https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

31 March 2008

Tiga Kuatrin

Kalbu

Pada labirin hurufnya kerap aku ragu
Apakah sebetulnya ini gelisah kuburu
Jika rindu tumbuh bersumber pada kalbu
Mengapa masih aku mencari selain kamu


Sepatu

Batu-batu sepanjang jalan
Tajam melukai seluas badan
Jarak waktu sungguh sempurna berdaya
Pelan mengoyak mengantarku moksa


G e r i m i s

Gerimis bersua sunyi di persimpangan
Mereka anehnya sepakat untuk tak bersapaan
Barangkali paham, kata-kata & bahasa hanyalah beban
Pada perjumpaan dua hati janganlah terusik kehadiran

28 March 2008

Musim Kawin Puisi

BISAKAH puisi dipanggil? Bisa. Saya sering mencoba melakukannya. Bagaimana caranya? Memang tak selalu mudah, dan tak selalu berhasil.Tapi cobalah bereksperimen—ini bukan tipuan aneh, dan rasanya juga bukan temuan baru. Pilihlah sebuah atau beberapa buah buku puisi—sebaiknya sebuah saja, yang sungguh anda yakini bisa membikin anda “kepayang” saat itu. Sesudah itu carilah tempat dan suasana yang sip buat mengencaninya.

Lakukanlah pendekatan yang baik. Jangan langsung nyosor. Yang elegan, yang sopan. Jelajahilah halaman demi halamannya, dengan sepenuh gairah. Ikuti saja apa maunya. Jangan memaksanya mengatakan yang lain. Dengarlah segala keluh-kesahnya. Pelajari bagaimana ia berkisah, mendesah, merespons rabaan anda pada sekujur barisnya. Amati cara-caranya berkelok, melenggang sebelum berpindah baris dan melompati bait, dan seterusnya, dan begitu selanjutnya.

Lakukanlah itu sampai anda betul-betul merasa “hanyut” dan terserap ke dalam semesta yang dihadirkannya—sampai anda bisa menemukan “roh” puisi-puisi itu. Sesudah itu selesai, selanjutnya adalah saat penantian. Mula-mula sayup, samar, kemudian akan semakin terang benderang, kata demi kata akan mendatangi anda, lalu menyusunkan untuk anda puisi-puisi baru, yang tak pernah anda bayangkan sebelumnya. Anda akan menjadi sangat sensitif pada periode ini, dan puisi jadi begitu “mudah” ditulis.

Kasarnya anda tinggal menadahkan kertas, guna menampung curahan kata-kata itu. Tapi di sinilah justru ujiannya : seberapa siapkah anda menggarap “ilham” yang sudah susah payah mendatangi anda itu. Berapa lama “orgasme puitik” ini akan berlangsung juga sangat relatif. Bisa singkat saja, dan hanya melahirkan satu dua sajak, tapi bisa juga berlangsung lumayan lama. Mungkin saja selama berbulan-bulan seorang penyair berada dalam kondisi “hanyut” seperti itu. Berahi puitik ini lantas mengendor, ditandai dengan menurunnya intensitas dan kualitas sajak-sajak yang dilahirkan, sebelum akhirnya padam.

Sesudah lewat “musim kawin” itu seorang penyair akan “kembali“ ke dunia nyata sehari-harinya, menjadi anomim, “bodoh dan menyerah”, persis serupa orang-orang lain di sekitarnya. Sampai tiba “musim kawin” berikutnya.

26 March 2008

Ada Peperangan Sunyi

Ada pertarungan sengit
Yang tak bisa kau saksikan
Berlangsung bengis di antara
Baris-baris sederhana ini

Ada perkelahian kejam
Yang berlangsung diam-diam
Tanpa pernah kau pahami
Di antara baris-baris ini

Ada peperangan sunyi
Yang musti kumenangkan
Sebelum akhirnya kau temukan
Aku di antara baris-baris ini

24 March 2008

Vagina

Di sini masih ada
Sisa-sisa sunyi
Yang belum jatuh
Ke dalam kata

Murni masih
Belum tergoda
Lezat bebuah racun
Pohon bahasa

19 March 2008

Enam Sajak Alit Untukmu

Anakku Tidur

Tidur anakku memeluk malam
Memanjat mimpinya sampai bebintang
Biarlah begitu tak usah ia paham
Bapaknya sayu menatap berlinang


Berbagi Sepi

Kini tinggal kupunya sepi
Duduklah kalian mengitari luka
Sementara kumatangkan perihnya
Kita berbagi seorang sepuisi


Berdiri Depan Genangan

Cobalah lebih membungkuk
Lebih mendekat pada bumi
Mungkin bisa terdekap nyeri
Bayang-bayang awan yang remuk


Dalam Menjulur

Tubuhku telanjang bebas kau jamah
Ruhku seluruh tapi luput kau sentuh
Kecuali utuh rindumu sepenuh
Dalam menjulur menarikku rebah


Amsal Asal

Kita terlahir karena kelamin
Kita bahagia mungkin sebab kelamin
Kita sengsara bisa gara-gara kelamin
Sungguh celaka tapi hidup tanpa kelamin


S a j a k

Kata pertama kukira adalah langit
Kata penghabisan mestinya itulah bumi
Baris-baris hampa penuh keluh sakit
Mengisi lengang antara langit dan bumi

17 March 2008

S e n i n

Senin telah menantimu
Di kelokan yang sibuk itu
Di antara beringas raung klakson
Sejuta mobil

Dan traffic light
Yang tak berhenti cemas
Hidup pun jadi warna-warni
Sederhana : merah, hijau, kuning

Yang terus berganti-ganti
Tanpa pernah kau paham
Kapan sebetulnya saat terbaik
Musti berhenti dan bertolak lagi

Dari kelokan yang riuh
Yang menunggumu tak sabar
Di antara berisik sejuta sistem
Pada sebuah Senin

14 March 2008

Belakang Panggung Puisi Indonesia

BUKU 100 Puisi Terbaik Indonesia 2008 pastilah tidak sempurna. Isinya niscaya tidak bakal memuaskan semua pembacanya—saya misalnya termasuk yang tidak puas. Tapi marilah kita lupakan kenyataan itu, marilah kita sebentar berandai-andai bahwa buku itu cukup memberi gambaran “utuh” mengenai kondisi kehidupan puisi kita. Dan dengan bertolak dari pengandaian optimistik itu kita akan coba mengotak-atik data para penyair yang “beruntung” puisinya terpilih, untuk mendapatkan informasi belakang panggung dari dunia puisi kita hari ini.

Penyair Pria Lebih Dominan

Ternyata jumlah penyair laki-laki mendominasi buku. Jumlahnya mencapai 79%. Sebanyak 21% penyair wanita sisanya menariknya hanya berasal dari tiga daerah, yaitu Bali 6 orang, Lampung 4 orang, dan satu dari Subang.

Mengapa terjadi kesenjangan jumlah begitu jauh tentulah menarik dikaji lebih lanjut. Bukankah tempo hari pernah ada tokoh penting sastra kita yang bersabda bahwa masa depan sastra kita ada di tangan wanita—mengapa kenyataanya begini beda?

Stok Lama dan Calon Bintang

Penyair sepuh Sapardi Djoko Damono (68) masih ada di panggung puisi kita. Ia ditemani konco lawasnya Goenawan Mohamad, dan Frans Najira. Sedangkan penyair termuda dalam buku ini adalah Merisa Hartiningsih (19), dari Bali.

Jumlah penyair usia di bawah 40—yang sering dijuluki “penyair muda”--ternyata lebih banyak ketimbang mereka yang di atas usia 40. Perbandingannya adalah 60 : 40. Dari kelompok “penyair muda” ini kita dapati sejumlah nama yang sepertinya menjanjikan di masa depan : Aan Mansyur, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Sunlie Thomas Alexander, Marhalim Zaini, Mashuri, Arif B Prasetyo, Hasan Aspahani, Zen Hae.

Sedangkan pada kelompok penyair di atas usia 40 tapi di bawah 60—penyair “setengah tua?”--dijumpai sejumlah nama penyair seleb : Afrizal Malna, Jokpin, Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, Acep Zamzam Noor, Gus tf. Lalu ada sejumlah “stok lama” yang sepertinya baru beberapa tahun belakangan ini mendapat sorotan ekstra : Mardi Luhing, Sindu Putra, Wendoko, umpamanya.

Daerah Mengurung Jakarta

Selain Jakarta, ada beberapa kota dan daerah lain yang menyumbang penyair dalam jumlah cukup signifikan : Lampung dan Bali. Lampung mungkin menarik diamati sebagai bahan kaji lebih jauh karena di sini berhuni beberapa nama “penting”.

Kota-kota “kecil” lain ternyata juga memberi sumbangan berarti. Di Payakumbuh telaten berjaga Gus tf, Mataram dikawal Sindu Putra, Hasan Aspahani bikin pos di Batam, Aan Mansyur meronda di Makasar, sementara di pesisir Gresik, Mardi Luhung tinggal khusu mengolah majas. Globalisasi memang menerjang ke mana-mana.

Datang dari Kelas Menengah

Boleh dikata hampir seluruh penyair dalam buku ini berlatar-belakangkan pendidikan perguruan tinggi—atau minimal pernah kuliah—malah ada yang doktor dan profesor. Secara gamblang ini membuktikan bahwa para penyair kita adalah kelompok elit terdidik, sebuah “kasta” priyayi pilihan, yang pintar dan tidak bodoh.

Boleh jadi secara ekonomis pun mereka hidup mapan, atau minimal berkecukupan. Cerita penyair kere yang terpaksa berhutang di warung (atau melego celana) guna menyambung hidup mungkin tinggal dongeng, atau memang hanya dongeng yang sengaja dikarang-karang.

Fakta ini sekaligus menerangkan mengapa tema sosial tidak pernah “laku” dalam khazanah puisi kita. Karena kemiskinan ternyata memang “jauh” dari kehidupan penyair kita..

Beberapa Catatan Lain

Agak mencengangkan bahwa sebanyak 64% penyair—dari berbagai rentang usia-- ternyata memilih berkhidmat pada komunitas-komunitas sastra/seni. Pada mereka yang masih muda, mungkin itu semacam pilihan temporal. Tapi bagi nama-nama mapan seperti Acep Zamzam Noor, itu barangkali bukti nyata betapa berahi mereka sungguh total pada kesenian.

Profesi lain yang dijalani penyair kita adalah dosen, wartawan, pegawai, dan ada juga yang “nyambi” jadi pastor (Leo Kleden).

Cukup banyak penyair yang selain menulis puisi juga menggarap cerpen dan ternyata sukses (Gus tf), menulis esai, aktif di teater, melukis (Frans Najira), bahkan ada yang juga terjun ke dunia tarik suara & rekaman (Saras Dewi).

Sebanyak 62% beruntung sudah memiliki buku puisi tunggal. Sejumlah penyair juga pernah mendapatkan penghargaan (award) dari yang kelasnya lokal/daerah sampai nasional bahkan internasional.

Terakhir, 4 penyair dalam antologi ini (Aan Mansyur, Hasan Aspahani, Jokpin, Ook Nugroho) adalah juga “sastrawan blog”. Mereka punya kebiasaan memajang puisi mereka di blog masing-masing sebelum kemudian diuji-cobakan ke koran. Fakta bahwa puisi mereka sanggup menembus barikade sastra koran, dan beberapa kemudian terpilih dalam antologi ini, otomatis menggugurkan anggapan miring bahwa sastra blog hanyalah sastra hura-hura atau “sastra silaturahmi” belaka.

Begitulah, antologi ini dengan segala kekurangannya, ternyata memberikan sekelumit gambaran belakang panggung dari kehidupan puisi kita hari ini. Mana tahu sekelumit gambaran itu ternyata memang merupakan bayangan dari kenyataan seutuhnya..

12 March 2008

I s t r i

Istri
Ini kutransfer puisi
Kudebit langsung dari
Loket batinku

Semogalah cukup
Menambal rombeng cintaku

Penambah bekal
Tabahmu kala bertandang
Pada tetangga

Kiranya sebanding juga
Beban mimpi dan turunannya

Jika masih selisih
Atau ada yang tersisih

Kutransfer lagi
Puisi langsung dari
Tabungan sanubariku

Agar genap
Agar lengkap

Lakon kita yang gagap

11 March 2008

Tafsir Situmorang

Hai anakku
Jadilah bajingan

Di waktu senggang
Bacalah olehmu kisah-kisah
Petualang

Arok
Amangkurat
Soeharto

Jika datang
Bertamu padamu
Alim ulama
Usir

Bahagia hanya didapat
Pada hidup di medan bengis

Antara culas tipu daya
Dan rubuh musuh di hadapan

09 March 2008

Tafsir Celana

: Pinurbo

Celana kerjaku sobek
Tergores tajam paku sialan
Sewaktu seru berebut
Naik bus di Jakarta*)

Pergi aku ke tukang jahit
Supaya terkatup koyaknya
Tak menganga perih lukanya
Yang di dalam mengaduh

Di jalan tapi entah kenapa
Teringat aku kawan penyair
Pada celana begitu tersihir
Aku pun jadi berpikir-pikir

Bisakah masih ia menyair
Jika celana pudar meluntur
Oleh umur hilang tercuri
Dengan apa dibujuk puisi

*) Judul sebuah sajak Joko Pinurbo

06 March 2008

Kubawa Kau

Kubawa kau
Dalam sajakku
Kukemas bersama
Berkas musim
Dan cuaca

Aku tak percaya
Pada waktu
Jarak pastilah
Bakal mencurimu
Saat kujauh darimu

Jika kubiarkan
Kau sendiri
Aku tahu
Rumah tak bisa
Mengurungmu betah

Maka kubawa kau
Kulipat bersama
Cemas musim
Dan igau cuaca
Dalam larikku

05 March 2008

Menunggu Eksperimen Pena Kencana

HARI ini, 5 Maret 2008, buku “100 Puisi Terbaik Indonesia 2008” (kerjasama Pena Kencana dan Gramedia Pustaka Utama) resmi diluncurkan. Seperti sudah sama diketahui ini adalah bagian dari hajatan akbar Pena Kencana yang rencananya akan ditradisikan setiap tahun. Dan seperti biasa, kalau penyair bikin hajatan pastilah ada ribut-ributnya—kalau nggak ribut bukan penyair namanya.

Ribut pertama menyoal komposisi juri yang dianggap keliru. Sebetulnya komposisi juri yang ada sudah boleh dibilang “solid”. Masalahnya kemudian ternyata ada puisi milik beberapa nama yang terlibat sebagai juri itu ikut terpilih juga. Ini kemudian memunculkan sikap skeptis pada obyektivitas kerja juri.

Mustinya panitia sudah bisa mengantisipasi masalah ini jauh-jauh hari, dengan memilih komposisi juri yang betul-betul netral. Artinya mereka yang selama setahun terakhir ini memang tidak pernah menyiarkan puisinya di koran yang dijadikan sumber penjurian. Masih banyak nama hebat lain yang sebetulnya bisa dipilih. Entah mengapa pilihan ini tidak dilakukan. .

Ribut kedua menyoal sistem penjurian oleh pembaca lewat SMS guna memilih “puisi terbaik nomor satu”. Banyak yang mengkawatirkan cara ini akan memunculkan hasil yang lucu, konyol, dan rancu. Saya bergurau dengan seorang kawan tentang hal ini. Kata saya, kalau saja saya punya duit banyak, akan saya borong bukunya, saya bagi-bagikan gratis kepada para sahabat, famili dan handai tolan, lalu saya suruh mereka yang sudah terima buku itu kirim suara untuk puisi saya. Dijamin, puisi sayalah nanti yang bakal keluar sebagai “si nomor satu”.

Kecelakaan sedahsyat itu mungkin tidak bakal terjadi, karena rasanya mental penyair kita belum sebobrok itu. Tapi bagaimanapun cara poling lewat SMS ini mengandung banyak celah yang ujung-ujungnya bisa bermuara pada kekonyolan juga. Faisal Kamandobat yang akhirnya menarik puisinya dari penjurian menyebut “belum mapannya khazanah literer kita” sebagai lubang jebakan yang bisa menjerumuskan.

Lepas dari semua kekhawatiran itu—yang siapa tahu ternyata kelewat dilebih-lebihkan—upaya ini pantas diapresiasi sebagai sebentuk eksperimen yang berani. Dan setiap eksperimen tentu saja dibayangi resiko gagal. Tapi kalau tidak pernah dicoba mana kita pernah tahu bagaimana hasilnya, bukan? Karena itu mungkin sebaiknya kita stop dulu polemik, dan menunggu hasilnya.

03 March 2008

S o r e

Sore telah jadi redup
Di luar tahu kita. Ada mendung
Menggantung pada sisa barisnya
Ada angin dan murung
Berkabar lewat pohon-pohon
Dan cericit burung gereja
Pada atap yang jauh seakan sepakat
Tentang akhir yang mendekat
Yang luput tercatat dalam sajak ini
Hari telah jadi surut. Sebuah bab
Diam-diam bersiap menutup kisahnya
Di luar tahu kita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...