https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

30 March 2007

Ulil Ngeblog (!)

ULIL ABSHAR-ABDALLA, pemikir muda Islam yang kontroversial, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal yang saat ini tengah sekolah lagi di negerinya Bush sana, kini meramaikan pula atmosfir jagat maya dengan ikutan ngeblog. Kabar ini mula-mula saya temukan di blog Enda Nasution, yang selanjutnya merujuk pula ke blognya Arif Widianto.

Kehadiran Ulil di ranah blog kita harapkan membuat suasana tambah semarak. Sewaktu tadi saya berkunjung ke blognya, baru ada satu tulisan, yang sebagian—dengan tanpa ijin dan memberanikan diri—saya kutipkan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Sebagian besar bahan-bahan yang termuat di sini berkaitan dengan tema-tema keislaman. Tetapi masalah yang menjadi bahan pemikiran saya tentu tidak terbatas di sana. Saya mempunyai minat yang luas sekali di banyak bidang, meskipun tema Islam berada di titik pusat perhatian saya. Secara pribadi, saya meminati bidang-bidang seperti filsafat, teori-teori politik modern, pemikiran ekonomi, sosiologi (terutama sosiologi agama), sastra, mistik, film, musik, dll. Oleh karena itu, tidak mustahil renungan-renungan yang termuat di ruangan ini suatu saat akan berkaitan dengan tema-tema itu.

Sekarang ini, ratusan ribu blog bersliweran di ruang maya. Teknologi internet telah memungkinkan terjadinya “revolusi” yang luar biasa pada banyak bidang. Internet telah melahirkan sejumlah “revolusi” kecil-kecilan seperti blog, YouTube, google, dsb. Revolusi internet membawa dampak yang sangat penting, yaitu demokratisasi di bidang informasi.

Saya kira kita perlu memberikan apresiasi pada otak-otak brilian yang telah menemukan teknologi ini. Sekali lagi ini memperlihatkan bahwa akal manusia, jika diberikan kebebasan, akan menghasilkan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. Meskipun akal mengandung sisi gelap dalam dirinya, tetapi kecurigaan yang berlebihan pada akal adalah sama sekali tidak pada tempatnya.

Menulis di tengah Bencana

DI TAHUN 1972 Goenawan Mohamad (GM) memperoleh anugerah seni dari pemerintah saat itu—tentu untuk prestasi dan dedikasinya di bidang kesusasteraan. Anugerah itu, yang diberikan dalam bentuk uang tunai sebesar 2 juta rupiah, secara demonstratif ternyata ditolaknya. Dalam sebuah esainya sehubungan dengan penolakan anugerah itu, ia mengemukakan alasan dirinya tidak merasa pantas menerima anugerah duit segede itu—yang untuk ukuran masa itu setara dengan dana bantuan untuk 10 desa tertinggal.

Ia menganggap pemberian hadiah itu kepada seorang penyair—yakni “kasta” yang tak kunjung sslesai dipertengkarkan keberadaan dan sumbangsihnya di sini—adalah sebuah “kekeliruan”. Adalah “salah” menganggap kerja seorang penyair harus diganjar sebegitu besarnya.

Mungkin hanya seorang GM yang sanggup melakukan hal semacam itu. Setidaknya saya belum pernah mendengar lagi ada sastrawan yang rela menampik diberi ganjaran duit besar sekarang ini. Dalam konteks waktu hari ini, paling-paling kita sekadar bertanya separuh hati, sudah benarkah apa yang saya lakukan : menulis puisi, umpamanya, di tengah lautan bencana yang datang bagai arisan di sekitar kita.

Tapi mestikah kita lalu berhenti menulis hanya karena merasa “tidak bisa berbuat apa-apa” di tengah situasi sarat musibah ini?

Butet Kartarejasa pernah disindir perihal apa saja yang sudah dikerjakannya—selain asyik ‘melucu hahahihi’—untuk situasi tanah air yang runyam saat ini. Atas sindiran itu ia pun menjawab tangkas : Saya main teater, karena saya memang pemain teater. Dan itulah sumbangannya terbesar.

Butet benar. Apa yang mau dikatakannya sederhana saja sebetulnya, yaitu bahwa kita masing-masing punya wilayah kerja sendiri. Dan masing-masing wilayah kerja itu memiliki tanggung jawab dan sumbangannya sendiri juga. Mereka ada bukan untuk saling menindas atau mengecilkan yang lain, melainkan saling melengkapi. Maka kalau kita mulai kehilangan rasa penghargaan kepada peran kita masing-masing, begitulah Putu Wijaya pernah berujar, itu pertanda kita sudah mengidap krisis.

28 March 2007

Fearless atau Riwajatnja Djago Silat

(Kepada pengunjung setia blog ini yang datang ke sini karena alasan-alasan literer—cailah, istilahnya--janganlah kiranya terkejut—atau merasa “salah masuk blog”—sebab menemukan postingan yang rada beda ini kali. Selain penggila puisi, pemilik situs ini memang juga menggilai cerita silat).

FEARLESS, film wuxia—sebutan untuk cerita silat Cina dengan setting waktu Cina tempo dulu--yang dibintangi Jet Li dan dirilis 2005 lalu, adalah film silat yang memiliki sejumlah nilai plus dibanding film sejenisnya, karena selain kaya dengan adegan perkelahian yang ciamik, pun secara sinematografis digarap dan ditata secara apik. Ritme film itu terjaga dengan baik sehingga penonton terhindar dari kejenuhan karena dibombardir adegan “babah ngamuk” sepanjang flm. Beberapa adegannya malah terasa cukup puitis. Capaian filmisnya bolehlah direndeng dengan Kungfu Hustle, tapi masih di bawah Crouching Tiger Hidden Dragonnya Ang Lee.

Film ini diangkat dari kisah nyata riwayat hidup seorang petarung silat kenamaan Shanghai pada masa 1900-an awal, Huo Yuan Jia. Kalau anda pernah nonton Fist of Furi dari Bruce Lee atau Fist of Legendnya Jet Li, maka Fearless sebetulnya adalah “abang kandung” dari dua film yang disebut terdahulu. Kalau Fearless berkisah tentang Huo, maka Fist of Fury dan Fist of Legend bertutur perihal murid-murid Huo.Di Indonesia sendiri kisah Huo Yuan Jia pernah beredar sebelumnya dalam bentuk cerita silat dengan judul Riwajatnja Djago Silat, hasil terjemahan Kwo La Yen.

Huo adalah petarung yang terobsesi menjadi “pesilat nomor 1” di Cina. Ia terlibat dalam serangkaian pibu—adu kepandaian silat—dengan jago-jago silat lain. Tidak ada pertarungan yang tidak dimenangkannya. Tapi kemenangan-kemenangan itu akhirnya berbuah pada tewas dibantainya anak dan ibunya.

Peristiwa itu menyadarkannya bahwa ada hal lain yang lebih hakiki ketimbang hanya memburu kemenangan dan “gelar nomor satu”. Ia pun lalu menyepi, hidup sebagai orang biasa di sebuah kampung. Bagian ini sedikit mirip dengan riwayat hidup Mas Oyama, itu guru besar karate aliran Kyokusinkai, yang memilih menyepi sesudah merasa kesalahan membunuh seorang yang diyakininya penjahat.

Kalau betul film ini adalah film wuxia Jet Li yang terakhir—karena konon ia sudah bosen main film beginian—maka Fearless akan menjadi suguhan tontonan yang sangat layak dikenang
.

27 March 2007

Madah Bagi Si Mati

Kupinjamkan kata-kataku
Agar mulutmu yang diam mengucap lagi
Semua yang disembunyikan waktu
Yang dunia gagal menangkap
Yang dalam kabut lindap nyelinap
Kusiapkan mulutku menerima
Pahit dan perih pengakuan malam
Yang gagal dipahami lampu-lampu
Tapi terkubur dalam rerimbun bayang
Di sudut-sudut gelap dari ingatan
Lukailah aku dengan rindu dendammu itu
Agar lebih kupahami sakitmu
Apa artinya jerit melulung
Tak berjawab di ruang hampa
Kakiku yang lelah kulangkahkan
Tunjukkan padaku alamat kelam
Kota dengan rumah-rumah mengatup
Di mana kau terdampar suatu kali
Aku rindu menyusurinya lagi
Membacai perempatan-perempatannya
Sudah tak sabar jemariku ingin menuliskan
Jerit sakit dan ngeri pengalaman
Marilah kutampung itu semua dalam
Kumandang madahku tak kunjung sudah

25 March 2007

Tiga Puisi Kecil untuk Hari Minggumu

U l a r

Kau dari jenis
Yang paling berbisa agaknya

Seperti dalam cerita
Lumat aku
Dalam pagutmu


Alamat Tujuan

Semalam aku tertidur
Pulas dalam sepatu bututku

Dan bermimpi
Sampai di alamat tujuan

Yang setiap kali bangun pagi
Suka iseng menggodaku


L a k o n

Kuharap bukan Pilatus
Jangan juga Sisifus

Peranku dalam permainan ini
Sederhana saja semoga

Bukan peran pura-pura
Tak usah ada darah & muslihat

Di akhir ceritanya
Semut boleh ikut berbahagia

23 March 2007

Puisi yang Baik

PUISI yang baik mungkin seperti “teror” yang indah. Artinya ia datang pada kita sebagai sebuah “surprise”, atau hadiah yang diam-diam sudah lama kita rindukan, dan sekonyong saja ia hadir di haribaan kita. Kita pun terkesima, takjub, lalu menjelajahinya dengan rasa lapar yang tak kunjung sudah. Setiap sudut dan kelokannya menyuguhkan tamasya bahasa yang tak tepermanai. Puisi yang baik dengan demikian memberi hiburan--dengan “H”. Ia memuaskan libido artistik kita, menuntun kita pada orgasme puitik yang meninggalkan bercak-bercak yang dalam.

Tidak perlu dikatakan lagi bahwa puisi yang baik karena itu mencerahkan. Puisi yang baik, untuk meminjam kata-kata Kafka, adalah kapak tajam yang memecahkan kebekuan es dalam kepala kita. Puisi yang baik bekerja seperti kilatan-kilatan cahaya yang bersileweran dalam gelap pikiran kerdil manusiawi kita. Seseorang bahkan pernah bilang bahwa kata-kata dalam sebuah puisi (yang baik) adalah “jejak-jejak Tuhan yang tersesat” dan entah dengan cara bagaimana sampai ke tangan seorang penyair, yang lalu meneruskannya kepada kita.

Puisi yang baik mungkin juga seperti “wabah”, artinya ia menular. Ia menginspirasi dan menggoda kita untuk ikut menciptakan tamasya bahasa yang lain, yang kalau mungkin lebih gila lagi.Tapi hanya mereka yang punya iman puisi unggullah yang akan sampai pada obsesi–puisi yang baik dengan begitu juga obsesi--ambisius itu. Maka puisi yang baik juga “membunuh”–sebagian besar dari kita adalah korban ketidakberdayaan artistik semacam itu. Sebagian besar dari kita ditakdirkan untuk cukup puas melata– seraya mendongak tentu--di bawah kaki Sang Wabah itu.

Puisi yang baik? Ah, puisi yang baik sesungguhnya tidak bisa dirumus-rumuskan begitu. Bukankah keindahan memang “tabu” untuk diteorikan–lagi pula buat apa? Puisi yang baik selalu memberontak, “lolos dari dekap”, untuk mengutip sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo, karena ia “sebagian dari semesta”, dan karena ia adalah sebagian dari semesta, maka ia “satu dengan suara manusia”. Dan karena ia adalah suara manusia itu sendiri--artinya suara kita--maka siapa sih gerangan begitu bijak dan pintarnya sanggup menguraikan itu, mengonsepkannya, merumus-rumuskannya?

21 March 2007

Telah Kubunuh

Telah kubunuh kau
dengan sajak. Pelan dan cermat
kuseret masih hangat tubuhmu
ke rerimbun kata. Kugali
sebuah liang di tengah baris
bakal kuburmu kekal. Kutorehkan
judul sebagai ganti nisanmu. Mereka
yang suatu hari nanti tersesat
ke sini, tak bakal mengira kau mati
penasaran di tempat ini. Tak ada
yang bisa percaya bahwa di tengah baris
persis sebelum jeda dan menjelang klimaks
telah kuhabisi kau lebih dulu

18 March 2007

Golgota

Kenanganku berdarah
Diseret-seret sepanjang jalan

Dalam cercaan
Musim dan cuaca
Dibawa aku ke puncak sakit

Direntang anganku
Antara langit dan bumi

Dipakukan kata
Pada tanganku bersilang

Hanya jika bisa kutahankan
Ngeri pengalaman sampai selesai

Bakal terlahir sajak murni
Menetes perih dari liang di lambung

Doa Sungai

Berikanlah kepadaku
Kesabaran sebuah sungai
Mengalir tabah menuju muara
Dengan lumpur dan sampah
Pada sekujur meluluh

Berikanlah kiranya
Ketabahan gunung-gunung
Menerima beban rindu
Dan waktu di atas bahu

Sesampai nanti di muara
Jadikan aku sekadar arus
Deras menghambur pada lautmu
Setelah begitu lama
Kutahankan rindu ini
Betapa kuingin kembali
Lebur menyatu pada luasmu

Tak kupunya lagi nama
Sebab telah kutepiskan lumpur
Yang menodai arahku

Pun tanda-tanda
Yang dulu diwariskan sumber
Terhapus musim dan cuaca

16 March 2007

Tidurlah Anakku

Anakku, ini minumlah
sementara kubereskan ranjang matimu


Kita akan segera pergi
Terbang melintasi pekarangan
Menjauhi tetangga yang bangga
Menonton kita sengsara

Minumlah ini, anakku
sementara kusiapkan baju matimu


Kita akan tetap bersama
Tapi dunia tak mengenal kita
Karena kita begitu beda
Karena saya menolak meminta

Habiskan ini, anakku
sementara kurampungkan surat ini


Malaikat akan datang
Meredam kejang tubuhmu
Malaikat bakal menjelang
Menjemput kita pulang

Sekarang tidurlah, anakku
ijinkan kucium kau untuk terakhir


Kita akan pergi
Terbang menemui tuhan
Sudah lama kita rindukan sorga
Kurasa kutahu kini alamatnya

Juara-Juara Korupsi

SECARA mengejutkan Filipina berhasil merebut gelar Juara I Lomba Korupsi Asia, menggusur Indonesia, sang juara bertahan 5 kali berturut-turut. Fakta ini terungkap dalam laporan survey Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang baru saja diterbitkan (Koran Tempo, Rabu, 14 Maret 2007).

Indonesia sendiri harus puas nangkring di posisi kedua, bersama Thailand. Sementara medali perunggu alias juara ketiga dikantungi Vietnam. Urutan selanjutnya dari nomor 4 sampai 12 berturut-turut adalah : India, Korea Selatan, Cina, Malaysia, Taiwan, Macau, Jepang, Hongkong dan Singapura, yang lagi-lagi menempati posisi paling buncit.

Hasil “gemilang’ yang dicapai Filipina itu langsung dikomplen Gloria Arroyo, sang presiden di sana, karena dinilai tidak akurat. Sementara Teten Masduki dari Indonesia Coruption Watch mengomentari melorotnya peringkat Indonesia sebagai “wajar” karena “cukup banyak kebijakan anti korupsi yang kini diterapkan.”

Daftar peringkat 12 terkorup di Asia itu juga menunjukkan beberapa hal menarik. Misalnya bahwa 3 posisi teratas ternyata dikangkangi oleh 4 negara Asean, yaitu Filipina, Indonesia, Thailand dan Vietnam. Jadi dalam urusan kutil mengutil ini, bangsa-bangsa di kawasan Asean bolehlah berbangga karena bisa mempecundangi negara besar Asia lainnya, semisal Cina dan Jepang.

Sementara itu Singapura, yang selama 10 tahun selalu ada di posisi juru kunci, agaknya perlu belajar sangat keras – misalnya dari Vietnam – untuk bisa memperbaiki peringkatnya di masa depan. Bagi Indonesia sendiri, turunnya peringkat ini tidak jadi halangan untuk kembali bertarung dalam Lomba Korupsi tingkat dunia. Peluangnya cukup terbuka, setidaknya untuk masuk “10 Big”, atau bahkan “5 Big” saja, rasanya masih bisa.

14 March 2007

Berharap yang Baru dari Jokpin

KALAU anda penggemar berat Joko “celana” Pinurbo alias Jokpin, kemungkinan besar anda sudah tahu kabar bakal segera terbitnya kumpulan puisi Jokpin yang paling gres. Judul bukunya Kepada Cium, dan inforrmasi tentang itu bisa dilongok di sini. Antologi ini akan menjadi buku Jokpin yang ketujuh, sebuah prestasi yang sungguh tergolong ajaib dalam dunia puisi kita.

Jokpin dinilai telah berhasil menembus kebekuan dunia puisi kita dengan sumbangan gaya puisinya yang sudah sama kita kenal itu. Sesudah Afrizal Malna, memang Jokpin adalah fenomena yang paling banyak menyedot perhatian kita. Jualan “celana”nya ternyata terus saja laris manis -- tapi sampai kapan kira-kira ya?

Seperti kita pahami, pembaca adalah juri yang paling jujur dan tak mempan dibohongi. Mereka pun adalah species pembosan yang mengerikan. Maka bagi saya pertanyaan “sampai kapan” jualan Jokpin masih bakal laku, menjadi hal yang menarik buat ditunggu.

Sapardi Djoko Damono menyiasatinya dengan menciptakan varian-varian baru dalam puisinya, sehingga ketika Akuarium dan Mata Pisau lahir, kita tidak merasa sedang membaca DukaMu Abadi dengan kulit sampul dan judul yang diganti. Varian-varian baru itu terus berlanjut ke Ayat-Ayat Api dan Ada Kabar Apa Hari Ini Den Sastro?, buku puisinya yang paling belakangan.

Kalau ditarik garis lurus akan kita dapatkan jarak yang jauh antara “estetika daun gugur” yang dulu menjadi roh DukaMu Abadi dengan puisi-puisi seperti "Kelereng" atau "Iklan" – untuk sekadar menyebut contoh – yang ada dalam antologi Ayat-Ayat Api.

Kalau Joko Pinurbo gagal menciptakan varian-varian baru itu – atau “puncak-puncak baru” dalam kosa kata Sutarji Calzoum Bachri – maka saya khawatir kita akan terlalu pagi bicara perihal “sandyakala Jokpin”, seraya mungkin dengan sedih mengenangnya sebagai seorang mantan penjual “celana” yang pernah sukses.

12 March 2007

Kepada Jakarta

Tak bisa kutebak
Kau sebetulnya siapa
Malam apalagi
Menyimpan sempurna lukamu
Dalam kemilau lampu

Atau tunggu saja
Sampai habis kata
Terkumur pahit di mulut
Bakal terlucut topeng
Yang menutup muka

Di balik setiap baju
Dan kilau lelampu
Tersimpan rapuh
Sepi hati manusia dulu
Lama sebelum kau

Hadir dan menggoda
Dengan silau benda
Warna-warni di bawah matahari
Ialah ini belantara ganas
Melahapmu tak mau sudah

09 March 2007

Puasa Puisi Afrizal Malna

AFRIZAL Malna pernah memutuskan “bercerai” dari puisi. Itu terjadi sekitar 1970-an pertengahan. Alasannya sungguh idealistis : ia merasa puisi-puisi yang ditulisnya saat itu tidak memuaskannya samasekali. Maka daripada hanya nyampah, ia putuskan lebih baik stop menulis saja. Ia pun lalu mengalihkan perhatiannya pada hal-hal “di luar” puisi, dan sekuat tenaga menahan semua dorongan libidinalnya untuk menulis.

Tapi “puasa” nya hanya bertahan 2 tahun. Berahi puitikal yang begitu kuat dari dalam dirinya akhirnya memaksanya kembali “menghunus” kata. Namun ada yang berbeda. Puisi-puisinya pasca puasa itu bukan lagi “spam”, alias “sampah”, dan motivasi menulisnya pun dirasanya lebih “murni”, bukan lagi didorong oleh hal-hal yang hanya artifisial dan sampingan.

Kisah Afrizal Malna ini selalu menginspirasi saya. Ini adalah kisah refleksi dan pencarian “iman” seorang pencinta puisi sejati. Bayangkan, ia rela melakukan puasa, bermatiraga, berpantang, menolak berhubungan dengan puisi, justru untuk mendapatkan jawaban sejati apakah ia memang sungguh-sungguh memerlukan kehadiran puisi dalam hidupnya.

Afrizal Malna kita tahu sudah menjawab pertanyaan itu. Tapi bagaimana dengan kita, saya dan anda? Ingat lho, kualitas dan buah kerja menyair kita antara lain juga ditentukan oleh bobot atau kualitas jawaban yang kita berikan atas pertanyaan itu.

Jadi, coba tanyakan dan jawablah dengan jujur, sungguhkah anda memerlukan kehadiran puisi dalam hidup anda? Dan sebagai apa? Teman ngerumpi iseng, pacar musiman, selingkuhan gelap, atau pasangan hidup permanen anda? Suami atau istri begitu? Atau anda masih belum punya jawabannya? Ah, bagaimana kalau puasa puisi dulu …baru nanti menjawabnya?

08 March 2007

Terjemahan 3 Sajak Ook Nugroho

Time melting

Time melting once again
The room resumes my name
You a mere shadow
Obscured across the weather

We must talk
You say, at the threshold of words
But language seems
A mere wall

Towering divide between us
Time keeps on melting
The room still wearing my name
You I know not who, nor where

Improvisation

I have left you an empty plot
right here. Please enter and select any corner
that you like. Perhaps you’d feel good

near a comma, a foggy niche
before a period becomes dotted. Or you
may as well play with a number

of question marks. Whichever; but
I certainly won’t suggest you coiling near the title—
it’s a deception. You know it, don’t you?

To Whom I am Talking

I will never know
Whom these words
Will ever reach finally
I have of course not written
Them for the sake of nothing
You are the one I’ve aimed
But who actually are you
Do we not know each other
Do I not have your address
In the shrubs of my memories
Eventually beyond this poem
Is the world of orange dusk
Where you may then be
In a city far away anywhere
While it'll remain unconfirmed
As to whom I am talking

(Sumber : Kompas, 4 Februari 2007 - Terjemahan : TQ)

07 March 2007

Masa Pensiun

(Pinurbo)

Nanti kalau sudah pensiun
Ia berencana jualan celana
Seraya menikmati jatah senjanya

Ia sudah menemukan lokasi
Tempat jualan yang bagus
Ialah kuburan tempatnya rebah

Ia tak punya target muluk
Asal sehari ada saja penziarah
Datang meratapi rombeng celananya
Ia sudah akan puas dan bahagia

Podium Bachri

(Aspahani)

Bayangkan ada podium, kapak, bir
Bayangkan ada sepi manjat itu podium
Bayangkan sepi mereguk itu bir di podium

Bayangkan sepi menetak itu kapak
Ada kau terbahak tak paham bayangkan
Waktu sepi teriak pekak di podium

Aku Tak Tahu

Aku tak tahu ada aku dalam puisimu
Aku tak tahu kau simpan juga aku dalam mapmu
Aku tak mengira ada aku terselip di rak bukumu itu
Aku tak paham adakah bakal nyaman aku di situ

05 March 2007

SBY versus "SBY"

MENANGGAPI gertakan somasi Menteri Komunikasi & Informasi Sofyan Djahil (maksudnya Djalil), presiden “SBY” alias “Si Butet Yogya” dari Republik Mimpi semalam mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Republik Mimpi diputuskan bermetamorfosis menjadi Kerajaan Mimpi. Jurus yang kata “SBY” diambil di tengah rasa geli karena ada seorang menteri yang tidak paham apa itu demokrasi, disiapkan untuk menangkis tuduhan seram bahwa Republik Mimpi telah “mendeligitimate lembaga kepresidenan yang sah” di sebuah negara tetangga.

Konsekuensi dari dikeluarkannya dekrit itu, “SBY” kini bukan lagi presiden, tapi “raja”, dan karena ia raja maka “Saya boleh apa saja”, katanya sembari cengengesan. Sadar bahwa acara itu berada dalam ancaman yang bisa saja serius, Effendi Gazali cs semalam tampil all out, memanfaatkan setiap sekon waktu yang ada untuk menggebrak balik ancaman somasi yang sempat bikin rame beberapa hari ini.

Tokoh “orang dalam istana” menyodorkan bukti bahwa parodi politik bukan sebuah tabu yang harus membuat penguasa ketakutan atau marah-marah. Ia mencontohkan Ratu Elizabeth dan presiden AS George W. Bush. Keduanya juga pernah “dikerjain” lewat parodi, tapi tidak lantas ribut mengajukan somasi. Guru bangsa “Megawanti” melontarkan pertanyaan retoris : "Kalau pemerintah boleh bergurau mengurus korupsi, mengapa warga Republik Mimpi dilarang bergurau menertawakannya?". Amien Rais, yang diundang juga ke acara itu, menimpali bahwa kalau “penguasa sudah mulai main larang, biasanya umurnya tidak lama lagi”, yang kontan disambut aplaus meriah penonton.

Di ujung acara, ditayangkan ulang petilan episode parodi ini sewaktu Andi Malarangeng, dalam kapasitasnya sebagai juru bicara SBY diundang ke acara itu. Sang jubir presiden ketika itu menjawab – kira-kira -- bahwa SBY “tidak keberatan” dengan acara semacam parodi Republik Mimpi itu. Asal, kata tuan Malarangeng, semuanya berlangsung dalam koridor konstitusi yang sah.

Alhasil, ini adalah sebuah usaha counter attack yang brilian dari Effendi Gazali, nama yang paling bertanggung jawab di belakang semua sepak terjang dan kehebohan pentas parodi politik “Republik Mimpi” – yang sekarang menjadi “Kerajaan Mimpi” itu. Kalau toh akhirnya somasi itu jadi keluar juga – karena peperangan belum selesai, bukan? – dan acara ini harus bubar, kita sudah tahu siapa yang sebetulnya “kalah” dan “menang”.

04 March 2007

Membaca Anwar

Siapa mengajar
Anwar menulis puisi?

Hanya waktu –
dan dalam ambigu

hati-hati diletakkan
kata pertama

pada awal baris.

Siapa menjalinnya padu
sebagai lagu?

Hanya rindu –
jauh di lubuk dalam

membekas jejaknya,
menyeru tak habis-habis.

“Aku mau hidup
1000 tahun”, katanya.

02 March 2007

Ode Bagi Pisang

/1/
Pisang
menunggu tenang
di meja makan.
Percaya diri
pada gilirannya,
nasib yang menjelangnya,
nanti sesudah selesai
sendok dan garpu
saling membunuh
rakus dan buas
di atas piring,
persis, di sebelahnya.

/2/
Pisang
tak pernah menyerah.
Lihat bagaimana ia
tegak menjulang.
Dalam telanjangnya
malah ia tawarkan
semacam kelembutan.
Menara alit ini
menatap tabah
untuk kunyah pertama,
koyak penentu,
bagian takdir
yang jadi miliknya.

01 March 2007

L e v i n a

PARAGRAF-paragraf ini disediakan bagi reporter televisi dan petugas polisi yang mengalami nasib nahas saat bertugas di atas bangkai kapal Levina I yang mendadak karam. ahad siang lalu. Memang ada banyak urusan yang musti dibikin terang dalam musibah itu. Ada penyimpangan prosedural, begitulah kita dengar kalimat itu banyak diucapkan orang hari-hari ini. Ada banyak hal brengsek yang terus dijalankan dan dipertahankan, karena ada orang-orang yang kagak becus – barangkali lebih betul “masa bodoh" – dan itu banyak, yang menjamin bahwa hal-hal brengsek itu sebaiknya tetap ada.

Tapi kita mungkin boleh sedikit merasa terhibur, karena di tengah situasi yang mustahil dan gila ini, setidaknya ada seorang kru televisi swasta yang membuktikan kepada kita bahwa hal “baik”, bahwa sebuah “niat baik”, belum sepenuhnya absen dari tengah kita. Muhamad Guntur, reporter TV swasta itu, seperti dituturkan seorang rekannya, sebetulnya bisa saja merelakan “kameranya” hilang untuk sebuah pilihan lain yang “lebih masuk akal”. Tapi kita tahu ia, yang ternyata tidak bisa berenang, justru tidak mengambil pilihan lain yang “lebih masuk akal” itu.

Paragraf-paragraf ini juga disiapkan untuk korban tewas lainnya dari kapal itu. Mereka, puluhan jumlahnya, mungkin tidak semuanya terdaftar dalam buku manifes. Mereka pun tidak “beruntung” bisa diekspos media, atau dielu-elukan sebagai “hero”. Keberadaan mereka hanya dicatat sebagai angka, atau disebut sepintas lalu, barangkali dengan sedikit keterangan tambahan “tidak terdentifikasi”, atau sekadar tanda “?” pada papan tulis di kantor pelabuhan yang repot itu.

Kita tak sempat tahu bagaimana mereka sebetulnya pada malam kelam saat kapal itu terbakar. Tak ada tayangan kamera “ekslusif” yang bisa dipamerkan kepada publik saat horor itu berlangsung. Tapi kita percaya, setidaknya saya tetap percaya, pada saat itu ada dari mereka yang sampai pada saat-saat terakhirnya – seperti dilakoni almarhum Muhamad Guntur – tetap membela “kameranya” daripada beralih pada pilihan lain yang “lebih masuk akal”, yang menjamin mereka bakal selamat.

Paragraf-paragraf ini memang disediakan bagi mereka, yang – meminjam kata-kata talzim seorang santu katolik – “telah menyelesaikan pertandingannya dengan baik …”, seraya “menjaga imannya”. Paragrag-paragraf ini mencoba menyelamatkan mereka, mungkin ke dalam sepotong kenangan penulisnya, sebelum waktu mengaramkan mereka lebih dalam lagi. Sebuah usaha yang mungkin saja sia-sia, karena waktu terus berjalan, tak menoleh atau bertanya, dan besok atau lusa – seperti antrean dalam sebuah arisan – ada saja kapal lain lagi yang terbakar, karam …
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...