Saya mengerti, keadaan tak bakal berubah
karena sepotong sajak. Zaman
tak mendengarkan samasekali kata-kata
yang kutimbang lama, sebelum akhirnya
kutuliskan. Para penguasa dengan
bedil dan undang-undangnya, meludah jijik
di atas kepala para penyair. Saya
tahu itu semua. Tapi toh saya kembali
ke tempat semula. Duduk, dan menuliskan
setidaknya sebuah sikap untuk dunia ini.
1 comment:
NARA SUMBER
seorang penyair dari seberang
datang dengan gagah
stasiun televisi mengundangnya
sebagai tokoh sastra
‘jadi nara sumber’, katanya tertawa
entah berapa puisi telah ia cipta
karyanya bertebaran di media massa
jika dimuat di koran besar, lumayan
buat bayar kontrakan rumah
lokasinya di kafe berkolam renang
ada es jeruk yang diminumnya
sembil bayangkan anak isteri menanti
‘kapan ya ditayangkan,’ tanyanya pada gelas
yang dari tadi diam saja
selesai sudah rekaman itu
bercakap sana sini sebelum pulang
diantar seorang teman
yang sering berbincang tentang kehidupan
sampai di rumah dengan wajah lelah
dia duduk di kursi yang sudah sobek sebelah
dirobeknya amplop honor wawancara
wajahnya memucat
bukan berlembar uang yang ada
tapi kertas katakata
berisi ucapan terima kasih
serta seribu janji
untuk tampil lagi di televisi
sambil mengunyah kecewa dan sedih
ditulisnya sebuah puisi
tentang televisi
lbmlm, 12 11 06
Post a Comment