https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

08 January 2009

Kisah "Hasan" yang Salah Posisi

HASAN adalah seorang guru yang baik dan rajin. Ia bukan hanya disukai para siswanya, tapi juga rekan-rekannya sesama guru, dan bahkan para pesuruh di sekolah tempat ia mengajar pun ikut menyenanginya. Hasan memang bukan guru kemarin sore. Selain menguasai dengan baik materi pengajarannya, ia juga dikenal pandai mengambil hati. Latar belakang pendidikannya juga bagus. Kabarnya ia sempat berguru kepada orang-orang pandai di tanah Jawa, kalau tak keliru di kota Bogor, yang banyak rujak asinannya itu.

Karena prestasi bagusnya itu, pihak yayasan kemudian mempromosikannya menjadi kepala sekolah. Begitulah ia kemudian ditempatkan di sebuah sekolah partikelir di Batam. Semua orang pun senang. Tapi Hasan ternyata tak teramat happy dengan posisi barunya itu. Entah mengapa ia merasa lebih enjoy berdiri berpegal-pegal kaki di depan kelas, menceramahi murid-muridnya yang pada menatapnya seraya terkesima, ketimbang musti duduk di belakang meja menghadapi surat-surat dan kertas-kertas belaka.

Singkat cerita, Hasan ternyata memang tak sukses (dan tak bahagia) sebagai kepala sekolah. Sekolah yang dikelolanya mengalami kemunduran, dan jumlah muridnya terus berkurang. Seandainya dulu Hasan tetap “dibiarkan” menjadi guru, sangat mungkin sumbangsihnya kepada dunia pendidikan akan jauh lebih nyata. Sebagai kepala sekolah ia hanya menang gengsi doang, tapi hanya sedikit yang telah dihasilkannya.

Kisah Hasan yang “salah posisi” banyak terjadi di sekitar kita. Seseorang mungkin menempati posisi salah itu karena kekuasaan di luarnya yang “memaksa”nya begitu (seperti dalam kisah Hasan tokoh kita), tapi lain kali mungkin ia sendiri yang dengan sengaja “mendorong-dorong” dirinya memasuki area yang salah itu. Susahnya, sering ia sendiri terlambat (atau bahkan tak kunjung) menyadari adanya kekeliruan itu.

Di dunia sastra urusan “salah posisi” ini, juga kerap terjadi. Kita semua kenal pada si Badu misalnya, seorang penyair yang lumayan berbakat. Sekiranya ia fokus “hanya” pada kerja “tukang syair” saja, mungkin sekali ia akan menelurkan banyak mahakarya nantinya. Sayang, ia ternyata tergoda juga untuk menjadi “tukang mengritik”. Kejadianlah, karena dasarnya ia memang tak kompeten, kritik-kritiknya jadi terdengar aneh, lucu, tapi kadang bikin sebal juga, sampai-sampai lalu ada yang menjulukinya “tukang kritik palsu”. Ada pula yang menyebutnya “Si Peracau”, “Ember Bocor”, dan beberapa sebutan lainnya.

(Maaf, siapakah ada yang sudi memberitahu Badu supaya ia sebaiknya berhenti saja jadi “kepala sekolah” dan kembali “mengajar” seperti dulu—itu sungguh terlebih manfaat baginya, dan insyallah untuk “sekolah” ini juga. Bilanglah sama dia, saya sangat “sayang” padanya, jadi tolonglah jangan lagi menghabiskan waktu memukuli tong kosong seperti itu. Paham ya, maksud saya?).

4 comments:

Anonymous said...

Maksudnya Hasan sebaiknya kembali ke khittah kayak NU?

Anonymous said...

wah, bagaimana kalau dua tokoh di sini tukar nama saja?

Anonymous said...

iya deh, nanti saya sampaikan. dari dulu pun saya sudah bilang, tapi beliau nampaknya terus merasa mabok kepayang...

Anonymous said...

Tidak apa-apa juga jadi tukang syair sekaligus tukang kritik kan Mas. Asal sama-sama bagus. Saya ingat zaman dulu ada tokoh yang diserang sebagai "kritikus kampung" tetapi nyatanya kritiknya seiring zaman diakui juga. Salam, Rea

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...