https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 September 2007

Kejadian Puisi

Waktu Senggang Penyair

Kalau sedang tak ada puisi mampir bertamu
Saya suka duduk santai di serambi menontoni cuaca
Menyerahkan rindu kembali kepada waktu
Membebaskannya dari beban kata-kata dan bahasa
Bersama musim, kami pun kembali ke haribaan semesta


Kejadian Puisi (3)

Kalau sudah asyik menulis puisi
Ia pun lupa umurnya bukan 25 lagi
Ia juga tak ingat anak sudah dua
Kontrakan rumah habis minggu depan
Dan rapelan gaji belum juga dibayarkan

Cuma puisi bisa membuatnya begini
Mengantarnya pada kelegaan surgawi
Jadi, siapa bilang puisi tak bikin mabok?
Inilah minuman sejati dari kahyangan
Netes dari racikan tangan dewa sendiri

23 September 2007

Kwatrin Senggang

Mengeja Sitor
Mengaji Sapardi
Oleh Goenawan
Saya tertawan

Sebab ajaib
Lentur sirkus imajinya
Saling salip
Pun begitu tertib

Menorehkan bekas
Begitu lekas tapi
Serupa unggas
Berkisar ke lain batas

Selaku penyair
Saya pun tersihir
Menimangnya gundah
Tak mau sudah

19 September 2007

Kado Ulang Tahun yang "Manis"

PERSIS pada ulang tahunnya yang pertama, situs ini mendapat kado yang sungguh “manis”. Entah kena gempa apa, mendadak saja tampilan blog ini jadi berantakan seperti anda lihat sekarang. Saya sungguh tak tahu apa yang sebetulnya terjadi—tapi barangkali inilah resiko punya situs yang gratisan.

Seorang teman, Saeful Badri, yang memakai template sama ternyata mengalami nasib serupa : tampilan templatenya jungkir balik. Yah, setidaknya saya tidak sendirian dalam musibah ini. Tapi Saeful kayaknya sudah lebih cepat pulih. Saya, karena dogol dan tak punya waktu, baru bisa bikin press release ini.

Mohon maaf kepada para pengunjung yang jadi merasa terganggu dengan hal ini. Terima kasih kepada anda yang mau juga tetap mempir ke sini. Saya akan berusaha sedapatnya memperbaiki tampilan blog ini. Jika tidak mungkin, terpaksa saya akan ganti kulit. Apa boleh buat.

17 September 2007

Aku Terus Belajar

aku belajar sabar
dari segala yang kasar
yang ditimpakan pada badan
dan melukai pikiran

meski tak berdaya dan sakitan
berhadapan dengan kenyataan
yang serba tak masuk akal
aku terus belajar tawakal

seraya berkeringat darah
aku belajar dengan tabah
jejakku perih terus melangkah
menempuh satu-satunya arah

begitulah, aku terus belajar
pada segala yang barbar
yang anehnya dianggap semakin wajar
di ini zaman serba kurang ajar

13 September 2007

Wars Within or Tempo Undercover

JIKA anda seorang pembaca fanatik majalah Tempo, yang dengan setia mengikuti perjalanan pasang surut majalah berita ini selama beberapa puluh tahun keberadaannya, maka buku Wars Within (penerbit Dian Rakyat, Agustus 2007) yang ditulis Janet Steele, Asscociate Profesor pada The School of Media and Public Universitas George Washington ini, “haram” untuk dilewatkan.

Diterjemahkan dengan bagus oleh Arif Zulkifli, Janet Steele menulis dengan gaya naratif yang menjadikan bukunya selain “perlu”, juga “enak” dibaca. Ia mendasarkan bukunya pada hasil observasi yang sangat intens, melalui setidaknya 100 wawancara dengan para pendiri dan penulis Tempo, dan memanfaatkan pula timbunan arsip berita yang belum pernah disiarkan.

Ia pun melibatkan diri dalam keseharian majalah itu : hadir pada rapat-rapat intern, ikut bergadang pada malam-malam tenggat, bahkan juga nimbrung dalam acara-acara non formal yang diadakan keluarga besar majalah berita yang pernah dianggap “paling penting” ini.

Tempo memang sebuah media yang unik. Lahir dari rahim Orde Baru—bahkan sampai batas tertentu sering dituduh atau dianggap memainkan peran sebagai “corong” Orde Baru—tapi pada perjalanannya kemudian harus berbenturan, bahkan kemudian “dibunuh” oleh rejim yang pernah merahiminya. Buku ini berhasil memaparkan dan menganalisis dengan hampir senpurna perjalanan panjang itu.

Mulai dari periode semasih berkantor di Proyek Senen--sebuah kawasan padat dan keras di Jakarta, yang lantainya “sering bergoyang”--masa ketika “jumlah orang sedikit, kerja siang malam, lepas baju, merokok, teriak-teriak, joke, segala macam” (hal 206) menuju periode yang “efisien” dan “terorganisir” di kawasan bisnis modern, Kuningan, Jakarta., tapi yang kemudian malah berbuntut pada pecah dan hengkangnya sebagian dari mereka ke media lain.

Tentu saja bicara tentang Tempo tidak mungkin kalau tidak ngobrolin juga Goenawan Mohamad (GM), seorang yang perannya, kata Nono Anwar Makarim, “tak tergantikan”. Justru salah satu daya tarik lain Wars Within adalah karena keberhasilan Janet Steele memotret sosok penyair yang memang sudah sejak awalnya menjadi “ruh” dari Tempo ini.

Oleh rekan-rekan dekatnya GM sering digambarkan sebagai sosok yang “pemalu dan tertutup”, yang gerak-geriknya, kata Nono Anwar Makarim, seperti orang yang belum makan selama 2 hari. Ketika Tempo bertambah makmur GM sering disindir sebagai orang yang “berhasil” membawa Tempo menjadi begitu “kompromistis pada penguasa”. Salah satu hasilnya adalah sewaktu dibredel pada 1982, dengan tidak kelewat susah payah majalah itu akhirnya bisa terbit kembali. Ada juga yang mengejeknya sebagai “kapitalis malu-malu kucing”.

Tapi gelombang prahara yang menerpa Tempo kemudian mengubahnya menjadi “orang nomor satu yang paling berbahaya di Indonesia”, setidaknya begitulah penilaian dinas intelijen negara saat itu. Ia terlibat dalam serangkaian manuver politik bawah tanah yang berbahaya untuk memperjuangkan terbit kembalinya Tempo. 21 Mei 1998 Soeharto lengser—kejatuhan yang terlalu cepat, kata GM, karena infrakstuktur yang diperlukan untuk kehidupan yang demokratis belum lagi siap—dan Tempo pun “bangkit” kembali dari kuburannya di tengah situasi euforia yang kebablasan.

Jika dihitung seksama, dengan memasukkan juga masa 3 tahun pembungkaman (1994-1998) ke dalamnya—karena pada kenyataannya Tempo memang tidak pernah sepenuhnya bisa dimatikan (Prolog, hal.x)—umur majalah ini sekarang sudah 35 tahun. Lebih panjang dari usia rejim yang pernah mencoba membekapnya.

10 September 2007

Dua Puisi Tamu

ELINOR WYLIE :

R a m a l a n

Aku akan dibaringkan tersembunyi
Di sebuah bilik di antara pohon-pohon alder,
Belakangku : kekosongan dan pintu terkunci,
Depanku : keberuntungan bukan lagi bagianku.

Aku akan berbaring sebagai layaknya orang-orang kudus,
Di antara harum hamparan kain-kain lunak,
Di atas ranjang bergaris dengan warna biru terang,
Sempit, dingin, dan tertata bersih.

Malam kemudian datang bagai gumpalan kaca
Di belakang jendela, dengan angin
Yang bergerak demikian pasti, berhembus garang
Memadamkan apiku penghabisan.


SARA TEASDALE :

S e n d i r i

Tahun-tahun yang lewat mengajarku semakin bijak,
Kubuang sudah banyak dari ketamakan masa mudaku dulu
Berbagi kesan dan pengalaman dengan setiap yang datang,
Atau ke dalam kata-kata, kubentuk pikiranku.

Satu hal tetap milikku, apakah mereka datang atau berniat enyah
Asal saja kukenal diriku dan kukuasai kehendakku,
Penuh gairah kudaki malam-malam musim panas,
Kusaksikan bintang berlayar antara terjal perbukitan.

Biar saja mereka mengira aku dengan cintaku begitu tulus,
Biar saja semua itu, padahal aku begitu sunyi dan sendiri,
Sebab kalau sekaliannya itu dipandang cukup, apa masih penting,
Apa aku ini bunga atau hanya bongkahan batu?

(Terjemahan bebas oleh Ook Nugroho)

06 September 2007

Antologi Puisi Blogger?

Penyair Nanang Suryadi lewat shoutbox situs ini menawarkan ide yang buat saya menarik, yaitu membuat sebuah antologi puisi bersama khusus para blogger. Saya tak tahu apakah Nanang sekedar mengeluarkan celutukan iseng saja, atau sungguh serius dengan tawarannya itu. Kalau itu serius tentu akan memerlukan ikhtiar yang tidak mudah—sebagaimana galibnya usaha penerbitan buku puisi di negeri ini, umumnya.

Di luar masalah biaya produksi yang pastilah menjadi soal nomor satu yang mest dibereskan, ada soal lain yang juga tidak mudah diselesaikan. Para rekan blogger saya rasa akan menyambut tawaran penerbitan antologi ini dengan bersemangat. Jadi tidaklah sulit mencari dan mengunpulkan bahan untuk antologi itu—jika misalnya kelak ide itu jadi direalisir.

Tapi justru di situlah juga masalahnya. Sudah lama ada anggapan tak sedap ke alamat sastra blog karena kualitas muatannya dianggap “rendah”—kalah, atau dianggap “kalah” dengan sastra koran. Itu bisa saja terjadi karena blog adalah media pribadi. Jadi bermutu atau tidaknya sebuah blog sepenuhnya terpulang kepada kontrol dan kejelian pemilik blognya sendiri.

Subyektivitas—yang kebablasan--menjadi “musuh” terberat yang harus dikalahkan seorang pemilik blog, juga para pengelola milis-milis sastra. Pandangan miring ke alamat sastra blog agaknya juga diamini oleh para bloggernya sendiri. Itu, misalnya, bisa kelihatan dari kebiasaan mereka yang suka memberi ucapan selamat apabila ada rekan blogger yang puisinya “berhasil” menembus blokade sastra koran.

Ucapan selamat itu secara gamblang mengindikasikan pengakuan mereka bahwa sastra koran dianggap lebih punya pamor, lebih terhormat, dan karenanya juga “lebih bermutu” ketimbang sastra yang ditemukan di banyak blog. Banyak miilis sastra juga dipandang enteng karena isinya dianggap “kalah” dengan sastra koran. Konon para penjaga milis lebih suka mendahulukan faktor “perkawanan” sehingga kualitas terabaikan.

Maka jika ide yang ditawarkan Nanang Suryadi jadi direalisir, hal-hal ini hemat saya harus menjadi PR pertama yang dibereskan. Ini adalah soal yang gampang diomongkan, tapi bakal susah dilakukan, karena mungkin akan ada teman baik yang terpaksa dikorbankan untuk itu. Tapi itulah harga yang antara lain harus dibayar apabila kita menginginkan antologi itu—jika betul-betul terbit—tidak sekadar hadir, tapi juga menjadi penting kehadirannya.

04 September 2007

Dari Puisi Ini

Aku tak berharap banyak
Dari puisi ini

Kata-katanya yang aus
Tak bakal menghapus
Mimpimu telanjur hangus

Tapi barangkali
Ada sebuah ruang
Di antara lengang baris

Secercah celah
Di mana sedih
Dan yang agaknya mustahil
Masih terasa berarti
Dan punya harga

Hingga musim
Kembali berdenyut
Dan kisahmu berlanjut

Tapi selebihnya
Aku tak berharap banyak
Dari puisi ini

02 September 2007

Hujan

Hujan melukis kesunyianmu.
Genangan di jalan
memantulkannya kembali
dan lampu-lampu
dan malam hari
membuatnya sempurna
seperti adegan
dalam sebuah film
yang pernah kautonton
entah kapan.

Tapi ini bukan
dalam sebuah film
pun tak ada tokoh utama
atau kisah dramatis
sebagaimana layaknya
kita sangka.

Hanya ada hujan
jalanan basah
dan lampu-lampu
dan malam hari
yang membuatnya menjadi
sedikit lebih berarti.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...