https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

05 March 2008

Menunggu Eksperimen Pena Kencana

HARI ini, 5 Maret 2008, buku “100 Puisi Terbaik Indonesia 2008” (kerjasama Pena Kencana dan Gramedia Pustaka Utama) resmi diluncurkan. Seperti sudah sama diketahui ini adalah bagian dari hajatan akbar Pena Kencana yang rencananya akan ditradisikan setiap tahun. Dan seperti biasa, kalau penyair bikin hajatan pastilah ada ribut-ributnya—kalau nggak ribut bukan penyair namanya.

Ribut pertama menyoal komposisi juri yang dianggap keliru. Sebetulnya komposisi juri yang ada sudah boleh dibilang “solid”. Masalahnya kemudian ternyata ada puisi milik beberapa nama yang terlibat sebagai juri itu ikut terpilih juga. Ini kemudian memunculkan sikap skeptis pada obyektivitas kerja juri.

Mustinya panitia sudah bisa mengantisipasi masalah ini jauh-jauh hari, dengan memilih komposisi juri yang betul-betul netral. Artinya mereka yang selama setahun terakhir ini memang tidak pernah menyiarkan puisinya di koran yang dijadikan sumber penjurian. Masih banyak nama hebat lain yang sebetulnya bisa dipilih. Entah mengapa pilihan ini tidak dilakukan. .

Ribut kedua menyoal sistem penjurian oleh pembaca lewat SMS guna memilih “puisi terbaik nomor satu”. Banyak yang mengkawatirkan cara ini akan memunculkan hasil yang lucu, konyol, dan rancu. Saya bergurau dengan seorang kawan tentang hal ini. Kata saya, kalau saja saya punya duit banyak, akan saya borong bukunya, saya bagi-bagikan gratis kepada para sahabat, famili dan handai tolan, lalu saya suruh mereka yang sudah terima buku itu kirim suara untuk puisi saya. Dijamin, puisi sayalah nanti yang bakal keluar sebagai “si nomor satu”.

Kecelakaan sedahsyat itu mungkin tidak bakal terjadi, karena rasanya mental penyair kita belum sebobrok itu. Tapi bagaimanapun cara poling lewat SMS ini mengandung banyak celah yang ujung-ujungnya bisa bermuara pada kekonyolan juga. Faisal Kamandobat yang akhirnya menarik puisinya dari penjurian menyebut “belum mapannya khazanah literer kita” sebagai lubang jebakan yang bisa menjerumuskan.

Lepas dari semua kekhawatiran itu—yang siapa tahu ternyata kelewat dilebih-lebihkan—upaya ini pantas diapresiasi sebagai sebentuk eksperimen yang berani. Dan setiap eksperimen tentu saja dibayangi resiko gagal. Tapi kalau tidak pernah dicoba mana kita pernah tahu bagaimana hasilnya, bukan? Karena itu mungkin sebaiknya kita stop dulu polemik, dan menunggu hasilnya.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...