https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

28 February 2007

Nanang Suryadi Menulis

Apa Kabar Apa

:ook nugroho

apa kabar, kata sebuah suara, masih menulis puisi?

aih, mengapa aku menjadi mabuk begini
tak ada siapa di sini

kabar apa, kata sebuah puisi, masih mencari suara

o, mengapa aku perih begini
tak ada puisi

dunia gaduh ramai, tapi sepi
lagi lagi sepi

di dalam sini

26 February 2007

Milis Sastra : Sudah Nyumbang Apa?

APA kontribusi yang sudah diberikan oleh membanjirnya kehadiran blog dan milis-milis sastra di ranah maya bagi perkembangan sastra nasional? Jika itu anda tanyakan pada Ibnu Wahyudi, dosen Sastra Bandingan pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang juga rajin mengamati geliat milis sastra, maka ia akan menjawab “belum ada” (lihat rubrik Ruang Baca edisi Februari 2007 pada Koran Tempo, 25 Februari 2007). Menurutnya, milis-milis itu baru sekadar menjadi ajang kumpul-kumpul dan ngerumpi.

Bukan berarti tidak ada yang bagus lho, hanya, katanya, masih lebih banyak yang kurang bagus daripada yang bagus. Longgarnya selektivitas disebutnya sebagai penyebab “jatuhnya mutu” milis sastra saat ini. Mungkin karena ingin lebih mendahulukan dan menjaga suasana guyub dalam komunitasnya, lantas lahir sikap toleran yang berlebihan dalam menyeleksi karya yang akhirnya malah berujung pada miringnya pamor milis sastra itu sendiri.

Maka kalau milis-milis sastra ingin lebih berperan dan dianggap dalam peta sastra nasional, masalah longgarnya selektivitas itulah yang pertama harus dibenahi, kata Ibnu Wahyudi lagi. Jika tidak, maka nasib milis sastra sudah bisa ditentukan sedari sekarang, yaitu sekadar menjadi tempat para anggotanya bersilahturami belaka.

Omongan Ibnu Wahyudi boleh jadi mewakili suara banyak pihak. Dan mungkin ia benar. Cap yang melekat pada blog sebagai “kantong muntahan” – karena kodratnya yang memang personal – dan anggapan bahwa milis sastra adalah tempat “pelarian” para penulis yang “gagal” mendapat tempat di ranah sastra cetak, hanya bisa diubah oleh para sastrawan internet itu sendiri.

Cara mengubah cap miring itu tentu saja hanya bisa dengan karya. Cara lain rasanya memang tidak ada.

25 February 2007

Puisi dari Penjara

Sitor dalam penjara
masih menulis sajak --
pelajaran dalam berharga,

tubuh bisa diringkus
atas nama undang-undang,
borgol dan bedil,

dari sela jeruji tapi
puisi terus mengucap
yang mulut tak lagi bisa bilang.

Seperti merih
pada lambungNya,
kata bebas ngembara,

nembus pengap bilik penjara,
berkabar kita pada dunia.

A b u

Katanya kita dulu satu
Katanya kau tercipta dari rusukku
Katanya kita ini abu asalnya
Kini lagu, dan sebentar lalu pula

23 February 2007

Umbu Landu Paranggi

UMBU Landu Paranggi adalah sosok yang agak “misterius” dalam pelataran puisi kita. Pamusuk Eneste pernah jauh-jauh menyambanginya ke Bali guna mendapatkan puisi-puisi sang penyair untuk diterbitkan. Menurut cerita, di Bali itu Umbu sudah sepakat akan mengirimkan 100 puisinya kepada Pamusuk Eneste yang lalu pulang duluan ke Jakarta.Tapi tunggu punya tunggu kiriman puisi itu tidak pernah muncul, maka batal jugalah rencana penerbitan buku puisi Umbu.

Tidak jelas mengapa gerangan Umbu seperti bersikap “jual mahal” begitu. Adakah ini sebentuk “perlawanan” dari seorang Umbu terhadap gempuran “pasar”? Sebab lelakon “heroik” seperti ini memang ada. Beberapa tahun yang lalu saya mendengar cerita ada seorang penyair di Surabaya yang lebih suka menyimpan saja puisinya di laci, ketimbang menyiarkannya ke koran-koran, umpamanya. Ia, tak sampai hati kalau puisi-puisinya itu “jatuh” menjadi sekadar “komoditas”.

Kita tak tahu apa alasan sebetulnya Umbu. Yang kita tahu, Umbu telah menempuh cara dan jalannya sendiri untuk menjadi “besar” – jika “kebesaran” menjadi tujuan dan ukuran dalam berkesusastraan. Ia rupanya tak tergiur untuk langsung bertarung di panggung. Adakah ia jerih? Entahlah. Tapi ia memilih bagian belakang panggung itu, dan dari sana memainkan lelakon pilihannya sendiri. Tidak perlu diulang lagi cerita suksesnya di Yogya dulu, cerita mana agaknya ingin diulanginya lagi di Bali.

Umbu agaknya kerasan dengan pilihannya.Dan yang lebih penting, agaknya ia tak keliru memilih tempatnya, di belakang panggung itu.

21 February 2007

Alamat Sajak

Jangan pernah tanya, nak
muasal sebuah sajak --
aku pun tak hendak,
kuulangi, aku pun tak kuasa

berkisah banyak
perihal ini kata-kata
yang meringkusku manis,
memukauku terhenyak begini.

Aku melainkan sekadar
duduk dan menuliskan belaka
yang dibisikkan, kukira
dewa-dewa pada kupingku tuli,

kanan dan kiri ini.
Maka, tak usah tanya, nak
muasal sajak, cukuplah saja
kau yakini sepenuh hati

bahwa kita terhubung,
sebab terlahir dari suatu sumber
yang sama, jauh di hulu waktu.
Lama sebelum kata pertama

ditemukan dalam sajak,
kita bisu dan tak punya nama,
tapi di pusatnya sekali tegak --
bergolak, mungkin meledak.

19 February 2007

Sebuah Kamar

Sebuah kamar
Menpertemukan kita
Lantai dua persis
Di sebelah tangga naik
Ke balkon atas
Aku tak akan lupa

Kukira aku pun percaya
Sorga sungguh ada
Tatkala kau tutup
Rapat pintu dan gorden
Rahasia kamar jadi
Milik berdua

Tak bisa lagi kutampik
Jam dan detik jatuh
Pun ranjang menggelombang
Menyimpan liang
Terjal bebukit rimbun
Jurang curam dan dalam
Di mana lelaki pertama
Dulu pernah jatuh

16 February 2007

Bongkar Puisi

PENYAIR Abdul Hadi WM suatu kali berujar bahwa menulis puisi itu gabungan dari pekerjaan yang sifatnya “teknis” di satu sisi, dan pada sisi satunya pekerjaan “ganjil” itu juga memiliki aspek “idealistik”nya. Keduanya seperti dua sisi pada sekeping mata uang. Tak terpisahkan. Agaknya tidak perlu ada pertengkaran tentang ini.

Di sini saya hanya tertarik memberikan semacam contoh bagaimana urusan “teknis” dalam berpuiisi itu bisa dilakukan. Saya akan mengambil sampel puisi saya sendiri, “Tamu”, yang belum lama ini dipajang di sini. Pada awalnya “Tamu” disajikan dalam bentuk kuatrin sederhana. Belakangan saya merasa kurang sreg, dan iseng mencoba menuliskannya kembali dalam bentuk seperti di bawah ini.


T a m u

Sejumlah kata
Menunggumu di depan pintu
Malam ini

Mereka mengaku
Sudah datang dari jauh

Sengaja mencari alamatmu

Menyebrangi
Pantai dan benua
Luka-luka dan
Kenangan waktu

Mereka temukan
Juga akhirnya addresmu ini

Mereka mengeluh
Sudah letih

Kepingin segera saja ketemu

Melepas kangen
Sebelum lalu istirah
Abadi

Di antara baris-barismu


Setelah dibongkar, saya merasa “Tamu” menjadi agak mendingan dibanding sebelumnya, setidaknya memberi saya “rasa lain” sewaktu membacanya. Entah apakah anda sependapat atau tidak.

Tapi yang mau dikatakan di sini adalah bahwa, aspek “teknis” – dalam konteks ini masalah tipografi -- memang kadang bisa diminta membantu memaksimalkan daya gedor sebuah puisi. Aspek “teknis” bisa saja mengalahkan aspek “idealistis” – atau isi/tema – yang diusung sebuah sajak. Karena, bukankah, masalah penciptaan adalah lebih pada masalah “bagaimana”nya dan bukan pada “apa”nya.

Tentang klausul mendasar ini, adakah kita pun sependapat?

Dalam Angkot, Pagi

Menguping tak sengaja
obrolan penumpang
dalam angkot jam 8 pagi,

seperti membaca
sesobek tak lengkap
sebuah bab –

jika kau setuju
hidup hanyalah sehimpun bab
dalam sejilid kisah.

Hanya lelakon apa
dimainkan dalam angkot jam 8,
mustahil kuraba,

pun dengan sajak
gagal kulacak.

Pada sesobek tak lengkap
yang kubaca tak sengaja
rahasia tinggal tak terungkap,

terbawa sampai pangkalan.

14 February 2007

Pasar Kembang

Lewat pasar kembang
Wajahmu sekilas membayang

Mendadak terpikir
Begitu saja melintas

Bijakkah sebentar singgah
Bertandang ke situ --

Lantas membayar
Setangkai untukmu

Mengulang lagi kisah lama itu

Lelakon merah jambu
Di teras waktu yang dulu

Yang luput kita beri nama

12 February 2007

T a m u

Serombongan kata menunggumu
Di depan pintu, malam ini
Mereka mengaku datang dari jauh
Sengaja mencari alamatmu

Menyebrangi pantai dan benua
Luka-luka dan kenangan waktu
Mereka temukan juga addresmu ini
Ayo, bukakan pintunya

Mereka mengeluh sudah lelah
Sangat kepingin segera ketemu
Melepas kangen sebelum lalu istirah
Abadi di antara baris-barismu

11 February 2007

Rakyat Masih Bisa Ketawa, Katanya

BANJIR besar di Jakarta dan sekitarnya belum sepenuhnya surut – di beberapa lokasi masih ada genangan air sampai 1 meter lebih. Di tengah situasi seperti itulah Ical, panggilan karib Abrizal Bakrie, saudagar kaya raya yang merangkap jabatan menteri, mengeluarkan pernyataan anehnya. Kata sang juragan, pers terlalu membesar-besarkan kejadian banjir ini, padahal menurutnya, rakyat tidak apa-apa. Buktinya? Mereka masih bisa ketawa tuh.

Pernyataan ini tentu saja sangat terasa menusuk hati. Pernyataan bahwa “rakyat tidak apa-apa karena (ternyata) mereka masih bisa tertawa, hemat saya, hanya bisa keluar dari mulut seorang “vampire” – bukan manusia lagi. Adakah Ical memang “vampire”, entahlah. Hanya saya ingat ia pernah menyebut para pengritiknya sebagai orang-orang yang ada upil di otaknya. Tapi lewat statemen ajaibnya itu Ical sudah memberitahu kita bahwa sebetulnya otaknyalah yang dipenuhi upil. Atau lumpur.

Entah apa yang sebetulnya terjadi dengan juragan kita ini. Sebagai orang yang ikut tersudutkan karena masalah lumpur Lapindo – yang jangan-jangan menurutnya juga dibesar-besarkan – mestinya ia bisa bertindak ekstra hati-hati dalam bicara dan bermanuver. Sebelum ini ia malah terlihat repot dengan urusan sosialisasi, maaf, kondom. Lagi-lagi urusan yang tidak jelas urgensinya di tengah situasi carut marut sekarang ini.

Saya juga jadi ingat, dalam sebuah wawancara ia pernah bilang bahwa ia pantas diberi nilai 9 (baca “sembilan”) untuk kinerjanya waktu itu selaku Menko Ekuin. Pernyataan ini tentu saja telah membuat banyak orang terpaksa tertawa. Tapi yang ditertawakan tampaknya tidak merasa apa-apa, mungkin karena kupingnya juga sudah penuh dengan upil.

Ical barangkali sebuah kompilasi sempurna dari kepongahan dan sekaligus kenaifan seorang pedagang yang kelewat lama tinggal di bulan. Karena terlalu lama ngendon di awang-awang wajarlah kalau kemudian omongannya suka nggak nyambung.

09 February 2007

Pengrajin dan Pemburu

JOKPIN mengaku selalu mengantongi buku catatan kecil ke mana saja ia pergi. Buku kecil itu berfungsi sebagai semacam tustel yang digunakannya untuk “memotret” apa saja yang ia lihat atau melintas di benaknya, hal-hal yang siapa tahu bisa menjadi embrio sebuah puisi. Finishing touchnya biasanya dikerjakannya malam hari. Atmosfir malam memang sering dimanfaatkan banyak penyair untuk menulis. Mungkin juga banyak puisi bagus dan “besar” yang sudah ditulis malam hari selama ini?

Ia memiliki sejumlah folder di komputernya yang menyimpan tema-tema yang sudah berhasil dijepret dan dikumpulkannya dalam buku kecil itu. Seperti seorang fotografer dalam bilik fotonya, dengan telaten ia mulai mencoba menggarap tema-tema itu menjadi puisi. Kalau macet di tema yang satu, ia pun dengan santai akan beralih ke tema lainnya, dan begitu seterusnya. Dan kalau misalnya malam itu ia gagal merampungkannya, ia pun akan mencoba di malam berikutnya.

Cara kerja menyair seperti diperagakan Jokpin itu barangkali bolehlah kita sebut sebagai gaya penyair “pengrajin”.

Tapi ada penyair yang tidak begitu telaten berlama-lama mengutak-atik bahan untuk puisinya. Marilah kita sepakat menyebut ia ini tipe penyair “pemburu”. Kalau “ruh” puisi itu tidak kunjung bisa dipanggilnya ia cenderung akan meninggalkan obyek yang sudah mulai mendingin itu, mungkin seraya mencoba melupakannya. Penyair semacam ini lebih menyukai tubuh imaji yang masih hangat, dengan darah kata menetes-netes pada ujung jemarinya.

Jika penyair “pengrajin” selalu punya stok bahan yang bisa dijadikan puisi, maka penyair “pemburu” tidak selalu punya stok. Kadang sampai berbulan-bulan ia “nganggur”, luntang-lantung tanpa tahu apakah masih bisa terus menulis puisi lagi atau tidak. Tapi sekali impuls puitikya bisa dibangunkan biasanya ia akan mengejar “korban”nya sampai mungkin berhari-hari, atau berminggu-minggu, bahkan mungkin saja berbulan-bulan

Selama masa-masa itu ia seperti, dalam kata-kata Sitor Situmorang, hanyut dalam arus ilham. Suasana batin yang mirip trance, yang membuatnya seperti linglung, tapi tanpa kehilangan kesadaran sosialnya samasekali. Pada saat itu ia berada dalam kepekaan puitik yang begitu tinggi, sehingga seperti dalam dongeng raja Midas, apa pun yang disentuhnya saat itu dengan mudah menjelma puisi. Bacalah lebih rinci perihal ini dalam Sitor Situmorang : Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu (Proses Sajak) – dimuat sebagai lampiran pada antologi Bunga Di atas Batu (Gramedia 1989).

Jadi ada dua gaya, gaya “pengrajin”, satunya lagi gaya “pemburu”. Anda, menganut gaya yang mana?

07 February 2007

Di Perpustakaan

Kau pernah berjanji
menawariku sejumlah jawaban,
sejumlah alasan,
untuk sekian kesangsian
yang melahirkanku ke dunia.
Tapi tak kau sebutkan
pada halaman mana,
dalam bab berapa,
akan kutemukan indeks
alamat rahasia itu.
Aku pun terkurung labirin,
belukar huruf-hurufmu
menjebakku masuk,
terus lebih ke dalam lagi
kutemukan tebing,
terjal kalimat-kalimat hujan
yang membentuk lumpur,
paragrap-paragrap kelam
yang menyorongkan senyap
dalam aroma lembab.
Di sini aku pun tegak
menjulang pada jejakku,
memanjang menembus basah
halamanmu gelap samar,
kusam tak bernomor.
Ya, kau pernah berjanji
menawariku sejumlah alasan,
barangkali kiasan
untuk sekian kesialan,
yang kita sebut nasib ini.
Tapi tak kau sebutkan
pada lembar cuaca,
dan bab musim mana
kelak senja beriring pulang
meringkaskan ruang.
Pun pernah pula kau bilang
rindu pun berujung kelu,
hanya menuntunku
pada buntu halamanmu
di pengap rak-rak beku waktu.

05 February 2007

Waktu Kau Lahir

Waktu kau lahir
Aku sudah penyair
Menulis di koran-koran lokal
Sajak-sajak banal

Waktu kau besar
Hidup mapan berkarir
Masih juga aku penyair
Menulis di koran-koran lokal

Hikayat Bah

Ini aku, air
Yang dalam gelas kopimu itu
Yang kau gunakan
Mandi dan cebokan
Saban hari tanpa pikir

Ya, ini aku, air
Kau tak lupa bukan?

Kali ini datang padamu
Dalam rupa bah
Tumpah meruah

Agar kau pahami
Lebih baik hakikatku sejati

Aku, air
Tugasku hanya mengalir
Hanya menghilir

Membawamu ke muara
Ke sebuah akhir sederhana
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...