https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 December 2006

Senja Akhir Tahun

Apakah yang membedakan senja ini
Dengan ribuan senja lain
Yang akan datang menjelang
Dan yang lama sudah tenggelam
Dalam kenangan kita merimbun?

Bukankah sepi yang dulu juga
Berdiri di sudut jalan ini tiap kali?
Hanya kadang pandang kita terganggu
Deru mesin kota yang gila
Pun gedung-gedung itu agaknya
Sudah terlalu lama mengubur kita
Jadi kita pun agak melupakannya

Nanti kalau kita sudah tak ada
Masih ada sunyi berjaga setia
Di pojok jalan ini seperti sekarang
Lalu seorang yang seperti kita juga
Terbata-bata datang merenunginya lagi

K e l a k

Jika kelak
Aku tak ada lagi
Setidaknya telah kutulis
Baris-baris ini

Jika kelak
Kenangan pun aus
Setidaknya telah
Kurampungkan sajak ini

28 December 2006

Kutukan Babel

MUSIBAH gempa bumi 7,2 skala Richter di Taiwan belum lama ini yang kemudian berbuntut pada melorot dan kacaunya koneksi internet di negara-negara kawasan Asia, tiba-tiba saja mengingatkan saya pada kisah Menara Babel dalam Perjanjian Lama.

Dalam kisah kuno itu diceritakan bagaimana Tuhan menunjukkan kemurkaanNya atas sikap takabur manusia yang berambisi menyaingiNya dengan membangun sebuah menara yang diniatkan mencapai langit. Dikisahkan bagaimana kemudian Tuhan menghancurkan kesombongan itu dengan cara mengacaukan bahasa manusia ketika itu, dan kemudian mencerai-beraikan mereka ke pelosok-pelosok bumi.

Saya bertanya-tanya, apakah setting zaman kita sekarang tidak atau sudah mirip dengan situasi ketika itu? Bukankah kita juga saat ini dikuasai oleh semacam ambisi dan kesombongan untuk diam-diam “menyaingi” Dia di atas sana? Diam-diam kita begitu bangga dengan segala temuan dan pencapaian teknologi kita, bukan? Seperti di zaman Babel kita berambisi menciptakan sebuah bahasa yang “tunggal”, yang dapat menyatukan seluruh jagat. Teknologi misalnya, barangkali kita percaya sebagai bahasa “tunggal” yang bakal menyatukan jagat ini Teknologi barangkali adalah “menara” yang sedang kita bangun untuk memcapai langit, untuk merendengi Dia.

Tidak ada masalah dengan kemajuan teknologi itu sendiri, tentu saja – kita tidak harus kembali ke zaman batu, bukan? Tapi kesombongan yang diam-diam kita pelihara itulah yang harus diluruskan. Gempa di Taiwan itu mudah-mudahan bisa mengingatkan betapa sebetulnya manusia itu – yang bermula dari setetes mani, kemana-mana membawa tahi, dan ujung-ujungnya jadi bangkai, begitulah saya ingat Aa Gym pernah ngomong -- kagak ada apa-apanya.

Ya, bukankah kita ini hanya sebuah noktah sunyi tak bernama pada atlas semesta raya. Apa alasan dan hak kita untuk merasa diri hebat?

26 December 2006

Desember

Kau mengingatkan
pada batas yang sebentar
harus kulewati. Cemas
karena setiap hal

yang mesti pergi
dan mungkin tak ada lagi
nanti. Pada kisah ysng musti
tamat, meski kita menolak

membilang selesai
pada lembar akhir almanak.
Selebihnya aku suka
jalananmu yang basah

itu. Dan gerimis seharian
yang melukis sempurna
kesedihan, tanpa aku harus
repot membubuhkan

sepotong nama, atau tanda
padanya, Ada saatnya
kita cuma perlu diam memandang
langit dan musim

membeku di jendela. Kota
jadi putih, orang dan peristiwa
sama memutih, sama tenggelam.
Hanyut ke muaramu kelam.

24 December 2006

Natal Itu Hadiah

NATAL adalah sebuah Hadiah (dengan “H”), begitulah seharusnya. Tapi hari-hari ini, pemahaman Natal seperti itu mungkin sudah tak relevan lagi, tak laku lagi. Natal, seperti juga banyak hal lain di sekitar kita, kini adalah juga komoditas, adalah kalkulasi cost dan benefit yang rinci, njelimet, dan rewel. Tuhan telah dikemas dalam paket-paket massal dan seragam untuk dijajakan di ruang-ruang benderang dan wangi, yang dipenuhi orang lalu-lalang yang hidupnya tampaknya juga serba lapang dan gampang.

Gereja pun akan mendadak penuh – meskipun ada ancaman teror bom – oleh umat yang kembali bakal disuguhi kisah kuno “kelahiran di kandang” dan segala kisah ikutannya. Kadang-kadang saya bertanya apakah yang ada di benak para pastor dan pendeta yang entah untuk keberapa kalinya harus mengantarkan lagi kisah itu setiap tahun. Tak ada masalah dengan kisah itu sendiri. Kisah-kisah itu bukan hanya indah, pun sarat muatan sakramental.

Masalahnya adalah bagaimana agar yang “indah” itu, yang sakramental itu, tidak lalu tinggal menjadi onggokan klise yang tak menarik hati lagi. Multatuli konon pernah berkata,“Membuat kebenaran menjadi terasa membosankan adalah sebuah kejahatan”. Saya tak tahu apakah kesadaran semacam itu ada di benak para pastor dan pendeta yang kebagian tugas mengantarkan warta baik itu. Saya juga tak tahu apakah saya sudah menuntut kelewat banyak.

Tiba-tiba saya ingat masa kecil dulu, ketika Natal sungguh-sungguh adalah Hadiah -- dengan “H”. Sebagai siswa “sekolah Minggu” saya selalu menantikan Natal dengan penuh harap. Bukan karena kebajikan atau keindahan teologal yang ditawarkannya tentu saja, tapi karena sejumlah hadiah yang memang bakal saya terima dari para guru “sekolah Minggu” saya. Hadiahnya, sejauh yang bisa saya ingat, tidak pernah heboh. Paling-paling seperangkat alat tulis sekolah, atau beberapa buku cerita bergambar berisi cuplikan kisah dari Alkitab. Tapi hadiah-hadiah itu betul-betul mengesan kuat. Barangkali karena Tuhan saat itu, tanpa setahu saya, sudah sungguh-sungguh hadir – sebagai Hadiah -- dengan cara yang sangat spesial dan pribadi.

Pada titik ini saya teringat sebuah ayat Injil, kata-kata Yesus sendiri, “… barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Markus 10:15). Di sinilah agaknya ayat itu menemukan konteks riilnya. Jadi, hanya kalau kita bisa menjadi “bocah” kembali, barulah kita akan bisa berkesempatan mengalami Natal sungguh-sungguh sebagai Hadiah – dengan “H” itu. Selamat Natal!
.

22 December 2006

Hujan Di Halaman 2

Hujan menumpahkan tangisnya
di halaman. Senja yang sudah tua
dan kenyang melihat banyak hal
cuma memandanginya kalem tanpa
mengucap apa-apa. Merasa tak
diperhatikan, tangis hujan semakin
menjadi-jadi, membuat genangan
dan kenangan di sudut-sudut waktu.
Untunglah malam segera tiba, menyeka
lembut sembab mata hujan dengan
bayang-bayang yang senantiasa
dibawanya dalam kembaranya
yang abadi. Di balik kemilau lampu-
lampu, kini wajah hujan berubah jadi
indah. Ada nuansa magis memantul
miris di antara tetes-tetesnya yang
masih terus mengalir membanjiri
sepi halaman sajak-sajakku.

19 December 2006

Dari Seorang Kawan

(Terima kasih untuk Hendragunawan ST, yang komentarnya di blog ini menjadi pemantik lahirnya catatan ini).

GOENAWAN Mohamad konon merasa banyak dipengaruhi Chairil Anwar, sementara Chairil Anwar sendiri merasa banyak belajar dari penyair Belanda, Marsman, dan Marsman pastilah “mencuri” ilmu menyair dari penyair entah siapa lagi, dan begitu seterusnya. Contoh lain, Rendra pada masa awalnya “menjiplak” Lorca, meskipun ia membantahnya, sementara Shakespeare mengaku terinspirasi Goethe. Daftar ini masih bsa ditambah lagi, tapi yang mau dikatakan di sini adalah, jika begitu masih adakah sebetulnya yang disebut “asli” di kolong langit ini? Jawabannya jelas : tidak ada.

Tantangan penciptaan adalah bagaimana dari kondisi yang “tidak asli” dan “saling mempengaruhi” itu bisa lahir sebentuk “perkawinan” yang kemudian memunculkan sebuah sintesa yang “baru” – bukan “asli”. Jadi tidak masalah Goenawan Mohamad merasa terpengaruh Chairil, yang penting adalah bahwa yang kemudian lahir dari tangannya bukan lagi puisi-puisi milik Chairil, tetapi puisi-puisi yang “baru”, yang kemudian kita bisa mengendusnya sebagai betul milik Goenawan.

Proses untuk mencapai yang “baru” itu seringkali menyakitkan. Afrizal Malna mengakui kuatnya pengaruh puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri pada masa-masa permulaan kepenyairannya. “Tapi”, demikian ia pernah bertutur, “pelan-pelan saya mencoba melepaskan diri dari pengaruh itu”. Dan “melepaskan diri” dari “pengaruh”, dalam praktik konkritnya misalnya bisa berupa tindakan “mencoret” sendiri puisi-puisi yang sudah kita buat, kalau kita sendiri memang meragukannya. Afrizal Malna bahkan pernah membakar – sungguh-sungguh membakar, bukan dalam arti simbolis – naskah kumpulan puisi pertamanya, yang ditolak Balai Pustaka.

Sebagai penulis memang kita dituntut “keras” kepada tulisan kita sendiri. Kalau kita tak sanggup melakukannya, tugas itu akan diambil-alih oleh para pembaca tulisan kita. Ingatlah, pembaca adalah para juri yang jujur, tidak pandang bulu, dan kejam. Mereka selalu menuntut yang “terbaik”, mereka cuma butuh yang “nomor satu”. Maka kalau kita tak tega “merobek” puisi kita, mereka, sidang pembaca yang terhormat itu, akan dengan senang hati membantu melakukannya.

Apakah tak ada semacam “jalan tengah” di sini? Setahu saya sih kagak ada.

17 December 2006

Hujan di Halaman

Kulihat hujan tercurah
Di jalan & halaman
Beberapa lembar daun
Seperti bertempur
Dalam tiupan angin

Satu dua lembar
Mencapai juga beranda
Sebagian sisanya
Mungkin menyerah
Rontok di jalan-jalan

Seperti daun-daun itu
Hidupku melayang
Dalam tiupan waktu
Dalam guyuran hujan
Di jalanan nasib

Akan sempatkah nanti
Lembar-lembar umurku
Mencapai berandamu
Atau menyerah tercecer
Hanyut dalam comberan

15 December 2006

T o m m y

Seperti dikisahkan oleh John Powell, SJ.

14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang gondrong. Penilaian singkatku: dia seorang yang nyentrik, sangat nyentrik. Tommy ternyata betul menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-terusan mengajukan komplain. Dia juga tak bisa percaya bahwa Tuhan mencintai kita tanpa pamrih. Dia melecehkan hal itu.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?" "Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh. "Oh," sahutnya. "Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan." Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil, "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu." Tommy mengangkat bahu, lalu pergi. Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku.

Kemudian kudengar Tommy lulus, dan aku bersyukur. Namun kemudian sebuah kabar sedih : Tommy mengidap kanker, dan sudah mencapai stadium lanjut. Sebelum aku sempat mengunjunginya, dia malah duluan menemuiku. Tubuhnya sudah kisut, dan rambut gondrongnya rontok karena kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas. "Tommy! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya kena kanker, dan hidup saya tinggal beberapa minggu lagi”. Lalu kataku : “Kamu mau membicarakan itu?" Tommy menyahut, "Boleh saja. Apa yang ingin pastor ketahui?" Aku bertanya lagi, "Bagaimana rasanya berumur 24, tapi kematian sudah di depan mata". Dan Tommy menjawab, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tapi mengira bahwa minum, rmain perempuan, dan menguber-nguber harta adalah hal paling penting dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering memikirkan kata-kata pastor itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan, "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital, saya benar-benar menggedor-gedor pintu surga, tapi tak terjadi apa pun. Lalu, saya terbangun suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu. Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa untuk melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy, "Saya teringat tentang pastor dan kata-kata pastor yang lain, “Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kita cintai bahwa kita mencintai mereka. Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit, yaitu... ayah saya."

Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya. "Yah, aku ingin bicara." "Bicara saja.", katanya "Yah, ini penting sekali." Korannya turun perlahan. "Ada apa?". "Yah, aku cinta ayah, aku hanya ingin ayah tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. “Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru mulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya. Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya."

"Tommy," aku tersedak, "Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih.” Lalu aku menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Ia keburu meninggal. Tapi satu hal, ia sudah melangkah jauh dari iman ke visi. Ia sudah menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan banyak orang.

Suster Marietha

(Ini sebuah cerita tentang hal yang, mungkin, bagi banyak dari kita remeh dan sepele. Atau nonsens. Tapi saya ingin membagikannya kepada anda , karena menurut saya kisah ini begitu menyentuh. Semoga bermanfaat. Terima kasih untuk rekan Nicolas Lie yang mengirimkan kisah indah ini).

SAYA adalah seorang biarawati dari tarekat CB yang berkarya di Kupang NTB. Nama saya suster Marietha CB, umur 37. Tiga tahun yang lalu saya divonis oleh dokter di RS Panti Rapih Yogya bahwa saya menderita kanker payudara stadium 1B. Selama 1 tahun lebih saya berusaha minum obat-obatan tradisional dan teh hijau, tapi setelah 1 tahun saya cek kembali ke dokter di Panti Rapih, malah bertambah menjadi stadium 2B. Kemudian oleh seorang ibu di Semarang, saya dianjurkan pergi ke pastor Yohanes Indrakusuma, di desa Cikanyere Cipanas-Jawa Barat, untuk minta didoakan.

Pada waktu pastor Yohanes menumpangkan tangan diatas kepala saya, dia berkata : "Suster, pasti meyimpan dendam yang sudah lama kepada seseorang di hati suster." Mendengar itu saya menangis tersedu-sedu dan saya katakan kepada pastor :"Benar pastor, saya memang membenci ayah saya sejak saya di SMP, karena ayah saya telah menghianati ibu, 2 kakak saya dan saya. Kami diusir dari rumah kami, kemudian ayah dan seorang wanita menempati rumah yang sudah ber-tahun-tahun kami tempati itu".

Sejak itu ibu saya sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkan kami selama-lamanya. Sejak itu saya memendam kebencian terhadap ayah. Setelah mendengarkan cerita saya, pastor Yohanes berkata :"Ya, itulah BIANG dari penyakit suster, selama suster tidak mau mengampuni ayah, obat apapun tidak akan menyembuhkan suster. Dan mengampuni bukan hanya dengan kata-kata, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan."

Setelah itu saya minta izin cuti selam 6 bulan kepada suster provincial CB untuk menengok dan merawat ayah, karena saya dengar dari saudara ayah kalau ayah terkena stroke. Selama 6 bulan itu saya merawat ayah dengan cinta kasih yang tulus. Selama bersama ayah saya tidak minum obat apapun. Setelah selesai masa cuti, sebelum kembali ke Kupang, saya ke RS Panti Rapih di Yogya untuk cek up kembali.

Dokter yang merawat saya sangat heran dia bertanya :"Suster minum obat apa selama ini?" Saya jawab kalau tidak minum apa-apa. Saya balik bertanya ada apa dokter? Dokter menjawab dari hasil pemeriksaan baik darah maupun USG semuanya NEGATIVE. Langsung saya jawab obatnya PENGAMPUNAN. Dokter heran dan bertanya apa maksud suster? Saya ceritakan semuanya, kemudian dokter berkata wah kalau begitu kepada pasien-pasien saya yang menderita kanker, saya akan bertanya apakah Anda punya perasaan dendam atau benci terhadap seseorang. Kalau jawabannya YA, saya akan suruh berdamai dan memberikan pengampunan seperti suster, sambil tertawa-tawa si dokter menepuk pundak saya.

Demikianlah pengalaman yang saya alami bisa dibagikan kepada saudara semua, bahwa PENGAMPUNAN itu sangat besar faedahnya, tidak hanya untuk jasmani tapi juga rohani kita.

14 December 2006

Daun-Daun Menguning

Daun-daun menguning, musim berangkat
coklat, lalu rontok ke bumi --
bagai harapan dan kau. Kita hanya menunggu
segalanya menjadi lengkap. Tak perlu
sajak untuk menandai. Karena kata-kata
juga layu pada saatnya. Kita berbaring saja
diam-diam, di antara musim rebah.
Bermimpi dan mati. Menjelma dongeng
dan asap. Sebelum lalu dilupakan.

12 December 2006

Di Beranda, Larut Malam

Kursi-kursi di beranda
Berkisah padaku
Tentang penantian
Musim dan cuaca tak
Menjanjikan kepastian
Tapi agaknya tak ada
Lagi pilihan lain
Selain menanti

Dari mereka aku
Banyak belajar apa artinya
Kesetiaan dan kesabaran
Aku pun belajar tentang itu
Dari rumput yang merunduk
Tabah di halaman

Tak pernah sekalipun
Kusebut-sebut namamu
Tapi sebagaimana selalu
Diisyaratkan lampu-lampu
Aku senantiasa lebur
Dengan bayangan
Dan tak berjarak
Dengan sunyi

Asalku dulu datang
Dan kembali pulang nanti

10 December 2006

Liburan, Sebuah Tema

Kadang-kadang kau merasa
Tak ubahnya seekor anjing luka
Yang mencoba bersembunyi dari
Keganasan hidup sehari-hari
Lalu kau berharap liburan ini
Bisa menyembuhkan luka-lukamu
Sebelum kau masuki kembali
Hutan belantara dunia

Kalau bisa sebetulnya kau ingin
Cukup menontoni saja hidup
Lewat jendela televisi menyala
Dan mendengar kabarnya dari
Radio tetangga masih berbunyi
Lalu koran-koran lokal barangkali
Bisa juga membantumu tentram
Dengan iklan-iklannya yang edan

Sayangnya kau tak bisa memilih
Liburan bakal segera habis
Televisi akan capek menipumu terus
Lalu kau dengan terpincang-pincang
Melangkah cemas ke luar gua
Dan berhadapan kembali dengan
Kemustahilan demi kemustahilan
Hidup yang satu-satunya ini

08 December 2006

Surat Buat Aa Gym

Aa yang terhormat,

Melalui surat ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aa. Pilihan jujur yang Aa ambil sudah berhasil membangunkan kami dari mimpi “indah” kami yang sebetulnya kosong-melompong. Aa sudah menolong kami menyadari bahwa kita semua ternyata hanya manusia-manusia biasa yang lemah. Bahwa kita hanyalah mahluk rapuh yang tersusun dari daging, tulang , serta sejumlah niat baik yang selalu saja dirongrong niat-niat lainnya.

Tindakan Aa yang tidak populer itu telah membikin banyak orang jadi sewot dan uring-uringan. Memang tidak enak rasanya kalau kita dipaksa bangun dari mimpi indah kita. Tapi siapa yang salah sebetulnya dalam urusan ini? Bukankah kami yang telah memulainya lebih dulu? Kami membutuhkan sebuah sosok “sempurna”, figur “ideal” yang bisa kami jadikan rujukan bahwa hidup kita hari-hari ini belumlah betul-betul bobrok, belum “tamat”. Bahwa masuh ada yang “selamat” dari situasi absurd sekarang ini. Aa telah kami pilih – secara sepihak – untuk menjalankan peran besar dan muskil itu.

Kami telah mendisain Aa sedemikian rupa, memformatnya dengan sempurna, menutup senua celah kemungkinan yang bisa membuat “kacau” citra yang kami ciptakan untuk Aa. Kami telah memaukkan Aa ke dalam semacam kerangkeng, pendek kata kami telah memaksa Aa menjadi “sesuai” dengan apa kehendak kami, seraya melupakan bahwa Aa sebetulnya yang paling berhak mengatur hidup Aa sendiri. Bahwa hidup adalah semacam air yang terus mengalir, dan karenanya manusia – saya, kami. Aa, siapa pun – bisa saja kapan-kapan berubah. Hanya Allah yang tidak berubah, bukan?

Tapi kami rupanya tak siap dengan perubahan itu. Sebagian dari kami begitu marah dan emosional, persis seperti anak-anak yang “ngambek” karena mainannya dirusak. Tapi biar saja begitu. Jalan menuju “pencerahan” sering memang menyakitkan. Saya tetap berterima-kasih kepada Aa karena sudah membantu kami – secara tidak sengaja tentu – mengalami “pencerahan” itu. Tapi urusan kalkulasi “dosa” sebagai akibat dari pilihan yang sudah Aa ambil itu tentu saja menjadi urusan dan tanggung jawab Aa pribadi dengan yang “di atas”. Saya mah kagak ikutan dong.

Demikianlah surat saya ini, yang saya tulis dengan agak terburu-buru, disertai harapan tulus semoga karir Aa tidak lalu jadi ambrol, dan barisan fans Aa tidak juga “bubar jalan” gara-gara kehebohan ini. Salam hormat.

07 December 2006

Belajar Diam

Belajar diam, seperti pohon-pohon
Tunduk dan rendah hati, memandang bumi
Belajar menerima apa pun, seperti rumputan
Mengendap pada tanah, berserah dan istirah

Belajar memberi, seperti lautan
Belajar menerima, seperti pantai, seperti muara
Seperti sungai, tabah dan setia, menghilir
Mengalir pada sunyi kalammu

Belajar diam, seperti batu-batu
Tidak bertanya, seperti musim, seperti cuaca
Mengembang saja, gugur pada saatnya
Seperti daun, seperti bunga

06 December 2006

Senandung

Siapa saya ini kiranya
Selain hanya pejalan saja
Tanpa peta saya susuri gelap usia
Labirin sunyi tanpa nama

Harta dunia dan senjata
Tidak membikin hidup saya lega
Jiwa saya rusuh terus saja ngembara
Dari senja ke senja

Siapa saya ini kiranya
Selain hanya gelandangan saja
Tersaruk-saruk di penjuru benua
Menyandang luka semesta

05 December 2006

H o r i s o n

DIAM-DIAM tanpa disertai banyak keplok tangan majalah sastra Horison memasuki umurnya yang ke-40, Juli 2006 yang lalu. Bisa bertahan begitu lama – di tengah banyak kritik dan cerca serta situasi secara umum yang tidak memihak – sungguh sebuah prestasi yang sangat fenomenal sebetulnya. Empat puluh tahun itu bukanlah masa yang singkat kalau kita ingat bahwa rejim Orde Baru Soeharto saja “hanya” bisa bertahan selama 32 tahun. Jadi, secara goblok bolehlah buat sementara ditarik kesimpulan bahwa majalah Horison ternyata “lebih perkasa” ketimbang sang tiran yang murah senyum itu.

Soal mengapa prestasi fenomenal itu hanya disambut dingin, agaknya itu bersangkutan dengan pamor majalah itu yang oleh banyak pihak diakui kini “sudah luntur”. Sastra Indonesia hari ini mengambil tempat (terbanyak) di halaman-halaman surat kabar, ditambah halaman-halaman buletin di daerah yang secara bergerilya diusahakan para pendukungnya. Kehadiran situs-situs sastra di internet, meskipun untuk saat ini kesannya baru sekadar jadi “penggembira”, diakui atau tidak sudah ikut pula “merongrong” kewibawaan Horison. Jadi, ada banyak “horison” lain, ada banyak pilihan saat ini, sehingga posisi majalah sastra Horison itu sendiri menjadi relatif, bukan lagi “pusat” yang disembah-sembah.

Bermigrasinya sastra kita dari majalah ke koran-koran, mengundang banyak polemik. Katrin Bandel, seorang peneliti sastra Indonesia asal Jerman, memiliki argumen kuat yang mempertanyakan implikasi negatif dari menjamurnya apa yang dengan mudah kini disebut “sastra koran” itu. Dalam analisisnya sastra koran lebih banyak “merugikan” ketimbang “menguntungkan” kehidupan sastra itu sendiri. Lembaran sastra di koran itu sempit kata Katrin, karena itu mustahil mengharapkan lahirnya karya-karya yang dalam dan bermutu dari kondisi itu.

Karena itu ia berharap majalah sastra sekaliber Horison ke depan bisa mengisi kelemahan sastra koran. Hanya saja Horison agaknya tidak (?) tertarik melangkah ke sana. Dalam kata-kata Katrin Bandel : Sayang sekali sampai saat ini Horison tampaknya tidak terlalu berminat memanfaatkan peluang tersebut. Dari tahun ke tahun Horison “begitu-begitu saja”, kalau tidak mau dikatakan “jalan di tempat”, dengan desgin dan format yang ketinggalan zaman dan pilihan tulisan yang sering tidak begitu menarik. Mungkin redaksinya terlalu sibuk mengurus kegiatan lain seperti bertandang ke sana ke mari untuk berinteraksi dengan pelajar di berbagai daerah, atau menyusun keempat “kitab sakti” sastra Indonesia, sehingga tidak sempat memperhatikan kondisi kesehatan majalahnya sendiri (Katrin Bandel dalam :”Majalah Sastra : Sebuah Utopia” – Majalah Horison November 2006).

03 December 2006

Surat Petang

Karena kau tak ada
Aku akan bicara pada kekosongan
Mungkin petang yang tua
Masih sedia mendengarkan
Mungkin akan kutulis
Surat di daun gugur
Atau titip salam
Kepada topan lewat

Dan kalau sebentar
Malam pun turun
Aku mungkin hilang
Atau menjelma ribuan lampu
Atau sekadar bayang-bayang
Malam tak dikenal
Malam-malam biasa
Yang kau lewati
Tanpa menoleh

Karena tak pernah tahu
Kau berada di mana
Aku akan berdamai
Dengan jarak dan kelam
Yang telah mengoyak kita
Jadi jutaan nama
Dan ribuan jurang

Mungkin masih sempat
Kutulis sebaris ke alamat
Langit yang jauh
Tapi untukmu sendiri
Agaknya tak pernah bisa
Selesai kurumuskan

01 December 2006

SmackDown ?

SMACKDOWN sebagai pola pikir dan pola laku sebetulnya sudah lama kita pelihara dan lestarikan. Dalam skala kecil-kecilan kita kerap mempraktikkannya kepada seorang pencuri sandal yang kepergok di masjid, atau seorang maling jemuran yang kebetulan lagi sial. Dalam skala massal dan kolosal kita telah “sukses” menggelar “smackdwon” di Poso, sesudah sebelumnya di Ambon, dan tentu saja di Jakarta saat kerusuhan Mei 1998.

Petugas tramtib di Jakarta juga mahir ber-smackdown. Yang menjadi lawan mereka biasanya para pedagang kakilima atau joki-joki three in one yang kalau pagi pada berdiri berjajar di kawasan elite Jakarta. Belum lama ini ada seorang ibu yang ketangkap, lalu dibotakin kepalanya -- itulah rupanya cara sang petugas tramtib “membanting jatuh” lawannya. Kelompok berjubah putih yang menyebut diri “pembela” salah satu agama mayoritas di sini juga kerap bersmackdown ria ke tempat-tempat yang mereka tuduh sebagai sarang “maksiat”. Di pentas politik? Oh, kita tak pernah kekurangan suguhan “smackdown”.

Maka kalau tayangan “smackdown” diberangus dari layar kaca itu bukan berarti lantas kita bakal kehilangan tontonan itu. Itu juga bukan berarti lalu anak-anak kita menjadi “aman” dari segala ekses pola pikir dan pola laku keras yang tampaknya makin jadi “biasa” itu. Suguhan berita kriminal di koran dan tetelvsi akan tetap dan terus ada, karena memang sebagian dari kita menyukainya. Dan sebagai komoditas ia tak kenal musim. Statistik juga membuktikan bahwa suguhan tontonan keras digemari banyak orang. Ini lalu artinya apa?

Penjelasan “bodoh”nya barangkali, karena di dalam diri setiap kita ternyata mengendon naluri “binatang” yang sesewaktu butuh dpuaskan.Tontonan “smackdown” menjadi kanal bagi sang hewan untuk sebentar memuaskan naluri purbanya itu. Jadi, percuma sajakah kita ribut-ribut melarang tayangan “smackdown” beberapa pekan ini? Tidak juga sih, hanya saja janganlah kelewat berharap bahwa urusan akan begitu gampang selesai dengan cara main larang ini atau itu, seperti kebiasaan kita selama ini.

30 November 2006

G i e

SOE HOK GIE (Gie) adalah sebuah inspirasi, setidaknya bagi Riri Riza, sineas muda berbakat yang kemudian mengangkat sosok kontroversial itu ke dalam film. Gie dengan demikian adalah sebuah “model” , sebuah contoh “hero” yang lain. Kenyataan ini bagi saya sedikit membingungkan, dan “ganjil”. Mengapa gerangan di sebuah zaman yang dikomando oleh perilaku hidup konsumtif dan mental serba gengsi, perhatian bisa terarah pada sosok kurus bersahaja yang meninggal tragis di Semeru, Desember 1969 itu? Apa yang sebetulnya menarik dari Gie?

Kalau anda terlahir sebagai “cina” di negara ini, anda akan tahu bahwa pilihan hidup anda tidaklah banyak. Pilihannya paling-paling antara menjadi “juragan”, atau juara badminton. Maka kalau kemudian ada “cina” yang menjadi penyair – seperti Tan Lioe Ie, atau Oei Sien Tjwan dulu – kita pun menatap fenomena itu dengan sedikit heran dan takjub. Keheranan itu akan berubah menjadi “kebingungan” kalau si “cina” itu menjadi aktivis politik, pilihan yang dengan sadar diambil Gie. Pilihan sensitif yang bahkan oleh kelompok “non-cina” pun tidak banyak diminati.

Jadi agaknya itulah beberapa hal yang membuat sosok Gie menjadi terasa “eksotis”. Pertama, ia seorang cina, dan kedua ia memilih bidang yang “tak biasa”. Di luar itu, Gie, secara qua individu memang berada di atas rata-rata. Ia bukanlah eksemplar “biasa” yang lahir dari bokong zamannya. Almarhum Nugroho Notosusanto menggambarkannya sebagai “seorang yang selalu lurus memegang prinsipnya” dan karena itu ia menjadi sosok yang “mengerikan”. Di zaman ketika berkata “tidak” – juga “tidak” kepada tawaran hidup yang edan dan hedonistik --terasa begitu merepotkan, maka sosok “mengerikan” seperti Gie tentu saja menyodorkan sebuah “pencerahan”.

Diterimanya figur Gie sebagai sebuah “model” membuktikan juga bahwa kita ternyata masih cukup “sehat”. Masih cukup “waras” untuk tidak terkerangkeng begitu saja dalam penjara dungu bernama fanatisme etnis, golongan, atau entah bagaimana sajalah anda menyebutnya. Dan Gie, bagi saya, adalah spirit yang tak mau sudah untuk tetap berkata “tidak” kepada begitu banyak hal “tak waras” yang pada hari-hari ini terus mengepung dan mencoba menggasak kita
.

28 November 2006

Gerbang Kata

Kata-kata ini tidak kucari
Rasa yang begitu dalam
Membentuk rautnya sendiri
Dari buah-buah waktu yang masak
Dijelmakan tangan bumi

Seperti lempung pada tembikar
Demikian sajakku hanya wadag
Tak ada apa pun kau jumpa hanya kosong
Wujudku yang mula bukan rupa
Samar depan gerbang kata

26 November 2006

Tonggak dan Saya

KALAU anda kebetulan mengoleksi lengkap "Tonggak", Antologi Puisi Indonesia Modern, yang diterbitkan Gramedia (1987), silakan anda ambil Tonggak jilid 4. Lalu buka halaman 335 dari buku tebal itu, yaitu halaman yang memuat sajak-sajak Acep Zamzam Noor, itu penyair ganteng asal Tasikmalaya, yang baris-baris puisinya sanggup membuat saya seraya diayun-ayun dengan sedapnya.

Nah, di halaman 335 itu ada sebuah "kesalahan kecil" yang selama ini agaknya luput dari perhatian. Sajak "Episode" yang mengawali rangkaian sajak-sajak Acep dalam antologi itu, sesungguhnya dan sebenar-benarnya adalah sajak saya, bukan sajak Acep. Puisi itu dulu pernah dimuat rubrik puisi "Pertemuan Kecil" koran Pikiran Rakyat, tanggal 14 Januari 1986. Saya masih menyimpan baik klipingnya sampai sekarang. "Tonggak" pun dengan jelas mencantumkan sumber puisi itu, yaitu Pikiran Rakyat 14 Januari 1986.

Tentu saja, blunder ini murni kesalahan sang editor, yaitu Linus Suryadi, yang sayangnya sudah marhum, sehingga saya pun tak lagi punya kesempatan mengonfirmasi soal ini. Tapi sebetulnya sebelum Linus Suryadi meninggal (lama sebelum ia meninggal) saya pernah menyurati Garmedia menanyakan soal ini. Pihak Gramedia waktu itu menjawab akan meneruskan masalah ini ke Linus. Setelah itu saya tak mendapat kabar apa-apa lagi, sampai akhirnya diberitakan bahwa Linus "Pengakuan Pariyem" Suryadi berpulang karena sakit.

Sebetulnya saya pun tak begitu berharap akan mendapat respons memadai dari pihak Gramedia maupun Linus. Saya sadar betul bahwa proyek besar seperti "Tonggak" kecil sekali kemungkinannya akan dilanjutkan. Di sisi lain saya pun menyadari posisi saya yang cuma penulis "pinggiran", tidak penting dan tidak pula menentukan. Hanya saja saya jadi suka iseng bertanya-tanya.

Fakta bahwa "Episode" bisa hadir di "Tonggak" menjelaskan dengan gamblang bahwa sajak itu dianggap "layak" tampil oleh sang redakturnya. Jangan-jangan -- perkenankanlah saya sekadar menduga-duga -- ada banyak puisi saya yang lain yang juga dianggap "layak" olehnya, namun nama sayalah yang dianggap "belum layak" tampil. Jangan-jangan masalahnya bukan sekadar "human error" belaka. Ah, jangan-jangan saya hanyalah korban dari ... tapi sudahlah.

E p i s o d e

Tak punya tujuan pasti hari itu
Tanpa rancangan kau pun terdamparlah di tempat itu
Bagai si tokoh dalam lagu dan cerita murahan
Kau pilih perempuan dan petualangan tapi dalam angan

Pengunjung yang lumayan melimpah
Sungguh tak membikinmu terhibur
Agak gelisah jadinya kau teruskan juga melangkah
Menembus lapangan rumput dan daun gugur

Ada semak dan sungai mengalir
Jauh di bawah sana kau tahu pasti
Bunyi gemuruhnya masih murni
Agak deras dan jelas sekonyong rindumu mendebur

Ada pasangan dan bocah bermain
Dalam rindang taman mereka sibuk berjamahan
Agak tersindir kau pun menyingkirlah dari sana
Tahu hidupmu sendiri biru lengang semata

(Sajak Ook Nugroho termuat dalam antologi Tonggak 4 atas nama Acep Zamzam Noor, semata "human error" editor buku atau ada cerita lain -- tanya Kenapa?)

24 November 2006

Langgam Jakarta

Berapa abad lagi masih harus menunggu
Aku seperti Sisifus dalam dongeng tua itu
Mengais terjal waktumu, mendorong bulan ke puncak
Hanya untuk sampai pada kebosanan lain lagi

Dari keheningan bumi dan doa burung-burung
Kubangun tangga demi tangga ke langit
Tapi angin senantiasa bangkit merobohkan
Mengembalikanku pada gemuruhmu

Ninabobo Jakarta

Tidurlah Jakarta, tidurlah.
Lupakan sementara korban
pembunuhan di koran-koran itu,
polisimu yang senang disuap,

hadiah lotere satu milyar,
dan liburan akhir pekan
di pulau. Lupakan juga rumah
bagus di Simpruk, dan

jaminan pensiun hari tua
buat pacar gelap. Bukankah
Kramat Tunggak sudah cukup
menghiburmu selama ini?

Jadi, tidurlah Jakarta,
tidurlah berbantal Monas, dan
berselimutkan merek-merek asing.
Biarlah Sudirman dan Thamrin

menerangi borokmu sepanjang
Tanah Abang Bongkaran..
Sementara itu, Senen
bersama Klender, di ujung

timur, akan membedaki
parasmu berlumuran. Lalu
dangdut di warung-warung,
akan menggoyang seru mimpimu,

sampai pagi tiba lagi,
dan nerakamu mulai lagi.

22 November 2006

Hadiah Sastra

DEWAN juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005-2006 telah menuntaskan tugasnya pekan silam. Mereka sepakat "menuduh" kumpulan cerpen Mandi Api dari Gde Aryantha Soethama (penerbit buku Kompas, 2006) sebagai buku terbaik untuk kategori prosa. Sementara kumpulan puisi Santa Rosa, hasil jerih payah Dorothea Rosa Herliany (Indonesia Tera, 2005) "didakwa" sebagai pemenang untuk kategori puisi. Selaku pemenang mereka berdua berhak atas hadiah uang tunai sebesar masing-masing seratus juta rupiah.

Sebagai sesama warga dari "suku terasing" yang disebut komunitas sastra indonesia, saya ikut bersyukur dengan adanya tradisi sastra tahunan KLA ini. Agak susah saya membayangkan bahwa di zaman "repotnasi' seperti sekarang ini ternyata masih ada juga "sinterklas" yang mau bermurah hati menggelontorkan duit sebegitu besar untuk mengongkosi sebuah kegiatan yang di mata sebagian besar anggota masyarakat pastilah masih dianggap "ganjil" itu. Persis di situlah sebuah pertanyaan nakal menggoda saya : sungguhkan hadiah duit sebanyak itu sudah jatuh ke tangan pemenang yang memang "layak"?

Jangan keliru. Saya tak bermaksud mempertanyakan hasil kerja dewan juri. Saya hanya tergoda untuk sekedar mempertanyakan format dari lombanya. KLA, sepengetahuan saya hanya menjadikan buku -- artinya naskah yang sudah naik cetak dan beruntung diterbitkan -- sebagai bahan acuan lombanya. Di situlah letak masalahnya, karena kita paham betul betapa masih centang perenangnya iklim penerbitan buku-buku sastra kita. Dengan meletakkan format lomba KLA pada perspektif buram itu, orang pun, atau setidaknya saya, akan dengan gampang bertanya seberapa representatifkah buku-buku yang dilombakan itu memberi gambaran riil dari kekuatan atau kualitas kehidupan sastra kita hari ini?

Mernjadikan buku sebagai bahan sebuah lomba sastra adalah pilihan yang sah dan baik-baik saja. Tapi dalam konteks iklim pernerbitan kita kini, format seperti itu dengan sadar dan sengaja telah mengabaikan kemungkinan adanya materi lain yang "lebih baik" -- dan karenanya juga "lebih layak" untuk dimenangkan -- di luar buku-buku itu. Saya tengah membayangkan sebuah Khatulitiwa Literarry Award -- dan juga award-award sastra yang lainnya -- di masa depan yang mau juga sedikit repot mengikutsertakan materi yang masih belum beruntung terbit untuk ikut juga dilombakan.

Dengan cara begini, pertandingan akan berjalan lebih seru dan fair. Dan kelak, siapapun pemenangnya, mungkin akan lebih memberi gambaran nyata dari geliat hidup dan mutu kesusasteraan kita di lapangan. Tapi saya tak tahu, usulan semacam ini terdengar berlebihan atau tidak di kuping para petinggi sastra kita.

21 November 2006

Dua Sahabat

Mujiono, sahabatku protestan fundamentalis
Bernurah hati mengajariku rahasia reiki
Paulus Darman, sahabatku yang katolik sejati
Tergopoh datang menanyaiku serius sekali
Kuatir kugadai rahmat ekaristi dengan mantra kundalini

Kamar 24

pernah ada seorang lelaki
yang tidak biasa
datang ke kamar itu

mungkin dia sedikit gila
sebab dia tak jamah tubuhmu

malah dia bilang
ada rembulan sepotong
di langit-langit kusam kamar itu

barangkali dia betul tak waras
sebab bersikeras dia
memetik itu bulan
untuk dibawanya pulang

dan tetap ditampiknya tubuhmu
meski dibayarnya kau
di atas tarip biasa

20 November 2006

Kepada Seekor Keledai

TOKOH kita hari ini tentu saja George Bush. Tapi saya lebih tertarik bercerita yang lain. Sebuah kisah cinta. Bukan cinta biasa. Mungkin tergolong luar biasa. Malah sedikit gila. Tapi bukan cinta namanya kalau tidak edan, bukan? Saya mengutipnya dari seorang kawan.

Alkisah, di Hongaria dulu hidup seorang penyair, yang cintanya kepada puisi sungguh tak terbagi. Begitu cintanya dia pada puisi hingga ia cuma punya tiga hal yang dengan bersemangat kerap diperkatakannya kepada setiap orang yang ia jumpai. Yang pertama adalah puisi, yang kedua adalah puisi, dan yang ketiga juga puisi, sehingga orang-orang pun belajar menjadi bosan dan mulai menjauhinya.

Tapi, sang penyair tokoh kita ini, tak menyerah begitu saja. Begitulah, sesudah memeras otak berhari-hari ia pun menemukan sebuah gagasan yang tidak biasa. Ia pergi ke sebuah pasar hewan dan membeli seekor keledai di sana. Keledai itu dibawanya pulang, dibuatkan kandang yang bagus, dicukupkan makan dan minumnya, yah pokoknya dijaganya dengan cermat lagi teliti. Dan setiap sore, kalau cuaca bagus, keledai itu dibawanya keluar. Dengan telaten ia menuntun keledai itu menyusuri jalanan desa yang tentram. Seraya menikmati udara sore yang sejuk di Hongaria sana, sang penyair tokoh kita ini pun mulailah bertutur segala apa perihal puisi kepada keledainya. Itulah yang ia lakukan setiap sore. Dan sang keledai, layaknya sahabat yang "bijak" dengan sabar mengunyah segala ocehan itu.

Mungkin anda bertanya, bagaimana kalau kebetulan cuaca hujan? Ah, gampang. Tokoh kita ini akan menyambangi keledainya di kandangnya, dan meneruskan "diskusi sastranya" di tempat itu. Ia juga punya kiat lain guna mencegah kebosanan. Biasanya ia akan masuk ke kamarnya yang sesak dijejali buku-buku puisi,, mengunci pintunya dengan cermat, lalu seraya dengan takzim menghadap dinding, mulailah ia kembali bertutur apa saja seputar puisi, kepada dinding kamarnya itu. Dan sang dinding, layaknya "pencinta" yang setia, dengan telaten mendengarkan segala omong kosong itu
.

19 November 2006

T a h y u l

SASTRA Indonesia modern, meskipun menyandang predikat "modern", ternyata tidak terbebas dari "tahyul". Dari masa ke masa, dari angkatan ke angkatan, tahyul itu dengan cermat dan takzim terus dijaga dan dipelihara oleh para penyembah setianya.

Di tahun 50'an tahyul itu bernama Majalah "Kisah" dan HB Jassin. Pada masa itu, siapa saja yang kepingin diakui sebagai sastrawan haruslah mengurus "ijazahnya" ke HB Jassin. Celakalah mereka yang gagal mendapatkannya, karena konsekuensinya martabat kesastrawanan mereka akan jadi kurang legitimate. Almarhum Trisno Sumarjo konon pernah mengalami hal semacam ini. Dengan memelas ia akhirnya menyurati Jassin, menanyakan kenapa gerangan "sang paus sastra" itu tidak juga menowel karya-karyanya.

Di zaman sesudahnya, tahyul itu bersalin rupa menjadi Majalah Sastra Horison. Di masa itu untuk bisa diakui resmi sebagai sastrawan, seorang penulis haruslah bisa menembus halaman-halaman majalah sastra yang tipis, omzetnya cuma 3000, dan waktu terbitnya juga suka tidak menentu itu. Tidak peduli berapa bagus sajakmu atau cerpenmu, sebelum sajakmu atau cermenmu itu bisa nongol di Horison, maka kau masih bukan apa-apa.

Dan kalau derajat kesastawananmu kepingin lebih lengkap, ada satu ujian lagi yang mesti ditembus : TIM, dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Di tahun 70'an khususnya, sampai awal 80'an, pamor TIM begitu mencorong. TIM waktu itu sering digembar-gemborkan sebagai tempat "pembantaian" para sastrawan yang baru mau mulai pasang merek. Kalau anda bisa sukses melewati ajang pembantaian itu, bereslah sudah. Maka diundang ke TIM pada masa itu menjadi impian banyak sastrawan kita.

Biasanya kalau tahapan-tahapan itu bisa dilalui dengan sukses, akan ada "bonus" yang didapat. Bonusnya biasanya berupa undangan baca puisi di Roterdam, atau diundang dolan-dolan ke Iowa City. Yah, paling apes-apesnya anda akan bisa keluyuran gratis ke Brunei Darusalam. Lalu biasanya juga tawaran atau akses ke penerbit jadi lebih gampang dan mulus.

Saya tak tahu, hari-hari ini "tahyul" apa lagi yang menjagkiti kehidupan sastra kita. Ada desas dan desus yang mengatakan bahwa rubrik puisi koran Kompas Minggu kini mendapat giliran dijadikan tahyul dan berhala baru. Apa iya?

17 November 2006

Monolog Jakarta

Aku harus bertarung tiap kali
melawan diriku. Dan bertanya
ulang, apakah aku masih aku yang dulu
atau mereka diam-diam telah mengubahnya
tanpa setahuku. Aku harus yakin, tapi
Jakarta pasti melumatku. Aku hanya
berharap, di antara gemuruh hutan buas
ini, masih ada sedikit tersisa
suara sepi. Supaya masih sempat
kutulis sajak buatmu biar hanyalah
sebaris dan tak sempat pula selesai.

Sajak Belalang dan Kupu-Kupu

Belalang dan kupu-kupu
Tak mengenal segala pil penenang
Dan tak butuh nasehat bulukan
Seorang psikolog

Mereka terbang merdeka
Tampaknya senang dan bahagia belaka
Meloncat dari bunga ke bunga
Merangkai musim dan cuaca

Sedang aku terus juga gelisah
Dari tahun ke tahun terus kupendam
Rindu dendamku yang diam
Dan luka-lukaku yang terdalam

Kata-kataku yang fana
Telah menyeretku pergi jauh
Memasuki sajak-sajak, kesepian
Kekosongan dan jalan buntu peradaban

Kubaca ribuan buku dan risalah
Kujejalkan juga obat ke mulutku hampa
Cuma karena aku ingin pulang, sayang
Menjelma kembali belalang dan kupu-kupu

15 November 2006

Pulang

Orang-orang begitu repot mencariku kesana-kemari
Ada yang berduyun-duyun pergi berziarah ke tanah suci
Sebagian lagi mau saja disuruh berpayah-payah
Naik turun gunung terjal, keluar masuk gua dan
Tempat-tempat lain yang katanya suci dan keramat
Padahal dari dulu aku tak pernah kemana-mana
Tak ada tempat yang lebih kusuka, selain hati manusia
Di situlah kudirikan rumahku sejak mula, dan dengan sabar
Kutunggu orang-orang itu suatu hari nanti pulang

12 November 2006

1 9 9 8

1998 niscaya akan dicatat sebagai salah satu tahun yang kelam dan dramatis dalam kalender republik ini. Mungkin hebohnya hanya bisa direndeng dengan gonjang-ganjing 1945 dan 1965/66. Di tahun itu, diawali dengan krisis moneter di tahun sebelumnya, kita disuguhi serangkaian horor politik yang mengklimaks pada tersungkurnya tiran Orde Baru, Soeharto. Ada orang hilang. Ada mahasiswa diberondong pelor. Dan ada pula kerusuhan rasial yang sangat sangat edan dan (lagi-lagi) menjadikan etnis Cina sebagai targetnya. Betapa mahal nian ongkos yang musti dibayar untuk menjemput zaman baru yang diyakini akan membawa banyak perubahan dan perbaikan.

Bahwa zaman baru itu, yang secara prematur dan terburu-buru diproklamirkan sebagai zaman reformasi, ternyata kemudian berbelok arah dan berubah menjadi zaman "repotnasi", itu adalah cerita lain. Tapi pada waktu itu, kita, atau setidaknya sebagian dari kita, sungguh percaya bahwa sebuah era yang baru dan lebih baik sudah datang mengetuk pintu. Sekarang, banyak dari kita pasti kecewa, karena yang datang mengetuk pintu itu ternyata cuma sejumlah pencoleng yang berniat merampas kembali impian-impian kita.

1998, bagi saya pribadi juga sebuah tahun penting (dan genting). Di tahun itulah saya secara resmi mengakhiri status saya sebagai jomblo. Momen pribadi ini pun ternyata tidak bisa lepas atau bebas dari kegaduhan suasana politik saat itu. Ada cerita kecil di baliknya
.

Untuk rencana resepsi pernikahan tanggal 15 November 1998, lebih setengah tahun sebelumnya kami sudah membook sebuah restoran di bilangan Ketapang. Sudah sejak awal saya sebetulnya kurang sreg dengan pilihan tanggal 15 November itu. Bukan karena hitung-hitungan fengshuinya, tapi karena tanggal itu berdempetan sekali dengan sebuah hajatan besar, Sidang Istimewa (SI) MPR. Tapi istri saya mengabaikan keberatan saya. Saya pun kemudian tak memasalahkannya lagi.

Tapi beberapa bulan kemudian istri saya berubah pikiran. Ada seorang teman memberi saran supaya tanggal pestanya jangan 15 November. Alasannya ya itu, tanggal itu kelewat mepet dengan jadwal SI MPR. Aneh, omongan saya tidak digubris, tapi omongan sang teman bisa mengubah pikirannya. Singkat cerita kami pun mengganti tanggal resepsi menjadi 10 Oktober, kira-kira sebulan lebih cepat dari rencana semula
.

Ternyata itu sebuah langkah tepat, karena betul saja SI MPR berujung pada keributan berdarah di Semanggi. Suasana Jakarta yang masih belum sembuh dari trauma kerusuhan Mei mendadak mencekam lagi. Orang pada takut pergi jauh dari rumah. Bayangkan, akan seperti apa suasana pesta kawinan kami kalau saja kami tetap ngotot memilih tanggal 15 November sebagai hari H kami. Pilihan yang bisa kami lakukan adalah memundurkan pestanya menjadi seminggu kemudian paling tidak. Tapi apa lacur? Seminggu setelah keributan Semanggi itu pun, di Jakarta meletup lagi sebuah keributan. Skalanya jauh lebih kecil dibanding kerusuhan Mei, tapi masalahnya, lokasi keributan itu justru di Ketapang (kelak peristiwa itu dicatat sebagai "Peristiwa Ketapang"), lokasi di mana restoran yang kami booking itu berada. Betapa gila dan absurdnya! Untunglah, karena kami memang sudah mengganti tanggal resepsi menjadi sebulan sebelumnya, kami pun batal menjadi sinting.

Saya menceritakan ini semua lebih sebagai sebuah sharing iman, karena saya percaya betul, ada campur tangan Tuhan di sana. Saya yakin, bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa istri saya kemudian bisa berubah pikiran, sehingga akhirnya kami pun sepakat mengubah tanggal resepsi perkawinan kami.

11 November 2006

Saya Mengerti

Saya mengerti, keadaan tak bakal berubah
karena sepotong sajak. Zaman
tak mendengarkan samasekali kata-kata
yang kutimbang lama, sebelum akhirnya
kutuliskan. Para penguasa dengan
bedil dan undang-undangnya, meludah jijik
di atas kepala para penyair. Saya
tahu itu semua. Tapi toh saya kembali
ke tempat semula. Duduk, dan menuliskan
setidaknya sebuah sikap untuk dunia ini.

Lewat Semanggi

Di trotoar ini Yun Hap terbunuh.
Di jalan ini, penjaja koran yang entah siapa
itu, ikut pula mati. Di jalan ini juga,
agak ke sana sedikit, mereka

memukulimu hari itu. Melemparkanmu
ke atas truk yang kemudian buru-buru
menghilang di balik kelokan sejarah.
Barangkali ke laut Jawa bangkaimu

dibenamkan. Mungkin sebuah
peternakan buaya di Jakarta Utara
menjadi alamat akhirmu. Tapi,
ke mana pun kau dibawa waktu itu,

semuanya tak penting lagi. Zaman
cepat saja berputar, bertukar. Rejim
sudah diganti. Tiran yang lain lagi datang.
Meludah dan menghapus ingatan itu.

Kepada Wiji Thukul

Sebagian dari kami akhirnya
percaya, bahwa kau memang masih
ada. Di sebuah alamat tapi entah
di mana. Barangkali tak bisa

kami temukan, tak akan pernah
bisa kami cari alamat itu
pada atlas yang biasa. Tapi, satu
hal kami pasti, kau merdeka

kini. Lepas dari jangkauan
sang tiran dan penguasa
mana pun. Sebagian dari kami
akhirnya juga percaya, itulah

ujung lakonmu yang absurd dan
singkat. Di zaman bobrok,
di republik para perampok,
yang membantai sajak-sajak

seperti anjing. Sebab mereka tahu,
kata-kata bisa berbahaya
sekali saja jatuh ketanganmu.
Sajak-sajakmu akan jadi peluru,

atau barangkali bom waktu
yang sabar menunggu saatnya.
Itu sebabnya, sebagian dari kami
terus percaya, kau masih ada.

10 November 2006

Risalah Preman

Preman jalanan
Preman gedongan
Beda habitatnya
Sama bangsatnya

Tapi bicara nasib
Preman gedongan
Preman jalanan
Lainlah ihwalnya

Preman jalanan
Barangkali mati di jalan
Sebagai garong
Dengan jidat bolong

Preman gedongan
Bisa hidup aman
Melunaskan hukuman
Dalam sel nyaman

Sebab segala urusan
Bisalah dibereskan
Asal ada anunya
Dan paham tatakramanya

Preman jalanan
Preman gedongan
Sama bajingan
Beda peruntungan

Tak usah heran
Jangan penasaran
Ini sudah kisah usang
Di republik tersayang

09 November 2006

Kunyahlah Sendiri

Seorang murid mengeluh kepada gurunya :
"Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tak pernah
menerangkan maknanya kepada kami."

Sang guru, dengan kalem menjawab :
"Bagaimana pendapatmu, nak, andaikata
seseorang menawarkan buah kepadamu, namun
mengunyahkannya dulu bagimu?"

(Dikutip dari buku "Burung Berkicau" Anthony de Mello, penerbit Cipta Loka Caraka, 1994)

Maaf Penyair

Aku cuma punya sedikit kata
Aku tak tahu bagaimana caranya
Supaya semua bisa kebagian
Tak ada yang kecewa dan memaki
Tapi pulang membawa kelegaan

Aku mohon maaf saja pada semua
Jika ada yang belum terpuaskan
Betapa kurindu bisa seperti kau dulu
Dengan kesepuluh jemari anganku
Kubikin semua tak lapar lagi

07 November 2006

S a j a k

Benih yang kukandung ini,
adalah titipan waktu,
hasil perselingkuhan kami
di ranjang reyot pengalaman.

Langit dan bumi
tak pernah merestui hubungan kami,
maka anak yang bakal lahir nanti
akan dianggap jadah :

sendiri menjelajah sejarah.
Seperti juga bapaknya,
ia penuh dengan kemungkinan
dan berlumur darah.

Dan seperti ibunya,
akan ia tahankan
sakit dan kutukan purba ini
sampai baris terakhir.

05 November 2006

Lirik Untuk Sebuah Film

Jangan pandang dan sentuh aku
Jangan pernah menginginkanku
Karena aku sebenarnya tak ada
Aku ini tak nyata, cuma lamunan
Ngembara di kerlip lampu kota

Percuma saja kau memburuku
Barangkali dalam kelebat kenangan
Singgah aku padamu tak sengaja
Tapi waktu cepat saja memisah
Mengubur kita dalam bahasa

Jadi berhentilah menungguku
Aku cuma suatu hari yang lewat
Suatu hari yang tak ada di almanak
Nyelinap diam-diam tanpa setahumu
Ke muara yang tak kupasti pula di mana

02 November 2006

Menengok Ayah

Sudah 20 tahun lebih ayah pindah
ke alamat barunya, sementara kami masih
menetap di alamat lama, yang disebut dunia.
Karena sarana transportasi yang tidak
mungkin, dan kerepotan sehari-hari yang
terus saja bertambah, belakangan ini
kami makan jarang datang menengok ayah.
Kalau datang berkunjung biasanya kami
bawakan untuknya beberapa tangkai anggrek
ungu dan kembang sedap malam kesukaannya.
Tidak lupa juga sekuntum doa, tanda cinta
dansetia kami yang tak pernah luntur
meskipun tahun dan musim terus rontok
dan robek dari penanggalan. Tapi biasanya
kami lebih sering ketemu tak sengaja
bersapaan di sepi kelokan waktu yang disebut
kenangan. Sejauh yang bisa kami rasakan
ayah kelihatan sehat-sehat saja. Tumor
jahanam yang dulu merongrongnya sudah
tak ada lagi. Kami harap ayah juga betah
tinggal di alamat barunya. Kami tak pernah
sempat menanyakan hal itu padanya, sebab
pertemuan kami biasanya berlangsung singkat
dan terburu-buru. Maklum, namanya juga
tinggal di dunia, selalu ada-ada saja urusan
mendadak yang mengganggu. Ayah juga
pasti mengerti dan mau memaafkan, karena
dulu juga ia selalu direpotkan dengan yang
begituan. Tapi kami sungguh berharap ayah
memang betul sudah hidup bahagia saat
ini. Sudah bisa melupakan sakit hatinya
kepada tetangga sebelah yang menipunya
habis-habisan, juga atasan-atasannya yang
selalu menindas dan menilep kariernya.
Mudah-mudahan ayah juga sudah berhenti
bermusuhan denganMu. Menurutnya dulu
Kau tak serius mengurus nasibnya.

Obituari Ayah (1921-1980)

Ayah saya, seperti jutaan ayah lain di dunia, hanya manusia biasa. Ia lahir di Jamblang, sebuah kota kecamatan yang lengang di pinggir Cirebon, beberapa puluh kilometer dari Jatiwangi, kampungnya sastrawan Ajip Rosidi. Ia hanya sempat sekolah sampai MULO (sekarang SLP), lalu dengan bercelana pendek merantau ke Jakarta. Itu sekitar tahun 50’an. Ia memulai perjuangannya sebagai klerk di sebuah perusahaan asuransi swasta Inggris, dan kelak pensiun sebagai seorang manajer, juga di sebuah perusahaan asuransi yang lumayan besar. Ia mencapai itu semua lewat jalur otodidak. Tapi banyak orang mengakui tangan dinginnya dalam urusan perasuransian. Ia juga dianggap berhasil mempertahankan integritasnya sebagai seorang pegawai yang jujur, padahal pada tahun-tahun terakhir masa kerjanya, ia memiliki banyak peluang untuk, katakanlah , sedikit bermain sulap. Tapi ia tak mengambil kesempatan itu.

Saya mengenangnya sebagai ayah yang penyabar. Setidaknya dibanding ibu yang pemberang, dan kerap “menghajar” saja dengan pecutan ikat pinggang atau rotan kalau saya keluyuran agak berlama-lama. Ia mengajari saya beberapa jurus silat waktu saya SD. Ia pengagum berat Prof Sumitro, bapaknya Prabowo, yang mantunya Suharto itu. Tapi ia meremehkan figur semacam Benyamin S, yang walaupun sesosok figur sukses, dianggapnya “kasar” dan (maaf) “kampungan”. Untuk pelawak, pilihannya jatuh pada Bing Slamet. Sedang penyanyi idolanya adalah Jim Reeves, Pat Boone, Conny Francis, tapi ia bisa menikmati juga beberapa lagu The Bee Gees. Ah, ia juga penyuka tontonan tinju.. Ia memaksakan diri bangun dari ranjang sakitnya hanya untuk melihat bagaimana si “mulut besar” Muhammad Ali dibungkamkan muridnya sendiri, Larry Holmes.

Ia tak bosannya menasehati saya supaya “pandai bergaul”. Ia sungguh khawatir melihat anak pertamanya, lelaki pula, begitu pemalu dan malas bergaul. Pandai bergaul adalah kunci pertama untuk bisa sukses, itu beberapa kali diulangnya. Dan tidak sukes, yang artinya di sini adalah “hidup miskin” sungguh tidak enak, katanya meyakinkan. Dan ia memang mengenal betul apa artinya “hidup tidak enak dalam kemiskinan itu”. Ia pernah kena tipu tetangga Arab di sebelah rumah yang mengajaknya kongsian bikin kecap. Membuat kecap adalah salah satu keahlian sampingannya. Banyak yang bilang kecap buatanya “lumayan”, tapi barangkali karena “kurang pandai bergaul” modal bagus itu terbuang percuma. Ia, agaknya, tak mau saya mengulang kesalahan itu.

Di masa mudanya ia jauh dari agama. Ia malah dekat dengan ilmu kebatinan, bahkan menggaulinya dengan cukup intens. Ia juga belajar hipnotisme, sampai tingkat yang lumayan jauh. Menginjak usia pertengahan, ia meninggalkan semua itu, dan kembali ke pangkuan agama. Mungkin karena latar belakangnya yang begitu, ia tak memaksa sewaktu saya kelihatan seperti mengikuti jejaknya dulu. Ia malah menyerahkan sebuah buku berisi catatan pelajaran kebatinannya. Ah, adegan penyerahan kitab itu, kalau saya mengenangnya sekarang, bak adegan dalam sebuah cerita silat saja.

Tiga bulan sesudah menyerahkan kitab itu, ia tak tertolong lagi. Ibu saya bercerita bahwa ayah saya sudah pernah 2 kali nyaris meninggal sebelumnya. Ia pernah coba “diserang” dengan semacam ilmu santet. Tiga hari terlentang di rumah sakit. Gejalanya mirip tbc akut, begitulah kata dokter rumah sakit yang merawatnya. Dan dokter itu menyerah, seraya menyebut ayah hanya tinggal menunggu waktu. Tapi ia tertolong oleh seorang paranormal, begitulah sekarang kita biasa menyebutnya, yang kemudian menjadi gurunya. Kali lain sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan hebat dengan sebuah truk di sebuah pengkolan. Ajaib. Ia tak langsung mati. Waktu sadar ia menemukan tubuhnya masih terbujur di jalan, berdarah-darah. Orang-orang hanya asyik menontoninya. Tapi lalu lewat serombongan suster Belanda. Dan ia kembali selamat.

Tapi hari itu, ia tak terselamatkan lagi. Dokter mendiagnosa penyakitnya sebagai kanker. Tapi ia sendiri percaya kankernya adalah “kiriman” seseorang. Karena ia memang pernah tahu soal seputar ini, saya pun cenderung agak mempercayainya. Tapi ketika saya mendesak siapa kira-kira “seseorang” yang mengiriminya paket kanker itu, ia hanya menggeleng lemah. “Takut salah”, katanya. Saya pun hanya terdiam.

Kalau masih hidup, umurnya kini 85. Tapi, 2 November, 26 tahun yang lalu, pada suatu Minggu pagi yang biasa, ia pergi buat selamanya. Sabtu kemarinnya, adalah hari pertama saya masuk kerja. Ada tahyul yang bilang bahwa “tak baik memulai sesuatu pada hari Sabtu”. Apakah ini ada hubungannya? Entahlah. Sebetulnya sudah sejak Kamis kondisinya memburuk. Tapi ia seperti mencoba bertahan sampai mendapat kepastian bahwa anak lelaki pertamanya, yang pemalu dan malas bergaul itu, akhirnya masuk kerja. Apa betul demikianlah halnya? Tentu saja, lagi-lagi, saya tak tahu.

28 October 2006

Kucing Sang Guru

Setiap kali guru siap untuk
melakukan ibadat malam, kucing
asrama mengeong-ngeong, sehingga
mengganggu orang yang sedang
berdoa. Maka ia menyuruh supaya
kucing itu diikat selama
ibadat malam.

Lama sesudah guru meninggal,
kucing itu masih tetap diikat selama
ibadat malam. Dan setelah kucing itu
mati, dibawalah kucing baru
ke asrama, untuk dapat diikat
sebagaimana biasa terjadi
selama ibadat malam.

Berabad-abad kemudian, kitab-kitab
tafsir penuh dengan tulisan ilmiah
murid-murid sang guru, mengenai
peranan penting seekor kucing
dalam ibadat yang diatur
sebagaimana mestinya.

(Dipetik dari "Burung Berkicau" Anthony de Mello SJ, penerbit Cipta Loka Caraka, 1994)

22 October 2006

Lebaran, Sepotong Kenangan

Meskipun tak pernah merayakannya (saya terlahir dari keluarga Nasrani), Lebaran bagi saya selalu punya arti khusus, atau lebih tepatnya, punya kenangan khusus. Kenangan khusus jauh ke masa-masa bocah dulu.

Lebaran, tentu saja didahului ramadhan, dan pada zaman saya masih di sekolah dasar dulu, ramadhan itu identik dengan libur panjang sekolah. Liburannya betul-betul panjang, karena bisa lebih dari sebulan. Sebagai bocah normal, tentu saja saya menyambut libur panjang itu dengan girang. Tapi apa saja yang saya lakukan selama libur panjang itu? Jangan membayangkan saya mengisinya dengan semacam piknik keluarga ke luar kota umpamanya. Tidak. Itu sebuah kemewahan yang bahkan tak terpikirkan saat itu, mengingat kondisi keuangan keluarga yang "ngos-ngosan". Jadi yang saya pilih adalah kegiatan murah-meriah saja : bermain sepuas-puasnya dengan anak-anak "gang" (baca : geng) saya. Dan yang saya maksud dengan anak-anak "gang saya" itu adalah para anak tukang kebun, tukang sapu, dan tukang sampah. Lho?

Begini. Ceritanya dulu itu saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sebagian besar penghuninya adalah keluarga-keluarga yang lumayan mapan. Ada juga beberapa keluarga tentara di sana. Sisanya adalah keluarga-keluarga yang, sebut saja, agak susah hidupnya. Keluarga saya masuk dalam kelompok kedua ini. Tapi di bawah kami masih ada sebuah "kasta" lagi yang dianggap masih lebih payah lagi keadaannya. Merekalah para tukang kebun, tukang sapu dan tukang sampah di kompleks perumahan itu. Mereka juga tinggal di kompleks, tapi di "bawah", di pinggir kali yang melintas di belakang kompleks. Mereka mendiami rumah-rumah semi permanen yang dibangun seadanya. Sekarang kita menyebutnya bedeng
.

Entah siapa yang memulainya, pembagian "kasta" itu ternyata berlaku juga di kalangan kami, para bocah penghuni kompleks. Ada dua "kasta". Yang pertama disebut atau menyebut diri "anak atas". Kelompok satunya disebut "anak bawah". Anak atas tentu saja anak-anak dari keluarga mapan, dan anak dari keluarga tentara, sedang anak bawah adalah anak dari para tukang sapu dan tukang sampah itu. Anak-anak atas emoh bergaul dengan anak-anak bawah yang sering mereka kata-katai "kotor", "bau", "bego", dan macam-macam lagi. Anak-anak bawah pasrah saja diperlakukan begitu oleh anak-anak atas, yang sering mereka sebut juga "anak-anak gedongan".

Lha, saya sendiri masuk kasta yang mana? Sudah saya ceritakan bahwa keluarga saya adalah anggota dari kasta kedua di kompleks itu. Lalu, kebetulan lokasi rumah saya berdekatan dengan lokasi di mana anak-anak bawah itu tinggal. Mungkin karena faktor kedekatan geografis inilah saya kemudian menjadi lebih dekat dengan kelompok yang dianggap underdog itu. Saya bisa begitu leluasa masuk dan keluar rumah mereka, bahkan kamar tidur mereka pun beberapa pernah saya masuki. Saya pun jadi tahu bahwa mereka ternyata sering mandi tanpa sabun. Hanya gebyar-gebyur air doang. Saya pun tahu menu makan siang mereka, karena suka menemani mereka makan siang sebelum mereka berangkat ke sekolah. Komposisinya biasanya tetap : nasih putih, sayur bening, lalu sambal (yang kayaknya selalu ada). Kadang ada juga potongan tempe goreng dan ikan asinnya. Sementara itu, untuk masuk ke dalam kelompok "anak-anak atas", saya merasa mengalami kesulitan. Lagi pula teman-teman yang "anak-anak gedongan" itu tampaknya tidak begitu rela kalau saya yang "culun" dan sering bergaul dengan anak tukang sampah ikut bergabung dengan mereka.

Tapi, lantas apa hubungannya semua ceritamu itu dengan Lebaran? Lha itu, saya sebetulnya cuma mau cerita bahwa masa-masa liburan ramadhan saya dulu itu saya isi bersama anak-anak dari "bawah" itu, tapi kan saya tidak bisa cerita langsung begitu saja. Maksud saya, settingnya harus disusun dulu. Dan itu adalah salah satu episode hidup saya yang saya anggap indah. Saya bersyukur pernah mengalaminya. Dari merekalah misalnya, saya belajar tahu bahwa kalau sudah bulan puasa, "setan-setan pada ditangkapi, supaya tak mengganggu orang yang puasa". Itulah sebabnya dulu, kalau lagi bulan puasa saya tak takut keluyuran malam sendirian, karena percaya tak bakal ada setan atau kuntillanak yang bakal mengganggu saya.

Dan pada suatu hari Lebaran, saya sudah lupa bagaimana awalnya, saya ikut bergabung dalam rombongan mereka, para anak tukang sapu itu, berkeliling dari rumah ke rumah menadah "angpao". Tuan rumah yang kami datangi rata-rata melengak heran menemukan seorang bocah sipit "nyelip" dalam rombongan. Ada juga yang lantas tertawa-tawa melihat saya ikut-ikutan "silahturahmi". Tapi yang penting dan masih saya ingat, lumayan juga "angpao" yang berhasil saya kumpulkan. Di rumah, waktu saya tunjukkan tumpukan uang recehan hasil jerih payah saya hari itu, ayah saya terdiam. Tapi ibu saya tertawa-tawa geli. Saya pun heran kenapa saya koq diketawaian. Saya juga tak mengerti mengapa ayah saya mendadak terdiam
.

20 October 2006

Ini Bukan Artinya Kita Sudah Kalah

Syair Orang Biasa
Saya bukan sufi
Saya jemaah biasa saja
Sembahyang saya biasa
Sadaqah saya biasa
Puasa saya biasa
Ibadah saya tak ada luar biasanya
Malah kadang suka terlupa
Bukti saya masih manusia biasa

Insyaallah
Saya bisa bahagia
Menjadi manusia biasa
Hidup dengan sangat biasa
Di zaman yang katanya sudah gila
Di republik yang kabarnya kaya raya
Korupsinya subur merata
Petingginya mukim di sorga
Sedang jelatanya pasrah nelangsa

Saya cumalah jemaah biasa
Orang kebanyakan tak bernama
Dalam tabel statistika cuma angka
Maka terhadap urusan begini gawatnya
Saya tak berdaya apa
Bisa saya paling berdoa
Dengan cara yang biasa saja
Dan semangat sekadarnya juga
Layaknya orang biasa pergi berdoa

17 October 2006

Saya (Juga) Pernah Nyolong Buku

Kejadiannya sudah lama sekali. Tahun 1983, atau sekitar itulah. Buku yang disasar adalah kumpulan esai Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, penerbitnya, kalau tak keliru, Gramedia. Dan toko bukunya "SA", di lantai bawah gedung "S" di Thamrin Jakarta. Harga buku itu saya sudah lupa, tapi seingat saya buat ukuran kantong saya waktu itu, yang hanya seorang karyawan gurem, lumayan membebani. Sebetulnya saya tak merencanakan pencurian itu sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya. saya sudah sempat membolak-balik buku itu. Menurut saya, buku itu tidaklah bagus-bagus amat (kita sama tahu Rendra besar karena sajak-sajak dan dramanya, dan bukan karena esai-esainya bukan?), tapi juga tidak jelek sih. Melihat kualitas buku yang "tanggung" seperti itu saya merasa sayang kalau harus memiliki dengan membelinya. Apalagi saat itu adalah periode "sulit" buat saya. Itulah masa ketika kadang saya makan siang hanya dengan pepaya sepotong yang saya beli dari tukang rujak gerobak pinggir jalan di dekat kantor. Harganya ketika itu seratus perak sepotongnya.

Juga ada semacam "rasa marah" yang mengusik saya : mosok buku semutu itu harus dijual semahal itu? Maka muncullah godaan untuk mencuri saja buku itu. Ketika memutuskan hal "besar" ini, saya pun terbayang pada sosok penyair sohor Chairil Anwar, yang konon katanya dulu suka juga melakukan hal ini. Tentu saja saya tak bermaksud menyaingi beliau dengan merencanakan pencurian ini. Tapi motif kami kurang lebih sama ternyata : sama-sama bokek. Bedanya, Chairil (begitu pernah saya baca) melakukan ini dengan sangat tenang dan santainya. Mungkin karena toko bukunya sepi, dan sudah pasti tak ada kamera yang diam-diam membayangi gerak-geriknya. Sebab lain, barangkali ia memang betul "ahli" atau "berbakat" dalam urusan ini.

Saya pun menjalankan rencana "besar" saya, pada suatu siang, sewaktu jam istirahat kantor. Lokasi toko buku "SA" memang dekat dengan kantor. Saya masuki toko buku dengan sikap yang sebiasa mungkin. Sengaja hari itu saya memakai kemeja yang agak gedombrangan, dengan dua kancing depan saya biarkan terbuka. Suasana toko buku lumayan ramai, tapi untunglah konter buku-buku sastra (sebagaimana kita juga tahu) selalu sepi. Singkat cerita, operasi itu berjalan sukses, meski saya melakukannya dengan sedikit gugup dan gemetaran. Ada satu hal "kecil" yang masih terus teringat dari kejadian itu. Saya ingat di sebelah saya berdiri seorang entah siapa, sedang asyik membaca. Saya hampir yakin dia sebetulnya melihat segala perbuatan saya, karena sewaktu akan memasukkan buku ke dalam baju yang kancingnya sudah saya buka itu, buku itu sempat tersangkut, karena saya gugup, jadi manuver saya agak sedikit terhambat. Tapi untunglah seorang entah siapa itu tak mau usilan.

Saya pun buru-buru pulang ke kantor, memamerkan hasil operasi itu kepada beberapa teman sembari ketawa-ketiwi dengan puasnya. I was really excited at that time. Dan saya katakan kepada diri saya, bukan, yang kau lakukan bukanlah kejahatan, ini hanya semacam kenakalan, jadi tenang saja. Saya pun mulai membaca buku itu. Selesai. Mendadak muncul keinginan membuat resensinya. Saya kerjakan, dan selesai, lalu iseng-iseng saya kirim resensi buku curian itu ke majalah Horison. Lantas saya mencoba melupakannya. Beberapa bulan kemudian, seorang kawan penyair, Oewiek Sanuri Emwe (sekarang almarhum) memberitahu bahwa esai yang saya kirim itu sudah di-acc redaksi Horison. Teman ini memang "orang dalam" Horison, dia bekerja lepas membantu menulis kolom "Kronik" di majalah itu. Kaget. Surprise. Itulah reaksi saya. Dan benar, akhirnya resensi dengan judul Mempertimbangkan Tradisi, Menolak Kebekuan itu muncul di majalah sastra yang saat itu pamornya masih lumayan kinclong. Dan itulah juga tulisan saya yang pertama sekali dimuat Horison
. Tapi kisahnya belum selesai. Kawan saya, yang "orang dalam" majalah Horison itu meminta honor tulisan saya yang baru dimuat itu. Untuk menebus obat, katanya. Dia memang saya tahu sakit-sakitan ketika itu. Dan kondisi dompetnya lebih runyam dari saya. Saya pun merelakannya dengan senang hati. Saya anggap ini semacam tebusan untuk harga buku Rendra yang saya dapat dari nyolong itu. Jadi, impaskah "dosa" saya karena itu. Tentu saja saya tak tahu, tapi saya harap begitu.

10 October 2006

Lukisan Rumah

Dulu aku sering berangan
Punya rumah bagus di pinggir pantai
Supaya bisa menatap laut sepuasnya
Dari teras atas di balkonnya luas
Ingin kuserap rahasia ombak

Tapi keindahan laut tiada tara
Menyimpan juga kengerian tak terduga
Jadi begitulah aku pun pindah
Ke lereng hijau tanah perbukitan
Sembunyi dari jangkauan samodra

Aku pun belajar bahasa tumbuhan
Rahasia tanah basah dan embun jatuh
Seraya berangkat tua dan bahagia
Kurasa lengkap sudah lakonku begini
Sempurna kulukis dalam lamunan

06 October 2006

Losmen

Tubuhku adalah
Sebuah losmen
Tidak gemerlap
Tapi lumayanlah

Alamatku gampang
Di pojok simpang :
Siang dan malam
Pintuku mengundang

Silakan sesekali
Ke sana mampirlah
Singgah sekadar
Rebahan sebentar

Atau menginap
Melewatkan gelap?
Tubuhku nyaman
Mendekapmu aman

2006

05 October 2006

Cerita Buat Sian

Hampir tengah malam. Hujan sudah berhenti. Di rumput basah di halaman, lelaki itu menemukan seekor anak kucing meringkuk, basah kuyup. Seseorang telah membuang mahluk malang itu, lalu nasib mempertemukan sang kucing dengan lelaki itu. Anak kucing itu diangkatnya, di pindahkannya ke atas keset. Melihat anak kucing itu, lelaki itu seperti melihat potret dirinya. Basah kuyup, kedinginan, kesepian, dan sendirian. Ia jadi iba sekali. Tapi lalu ia ingat, 30 tahun yang lalu, waktu umurnya masih 5 tahun, dia pernah membunuh tiga ekor anak kucing yang baru berumur beberapa hari dengan tindihan batu-batu besar, bekas runtuhan bangunan dekat rumahnya. Dia tidak mengerti kenapa dia bisa berbuat seperti itu. Dia masih ingat bagaimana 3 ekor anak kucing itu mengeliat sekarat di bawah batu-batu yang dilemparkannya. Suara erangan tiga mahluk itu kadang masih bisa didengarnya kembali, agak sayup, tapi tampaknya tak bisa dimatikan, dan akan terus menguntitnya sepanjang hidupnya -- seperti kutukan, atau torehan perih yang membuatnya merasa kotor, biadab, dan malang. Tengah malam ini, lelaki itu ingin menangis, untuk nasib ketiga anak kucing yang dulu itu. Tapi siapa tahu, dia sebetulnya juga menangisi nasibnya, yang ternyata tidak lebih baik dari ketiga ekor anak kucing yang pernah dibunuhnya. Aku juga seperti kucing-kucing itu pikirnya. Hantaman demi hantaman terus menghajarku, tapi malangnya aku tak juga mati-mati, seperti tiga anak kucing itu. Aku terus saja menggeliat, sekarat, tapi tak kunjung mati. Apakah karena aku begitu kuatnya, ataukah karena nasib sebetulnya tidak menghajarku terlalu keras, cuma aku saja suka cengeng dan sentimentil.

Lelaki itu memandangi kembali anak kucing yang tadi dipindahkannya ke keset. Dia mendadak merasa sedikit terhibur. Mungkin karena merasa bisa sedikit menebus kesalahannya yang dulu, dengan sedikit bantuan kecil terhadap mahluk malang itu. Sehingga setidaknya malam ini, kalau hujan turun lagi, anak kucing itu bisa tidur aman. Setidaknya malam ini. Dengan pikiran itu, lelaki itu merasa agak lega. Ia masuk kembali ke rumah, mengunci pintu, kencing, mengambil selembar kertas, memasukkannya ke mesin tik, lalu menuliskan cerita ini buat kamu. Hanya buat kamu, supaya kamu lebih mengerti siapa sebetulnya saya ini.
(28/2/1996 - pukul 1 pagi)

02 October 2006

Kepada Siapa Aku Bicara

Aku tidak pernah tahu
Kepada siapa kata-kata ini
Kelak akan sampai akhirnya
Pastilah aku tidak menuliskannya
Untuk sebuah kekosongan belaka
Engkaulah yang kutuju itu
Tapi siapakah engkau kiranya
Bukankah kita tidak saling kenal
Dan alamatmu tidak pula tercatat
Dalam kenanganku merimbun
Di luar sajak ini akhirnya
Hanya ada dunia, senjakala jingga
Lalu barangkali juga kau di sana
Di sebuah kota nun di mana
Dan tetap tak bisa kupastikan
Kepada siapa aku bicara

27 September 2006

Di Perpustakaan

Susah payah kucari kau
Kejelajah beribu halaman buku
Dengan terharu akhirnya kutahu
Kau menungguku di luas kalbu

2006

26 September 2006

Sewaktu Menyebrang

Sewaktu bergegas berlari menyebrangi sepi
Lagi-lagi segerombolan kata menubruknya jatuh
Lalu terdengar seperti ada yang mengerang kesakitan
Kenapa kalian suka sekali menggoda dan melukaiku?

2003

21 September 2006

Sajak Bola

Betapa susahnya menjadi bola
Menggelinding cuek tak hitungan
Tak bimbang ke gawang mana nasib ditendang
Tak hirau ke jala siapa kisah tersangkut

Tapi, betapa susahnya menjadi bola
Mendekam pasrah menunggu kickoff
Tak memihak gawang kanan atau kiri
Tak risau nanti dilupa sesudah bubaran

2006

Pikiran Di Meja Makan

Apa pun menu makannya
Besok pagi menjelma lonjoran tahi
Sejauh-jauh umur ngembara
Kubur juga addres akhirnya

Tapi ijinkanlah lidah luka ini
Mencecap sesaat lezat hidangan
Pun tubuh fana ini biarlah larut
Nanar sebentar dalam gelinjang ranjang

2006

19 September 2006

Dua Sajak Lama

Pada Suatu Pagi

Karena jalan macet
pada pagi itu
kita jadi sempat
mengamati lebih jelas
wajah orang-orang
di pinggir jalan.
Bahkan rumputan liar
di luar halaman
bank swasta itu
mendadak jadi terasa
begitu berarti.

Ini pasti bukan
perasaan sentimentil
yang biasa.
Kita tidak perlu
tahu siapa saja mereka.
Mulut yang terkunci
pada wajah mereka
mengabarkan kepada kita
beberapa hal sederhana
dan sangat mendasar
yang begitu lama
kita lupakan.
Inilah puisi
yang tidak ditulis lagi
warta berita yang
disensor dari
mata batin kita
selama ini.

Karena jalan macet
pada pagi itu
sistem tidak berjalan
seperti biasa
kita pun menangkap
kembali denyut suara
manusia yang sunyi.
Impian-impian masih
yang dulu juga ternyata
berjejalan di bus
yang merayap sangat
pelan dan lambat
untuk tidak pernah
sampai kemana pun.

1991


Percakapan Di Salon

Sang nyonya bicara
Tentang anak lelakinya
Calon insinyur
Sekolah di Jerman
Lulus tahun depan
Mungkin bakal kawin
Dengan cewek sana
Sesudah itu
Tante di sebelahnya
Ngomong soal prospek
Toko kembangnya
Suaminya orang penting
Di bank swasta besar
Di Jakarta sini
Nunggu di mobil
Mengkilat keren
Di luar sana

Percakapan akan
Terus berlanjut
Di antara gunting
Sisir dan cermin
Tema beralih
Soal liburan ke pulau
Di teluk Jakarta
Disebut si nyonya
Meniru perilaku
Orang kaya Amerika
Konon begitu
Sebab week end di Puncak
Sudah kuno sekarang
Si tante setuju
Lantas dia omong lagi
Soal toko kembangnya
Rumah bagus
Antena parabola
Serta sepintas lalu
Disinggungnya juga
Menantunya yang dokter
Lulusan Belanda
Dan sekarang praktek
Di rumah sakit
Komplek Indah

Bersama gunting
Sisir dan cermin
Engkau hanya sanggup
Diam mendengarkan
Semua itu
Tak ada peluang
Menang melawan
Dokter dan insinyur
Dari Jerman itu
Tak punya uang
Tidak usah pergi
Berlibur ke pulau
Pulang saja
Tidur arau tulislah
Beberapa sajak
Seperti dulu
Kata-kata masih
Setia menemani
Tak perlu parabola
Hanya untuk merasa
Bahagia bukan?

1991

18 September 2006

Berkas-berkas dibuang sayang

Saya mempunyai setumpuk berkas puisi yang selama ini ngendon dalam map. Puisi-puisi itu sebagian adalah puisi yang pernah ditolak redaktur puisi yang saya kirimi puisi itu. Sebagian lagi adalah puisi-puisi yang ketika selesai menuliskannya dulu telah "gagal" memuaskan saya. Mungkin, saya merasakan ada sesuatu yang "kurang" dalam puisi itu. Kadang-kadang saya bisa "menemukan" kekurangan itu, tapi gagal "memperbaikinya". Nah, puisi-puisi ini biasanya tidak saya buang. Tak tega saya melakukannya. Puisi itu saya simpan. Saya berharap kapan-kapan bisa mengolahnya kembali menjadi puisi yang "lebih baik".

Tapi sering kali saya gagal memenuhi harapan itu. Puisi-puisi itu pun seperti terlantar, dan jumlahnya tambah banyak. Kadang, setelah lewat banyak tahun, sempat juga saya mengintipnya. Nah, pada momen seperti ini sesekali saya mendapatkan kejutan yang indah. Dari tumpukan berkas yang terlupakan itu sesekali saya menemukan puisi "bagus" yang penulisnya ternyata saya sendiri. Puisi Lubang Kata dan Puncak yang pernah dimuat Kompas tempo hari, adalah contoh puisi yang saya temukan kembali dari berkas lama itu. Saya bahkan tak melakukan revisi apa pun seperti keinginan saya pada mulanya. Puisi yang semula saya kira "belum selesai" itu ternyata memang tidak meminta apa-apa lagi dari saya. Lihat, ternyata puisi itu seperti memberontak, seperti menolak diatur-atur, dan "lebih suka" memilih sendiri jalannya. Betapa indahnya. Betapa indahnya.

Jadi, jangan suka buru-buru membuang puisi yang sudah bermurah hati menghampiri kita.

14 September 2006

Habitat

Kini tambah susah saja membedakan
Mana yang pejabat, siapa yang penjahat
Kabarnya mereka dari spesies yang sama
Sekadar bertukar habitat belaka?

2006

Serdadu

Memandang serdadu
Terbayang mahasiswa
Seperti baru kemarin dulu
Terbunuh di jalanan membara

2006


Semanggi

Peluru panas sang tiran
Darah korban di jalan
Kita telah membiarkan
Waktu mencuri keduanya

2006


Bazaar

Ada bazaar di alun-alun
Datang orang berduyun-duyun
Ada tiran tiga puluh tahun
Menumpuk harta tujuh turunan

2006

Lanskap

Pagi beringsut di timur
Senja mencegatnya di barat
Di antara keduanya saya hadir
Sesaat berkelebat, lantas lewat

2006
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...