https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

31 May 2007

Naik Angkot

Meski angkot kita sama jurusan
Belum pasti kita satu tujuan
Nyatanya aku transit di Slipi
Kau duluan hilang di Batusari

Meski angkot kita satu jurusan
Nasib jadi tanggungan sendiri
Kita boleh saja tak usah perduli
Bikin jarak menjaga perasaan

Tak perlu ada janji disiapkan
Tak usah ada yang perlu diberati
Kau turun di Batusari, aku di Slipi
Sedikit ingatan terbang di pertigaan

29 May 2007

Paradise Lost

Siapa mengajarkan kesabaran
kalau bukan bumi yang menanam pohon
di kaki bukit. Bumi itu kasih. Kasih
itu memberi. Tapi setiap kali
hujan menggugurkan kembali
kepercayaan. Sebagai debu
keyakinan diterbangkan angin.
Terhapus dari ingatan. Sia-sia.
Tak kau temukan berkas-berkasnya.
Bahkan langit yang merendah
tak membuatmu tentram.

Kau terus saja ngembara, gelisah
tak berumah. Cakrawala hanya
makin menggodamu. Semakin dahaga
memburu yang tak ada. Karena
kau tak sanggup lagi percaya
yang di balik nama-nama. Kata
menyerumu di hutan purba, tapi tak
kau tangkap isyarat angin. Karena
rindu semakin jauh juga tambah
gemuruh. Menutup jalan kembali.

28 May 2007

Sajak Perjalanan

Sebetulnya aku tak pernah tahu harus ke mana
Peta dalam batinku hanya mencatat
Kehilangan serta sejumlah kenangan tak berarti
Dan esok yang tak pernah pasti itu
Menyeru-nyeru namamu penuh sangsi

Sebetulnya aku cukup senang di sini saja
Di antara daun-daun menikmati guguran waktu
Tapi sepi yang melahirkanku ke dunia
Dan rindu di pohon-pohon cuaca
Menciptakan juga jarak yang mesti selalu kusebrangi

25 May 2007

Rambut Gondrong Arswendo Atmowiloto

SEORANG penulis harus menjaga stamina menulisnya kalau dia kepingin umur kreatifnya awet--itulah “aksioma” yang sudah pasti kita amini. Masalahnya bagaimana cara menjaga stamina itu supaya tidak kendor, bukan? Suplemen apa yang sebaiknya dikonsumsi, sesajen atau ritual apa pula yang sebaiknya dilakoni supaya segala urusan berjalan lancar? Arswendo Atmowiloto sepertinya punya jawabannya.

Di awal-awal karir menulisnya dulu ia gemar menggondrongkan rambutnya—sekarang masih gondrong juga sih--dan memakai baju kembang-kembang. Ia juga suka keluyuran ke banyak tempat dan kota untuk menjaring ide dan bahan tulisan, sampai suatu kali gara-gara itu pernah ia kehabisan duit dan kagak bisa pulang. Kebiasaan favoritnya yang lain adalah datang sowan ke nama-nama pengarang yang sudah dianggap “eksis”.

Menggondrongkan rambut dan memakai baju kembang-kembang itu mungkin luapan ekspresi rasa bangganya pada statusnya sebagai penulis. Memang tanpa rasa “bangga”, tanpa merasa “beda” dengan yang lain, bagaimana seorang penulis bisa bersaing dengan seorang direktur atau juragan kain umpamanya? Seorang penulis harus menanamkan ke dalam dirinya keyakinan bahwa apa yang dihasilkannya—walaupun hanya sepotong cerpen atau puisi, katakanlah—sekali-kali tidak mesti kalah pamor dengan produk yang berasal dari profesi terhormat lainnya.

Sedang ritual “keluyuran” itu diperlukan karena seorang penulis butuh kondisi dan suasana yang fresh agar ia selalu memperoleh amunisi yang segar untuk bahan tulisannya. Rutinitas atau suasana hidup yang monoton adalah “kanker” ganas yang bisa diam-diam “membunuh” seorang penulis. Jadi supaya tidak tergerus virus bernama “rutinitas” itu sering-seringlah “ngeluyur”, keluar dari zona aman untuk mencari suasana dan lanskap yang baru.

Lalu.rajin sowan ke pengarang yang sudah “jadi” jelas memang diperlukan untuk menyerap “bahan” lebih banyak lagi. Berkesempatan ngobrol dengan seorang penulis kenamaan niscaya merupakan momen yang sangat inspiratif. Meskipun pada akhirnya karyalah yang menjadi tolok ukur kebesaran seorang pengarang, tidak ada ruginya samasekali datang sowan pada seorang penulis besar, meskipun kita hanya berkesempatan menungguinya tidur atau mengetik, seperti pernah dilakoni Arswendo dulu pada sastrawan Motinggo Busye.

23 May 2007

Jalan Air

Jalan air senantiasa menurun
Jalan air panjang dan berliku
Menempuh dataran dan rentang cuaca
Lalu menurun kembali ke bumi

Jalan air sunyi dan jauh
Jalan air sunyi lalu melebar
Mengubah sungai jadi samodra
Melepas samodra ke cakrawala

Jalan air sunyi dan jauh
Jalan air panjang dan berliku
Dari sumber ke pangkalan
Turun menggenapi muara

21 May 2007

Pelajaran Malam

Datang pada kesenyapan lampu-lampu jalan
Kuingin belajar bagaimana bisa demikian tabah
Mengarungi kekosongan dan hitam mimpi langit
Menembus belantara bayang-bayang

Rahasia apa dikandung bumi yang pendiam
Kebijaksanaan putih apa ditawarkan malam hari
Kuingin belajar sepenuhnya tenggelam menghayati
Datang pada kesenyapan lampu-lampu jalan

18 May 2007

Puisi Tidak Jatuh dari Langit

SEORANG kawan suatu kali berujar bahwa “puisi bisa jatuh dari langit”, tapi penyair, “tidak”. Maksud si teman itu kiranya cukup jelas : menjadi penyair itu bukan pekerjaan instan, ia butuh waktu, kerja keras, dan konon juga “bakat”, atau barangkali lebih tepat “kenekatan”. Baiklah, soal itu mungkin bisa agak mudah kita sepakati.

Tapi, betulkah kalau dikatakan puisi bisa sekonyong tercipta, begitu saja “jatuh dari langit”, seakan tidak ada ancang-ancang yang perlu mendahuluinya? Subagio Sastrowardoyo pernah menggambarkan seorang penyair seperti seorang pencuri yang tersesat masuk ke dalam gua penuh harta yang harus berburu dengan waktu sebelum sang penjaga gua itu keburu datang memergokinya

Meskipun penggambaran itu mengandaikan kerja menulis puisi sebuah kerja yang harus diselesaikan “secepat kilat” dan dalam ketergesaan, rasanya bukan maksud Subagio mau mengatakan bahwa sebuah puisi bisa sekonyong-konyong tercipta. Mesti ada sebuah proses yang mendahuluinya. Ada embrio—berupa mungkin sebuah pengalaman di masa lampau, misalnya--yang bersiap menanti saatnya menetas menjadi puisi.

Tidak karena melihat “apel jatuh” lantas tuan Newton mendadak menemukan teori gravitasi, bukan? Momen “apel jatuh” itu “hanya” berfungsi sebagai pemantik yang menggolkan teori itu. Sebelum sampai pada “point of no return” itu ada serangkaian proses panjang--yang keras, sunyi, melelahkan--yang mendahuluinya.

Dan begitulah juga sebuah puisi kiranya tercipta. Puisi yang kemudian berhasil ditulis itu hakikatnya hanya sebuah “titik” dari sebuah garis panjang tak terukur. Nah, tugas mahluk yang menyebut diri penyair adalah menjaga agar “garis panjang” itu jangan sampai terputus, seraya terus mencoba menciptakan momen-momen “apel jatuh” pada garis panjang itu.

16 May 2007

Jakarta : 4 Kwatrin

/1/
Kota tanpa hati
Jangan pernah ucapkan janji di sini
Sebab tak ada jaminan samasekali
Kau masih bisa kembali nanti

/2/
Persimpangan yang riuh
Peperangan yang rusuh
Dari subuh sampai subuh
Jangan tanya korban yang jatuh

/3/
Semua hanya tipuan
Dari balik senyuman
Mungkin juga cuma ancaman
Menantimu sabar dengan tikaman

/4/
Kota tanpa puisi
Di jalanan bercokol anarki
Dan jauh di dasar hati
Kita mungkin sudah lama mati

14 May 2007

T o k o h

SAYA membaca sebuah kisah yang menurut saya lucu dan menarik sekali di blognya Muhamad Sulhanudin. Ceritanya adalah seperti di bawah ini :

Suatu ketika
Aulia A Muhammad mengirim sepenggal puisi ke blog seorang penyair lumayan ternama. Kepadanya dia meminta komentar atau penilaian atas puisi itu. Tak seberapa lama, sang penyair pun memberi jawaban. Puisi kiriman Aulia dikritik habis, dikatakan jelek dan belum mencapai kedalaman makna. Rupa-rupanya, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Cybernews itu tengah iseng. Puisi yang dia kirim bukan miliknya melainkan karya Goenawan Mohamad. Setelah hal itu diutarakan, sang penyair kaget bukan kepalang. Dia buru-buru meminta maaf dan berharap proses dialog mereka dilupakan

Dari cerita di atas sebuah kesimpulan segera bisa ditarik. Sang penyair yang kata Muhamad Sulhanudin “lumayan ternama” itu (siapa gerangan beliau ya?) menilai pencapaian sebuah puisi dengan melihat dulu kadar ke’tokoh’an penulisnya. Makin besar pamor sang tokoh makin hebat jugalah jadinya puisi itu di matanya.

Kita mungkin geli membaca kisah di atas, tapi bukankah sikap semacam itu—menilai sebuah puisi dengan mengaitkan pada “besar kecilnya”nya kadar ketokohan penyairnya—sebetulnya banyak pengikutnya di sini? Aplikasinya bisa bermacam ragam. Misalnya itu kelihatan sekali pada perilaku sejumlah redaktur puisi di koran yang menjadikan kadar ketokohan—atau keterkenalan—penyairnya sebagai syarat utama pemuatan puisi di rubrik yang dijaganya.

Biasanya seorang penyair yang sudah kadung dianggap ‘tokoh” di sini, menjadi “tabu untuk dikritik”. Misalnya, siapa sekarang berani mengritik Rendra atau Sutarji Calzoum Bachri? Walaupun nyatanya puisi mereka dari periode terkininya sudah sangat jauh menurun mutunya—untuk tidak menyebutnya “jelek--tetap saja ada barisan “koor” yang dengan setia memuji-mujinya.

Sikap menomorsatukan “nama” ketimbang “teks” ini pada akhirnya membawa kita pada iklim penciptaan yang tidak sehat. Kesusasteraan kita pun jatuh pada apa yang disebut “sastra gosip”. Dalam khazanah “sastra gosip” kita akan disuguhi begitu banyak pertengkaran dahsyat yang isinya melulu saling hujat atau puja-pujii nama tertentu.

Padahal bukankah, seperti pernah dibilang Goenawan Mohamad suatu ketika dulu, tokoh kita bukanlah penyair, melainkan “puisi”--puisi dengan “P”.

11 May 2007

Horor Mei 1998

MEMASUKI bulan Mei, Blog Tempo Interaktif menurunkan sebuah tulisan mengenang kembali Tragedi Mei 1998 yang hingga kini tidak kunjung jelas penyelesaian kasusnya. Tulisan di blog itu pun secara khusus menyoroti mandegnya urusan ini. Dalam kolom komentar saya nimbrung menulis dengan mengatakan antara lain bahwa “tidak pernah ada ceritanya kejahatan yang dilakukan tentara di sini dibongkar ke permukaan”, dengan menunjuk contoh kasus lain, Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996.

Kasus 27 Juli sangat menarik diangkat untuk dijadikan parameter keseriusan atau “keberanian” pemerintah mengusut kasus-kasus sejenis. Kalau dalam kasus 27 Juli saja Megawati yang sewaktu kejadian berada dalam posisi “si teraniaya” kemudian ternyata terbukti (tidak berani) bikin apa-apa sewaktu ia berbalik berada dalam posisi sebagai “RI 1”, dengan gampang kita pun bisa menghitung peluang kasus lainnya.

Tragedi Mei 1998 yang begitu sarat muatan politis, melibatkan konon sejumlah nama besar dan penting di panggung politik negeri ini dalam sebuah konspirasi kotor, agaknya hanya akan dibiarkan teronggok basi dalam gudang pula. Harapannya pelan-pelan orang akan bosan dan kemudian melupakannya.

Lagi pula tragedi gila ini buat sebagian mengambil korbannya dari kelompok minoritas Cina, sebuah “kasta” yang memang sengaja dipelihara untuk sewaktu-waktu dijadikan semacam “kayu bakar” guna memuaskan kemarahan sosial yang—agaknya juga sengaja dibuat--mendidih di lapis bawah. Setidaknya itulah yang saya lihat dipraktikkan di masa Orde Baru dulu. Tapi, apa betul nasib “kasta” ini sudah berubah kini?

Jadi, kembali ke laptop, kita tak usahlah kelewat berharap akan ada “kemajuan” dalam penanganan kasus ini. Entah ya kalau misalnya Gus Dur yang jadi presiden kita.

10 May 2007

Catatan Bulan Mei

Seno sudah menuliskan
kisah itu, Sapardi telah memerasnya
menjadi puisi, dan kau telah pula
menceritakannya berkali-kali.
Ada pun aku, cuma ingin sekedar
mengenangkannya--karena
tak kupunya banyak kata.
Lagi pula, berhadapan dengan
prahara begitu dahsyatnya,
kalimat-kalimatku yang miskin
bukankah cuma akan jadi beban?

Karena itu, aku sekedar ingin
mengenang saja, hari-hari
sewaktu kita berkerumun tegang
di mulut gang itu. Menunggu
sesuatu (entah apa) yang
sepertinya bakal tiba
kapan saja, dan dari arah
mana saja. Sesuatu itu boleh
jadi adalah kenyataan yang
paling buruk dalam hidup
setiap kita. Begitu buruknya
sehingga aku pun tak ragu lagi
menukar puisiku hari-hari itu
dengan kilatan belati.

Sapardi telah meringkasnya
dengan cermat, Seno menuturkan
kisah itu seru sekali, dan kau
agaknya masih akan kembali
mengulang ceritamu. Tapi
aku cukup puas dengan sekedar
mengenangkannya saja. Hari-hari
ketika kota kita dikepung
api. Dan langit, dan langit
digantungi asap, begitu kelam
dan tebalnya, hingga
kita pun bertanya-tanya
bodoh, adakah Dia juga ikut
terbakar di dalam sana?

09 May 2007

Mabuk

Racun apa
Kau campurkan
Dalam huruf sajakku

Mereguknya
Sebaris saja
Aku lantas mambuk

Geliat
Syahwat
Kesumat
Sekarat
Makrifat
Tak kuasa lagi
Kupecah
Kupilah

Bangsat

Katakan
Racun apa
Kau minumkan

Pada mulut sajakku

08 May 2007

Pertapa

Ijinkanlah
Aku sembunyi
Dalam sakumu itu

Jangan biarkan
Dunia mengambilku
Dengan alasan
Apa pun

Lindungi
Dan batulah
Niat luhurku ini

Tunggulah

Sampai
Sempurna
Bau apak sakumu itu

Kuserap

04 May 2007

Madura, Luang Prabhang

Tulisan ini sebelumnya pernah “dipinjamkan” ke Perca—sebuah blog khusus review buku— dengan judul Meditasi Panjang Abdul Hadi WM, dan kemudian dimuat juga di Kutu Buku. Kini tulisan ini kembali ke habitat asalnya. Mudah-mudahan masih belum basi dan bermanfaat.

SUDAH sejak sekitar 10 tahunan ini penerbit Grasindo rajin menerbitkan seri “100 puisi pilihan” dari penyair-penyair senior kita. Kalau tak keliru proyek ini dulu diawali dengan antologi puisi Goenawan Mohamad, “Asmaradhana”. Sesudahnya nama-nama besar lain semisal Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang – untuk sekedar menyebut contoh – bergiliran mendapat kehormatan itu. Agak mengherankan bahwa Abdul Hadi WM, yang juga adalah salah satu nama besar di dunia puisi nasional, seperti terlewatkan. Padahal nama-nama lainnya yang lebih “yunior” – sebutlah Isbedy Stiawan SZ atau Soni Farid Maulana – malah sudah terbit duluan bukunya. Apa pun kisah di belakangnya, saat ini antologi “100 puisi pilihan” Abdul Hadi WM, yang dijuduli “Madura, Luang Prabhang”, sudah hadir di tengah kita.

Antologi ini memuat karya-karya Abdul Hadi antara 1965-1992, periode yang diakui oleh penyairnya sendiri sebagai masa-masa suburnya. Dan buku “Madura, Luang Prabhang” memang memajang sajak-sajak unggulannya, yang sudah berhasil mendongkrak nama penyairnya menjadi salah satu ikon puisi Indonesia modern.

Karena merentang antara 1965-1992 (27 tahun), dengan sendirinya buku ini memberikan gambaran yang cukup utuh seputar perjalanan kepenyairan Abdul Hadi. Pergeseran tema dan gaya ucap sangat terasa terutama pada puisi-puisi yang ditulis pasca 1980-an. Kegelisahan-kegelisahan “eksistensialistik” yang menandai periode “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur”, “Cermin”, “Tergantung pada Angin”, dan “Meditasi”, beralih pada kerinduan mitis-relijius yang lebih tenang. Umur bertambah, dan sang penyair pun agaknya berubah. Sangat wajar dan biasa
.

Dan itu agaknya juga membawa konsekuensi pada gaya ucap. Seolah “lelah” dengan gaya puisi lamanya yang cenderung “samar dan gelap”, pada periode akhir (1990-an), penyair kerap hadir dengan puisi-puisi yang bergaya ucap “terang benderang”. Marilah saya cuplilkkan sebuah contoh :

Barat dan Timur

Barat dan timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud. Laotze
Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Namun hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan di masjid aku berkhidmad
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana

Puisi di atas sangat terasa berbeda jika dibandingkan dengan puisi-puisi Abdul Hadi dari periode “eksistensialistiknya” dulu. Selain “terang ben derang”, sajak di atas juga jatuh pada bombasme dan sloganistik pula – hal-hal yang dulu paling dicereweti Abdul Hadi dalam menyikapi sebuah puisi. Marilah kita tengok sebuah puisi lamanya yang ditulis pada 1972, yang walaupun secara tematis begitu “remeh” dan “biasa”, tapi sebagai puisi mampu hadir dengan demikian utuhnya. Saya kutipkan selengkapnya :


Sehabis Hujan Kecil

Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas

Akhirnya, sebagai penikmat puisi, saya hanya bisa berharap Abdul Hadi WM masih akan terus membombardir kita dengan puisi-puisi barunya yang lebih bagus lagi. Dan “meditasi panjangnya” tidak selesai begitu saja sampai di sini, di Luang Prabhang ini, di mana “… Hanya terdengar dengung laler di jalan-jalan dan kedai”, dan “Di jalan ke kuil, sekelompok serdadu yang letih bermain gitar mencari keindahan antara sinar bulan dan bau bangkai” (sajak “Luang Prabhang”, hal. 76).

02 May 2007

Hiburan Sederhana

Kuharap masih tersisa sedikit ruang
Tempat jiwa yang capek dan bosan
Bisa sebentar berhenti, lalu sekedar bertanya ulang
Gerangan siapakah kita ini sebetulnya

Mungkin, masih ada beberapa patah kata
Sejumlah kalimat, atau beberapa baris puisi
Aku akan duduk dan mencoba menuliskannya
Kuharap segalanya tinggal utuh waktu sampai padamu

Mungkin, siapa tahu, memang masih ada jalan
Di tengah segala yang busuk dan muskil ini
Lalu kita boleh kembali merasa percaya, bahwa
Hidup bukan cuma dongeng konyol di tangan para dewa
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...