https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

16 June 2008

Nonton Bola, Nonton Puisi

PUISI yang baik barangkali boleh diumpamakan dengan sebuah permainan sepak bola yang baik. Puisi yang baik, seperti halnya permainan sepak bola yang baik, mengisyaratkan adanya penguasaan skill yang tinggi, stamina yang prima, plus kreativitas yang luar biasa. Puisi yang baik adalah kompilasi dari ketiga faktor itu, ditambah satu lagi, yaitu “nasib baik”.

Pembaca yang cermat akan melihat seorang penyair menyusun puisinya seperti sebuah kesebelasan menyusun serangannya. Kata-kata dialirkan dari baris ke baris lewat operan-operan pendek yang efisien, through pass, wall pass yang menyayat emosi, atau umpan-umpan lambung dan silang yang memanfaatkan lebar dan luas lapangan imajinasi dengan akurasi yang terukur.

Tapi skill tinggi saja tidak memadai. Puisi yang baik ternyata adalah puisi yang juga sukses menjaga tempo dan ritmenya. Konsistensi, adalah persyaratan berikutnya.

Kotak penalti adalah area yang paling krusial dan sensitif. Di sinilah sebuah permainan diuji dan dinilai. Di kotak penalti inilah nyawa sebuah puisi dipertaruhkan. Skill tinggi, stamina bagus, kreativitas yang super menjadi mubazir saja, kalau tidak ada gol yang tercipta, bukan? Seorang penyair akan berdaya sekeras bisa demi menyarangkan gol untuk puisinya.

Begitu krusial dan sensitifnya kotak penalti, sehingga seorang penyair kerap melakukan banyak blunder dan kesalahan yang tidak perlu. Ia mungkin bertindak kesusu, menjadi gugup, sehingga sontekan kaki atau sundulannya melenceng, atau membentur tiang gawang, atau malah nyasar ke pelukan sang kiper lawan.

Seorang penyair mungkin juga tergoda untuk bermain “nakal” di kotak penalti. Ia mungkin terjebak dalam permainan kasar, atau curang, berpura-pura jatuh untuk mengecoh wasit, dengan maksud mendapatkan hadiah penalti, yang akhirnya membuka peluang besar ke arah terciptanya gol. Tujuan menghalalkan cara juga terjadi di lapangan puisi.

Karena itu, tidak pernah ada sajak yang sempurna, seperti juga tak pernah ada permainan sepak bola yang sepenuhnya “fair” dan “sportif: Puisi yang akhirnya “lulus” dianggap baik juga tidak bisa lepas dari cacat-cacat manusiawi sang penyairnya. Konsep luhur “fair play” memang hanya akan jadi slogan dan utopia belaka.

Tapi mungkin justru di situlah letak “kebesaran” dan “keagungan” sebuah karya. Cacat manusiawi yang terbawa padanya dengan demikian menjadi gambaran yang paling sempurna dan representatif dari kondisi kemanusiaan yang hakikatnya memang “retak”, alias tidak paripurna.

Jadi, kalau anda sungguh pencinta puisi, jangan lewatkan perhelatan akbar Euro 2008. Banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa dipelajari seorang penyair di sana. Nggak percaya? Makanya nongton donk …

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...