https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

20 June 2008

Binhad Nurrohmat, Sang Demonstran Sexi

Kami buang tahi
sambil menulis puisi.

Kami benci puisi
bertampang politisi
.

(Sajak "Penyair Murni")

BINHAD NURROHMAT adalah sebuah perlawanan. Begitulah saya menafsirkan segala sepak-terjang sastranya selama ini. Perlawanan itu sudah mulai bahkan dari hal-hal yang “sepele”, misalnya pada kebiasaannya menuliskan puisinya dengan tipografi “rata kanan”. Terlihat sepele, tapi setahu saya hanya dialah penyair kita yang secara konsisten-permanen menulis puisi dengan tata-letak demikian. Dan itu membuat kehadirannya menjadi segera gampang dikenali.

Perlawanan lainnya, yang lebih substansial, adalah ketika ia secara secara sadar dan konsisten menjadikan “tubuh” dengan segala konsekuensi estetis-biologis yang mengikutinya sebagai lahan garapan puisinya. Para pembaca yang sok moralis berlomba-lomba meneriakinya sebagai “penyair perusak ahlak” dan makian lain semacamnya. Tapi begitulah, dengan pilihan puitikanya itu Binhad telah menjadikan dirinya sebuah ikon unik dalam peta perpuisian nasional.

Kitab “Demonstran Sexi”, kumpulan sajaknya yang paling gres (penerbit Koekoesan, Mei 2008) masih meneruskan “perlawanan” itu. Bedanya perlawanan itu dilakukan dengan semangat berolok-olok dan seloroh yang kental. Puisi-puisi Binhad dalam kumpulan ini dengan segera mengingatkan saya pada model sajak yang ditawarkan gerakan puisi mbeling beberapa puluh tahun lalu. Bukankah semangat “perlawanan” juga yang dulu menjadi pemantik awal lahirnya “mazhab” itu?

Binhad Nurohmat kini “memanfaatkan” gaya mbeling itu untuk merespons berbagai hal yang mengusik dan mengganggunya. Ia misalnya meledek dengan satiris gejala “post power syndrome” yang menjangkiti sejumlah penyair “tua” kita (hal. 6 & 7), menyindir kesukaan “bergerombol” pada sejumlah sastrawan (hal. 18), yang buntutnya hanya melahirkan polarisasi tak sehat dalam kehidupan sastra di sini (hal. 17, 20, 41).

Dan kepada mereka yang gemar menjulukinya “seniman perusak ahlak” dengan santai ia menitipkan pesan dalam puisi “Penyair Pidato Kebudayaan 2006” (hal. 11). Ia juga menulis puisi “Monkey Literary Award” (hal. 45) yang menyindir sebuah ajang sastra berhadiah besar di sini, yang maunya menjadi proyek prestisius, tapi karena kelemahan dalam sistem penjuriannya, kini sering malah menjadi bahan sinisme di kalangan sastrawan sendiri. Dan masih banyak hal lain lagi yang ditulis Binhad.

Kumpulan puisi “Demonstran Sexi” memang bukan kitab sastra istimewa, kita mungkin boleh menganggapnya saja sebagai “selingan” dari kiprah sastra penulisnya. Tapi bagi saya sendiri buku ini terasa cukup menyegarkan dan “membebaskan”. Maka jika anda telanjur sudah menjadi penggemar berat Binhad, atau sebaliknya anda adalah “musuh besarnya”, kitab puisi ini, tak bisa tidak, wajib anda miliki.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...