https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

25 July 2008

Peristiwa 27 Juli : Tentang 2 Sajak

KIRA-KIRA sepekan (saya tak ingat pasti) setelah “Peristiwa 27 Juli 1996”, saya menulis sebuah sajak yang embrionya bersumber dari horor politik itu. Karena sajak itu saya anggap “gagal” saya pun hanya menyimpannya, dan pelan-pelan belajar melupakannya. Tapi saya tak membuangnya.

Pada Maret 2000 penerbit Pustaka Firdaus menerbitkan kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono, “Ayat-Ayat Api”. Sewaktu membolak-balik buku itu saya menemukan sebuah sajak Sapardi berjudul “Jakarta Juli 1996”. Sewaktu kali pertama membacanya saya tercengang, dan sempat membatin “mengapa puisi saya bisa ada dalam buku Sapardi?”

Ketercengangan itu terjadi karena puisi Sapardi itu bagi saya begitu mirip dengan puisi saya : keduanya berseting “Peristiwa 27 Juli”, keduanya juga menggunakan gaya prosa yang mirip sekali. Belakangan saya sadar bahwa yang semacam ini adalah soal biasa dan lumrah saja dalam urusan cipta mencipta.

Hanya saja, karena Sapardi adalah sebuah nama besar dalam panggung puisi Indonesia (dan sudah “mentas” lebi dulu), sedang saya hanyalah “penyair gurem” belaka, orang pasti akan dengan gampang bilang, misalnya, “wah, sajak Ook yang ini sangat Sapardi sekali ya.” Berikut ini adalah dua sajak yang saya maksud. Yang pertama puisi saya, yang kedua punya Sapardi.


Malam Sehabis Huru-Hara

Malam sehabis huru-hara itu
jalanan jadi lebih sepi
dari biasa. Kabar-kabar palsu menguasai
seluruh kota. Mengetuk setiap pintu
seraya menggertakkan ancaman. Tak ada lagi
yang sedia bicara. Tak seorang pun kini
siap jadi saksi. Malam sehabis huru-hara
itu, sepi jadi terasa aneh. Di bawah
tiang-tiang listrik dan kesenyapan
gang-gang kota, seperti ada yang ingin terus
berkisah padaku. Tentang berapa jumlah korban
yang luka-luka, hilang, dan mati dalam
kerusuhan siang tadi itu.


Jakarta Juli 1996

Katamu kemarin telah terjadi
ribut-ribut di sini.
Sisa-sisa pidato, yel, teriakan.
umpatan, rintihan, derum truk,
semprotan air, dan tembakan
masih terekam lirih sekali di got
dan selokan yang mampet.
Aku seperti mengenali suaramu
di sela-sela ribut-ribut yang lirih itu,
tapi sungguh mati aku tak tahu
kau ini sebenarnya sang pemburu
atau hewan yang luka itu.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...