https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

08 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (4)

Sumber

Sumber yang tersedia untuk seorang penyair begitu luas. Sedemikian melimpah sesungguhnya, sehingga tak ada alasan baginya untuk bercengeng diri. Ia bahkan bisa melanglang bebas melampaui batas-batas teritorial sastra—jika “batas” itu memang ada—melongok “dunia lain” nun di luar sana, sebelum kelak kembali pulang dengan berkas-berkas puisi yang senantiasa “baru” dan segar.

Adakah penyair yang sedemikian mempengaruhi anda, sehingga anda menjadi penyair dengan puisi seperti sekarang?

Ibu puisi saya adalah bahasa Indonesia, sementara saya bisa memilih aneka bapa perpuisian dari mana saja—dari kampung saya, kampung-kampung tetangga, negeri saya, atau mancanegara. Sampai kapanpun sang ibu akan terus hidup dan menghidupi saya, namun saya bisa menyingkirkan atau membinasakan kaum bapa itu, sebagian atau seluruhnya, dan memilih lagi bapa-bapa yang lain. Sang ibu abadi, sementara sang bapa tidak. Saya gampang tertarik kepada puisi cemerlang dari mana saja, tapi saya sangat berhati-hati dalam mengambilnya sebagai model. Seandainya saja ada model-model itu—yaitu apa yang dalam teori sastra disebut hipogram—dalam sajak-sajak saya, maka saya lebih suka tidak mengatakannya, supaya si penyair tak menghalangi proses pembacaan (juga, supaya saya tak kelihatan keren-kerenan membaca para penyair dari luar sana). Adalah tugas anda sekalian—pengulas, pembaca dan penyair—untuk menemukan dan
menciptakan kembali model-model itu berdasarkan prinsip intertekstualitas. Namun, tak jarang pula, alusi itu, isyarat terhadap rujukan itu, sudah terbimbing oleh beberapa kata dan nama kunci (misalnya saja, Hiroshi Sekine dan Juan Jose Arreola) dalam puisinya sendiri. Bahkan saya menyertakan pula catatan belakang untuk itu. Namun alusi terhadap penyair tertentu, atau terhadap sejumlah baris dalam sajaknya belaka, tidak dengan sendirinya berarti bahwa sajak saya itu bermodelkan apa yang dialusikan.

Saya juga harus mengatakan bahwa model atau “sumber inspirasi” saya bukan hanya puisi. Saya bisa bertolak dari lirik lagu-lagu populer “Selendang Sutra” dan “Sepasang Mata Bola” (keduanya karya Ismail Marzuki) dan “Keroncong Sapu Lidi” (Sukamto); hasilnya adalah sajak “Selendang Sutra”. Khazanah seni rupa sudah pasti merupakan salah satu sumber yang terpenting juga. Ketika menonton pameran “patung” Martin Puryear di Museum of Modern Art, New York, pada awal November lalu, misalnya, citra bubu segera mengembang dalam diri saya; citra itu makin menguat manakala saya menghubungkan Puryear dengan seorang pematung mutakhir kita, Anusapati, yang, seperti Puryear, juga bertolak dari bentuk-bentuk perkakas kampung. Saya ingin menulis kajian perbandingan tentang Anusapati dan Puryear untuk melengkapi (dan “mengoreksi”) ulasan saya tentang pameran Anusapati di Jakarta pada 2001, namun saya berbelok untuk menulis puisi berjudul “Bubu”, yang sudah terlepas sama sekali dari lingkaran dua pematung itu. Selanjutnya, anda akan menemukan sejumlah nama kunci dalam sejumlah puisi saya: karya mereka membuka jalan bagi sajak-sajak saya.

Saya juga gemar melakukan “pembacaan jauh” terhadap aneka lanskap perpuisian nasional di luaran, mencari kaitan antara situasi sosial-politik dengan situasi kebahasaan dan kesastraan di situ. Kait-mengait ini menggugah saya meneliti situasi kebahasaan di negeri sendiri, untuk mencari bentuk-bentuk pengucapan yang paling mungkin, katakanlah yang “strategis”. Situasi sosial-politik selalu memaksa kita membentuk gambaran dunia yang baru melalui bahasa. Puisi buat saya selalu bersifat subversif, dalam arti bahwa dia menantang semua bentuk komunikasi yang sudah mengalami komodifikasi. Puisi mengubah cara kita berbahasa, artinya juga cara kita memandang dunia. (Bersambung)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...