TOKOH kita hari ini tentu saja George Bush. Tapi saya lebih tertarik bercerita yang lain. Sebuah kisah cinta. Bukan cinta biasa. Mungkin tergolong luar biasa. Malah sedikit gila. Tapi bukan cinta namanya kalau tidak edan, bukan? Saya mengutipnya dari seorang kawan.
Alkisah, di Hongaria dulu hidup seorang penyair, yang cintanya kepada puisi sungguh tak terbagi. Begitu cintanya dia pada puisi hingga ia cuma punya tiga hal yang dengan bersemangat kerap diperkatakannya kepada setiap orang yang ia jumpai. Yang pertama adalah puisi, yang kedua adalah puisi, dan yang ketiga juga puisi, sehingga orang-orang pun belajar menjadi bosan dan mulai menjauhinya.
Tapi, sang penyair tokoh kita ini, tak menyerah begitu saja. Begitulah, sesudah memeras otak berhari-hari ia pun menemukan sebuah gagasan yang tidak biasa. Ia pergi ke sebuah pasar hewan dan membeli seekor keledai di sana. Keledai itu dibawanya pulang, dibuatkan kandang yang bagus, dicukupkan makan dan minumnya, yah pokoknya dijaganya dengan cermat lagi teliti. Dan setiap sore, kalau cuaca bagus, keledai itu dibawanya keluar. Dengan telaten ia menuntun keledai itu menyusuri jalanan desa yang tentram. Seraya menikmati udara sore yang sejuk di Hongaria sana, sang penyair tokoh kita ini pun mulailah bertutur segala apa perihal puisi kepada keledainya. Itulah yang ia lakukan setiap sore. Dan sang keledai, layaknya sahabat yang "bijak" dengan sabar mengunyah segala ocehan itu.
Mungkin anda bertanya, bagaimana kalau kebetulan cuaca hujan? Ah, gampang. Tokoh kita ini akan menyambangi keledainya di kandangnya, dan meneruskan "diskusi sastranya" di tempat itu. Ia juga punya kiat lain guna mencegah kebosanan. Biasanya ia akan masuk ke kamarnya yang sesak dijejali buku-buku puisi,, mengunci pintunya dengan cermat, lalu seraya dengan takzim menghadap dinding, mulailah ia kembali bertutur apa saja seputar puisi, kepada dinding kamarnya itu. Dan sang dinding, layaknya "pencinta" yang setia, dengan telaten mendengarkan segala omong kosong itu.
Alkisah, di Hongaria dulu hidup seorang penyair, yang cintanya kepada puisi sungguh tak terbagi. Begitu cintanya dia pada puisi hingga ia cuma punya tiga hal yang dengan bersemangat kerap diperkatakannya kepada setiap orang yang ia jumpai. Yang pertama adalah puisi, yang kedua adalah puisi, dan yang ketiga juga puisi, sehingga orang-orang pun belajar menjadi bosan dan mulai menjauhinya.
Tapi, sang penyair tokoh kita ini, tak menyerah begitu saja. Begitulah, sesudah memeras otak berhari-hari ia pun menemukan sebuah gagasan yang tidak biasa. Ia pergi ke sebuah pasar hewan dan membeli seekor keledai di sana. Keledai itu dibawanya pulang, dibuatkan kandang yang bagus, dicukupkan makan dan minumnya, yah pokoknya dijaganya dengan cermat lagi teliti. Dan setiap sore, kalau cuaca bagus, keledai itu dibawanya keluar. Dengan telaten ia menuntun keledai itu menyusuri jalanan desa yang tentram. Seraya menikmati udara sore yang sejuk di Hongaria sana, sang penyair tokoh kita ini pun mulailah bertutur segala apa perihal puisi kepada keledainya. Itulah yang ia lakukan setiap sore. Dan sang keledai, layaknya sahabat yang "bijak" dengan sabar mengunyah segala ocehan itu.
Mungkin anda bertanya, bagaimana kalau kebetulan cuaca hujan? Ah, gampang. Tokoh kita ini akan menyambangi keledainya di kandangnya, dan meneruskan "diskusi sastranya" di tempat itu. Ia juga punya kiat lain guna mencegah kebosanan. Biasanya ia akan masuk ke kamarnya yang sesak dijejali buku-buku puisi,, mengunci pintunya dengan cermat, lalu seraya dengan takzim menghadap dinding, mulailah ia kembali bertutur apa saja seputar puisi, kepada dinding kamarnya itu. Dan sang dinding, layaknya "pencinta" yang setia, dengan telaten mendengarkan segala omong kosong itu.
No comments:
Post a Comment