https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

01 November 2011

Pulau Miring

: Mardi Luhung

Dalam sajakmu, mengapa kurasa langit berat, menekan
Meski hujan tak mengancam samasekali, orang-orang
Yang sepertinya tak bahagia, tapi juga tak berduka
Mendiami kampung gersang, gersang yang gelisah tak ramah

Mereka punya matahari yang berwarna ungu
Sepanjang tahun, meski siang telah mengirimkan
Gelombang pasangnya ke jalan-jalannya lengang kurasa
Dengan angin kering yang usil menubruki dinding

Karena ini kota pantai, mereka coba menjelaskan:
Kami pun dekat dengan laut, mengenal maut seperti
Memahami tetangga sebelah kami,yang bisa saja
Sekonyong datang berkunjung larut malam, menjenguk

Mengingatkan kami pada sebuah kenduri purba
Maka, di pantai yang selamanya senyap
Orang-orang bermata cekung kadang bertemu, menetapi janji
Membagi-bagikan ciuman kelabu pada mulut pasir

Sebelum mereka santap beramai hidangan surga itu:
Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan
Mereka akan pulang sesudah puas menumpahkan sisa muntahan
Di gili-gili seram pulau cantik, pulau cantik yang menangis

Orang-orang yang sepertinya sulit berbahagia ini
(Kuduga sebagian bermata ganjil, sebagiannya bertanduk.
Tanduk keling yang menancap pada pelipisnya tipis memar):
Dengan apa kusapa, jika berpapasan kami di jalan pulang?

Tapi kudengar mereka memang anonim, tak paham silsilah
Tinggal tak betah di rumah-rumah yang berdiri miring
Di sepanjang pesisir gering, di mana tak ada cukup jendela melambai
Terbuka, dan jika maut mendatangi, mereka akan memanjati genting

Menuntaskan takdir dan kepalanya di sebelah utara
Menyerahkan tubuh pada selatan yang lebih berkabut dan biru.
Kabut tebal pekat yang turun menaungi, menyembunyikan
Tuhan dan surga ungu, dalam selarik sajak miring

1 comment:

Tilarso said...

saya merinding membaca baris ini

Nasi pandan hijau, sup kuping merah, jerohan bayi 7 bulan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...