasrahkan
Seragam luntur lusuh tergantung

Semua sudah berakhir
Libur yang adalah tidur ngelindur

Adapun tuhan, adapun tuhan
Sayup kabar pada rusuh ingatan

21 August 2007

Madah Kelam

Sajak Tak Selesai

Baris awalnya
Menggoda larut malam

Mendusin esoknya
Kutambahlah sebanyak variasi

Tapi seharian itu
Gagal kurumuskan

Sepatah dua kata
Guna menutup baris akhirnya


Madah Kelam

Mungkin kuperlukan sosok
Geliat ngeri pada puncak salib
Supaya bisa kugenapkan nyeri
Mengucap padaku gaib lagi rahasia

Mungkin kubutuh juga sepi
Serupa petang turun di taman kota
Dan bebangku kayu yang sepertinya meratapi
Para sekutu yang raib dihalau bayang

Mugkin, bakal kurindukan malam
Kelam yang merangkum kisah
Pada jari-jemariku sebentar berdarah
Sedang aku sekadar terdiam

19 August 2007

Lagu Gelandangan

Lagu Gelandangn

Jika lapar aku makan
Jika lelah aku pun rebahlah
Bintang-bintang berebut memasukiku
Membuatku subur dengan impian

Dilihat begini apa susahnya hidup
Tak risau dengan jadwal dan menu
Dunia adalah meja perjamuan yang luas
Angin dan debu tak habis kuhirup

Hidup hanyalah suatu hari
Serupa rongga antara langit dan bumi
Berjubahkan mantel kemiskinan
Hatiku tak bersepatu melangkah melewatinya


Serupa Kitab Terbuka

Aku bertanya-tanya
Apa yang membikinku masih tahan
Melewati segala kegilaan ini

Kau menjawab kalem
Masukkan aku sebagai jawab
Penutup atas tanyamu

Sungguh tak ada yang rahasia
Serupa kitab terbeber di meja
Kecuali tak mahir kau membaca


Mesin Telah Dimatikan

Mesin-mesin telah dimatikan
Seluruh sistem kembali pada alam
Di antara kelengangan ruang-ruang pabrik
Gelisah langkah sepatuku jadi nyata

15 August 2007

Franz Magnis Suseno against The Bakrie Family

PENGHARGAAN Achmad Bakrie Award tahun ini salah satunya diberikan kepada Franz Magnis Suseno. Pastor Jesuit ini disebut berjasa sebagai ilmuwan Indonesia yang gigih membahas masalah-masalah bangsa dari sudut etika selama 4 dekade terakhir ini. Dan sebagaimana kita tahu, Frans Magnis Suseno menampik penghargaan itu.

Penolakan itu adalah bentuk protesnya kepada keluarga Bakrie yang dinilainya belum melakukan tindakan yang jelas untuk mengatasi bencana lumpur di Sidoarjo yang sudah memakan bukan hanya banyak korban materiil tapi juga terutama kerugian non-materiil.

Barangkali ada juga yang tidak setuju dengan putusan Franz Magnis menolak hadiah itu. Sebagai pastor saleh ia memang tidak memerlukan duit hadiah itu, tapi bukankah ia bisa menyumbangkan kembali uang itu kepada pihak lain yang memerlukan. Kepada sebagian korban lumpur Lapindo itu sendiri, umpamanya.

Tapi hitung-hitungan matematis itu rupanya tidak ada dalam kamus sang romo. Menerima hadiah itu—dengan dalih moral atau sopan santun apapun—sama saja dengan “berkompromi” pada ketidakseriusan keluarga Bakrie menuntaskan masalah lumpur itu.

Penolakan tegas yang dilakukan romo Magnis mestinya mejadi “tamparan” yang menyakitkan bagi keluarga Bakrie. Adalah sebuah ironi yang menyedihkan bahwa mereka begitu royal membagi-bagikan banyak uang kepada beberapa person, sementara ribuan orang lain yang.sudah jelas sangat butuh pertolongan, malah diabaikan.

Tradisi Achmad Bakrie Award yang tujuannya mulia itu janganlah kemudian melenceng menjadi sarana penipuan atau pembohongan publik. Apa yang sudah yang dilakukan Franz Magnis Suseno barangkali boleh juga dianggap sebagai kado untuk bangsa ini yang besok lusa bakal merayakan ulang tahunnya.

Catatan Malam

Akhir kisah

Jalan-jalan ini
Berujung pada senja

Aku tak suka
Membicarakan soal ini
Tapi begitulah memang
Aturan mainnya

Tak peduli
Memutar lewat mana
Jalan-jalan ini
Hanya membawa kita
Pada malam

Aku benci
Mesti mengatakan ini
Padamu


Catatan malam

Lampu-lampu jalan
Seperti harapan
Seperti kita, lelah
Tapi tak mau sudah

14 August 2007

Di Terminal

Sejumlah tujuan terus ditawar-tawarkan
Sejumlah keberangkatan terus juga dipaksakan
Ssst, sekian kehilangan ada juga mengintai

Nyelinap diam-diam dalam kusut jadwal
Mendompleng berdesakkan pada keberangkatan
Siap mengantar kita sampai tujuan

12 August 2007

Sungai

Kuciptakan sejalur sungai
Pada lekuk liku tubuhmu
Sementara kau siapkan sampan
Cukup memuat kisah kita berdua

Kita biarkan sampan meluncur
Lantas kita pura-pura tak tahu
Arus kali yang tadinya pelan
Menderas menyeret kisahnya ke muara

10 August 2007

Topeng

Berapa topeng kau punya
Tak usah kau sebutkan
Cukup asal kutahu
Yang ini bukan kau yang asli
Bisa kurasakan itu
Kau terlebih paham pula
Kita saling intai, berharap
Seorang dari kita
Terjatuh tak sengaja
Sementara adegan bertukar
Dan kisah jadi melenceng
Berbelok pada kemungkinan lain
Yang sebelumnya tak sempat
Masuk dalam hitung-hitungan
Jadi kita kenakan topeng satunya
Dan rencana mesti diubah

08 August 2007

Acep Zamzam Noor, Penyair Santri yang Romantis

ACEP ZAMZAM NOOR adalah satu dari sedikit penyair kelahiran dasawarsa 60-an yang masih bertahan. Ia mulai dikenal dan diperhitungkan pada dekade 80-an, dan sebagai penyair kehadiran awalnya ditandai dengan puisi-puisi relijius yang banyak memanfaatkan simbol-simbol alam sebagai perabot ucapnya. Ia tergolong penulis subur, sejumlah buku puisi lahir dari tangannya, dan sejumlah penghargaan sastra bergengsi juga pernah disambarnya

Belakangan ia juga tertarik menggarap tema-tema sosial, dan sepertinya ia tak menemui kesulitan berarti memindahkan riuh-rendah keributan sosial politik di negeri ini ke dalam puisi-puisinya. Beberapa sajak lepasnya yang muncul di Jurnal kebudayaan Kalam dan harian Kompas membuktikan itu. Ia cukup berhasil menjaga roh puisinya untuk tidak sampai terkubur dalam kemarahan atau protes yang ditulisnya.

Selain tema relijius dan sosial Acep Zamzam Noor juga kerap menuliskan puisi-puisi cinta yang romantis. Buku puisinya Menjadi Penyair Lagi (Penerbit : Pustaka Azan, 2007) mungkin boleh dianggap mewakili tren “puisi romantis” itu. Antologi ini dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok 1 menampung puisi lama (1978-1989) yang kata Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi-puisi barunya (1990-2006).

Menulis puisi cinta sekali-sekali bukan perkara mudah. Tak kurang dari seorang Rilke pernah memberi awas-awas dalam urusan ini. Tema ini gampang sekali menjerumuskan seorang penyair pada resiko banalitas dan klise atau visualisasi puitikal yang fisikal saja sifatnya. Apakah Acep bisa menghindar dari jebakan-jebakan itu?


Bagian pertama dari buku ini yang didominasi puisi-puisi awal Acep “remaja”, cukup banyak memperlihatkan “kecerobohan” penyair dalam memilih kata dan diksi sehingga kelihatan ia kerap kedodoran. Kelemahan itu untunglah bisa ditebusnya pada bagian 2 antologi ini. Di sini, Acep yang sudah tidak “remaja” lagi mempertontonkan kematangannya dalam mengolah kata dan rasa, sehingga kemudian terbangun suasana puitikal yang utuh.

Ada beberapa sajak yang mungkin bisa dianggap contoh puisi unggulan dari “tema romantis” Acep dari buku ini. Bacalah misalnya puisi-puisi Angin Pegunungan, Debar, Sajak Nakal, Lembah Anai, Sepak Bola, Kutitipkan, Selain Hujan, dan beberapa lagi. Secara pribadi saya kesengsem sekali pada Sajak Nakal. Puisi pendek dan padat ini memperlihatkan sebuah percobaan penyair untuk sampai pada gaya ungkap yang lain, yang “berbeda” dari banyak puisinya umumnya. Dan menurut saya ia cukup berhasil
.

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan

Tanganku
Nakal
Seperti doa

Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

Jadi, buku ini tidak jelek. Kalau ada kekurangan maka menurut saya itu disebabkan hadirnya sejumlah puisi lama Acep dalam antologi ini. Keputusan penyair memasukkan puisi lamanya menurut saya sebuah “kecelakaan”. Acep sendiri dalam pengantarnya menulis bahwa ia memasukkan sajak-sajak lamanya karena”ia menemukan benang merah yang menghubungkan puisi awalnya dengan kecenderungan terakhirnya, yaitu kembalinya ia menyukai bentuk pengucapan sederhana”. Memang, seorang penyair bisa saja terkecoh oleh puisinya sendiri.

05 August 2007

Tema Nol

Tema Nol

Tubuh yang cuma pinjaman
Umur yang ternyata sekadar titipan
Pikiran yang mungkin juga tiruan
Nama yang nyatanya entah siapa

Luka yang jadinya percuma saja
Rindu yang sebetulnya tak perlu
Alamat yang mestinya juga tak ada
Pulang yang jadinya cumalah hilang



Rumahku

Kudirikan rumahku
Di dasar mimpi
Kubangun dari
Rongsokan kata

Ruang-ruangnya
Terbikin dari kenangan
Dan ingatan yang sudah
Separoh rusak

Aku tak takut
Cuaca yang buruk
Hujan deras atau topan
Yang meniup keras

Kucemaskan waktu
Membunuh ini ingatan
Merubuhkan kenangan
Rumahku di dasar mimpi

03 August 2007

Gambaran Sebuah Kota

Di jalan-jalannya berdebu
Orang tak butuh lagi puisi

Kau bukan apa-apa di sini
Begitu saja namamu terhapus

Dalam kerumunan itu, betapa mudah
Andai ingin membunuhmu

Udara penuh asap dan racun
Masih ditambah serapah anjing

Di persimpangan yang riuh itu
Tak ada petunjuk apa pun

Dan yang kutulis ini
Samasekali bukan khayalan

01 August 2007

Hujan Pagi

Hujan pagi
Membawaku lagi padamu

Pohonan basah
Mengingatkan musim yang rapuh
Berpegang akar-akarnya
Pada bumi miring

Kesedihan tanpa kata
Disimpan dedaun

Kita hanya menanti
Kisah ini lengkap
Kuingat lagi apa katamu dulu

Bersama daun
Dalam hujan pagi
Berayun umur kita

Pada ujung tangkai
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...