https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 July 2007

Penggagas, Pencipta, Peraga

PADA mulanya adalah gagasan. Lalu pada saatnya gagasan itu bersalin rupa menjadi ciptaan. Dan untuk menjadi “nyata” atau diakui keberadaannya, ciptaan itu perlu diperagakan, dipublikasikan. Gagasan, ciptaan, peragaan ada dalam sebuah kesatuan. Gagasan tanpa ciptaan hanyalah omong kosong. Dan ciptaan yang hanya disimpan—tidak diperagakan—menjadi tidak utuh.

Mutu sebuah ciptaan sedikit banyak tergantung pada kualitas gagasan, meskipun ini bukan patokan mati. Sebab gagasan yang besar belum tentu berujung pada ciptaan yang besar juga. Buku-buku Sutan Takdir Alisyahbana yang rata-rata setebal bantal itu boleh jadi menyimpan banyak gagasan “besar” di dalamnya, tapi sebagai ciptaan banyak orang menyangsikan keberhasilannya.

Sebaliknya puisi-puisi Sapardi Djoko Damono meskipun banyak memuat gagasan yang “remeh dan sepele”, tapi sebagai ciptaan agaknya kita sepakat menyebutnya berhasil. Jadi, agaknya tak ada hal atau gagasan yang kelewat “kecil” atau “remeh” untuk digarap. Gagasan atau tema hanya bahan baku yang baru nanti ketahuan seberapa nilainya setelah proses penciptaan selesai.

Seorang seniman (dengan “S”) adalah seorang penggagas, pencipta, dan sekaligus peraga yang berhasil dari gagasan dan ciptaannya. Sebuah ciptaan yang berhasil tak membutuhkan pembelaan apa pun. Sebuah karya yang berhasil akan cukup tangguh menghadapi berbagai serangan dari manapun datangnya serangan itu. Satu-satunya ujian yang harus dikalahkannya adalah waktu.

27 July 2007

Menunggu Kata

Menunggu Kata

Kata-kata adalah cahaya
Cahaya cuma datang dari sorga
Itu sebabnya aku betah saja
Duduk di sini berlama-lama

Kau mengerti yang kumaksud?
Aku tengah menantikan cahaya
Tengah kunantikan kata jatuh
Dari sorga membebaskanku


Sepuluh Tahun

Mestinya ini sudah kutulis
Sepuluh tahun yang lalu
Tapi aku tak menemukan
Barangkali sekadar kata pembuka

Sepuluh tahun yang lalu itu
Ini mestinya sudah rampung ditulis
Tapi tak kutemukan agaknya
Alasan untuk memulainya

25 July 2007

Sajak Seminggu

Jiwaku terjepit antara hari Senin dan Sabtu
Akulah hari Minggu, merdeka tapi juga tak merdeka
Karena mimpi yang tak pernah sepenuhnya jadi milikku
Karena Selasa dan Jum’at yang mesti pula kubagi

Hari Rabu merampokku habis-habisan, Kamis menampik
Dan nyaris membunuhku, sedang hari Sabtuku diperkosanya
Tapi aku terus saja hidup, lakonku berlanjut pekan demi pekan
Menyebrangi Senin dan Sabtu, menjemput Minggu tersisa

22 July 2007

Meja Bertutur

Dari hutan mana
Gerangan dulu asalku
Sudah tak bisa kuingat lagi
Yang kutahu di sini aku
Sebuah ruang lumayan suram
Dan seorang lelaki
Sabar membungkuk di atasku
Menuliskan entah apa
Bimbang jari-jemarinya kadang
Tapi begitu takzim dia
Sebentar merenung dipandangnya
Baris-baris pilihan itu
Kata-kata dan rasa
Yang juga tak dipahaminya
Dari belantara khazanah mana
Dulu gerangan bermula
Kini di ini kamar bersahaja
Meja, puisi, dan penyair
Bertemu barangkali menyatu
Dalam ini sajak biasa
25 barisnya kebawah memanjang
Sembarang tak beraturan gayanya
Tak satu pun di antara kami anehnya
Menyadari ini keajaiban
Tak satu pun agaknya

20 July 2007

S k e t s a

/1/

Kurindukan kota
Lampu-lampu sehabis senja
Jalanan yang masih membara
Dan seorang lelaki
Yang barangkali saya
Menyusuri itu kaki lima
Mencari-cari tanda
Barangkali sebuah alamat
Mungkin sekadar isyarat
Musim yang sekarat

/2/

Kurindukan lagi
Gang demi gang suram
Yang sabar mengajariku
Bahasa bayang-bayang
Kamar-kamar redup samar
Yang pernah disinggah
Dalam kembara sangsai
Para kekasih alpa
Yang menawarkan lupa
Sesaat di kelok waktu

/3/

Kurindukan kota
Dan langitnya yang dulu
Jalanan basah sehabis hujan
Dan seorang lelaki
Yang barangkali saya
Kikuk melangkah
Melewati itu bebayang
Yang agaknya betul kamu
Mengusik di antara kenang
Jauh di dasar genang
Jalanan sehabis hujan

19 July 2007

Life without Handphone

SAYA yakin anda yang membaca artikel ini tidak tahu—dan boleh jadi juga sulit percaya--bahwa sampai saat ini saya tak memiliki handphone, bahkan saya belum merasa memerlukannya. Ada orang iseng--yang merasa pinter—pernah ngomong bahwa sekarang ini keluar rumah tanpa bawa handphone itu sama dengan keluar rumah nggak pakai baju dalam.

Agak geli juga mendengar omongan itu—dan rada tersinggung juga sih. Tapi lebih dari itu nyatanya sejauh ini saya baik-baik saja. Jadi apakah ada yang salah sebetulnya kalau hari geneh saya belum punya HP? Saya rasa handphone—seperti juga banyak pernik-pernik kehidupan “modern” lainnya, laptop umpamanya—sering kemudian jatuh menjadi sekedar kelatahan dan kekenesan dari gaya hidup sejumlah orang.

Pastilah ada orang yang perlu handphone, laptop dan sejumlah pernik lainnya lagi, untuk menunjang mobilitas dan kelancaran aktivitas hariannya. Seorang salesman yang mobilitas kerjanya tinggi pasti perlu benda yang disebut handphone itu dan mungkin juga laptop sekalian. Tapi seorang tukang sapu jalan? Seorang ibu penjual sayur keliling? Oh, saya pernah melihat seorang penyapu jalan sedang asyik berhalo-halo dengan handphonenya—dan memang itu bukan hal aneh.

Saya bukan tukang sapu jalan, atau penjaja sayur keliling. Mobilitas saya terhitung rendah, aktivitas harian saya pun cenderung rutin. Sepanjang pagi sampai sore saya pasti ada di kantor. Hanya beberapa jam saja saya berada di jalan, berdesakkan dengan copet dalam bis yang sumpek. Sisa waktu lainnya saya habiskan di rumah, bersama anak-anak dan istri tercinta.

Jadi tidak aneh kalau sampai saat ini saya belum merasa perlu punya handphone. Hanya memang soalnya jadi sedikit absurd, apabila diingat saya tidak punya HP tapi sempat-sempatnya punya blog—dua lagi—dan email—juga dua biji. Ini baru fenomena yang rada tidak biasa, dan barangkali ganjil. Atau ini juga biasa saja?

18 July 2007

Sejudul

Pinjami aku sejudul
Jika tak rela, sebait
Jika tak boleh, sepatah
Jika tak mungkin juga, sehuruf

Tambahkan sehuruf itu
Pada sejudul tak rampung
Sajakku ke puncak membubung
Rekaman sakitku panjang melulung

15 July 2007

Tarji, Chairil : Siapa Lebih Besar?

SIAPA lebih “besar” : Tarji atau Chairil? Anda punya jawabannya? Saya sih tidak, tapi menurut Maman Mahayana, kritikus dan pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Tarji “lebih besar” dari Chairil (Koran Tempo, 10 Juli 2007). Sayang sekali tak banyak penjelasan untuk penilaian yang “berani” itu. Hanya sang kritikus ada berkata bahwa “ini wacana, jadi terserah boleh setuju atau tidak”.

Bagi saya sendiri pertanyaan di atas sulit dicarikan jawabannya. Lagi pula apa ukuran yang mau dipakaikan untuk penilaian itu? Tarji dan chairil adalah sesama “pendobrak” dalam khazanah puisi kita. Chairil berjasa besar karena menyadarkan kita bahwa bahasa Indonesia ternyata bisa menghasilkan bentuk ekspresi sastra yang sebelumnya tak pernah sanggup dibayangkan.

Seperti Chairil, Tarji pun muncul pada saat yang tepat. Ia datang ke panggung puisi kita tatkala atmosfir puisi kita “dikuasai” oleh trio Goenawan-Sapardi-Abdul Hadi. Seperti Chairil, Tarji pun berjasa besar karena sudah mengingatkan kita bahwa di luar pola puisi yang ditawarkan tiga nama besar itu, masih ada celah dan peluang penciptaan yang lain. Kreativitas selalu menemukan jalannya sendiri.

Seperti kritikus Dami N Toda (alm), Maman Mahayana mengibaratkan Chairil dan Tarji sebagai “mata kiri” dan “mata kanan” dalam khazanah sastra kita. Jadi, kalau mereka adalah “mata kiri” dan “mata kanan” mengapa harus ada pertanyaan “siapa lebih besar” di antara keduanya? Bisakah salah satu mata dianggap “lebih penting” dari mata yang satunya? Sungguh pertanyaan yang “kurang kerjaan”. Maunya polemis, tapi kelewat kempis mutu soalnya.

11 July 2007

Tubuh Diamlah

Tubuh diamlah
Aku tengah menulismu
Memanjang sampai ke senja
Menembus rintang cuaca

Aku tengah melukismu :
Bebukit pada luas dadamu
Tempat Hallaj dulu ngembara
Menemu puncakNya

Menurun ke bawah :
Ngarai terjal betapa rimbun
Ke dalam agak sembunyi
Adalah liang guhamu –

Senyap sebagai sediakala
Diamlah dulu tubuh
Sebentar kurampungkan ini nyeri
Pada samar liang lukamu itu

08 July 2007

Bukan "Tema" Masalahnya

APA pun tema yang mendominasi tulisan anda—tema sosial, tema personal, reliji—yakinlah bukan di situ ukuran sukses anda selaku penulis. Lihatlah Sapardi Djoko Damono, penyair sohor papan atas kita. Selama berpuluh tahun beliau malang-melintang di dunia puisi dengan sajak-sajaknya yang mengangkat tema-tema yang amat “sepele” dan keseharian. Sapardi ternyata bisa menjaga kesehatan kreatifnya cukup dengan menghirup aroma di seputar “pekarangan” rumahnya.

Lantas ada Joko Pinurbo. Ia sukses menjadi salah satu ikon puisi kita karena “celana”, sebuah substansi “remeh” yang juga sangat sekali sehari-sehari dan tak masuk hitungan tadinya Tapi di tangan penyair ini, substansi yang “tidak puitis” ini telah diubahnya menjadi puisi-puisi kelas satu yang sebelumnya tidak pernah bisa kita bayangkan. Joko telah berhasil mengangkat “celana” menjadi substansi yang tidak lagi sekedar “celana”.

Syarat menjadi penyair sukses juga bukan tersedianya stok pengalaman nan dahsyat. Sapardi Djoko Damono mengaku suka iri kalau membaca pengalaman sastrawan lain yang serba hebat. Untunglah, sekali lagi, mempunyai pengalaman aneh atau dahsyat bukan menjadi syarat. Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo sukses karena mereka tahu “bagaimana” menyulap yang “sepele” itu menjadi “tidak sepele” lagi.

Memang, urusan kesusasteraan lebih pada masalah “bagaimana” kita menuliskannya ketimbang “apa” yang kita tuliskan. Tugas kita yang pertama adalah menemukan dulu “apa” yang menjadi tema hidup kita, atau “apa” yang paling jadi obsesi kita. Tidak usah risau—atau malu--kalau kita misalnya tidak tertarik pada tema sosial dan “besar” lainnya, tapi sebaliknya begitu kesengsem dengan hal-hal “remeh” di seputar kita. Tulislah saja “apa” yang paling ingin kita tulis. Jangan mulai menulis dengan membohongi diri sendiri.

06 July 2007

H o t e l

Katanya padamu :

“Kau ini macam sayuran
yang dimasak kemarin,
tapi masih lumayan
asal sempat dipanaskan
sebentar saja.”

Lalu ia membikin api.

Kemudian kau biarkan
kau dipanaskan.

Tidak sebentar,
sebab sayurnya meluap
membanjiri lembab sprei

ranjang kumal
di hotel kelas dua itu.

04 July 2007

Membaca Ruang

Ada ruang
Dalam kata
Ada kata
Dalam ruang

Ada aku
Pada kata
Dalam ruang itu

Ada aku
Dalam ruang
Pada itu kata

Mungkin
Tak terbaca
Terhalang cuaca

Mungkin
Sebab
Kau tak percaya

Ada aku
Tersekap
Dalam kata

01 July 2007

Orang Ketiga

SEORANG penulis mungkin saja terkecoh oleh tulisannya sendiri. Keterkecohan itu bisa datang dalam dua model. Seorang penulis bisa saja mengira ia baru sukses melahirkan sebuah karya besar, padahal itu hanya karya biasa. Atau sebaliknya, bisa jadi ia kecewa berat dengan karya yang baru ditulisnya, menganggapnya sebagai karya gagal, padahal ia baru saja melahirkan sebuah karya bagus, bahkan mungkin sebuah masterpiece.

Kadang dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyadari kekeliruan itu. Suatu ketika pernah saya mengirim sejumlah puisi ke sebuah jurnal sastra ternama. Kiriman itu dikembalikan dengan disertai alasan penolakan dari redaksinya. Tak puas dengan penolakan itu, naskah itu saya kirim balik disertai permintaan supaya redaksi memberikan alasan yang “lebih jelas” tentang alasan penolakannya. Baru bertahun-tahun kemudian saya ngeh sendiri betapa buruknya puisi-puisi yang saya kirimkan dulu itu.

Athol Fugard pernah menelantarkan naskah Tsotsi selama 20 tahun, karena menganggap itu sebuah karya yang gagal, dan tak layak terbit. Ia malah pernah mencoba memusnahkan naskah novel itu. Untunglah masih ada draft yang bisa diselamatkan, dan kemudian seorang Stephen Gray—dengan ijin ketat Athol Fugard sendiri—menyunting naskah itu, lalu menerbitkannya. Dan kisah selanjutnya adalah sejarah.

Seorang penulis ternyata juga memerlukan kehadiran “orang ketiga”—selain pembaca imajiner selaku “orang kedua” yang sudah dibayangkannya sewaktu ia menulis--yang bisa membantunya melihat dengan lebih jernih. Posisi “orang ketiga” itu itu bisa saja ditempati oleh seorang kritikus. HB Jassin pernah memainkan peran “orang ketiga” ini dalam sejarah sastra kita. Entah berapa persisnya jumlah sastrawan yang sempat dibaptisnya, dan entah berapa pula calon sastrawan yang sudah dibantainya.

Selain teman-teman karib yang bisa diandalkan dan dipercaya, sekarang ini peran “orang ketiga” itu kerap dimainkan oleh para redaktur sastra di koran-koran. Tidak semua redaktur koran bisa memainkan peran ini dengan baik. Banyak juga yang malah bikin bingung--tapi bukan tidak ada redaktur sastra koran yang bisa diandalkan. Saya ingin katakan bahwa redaktur seperti itu memang ada. Carilah dan temukan mereka, dan kesanalah sebaiknya kita kirimkan karya-karya kita. Tidak terutama untuk menguber pengakuan—atau honorarium—melainkan sebagai kesempatan mengetes seberapa jernih kita sudah menilai dengan benar tulisan-tulisan kita sendiri.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...