Sengaja kususuri sore
Di trotoar kutemukan
Sayup sisa makian siang
Kata-kata berceceran
Lepas dari sumber kisahnya
Ada yang tak utuh lagi
Huruf-hurufnya koyak
Seperti habis terinjak-injak
Ayuh kalian semua
Yang sungsang nasib
Kataku merayu
Mungkin meracau
Ikutlah saya pulang
Malam hari
Sesudah seluruh rumah
Mengungsi ke dalam mimpi
Kata-kata itu kukumpulkan
Kuserakkan di atas meja, kupilah
Yang memar-memar dan lecet
Kuobati dan kusembuhkan sakitnya
Yang patah semangat tak berarti
Kubangunkan lagi nyalinya
Kuyakinkan sebisa-bisa
Bahwa sekarat masih jauh
Akhirnya, dengan susah payah
Di bawah kerlip tatapan semesta
Lihat, mereka berbaris padu
Bernyanyi dan menari ritmis
Kepayang ikut irama magis
Kisah-kisah baru mereka
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
30 November 2008
27 November 2008
Film "Lewat Djam Malam" ...
“Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi ketika mereka kembali ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.
Tulisan selengkapnya baca di sini
Tulisan selengkapnya baca di sini
26 November 2008
Kadang-kadang Malam
Kadang-kadang malam
Terbikin dari gerimis
Dari hujan yang melukis
Bumi dengan genangan
Dan dalam setiap genangan
Seperti ada kesedihan
Seperti ada yang melambai
Mungkin semacam rasa kehilangan
Yang menegas
Dalam bayangan lelampu
Di atas dasar kelam
Di mana malam tersusun
Kadang-kadang kau tahu
Kadang-kadang sekali
Aku ingin lenyap begitu saja
Ke dalam genangan
Terbikin dari gerimis
Dari hujan yang melukis
Bumi dengan genangan
Dan dalam setiap genangan
Seperti ada kesedihan
Seperti ada yang melambai
Mungkin semacam rasa kehilangan
Yang menegas
Dalam bayangan lelampu
Di atas dasar kelam
Di mana malam tersusun
Kadang-kadang kau tahu
Kadang-kadang sekali
Aku ingin lenyap begitu saja
Ke dalam genangan
23 November 2008
Wawancara dengan Sindu Putra
Pengantar
SINDU PUTRA, yang lahir 31 Juli 1968, bukanlah nama baru dalam panggung puisi kita. Ia telah menulis lama berselang (1982) khususnya di koran Bali Post. Bahwa kiprahnya ternyata relatif “kurang bergema” mungkin itu disebabkan ia selama ini ia kurang bersemangat “mengkampanyekan” karya-karyanya di media pusat. Ia sendiri mengaku memang “telat” masuk “timnas” puisi.
Namun buku puisi pertamanya, “Dongeng Anjing Api” (Arti Foundation, Juli 2008), yang kelahirannya diwadahi oleh program Widya Pataka (semacam proyek subsidi dari Pemda Bali kepada seniman setempat yang dipandang berhasil) seakan menebus semua kelpaan penyairnya. “Dongeng Anjing Api” bagi saya adalah satu dari sedikit saja buku puisi unggulan yang sempat terbit belakangan ini.
Lewat “perbincangan” tertulis kurang dari sepekan yang lalu, saya menyodorkan kepada Sindu Putra sejumlah pertanyaan yang bersangkutan dengan pernik-pernik proses kreatifnya. Saya ucapkan terima kasih kepada Bung Sindu yang telah merespons dengan baik tawaran wawancara ini. Dan semoga “obrolan” kami juga bermanfaat untuk yang lain. Selamat membaca.
Anda telah menulis puisi setidaknya selama seperempat abad, dan dengan hasil yang relatif terjaga baik. Apa sebetulnya "resep" anda untuk merawat stamina kreatif anda hingga terus bugar seperti itu?
Saya merasa sebagai penulis tidak cukup produktif. Saya pernah mengalami "puasa" panjang menulis puisi. Saya termasuk beruntung, Bagian dari generasi yang tumbuh bersama penyair-penyair Bali, angkatan Warih dan generasi generasi berikutnya, seperti Sunartha, dll. Sebenarnya bukan resep, hanya cara berkelit dari kejenuhan. Seperti pemulung, saya suka dengan kata-kata, yang saya anggap lumrah, tetapi unik, punya rasa dan nilai. Saya kumpulkan seperti membuat catatan harian. Kata itulah yang menemukan kawanannya sehingga menjadi bait larik dstnya. Menulis ya teman dan lawan tandingnya membaca. Membaca apa saja. Terutama, saya, karena basis pendidikan saya eksak, suka memburu kata ke dunia itu. Menulis puisi memang tidak bisa dipaksa. Saya hanya mencoba menikmati alirannya, seperti menikmati hidup ini dengan rasa syukur.
Anda tinggal jauh di pedalaman, tetapi keterpencilan geografis rupanya bukan masalah bagi anda untuk terus menulis dengan hasil baik. Saya "curiga" jangan-jangan kondisi "sepi" dan "terpencil" itu justru menjadi atmosfer ideal untuk anda menulis. Salahkah terkaan saya?
Saya tumbuh dalam atmosfir kreatifitas penyair-penyair bali. Baru tahun 2001 saya tinggal di Lombok. dalam kondisi sudah "jadi". Pergaulan gaya Bali era 80an-90an, membentuk kepenulisan saya. Dalam pergaulan itu saya membaca dan mempelajari puisi kawan-kawan segenerasi saya. Juga puisi yang masuk "sejarah sastra" Indonesia, dari situ timbul niat ingin mencoba mencari cara lain, baik bahasa ungkap, simbul, metaphora, yang sekiranya belum digarap kawan-kawan atau generasi sebelumnya. Di sini bagi saya menariknya, Berada didalam proses tetapi mencoba menjaga jarak sehingga dapat menjadi "beda"
Sejumlah pengamat menyebut puisi anda menyempal dari arus besar puisi kita. Saya menduga-duga, apakah itu juga hasil yang didapat dari "keterpencilan" geografis anda? Maksud saya, berada jauh dari "pusat" justru memberi anda ruang gerak leluasa untuk berkreasi dengan lebih merdeka? Atau bisakah disebutkan bahwa puisi anda memang lahir dari semacam "perlawanan" yang sadar kepada "arus utama"?
Saya berpikir, seseorang harus tampil beda, sehingga bisa sedikitnya diliriklah sama orang. Jika kita hanya menjadi copy, kapan akan diperhatikan. Saya termasuk paling lambat masuk tim nasional atau bisa diterima dan dimuat media-media selain Bali Post. Saya sudah disalip oleh generasi yang lebih muda. Namun saya harus akui, mereka memang potensial dan bagus. Dan dalam masa tidak mendapat tempat itu, saya tetapkan terus menulis dengan cara saya. Masa seperti itu butuh stamina juga. Jika tidak tahan, tidak diperhatikan, maka akan habis dan hilang kita dari peredaran. Ya ada kesadaran memang untuk melawan yang "trend". Itu karena kita hanya ingin dimuat saja. Jika memberi karya yang beda dan lain, harus ada tambahan kekuatan untuk selalu siap ditolak.
Selalu menarik memata-matai bagaimana seorang penyair bekerja. Bisakah anda ceritakan bagaimana proses penciptaan sajak anda sendiri selama ini? Adakah misalnya "ritual" tertentu yang khas Sindu? Mohon sudilah kiranya berbagi.
Saya rasa tidak ada yang beda dengan cara penulisan penyair lain. Hanya saja sajak yang sudah ditulis itu, lebih sering masih harus diproses lagi. Editing, bongkar pasang, diendapkan. Dibaca lagi beberapa hari kemudian atau bahkan bulan depan, kata diganti, seperti kita bermain-main, membentuk sesuatu. Dicoba terus. sampai saya merasa pas. Terkadang “hasil” dengan “ide awalnya” tidak ketemu. Namun proses yang sekali jadi juga sering. Biasa-biasa sajalah, tidak ada ritual yang gawat-gawat.
Sajak "Sudah Aku Pilih Kata" dalam antologi "Dongeng Anjing Api" sepertinya dipersembahkan kepada Umbu Landu Paranggi, penyair yang "misterius" itu. Omong-omong apa gerangan arti seorang Umbu bagi anda?
Ya memang untuk Bung Umbu. Saya beruntung, termasuk generasi yang mendapat gemblengan seperti gaya Mallioboro 70 an itu. Dari tingkat dasar/pawai, lalu kompetisi sampai puisi kita masuk ruang budaya. Ketika awalnya puisi saya dimuat Bali Post, saya berpikir itulah puisi yang baik, karena dimuat redakturnya. Tetapi kadang Umbu nakal juga, puisi kita yang paling jeleklah yang dimuat, tetapi yang baik malah disimpannya. Bagi saya Umbu seorang pencari bakat yang pembacaan terhadap bakat seseorang ia sampaikan dengan caranya sendiri. Ia guru yang seperti puisi Gibran. Ia membimbing dengan caranya berbagai jalan puisi, tetapi kita harus menemukan jalan puisi kita sendiri.
Adakah penyair yang begitu anda kagumi (selain Umbu) dan menjadi, katakanlah, panutan atau model anda dalam berkarya?
SINDU PUTRA, yang lahir 31 Juli 1968, bukanlah nama baru dalam panggung puisi kita. Ia telah menulis lama berselang (1982) khususnya di koran Bali Post. Bahwa kiprahnya ternyata relatif “kurang bergema” mungkin itu disebabkan ia selama ini ia kurang bersemangat “mengkampanyekan” karya-karyanya di media pusat. Ia sendiri mengaku memang “telat” masuk “timnas” puisi.
Namun buku puisi pertamanya, “Dongeng Anjing Api” (Arti Foundation, Juli 2008), yang kelahirannya diwadahi oleh program Widya Pataka (semacam proyek subsidi dari Pemda Bali kepada seniman setempat yang dipandang berhasil) seakan menebus semua kelpaan penyairnya. “Dongeng Anjing Api” bagi saya adalah satu dari sedikit saja buku puisi unggulan yang sempat terbit belakangan ini.
Lewat “perbincangan” tertulis kurang dari sepekan yang lalu, saya menyodorkan kepada Sindu Putra sejumlah pertanyaan yang bersangkutan dengan pernik-pernik proses kreatifnya. Saya ucapkan terima kasih kepada Bung Sindu yang telah merespons dengan baik tawaran wawancara ini. Dan semoga “obrolan” kami juga bermanfaat untuk yang lain. Selamat membaca.
Anda telah menulis puisi setidaknya selama seperempat abad, dan dengan hasil yang relatif terjaga baik. Apa sebetulnya "resep" anda untuk merawat stamina kreatif anda hingga terus bugar seperti itu?
Saya merasa sebagai penulis tidak cukup produktif. Saya pernah mengalami "puasa" panjang menulis puisi. Saya termasuk beruntung, Bagian dari generasi yang tumbuh bersama penyair-penyair Bali, angkatan Warih dan generasi generasi berikutnya, seperti Sunartha, dll. Sebenarnya bukan resep, hanya cara berkelit dari kejenuhan. Seperti pemulung, saya suka dengan kata-kata, yang saya anggap lumrah, tetapi unik, punya rasa dan nilai. Saya kumpulkan seperti membuat catatan harian. Kata itulah yang menemukan kawanannya sehingga menjadi bait larik dstnya. Menulis ya teman dan lawan tandingnya membaca. Membaca apa saja. Terutama, saya, karena basis pendidikan saya eksak, suka memburu kata ke dunia itu. Menulis puisi memang tidak bisa dipaksa. Saya hanya mencoba menikmati alirannya, seperti menikmati hidup ini dengan rasa syukur.
Anda tinggal jauh di pedalaman, tetapi keterpencilan geografis rupanya bukan masalah bagi anda untuk terus menulis dengan hasil baik. Saya "curiga" jangan-jangan kondisi "sepi" dan "terpencil" itu justru menjadi atmosfer ideal untuk anda menulis. Salahkah terkaan saya?
Saya tumbuh dalam atmosfir kreatifitas penyair-penyair bali. Baru tahun 2001 saya tinggal di Lombok. dalam kondisi sudah "jadi". Pergaulan gaya Bali era 80an-90an, membentuk kepenulisan saya. Dalam pergaulan itu saya membaca dan mempelajari puisi kawan-kawan segenerasi saya. Juga puisi yang masuk "sejarah sastra" Indonesia, dari situ timbul niat ingin mencoba mencari cara lain, baik bahasa ungkap, simbul, metaphora, yang sekiranya belum digarap kawan-kawan atau generasi sebelumnya. Di sini bagi saya menariknya, Berada didalam proses tetapi mencoba menjaga jarak sehingga dapat menjadi "beda"
Sejumlah pengamat menyebut puisi anda menyempal dari arus besar puisi kita. Saya menduga-duga, apakah itu juga hasil yang didapat dari "keterpencilan" geografis anda? Maksud saya, berada jauh dari "pusat" justru memberi anda ruang gerak leluasa untuk berkreasi dengan lebih merdeka? Atau bisakah disebutkan bahwa puisi anda memang lahir dari semacam "perlawanan" yang sadar kepada "arus utama"?
Saya berpikir, seseorang harus tampil beda, sehingga bisa sedikitnya diliriklah sama orang. Jika kita hanya menjadi copy, kapan akan diperhatikan. Saya termasuk paling lambat masuk tim nasional atau bisa diterima dan dimuat media-media selain Bali Post. Saya sudah disalip oleh generasi yang lebih muda. Namun saya harus akui, mereka memang potensial dan bagus. Dan dalam masa tidak mendapat tempat itu, saya tetapkan terus menulis dengan cara saya. Masa seperti itu butuh stamina juga. Jika tidak tahan, tidak diperhatikan, maka akan habis dan hilang kita dari peredaran. Ya ada kesadaran memang untuk melawan yang "trend". Itu karena kita hanya ingin dimuat saja. Jika memberi karya yang beda dan lain, harus ada tambahan kekuatan untuk selalu siap ditolak.
Selalu menarik memata-matai bagaimana seorang penyair bekerja. Bisakah anda ceritakan bagaimana proses penciptaan sajak anda sendiri selama ini? Adakah misalnya "ritual" tertentu yang khas Sindu? Mohon sudilah kiranya berbagi.
Saya rasa tidak ada yang beda dengan cara penulisan penyair lain. Hanya saja sajak yang sudah ditulis itu, lebih sering masih harus diproses lagi. Editing, bongkar pasang, diendapkan. Dibaca lagi beberapa hari kemudian atau bahkan bulan depan, kata diganti, seperti kita bermain-main, membentuk sesuatu. Dicoba terus. sampai saya merasa pas. Terkadang “hasil” dengan “ide awalnya” tidak ketemu. Namun proses yang sekali jadi juga sering. Biasa-biasa sajalah, tidak ada ritual yang gawat-gawat.
Sajak "Sudah Aku Pilih Kata" dalam antologi "Dongeng Anjing Api" sepertinya dipersembahkan kepada Umbu Landu Paranggi, penyair yang "misterius" itu. Omong-omong apa gerangan arti seorang Umbu bagi anda?
Ya memang untuk Bung Umbu. Saya beruntung, termasuk generasi yang mendapat gemblengan seperti gaya Mallioboro 70 an itu. Dari tingkat dasar/pawai, lalu kompetisi sampai puisi kita masuk ruang budaya. Ketika awalnya puisi saya dimuat Bali Post, saya berpikir itulah puisi yang baik, karena dimuat redakturnya. Tetapi kadang Umbu nakal juga, puisi kita yang paling jeleklah yang dimuat, tetapi yang baik malah disimpannya. Bagi saya Umbu seorang pencari bakat yang pembacaan terhadap bakat seseorang ia sampaikan dengan caranya sendiri. Ia guru yang seperti puisi Gibran. Ia membimbing dengan caranya berbagai jalan puisi, tetapi kita harus menemukan jalan puisi kita sendiri.
Adakah penyair yang begitu anda kagumi (selain Umbu) dan menjadi, katakanlah, panutan atau model anda dalam berkarya?
Saya bukan mengagumi figurnya, tetapi lebih pada apa yang dikerjakan dan hasil karyanya. Gaya penyair Chairil, khan tidak bisa kita copy untuk generasi yang tumbuh tahun 2000an ini. Tetapi karyanya masih memberi inspirasi. masih mengundang pembicaraan. Saya kira tiap generasi mesti membaca zamannya. Di sanalah kekayaan dan pencapaian kita. Gaya Umbu memberi lahan dan menumbuhkan minat menulis bagi penulis-penulis muda di Bali juga berbeda, dari jaman saya ke generasi sekarang ini.
Terakhir, bagaimana menurut anda "kondisi kesehatan" sastra Indonesia (khususnya puisi) belakangani ini?
Saya merasa ruang bagi puisi sudah sangat luas. Saya melihat pertengkaran lebih hanya pada bukan soal karya, yang kemudian menjadi relatif. Koran, umpamanya, tiap minggu membuka halaman untuk puisi. Bahwa kemudian di dalamnya ada seleksi redakturnya bagi saya itu biasa saja. Jika soal itu yang dipermasalahkan, bukankah tiap orang bisa punya blog dan dapat dibaca di seluruh dunia. Bikin blog aja biar bebas.
Banyak yang menulis puisi, dan sangat banyak yang ingin menjadi penyair. Tetapi lebih baik penyair mengkonsentrasikan energinya untuk menulis. Publikasi itu hanya sampiran sajalah. Waktu dan sejarah akan mengujinya. Banyak puisi-puisi bagus tetapi tidak mendapat tempat untuk diterbitkan. Buku seharusnya menjadi salah satu barometer perkembangan. Kondisi ini yang belum bagus atau sehat di indonesia. Kalau puisinya sehat wal afiat. Apalagi penyairnya.
21 November 2008
Penyair Ganjil
: AM
Penyair yang ganjil
Jangan pernah berhenti
Menggali lubang di kepala
Menggoreng telur dadar
Merebus kaus kaki
Seperti memasak kesedihan
Kau membikinku
Kepingin bunuh diri
Dalam ember itu
Orang-orang nanti ribut
Menggotong mayatku
Dengan gerobak
Penyair ganjil
Penyair ganjil
Jangan berhenti memanggil
Langit yang malam
Malam yang lapar
Lapar yang mentega
Di halaman belakang sajakmu
Penyair yang ganjil
Biarkan aku merembes
Bersama obat gosok
Bersama soda susu
Bersama kuah soto
Dalam black box
Dalam black box
4 meter kurang 10 menit
Dari kuburku
Yang laut yang laut
Penyair yang ganjil
Jangan pernah berhenti
Menggali lubang di kepala
Menggoreng telur dadar
Merebus kaus kaki
Seperti memasak kesedihan
Kau membikinku
Kepingin bunuh diri
Dalam ember itu
Orang-orang nanti ribut
Menggotong mayatku
Dengan gerobak
Penyair ganjil
Penyair ganjil
Jangan berhenti memanggil
Langit yang malam
Malam yang lapar
Lapar yang mentega
Di halaman belakang sajakmu
Penyair yang ganjil
Biarkan aku merembes
Bersama obat gosok
Bersama soda susu
Bersama kuah soto
Dalam black box
Dalam black box
4 meter kurang 10 menit
Dari kuburku
Yang laut yang laut
20 November 2008
Bedah Buku Afrizal Malna
Diskusi Sastra Membedah Buku Puisi Afrizal Malna
“Teman-temanku dari Atap Bahasa”
Pembicara :
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Waktu & Tempat :
Jumat 21 November 2008
Pukul 15.00 – 18.00 Wib
Cemara 6 Galeri
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng Jakarta
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
“Teman-temanku dari Atap Bahasa”
Pembicara :
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad
Waktu & Tempat :
Jumat 21 November 2008
Pukul 15.00 – 18.00 Wib
Cemara 6 Galeri
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng Jakarta
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com
19 November 2008
Adam yang "Sexi" ...
Seperti anak saya yang kelas 3 SD itu, ada banyak sekali orang yang sungguh percaya bahwa kisah Adam dan Hawa di Firdaus adalah sebuah kejadian nyata. Para fundamentalis dan barisan panjang pengikutnya terlalu takut (atau malas) untuk membaca dan mencari yang “tersirat” di belakang yang tersurat. Mereka membaca kitab suci bak memelototi kitab sejarah, dan meyakininya mentah-mentah sebagaimana tertulis di sana. Setiap huruf dan noktah dalam buku itu haram untuk dipersoalkan.
Selengkapnya baca di sini …
Selengkapnya baca di sini …
16 November 2008
KLA 2008 dan dominasi "Sastrawan TUK"
HASIL Khatulistiwa Award (KLA) 2008 akhirnya mengerucut pada “Jantung Lebah Ratu” kumpulan puisi Nirwan Dewanto dan “Bilangan Fu” novel Ayu Utami sebagai pemenangnya. Dua karya yang menang itu disebut oleh Hamsad Rangkuti, salah satu juri pada kontes tahun ini, sebagai karya yang “mewakili spirit sastra yang serius dan matang”. Dua karya itu, katanya pula, menunjukkan bahwa yang terpenting dalam sastra tetaplah gagasan yang bernas, selain juga sublimasi bahasa (Kompas, 15 November 2008).
Ada hal yang mengusik saya, yakni tiadanya blog atau situs yang menyiarkan warta akhir KLA ini—setidaknya sampai siang tadi. Lucunya bahkan situs resmi KLA juga ikut-ikutan mogok. Jika pengumuman akhir KLA ini bukan hal yang dianggap penting, mengapa pula sejumlah blog mewartakan kontes ini dengan begitu bersemangat pada saat kontes baru masuk pada tahap awal? Jika awalnya diberitakan (dengan bersemangat) mengapa ujungnya tidak diumumkan?
Mungkinkah ini semua gara-gara pemenang tahun ini adalah “sastrawan TUK”, sehingga tentu saja ini merupakan “kabar menggembirakan” bagi yang selama ini “anti TUK”? Dan aksi cuek yang dipertontonkan komunitas blog dengan demikian adalah semacam “aksi boikot”? Hmm, alangkah lucu, aneh, dan absurdnya jika benar itulah hal yang terjadi.
Ada hal yang mengusik saya, yakni tiadanya blog atau situs yang menyiarkan warta akhir KLA ini—setidaknya sampai siang tadi. Lucunya bahkan situs resmi KLA juga ikut-ikutan mogok. Jika pengumuman akhir KLA ini bukan hal yang dianggap penting, mengapa pula sejumlah blog mewartakan kontes ini dengan begitu bersemangat pada saat kontes baru masuk pada tahap awal? Jika awalnya diberitakan (dengan bersemangat) mengapa ujungnya tidak diumumkan?
Mungkinkah ini semua gara-gara pemenang tahun ini adalah “sastrawan TUK”, sehingga tentu saja ini merupakan “kabar menggembirakan” bagi yang selama ini “anti TUK”? Dan aksi cuek yang dipertontonkan komunitas blog dengan demikian adalah semacam “aksi boikot”? Hmm, alangkah lucu, aneh, dan absurdnya jika benar itulah hal yang terjadi.
Label:
Ayu Utami,
Bilangan Fu,
Jantung Lebah Ratu,
KLA,
Nirwan Dewanto
14 November 2008
Di Meja Makan
Terima kasih
Kepada setiap butir nasi
Juga cabikan daging
Yang nyelinap antara
Runcing taring
Terima kasih
Kepada butir nasi
Karena layaknya puisi
Kau mengisi penuh mulutku
Memberi daya
Pada adaku yang sejenak
Sedang daging
Itulah kejadian
Tanpa rancangan
Insiden tak tersangka
Menambahkan rasa
Memberi kelengkapan
Pada upacara di meja makan
Seraya mengusik
& menunda, buat sesaat
Rasa kenyangku
Atas kasih sayangMu
Kepada setiap butir nasi
Juga cabikan daging
Yang nyelinap antara
Runcing taring
Terima kasih
Kepada butir nasi
Karena layaknya puisi
Kau mengisi penuh mulutku
Memberi daya
Pada adaku yang sejenak
Sedang daging
Itulah kejadian
Tanpa rancangan
Insiden tak tersangka
Menambahkan rasa
Memberi kelengkapan
Pada upacara di meja makan
Seraya mengusik
& menunda, buat sesaat
Rasa kenyangku
Atas kasih sayangMu
12 November 2008
Halaman Kosong
Jika halaman kosong ini betul semesta
Jika baris-baris tak berarti ini aku adanya
Mengais sunyi antara hampa musim-musimnya
Lantas siapa tangan yang menggerakkannya
Jika baris-baris tak berarti ini aku adanya
Mengais sunyi antara hampa musim-musimnya
Lantas siapa tangan yang menggerakkannya
09 November 2008
Dongeng Amrozi
Kakek buyutmu dulu
Seorang yang soleh, anakku
Taat shalatnya
Mengalir dzikirnya
Tapi ia memang suka berfikir
Tentang bagaimana
Berjuang membasmi
Kaum kafir
Dari muka bumi
Ia tak pernah lelah
Menyusun ikhtiar
Begitulah suatu malam
Malam yang selalu kukenang
Dengan rasa gemilang
Kakek buyutmu
Berhasil juga
Mendirikan pahala
Maha pahala, anakku
Di malam yang gemilang itu
Yang penuh gelimang darah
Kakek buyutmu
Bersama dua karibnya
Telah menyudahi
Hidup tak senonoh
Sekawan jahanam
Mereka tengah kepayang
Dalam pesta jalang
Tentu saja
Para penguasa kafir
Dengan undang-undang kafir
Berpihak pada yang dzalim
Kakek buyutmu
Mereka nistakan
Begitulah, anakku
Malam ini marilah
Kita kenangkan kembali
Malam kala kakek buyutmu
Bersama dua karib solehnya itu
Menyudahi hidupnya
Menyerahkani umurnya
Selaku syuhada
Kepada barisan algojo
Penguasa durhaka
Jadi, anakku
Jelek-jelek begini
Kita ini turunan syuhada
Kaum pilihan suarga
Tapi para penulis kisah
Telah memuntir sejarah
Seraya menyebut kita
Juga kakek buyutmu, nak
Kaum angkara
Orang-orang dursila
Seorang yang soleh, anakku
Taat shalatnya
Mengalir dzikirnya
Tapi ia memang suka berfikir
Tentang bagaimana
Berjuang membasmi
Kaum kafir
Dari muka bumi
Ia tak pernah lelah
Menyusun ikhtiar
Begitulah suatu malam
Malam yang selalu kukenang
Dengan rasa gemilang
Kakek buyutmu
Berhasil juga
Mendirikan pahala
Maha pahala, anakku
Di malam yang gemilang itu
Yang penuh gelimang darah
Kakek buyutmu
Bersama dua karibnya
Telah menyudahi
Hidup tak senonoh
Sekawan jahanam
Mereka tengah kepayang
Dalam pesta jalang
Tentu saja
Para penguasa kafir
Dengan undang-undang kafir
Berpihak pada yang dzalim
Kakek buyutmu
Mereka nistakan
Begitulah, anakku
Malam ini marilah
Kita kenangkan kembali
Malam kala kakek buyutmu
Bersama dua karib solehnya itu
Menyudahi hidupnya
Menyerahkani umurnya
Selaku syuhada
Kepada barisan algojo
Penguasa durhaka
Jadi, anakku
Jelek-jelek begini
Kita ini turunan syuhada
Kaum pilihan suarga
Tapi para penulis kisah
Telah memuntir sejarah
Seraya menyebut kita
Juga kakek buyutmu, nak
Kaum angkara
Orang-orang dursila
07 November 2008
Tema Amrozi
Regu tembaknya
Boleh kamu yang pilih
Senapan tak soal
Kamu yang siapkan
Waktu & tempat
Silakan kamu putuskan
Mayat kaku membujur
Bereskan ikut prosedur
Hanya pelurunya
Biarlah saya jadi pelurunya
Boleh kamu yang pilih
Senapan tak soal
Kamu yang siapkan
Waktu & tempat
Silakan kamu putuskan
Mayat kaku membujur
Bereskan ikut prosedur
Hanya pelurunya
Biarlah saya jadi pelurunya
04 November 2008
Bolak-Balik Menimbang "Orgasmaya"
SAYA menerima kiriman buku kumpulan puisi “Orgasmaya” baru-baru ini saja. Penulisnya, penyair Hasan Aspahani (seterusnya HAH), adalah salah satu penyair yang cukup berhasil membetot perhatian kita beberapa tahun belakangan ini. Ada sejumlah hal yang selama ini memang “mengusik” saya pada sajak-sajaknya, maka ketika “Orgasmaya”, kitab puisi sulungnya, sampai di haribaan, saya tergoda untuk menuliskan semacam komentar kecil atasnya. Tapi saya agak bingung musti memulai dari mana. Pun saya ragu, adakah saya pengulas yang pantas untuk buku itu?
HAH memberi pengantar yang, bagi saya, terasa “menyegarkan” untuk buku puisinya : sebuah obrolan imajiner dengan Pablo Neruda, penyair besar dunia yang sangat dikaguminya. Lalu terpikir untuk memberi judul ulasan saya nanti “Pablo Neruda dari Batam”, tapi saya kuatir nanti dikira malah mengolok-olok HAH. Maklum, spesies ajaib yang disebut penyair itu bukankah tergolong jenis yang sangat sensitif? Kudu ekstra hati-hati untuk mendekatinya. Maka saya pikir pilihan judul itu baiklah saya batalkan.
Lalu saya membaca komentar yang dimuat di kulit belakang buku. Nah, saya pikir apa yang ditulis Joko Pinurbo di sana sudah mewakili sebagian besar hal yang mau saya katakan. Dan seperti Joko, saya pun diam-diam suka “iri” dengan energi intelektual Hasan, yang meluap seperti tiada habisnya itu. Kalau melihat betapa energiknya ia menulis (di blognya) saya suka ingat pada dahsyatnya semburan lumpur di Porong. Kebetulan ia juga ada menulis perihal lumpur. Begitulah sajak-sajaknya itu, macam lumpur. terus saja menyembur, membanjir dan “mendengus” tak henti-hentinya, “seperti ribuan jemaah haus” (Sajak “Kisah Kota Lumpur”).
HAH juga seorang penjelajah yang rajin dan cermat. Mungkin kiprahnya di jurnalisme—yang memaksanya hidup berdempetan dengan banyak ihwal dalam tempo yang bergesa--ikut menempa semangat jelajahnya itu. Maka ia sering kedapatan asyik menyelinap di antara beragam celah peristiwa dan kabar sehari-hari, yang heboh maupun yang remeh kecil-kecilan, berindap-indap memilih sudut pandangnya sendiri (yang biasanya unik), sebelum lantas keluar dari sana dengan segenggam sajak tak terduga. Ia sungguh seorang “pencuri” dan pengecoh yang handal..
Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.
Hal yang paling mengganggu kenikmatan saya ketika membaca sajak-sajaknya adalah menemukan pengaruh Jokpin yang sangat sekali terasa pada sebagian karyanya. Periksalah sajak-sajak berikut ini misalnya : Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong, Dongeng Tukang Jahit Selimut, Dongeng Tukang Foto Keliling, Dongeng Pemimpi dan Peti Mimpinya—sajak-sajak itu adalah contoh karya HAH yang sebetulnya bagus, hanya sayang sajak-sajak (seperti) itu sudah “duluan” ditulis Jokpin. Maka sebagus apa pun ia menggarapnya, nilainya jadi berkurang di mata saya.
HAH mungkin baru mulai sungguh mencuri perhatian ketika beberapa tahun yang lalu melempar seri sajak-sajak “Kamus”nya di Kompas. Sajak-sajak tematis itu memberitahu saya kekuatan HAH yang lain lagi. Ia rupanya sungguh melakoni “kredo” yang ditulisnya bahwa “syair itu cuma permainan iseng-iseng mengasyikkan” (Sajak “Dongeng Penyair dan Kehidupan”). Maka baginya menulis sajak rupanya bisa dimulai (dan berakhir) dari mana saja dan di mana saja, dan dengan cara apa saja. Lewat sajak-sajak tematisnya, saya merasa mendapat “garansi” bahwa ia sungguh bukan penyair as usual saja.
Maka saya membayangkan, “Orgasmaya” akan menjadi sebuah kumpulan puisi yang sungguh kuat, padu, dan khas jika saja HAH bersedia menuang seluruh puisi tematis yang sudah pernah ditulisnya selama ini ke dalamnya, seraya dengan besar hati melepaskan puisi-puisi hasil “magangnya” kepada Jokpin. Tapi HAH rupanya punya hitung-hitungan sendiri tentang hal ini--mana tahu kalkulasinya lebih akurat pula ketimbang saya?
Hmm, jadi seperti inilah kira-kira saya akan mengulas “Orgasmaya”. Soal judul ulasan, nanti saja diputuskan saat saya akan mempostingnya. Toh, untuk banyak alasan, judul sering tak teramat penting juga. Meskipun sebetulnya saya sudah cukup sreg dengan judul “Pablo Neruda dari Batam” itu.
HAH memberi pengantar yang, bagi saya, terasa “menyegarkan” untuk buku puisinya : sebuah obrolan imajiner dengan Pablo Neruda, penyair besar dunia yang sangat dikaguminya. Lalu terpikir untuk memberi judul ulasan saya nanti “Pablo Neruda dari Batam”, tapi saya kuatir nanti dikira malah mengolok-olok HAH. Maklum, spesies ajaib yang disebut penyair itu bukankah tergolong jenis yang sangat sensitif? Kudu ekstra hati-hati untuk mendekatinya. Maka saya pikir pilihan judul itu baiklah saya batalkan.
Lalu saya membaca komentar yang dimuat di kulit belakang buku. Nah, saya pikir apa yang ditulis Joko Pinurbo di sana sudah mewakili sebagian besar hal yang mau saya katakan. Dan seperti Joko, saya pun diam-diam suka “iri” dengan energi intelektual Hasan, yang meluap seperti tiada habisnya itu. Kalau melihat betapa energiknya ia menulis (di blognya) saya suka ingat pada dahsyatnya semburan lumpur di Porong. Kebetulan ia juga ada menulis perihal lumpur. Begitulah sajak-sajaknya itu, macam lumpur. terus saja menyembur, membanjir dan “mendengus” tak henti-hentinya, “seperti ribuan jemaah haus” (Sajak “Kisah Kota Lumpur”).
HAH juga seorang penjelajah yang rajin dan cermat. Mungkin kiprahnya di jurnalisme—yang memaksanya hidup berdempetan dengan banyak ihwal dalam tempo yang bergesa--ikut menempa semangat jelajahnya itu. Maka ia sering kedapatan asyik menyelinap di antara beragam celah peristiwa dan kabar sehari-hari, yang heboh maupun yang remeh kecil-kecilan, berindap-indap memilih sudut pandangnya sendiri (yang biasanya unik), sebelum lantas keluar dari sana dengan segenggam sajak tak terduga. Ia sungguh seorang “pencuri” dan pengecoh yang handal..
Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.
Hal yang paling mengganggu kenikmatan saya ketika membaca sajak-sajaknya adalah menemukan pengaruh Jokpin yang sangat sekali terasa pada sebagian karyanya. Periksalah sajak-sajak berikut ini misalnya : Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong, Dongeng Tukang Jahit Selimut, Dongeng Tukang Foto Keliling, Dongeng Pemimpi dan Peti Mimpinya—sajak-sajak itu adalah contoh karya HAH yang sebetulnya bagus, hanya sayang sajak-sajak (seperti) itu sudah “duluan” ditulis Jokpin. Maka sebagus apa pun ia menggarapnya, nilainya jadi berkurang di mata saya.
HAH mungkin baru mulai sungguh mencuri perhatian ketika beberapa tahun yang lalu melempar seri sajak-sajak “Kamus”nya di Kompas. Sajak-sajak tematis itu memberitahu saya kekuatan HAH yang lain lagi. Ia rupanya sungguh melakoni “kredo” yang ditulisnya bahwa “syair itu cuma permainan iseng-iseng mengasyikkan” (Sajak “Dongeng Penyair dan Kehidupan”). Maka baginya menulis sajak rupanya bisa dimulai (dan berakhir) dari mana saja dan di mana saja, dan dengan cara apa saja. Lewat sajak-sajak tematisnya, saya merasa mendapat “garansi” bahwa ia sungguh bukan penyair as usual saja.
Maka saya membayangkan, “Orgasmaya” akan menjadi sebuah kumpulan puisi yang sungguh kuat, padu, dan khas jika saja HAH bersedia menuang seluruh puisi tematis yang sudah pernah ditulisnya selama ini ke dalamnya, seraya dengan besar hati melepaskan puisi-puisi hasil “magangnya” kepada Jokpin. Tapi HAH rupanya punya hitung-hitungan sendiri tentang hal ini--mana tahu kalkulasinya lebih akurat pula ketimbang saya?
Hmm, jadi seperti inilah kira-kira saya akan mengulas “Orgasmaya”. Soal judul ulasan, nanti saja diputuskan saat saya akan mempostingnya. Toh, untuk banyak alasan, judul sering tak teramat penting juga. Meskipun sebetulnya saya sudah cukup sreg dengan judul “Pablo Neruda dari Batam” itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)