Aku hanya akan memandangmu
Menjangkaumu lenganku tak sampai
Kau datang dari khazanah yang lain
Yang jauh, bahasamu luput kupahami
Jadi aku hanya akan memandangmu
Diam-diam, patung porselenku, mungkin dengan
Semacam kekaguman yang gagal kututupi
Setiap kali, tapi tak ada kata-kata yang perlu
kuumbar, tak ada yang musti kubuktikan padamu
Kepada sebuah patung
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
27 June 2014
20 June 2014
Tinju
Kujotoskan kata-kataku
Kuarahkan ke liat tubuh sepi
Yang terus mengurung
Merongrongku dengan kekosongan
Dari cuaca ke cuaca. Ketahuilah
Pertarungan kami tak mengenal
Batas musim, tiada dentang
Lonceng yang menjaga aturan main
Seringainya yang hujan
Sosoknya yang malam
Kadang begitu saja lenyap dari pandangan
Luput dari tangkapan makna
Yang terus kujotoskan
Kulayangkan sepenuh keyakinan
Sungguh, ia sehampa bayangan
Tak terangkum dalam cengkram angan
Kuarahkan ke liat tubuh sepi
Yang terus mengurung
Merongrongku dengan kekosongan
Dari cuaca ke cuaca. Ketahuilah
Pertarungan kami tak mengenal
Batas musim, tiada dentang
Lonceng yang menjaga aturan main
Seringainya yang hujan
Sosoknya yang malam
Kadang begitu saja lenyap dari pandangan
Luput dari tangkapan makna
Yang terus kujotoskan
Kulayangkan sepenuh keyakinan
Sungguh, ia sehampa bayangan
Tak terangkum dalam cengkram angan
10 June 2014
Lukisan Rumah
/1/
Akhirnya, kita
sepakat membangun rumah
Sesudah penat 
                       Mengimpikannya dalam
sajak
Dalam benak
berlumut 
                            Rumah dengan dua
pintu
Ke dalam dan ke
luar, rumah dengan dua kamar
Dan sepasang liang
kunci 
                                           Kau
dan aku
Kemudian kita jadi
terlebih memahami rumah
Rumah ternyata
menyimpan begitu banyak lubang
Begitu banyak kamar
                            Kita pun tak paham
kapan
Kita bisa sampai di
sana 
                       Untuk sekadar rebah
mati, atau
Lewat lorong dan
pintu yang mana 
                                     Sebaiknya
masuk
Sebab rumah adalah
labirin, laut, dan pada setiap kelok
Pojoknya menganga 
               Palung-palung kelam bahasa  
/2/
Kita heran, siapa
gerangan telah menaruh pisau 
Dalam percakapan
kita 
                         Mengapa begitu banyak
darah
Menetes di sela
lunak kalimat-kalimat hijau
Yang dengan susah
payah kita pahatkan 
                      Pada dinding angin dan
waktunya?
Kita percaya, kita
datang dari debar yang sama:
Semenjak mula bumi
hanya mengajar kita
           Bahasa santun pohonan 
                                      Sedang
akar-akar yang pendiam
Mewariskan
kesabaran pada lengan kita malam
Itu sebabnya kita
tak gampang tergoda 
Tapi anak-anak yang
dulu kita kandung
                             Dan terlahir dari
rahim gosong musim
Menyadarkan
kita  
               Bahwa cuaca telah berubah
Jadi kita pun
kemudian belajar berhikmat
                       Pada lolong anjing dalam urat
darah kita
Kita juga belajar
menaruh sangsi
Pada kilau pagi dan
nyanyian burung-burung 
                 Yang terlantun dari mulut
anak-anak itu
Sebab jika mereka
berdendang 
                              Kita dapati
gemuruh 
Topan pada wajah
mereka cemas membiru
/3/
Akhirnya, kita pun
memilih sunyi
                          Warisan bumi yang
masih tinggal 
Itulah cara kita 
                Menyelamatkan yang masih bisa
Bayang-bayang kita 
                        Yang bimbang kepayang
Akan saling
menimbang 
                   Dalam remang nilai
Tak usah ucapkan
apa-apa lagi
Tak perlu juga
menulis surat pada waktu
Lihat 
          Gelap dan diam menuntun kita karam
     Pada bahasa dan amsal suci yang lain
Dulu konon tersurat
dalam kitab
Tapi seorang yang
mengaku ibu bapak kita
                             Diam-diam tanpa
restu langit
Telah memotongnya
pupus dari kenangan 
Ketika cuaca
memburuk 
                            Dan hujan turun
Kita pun hanyut
tersaruk tanpa alamat
Dalam benak yang
hanya onak
Kini pelahan 
                     Kita belajar percaya lagi
Hidup masih akan
terus 
               Tapi mari sisihkan dulu
Huruf-huruf yang
telah menodai bumi
Lalu kita bangun
lagi rumah baru 
Silsilah dan
nama-nama baru 
                        Di sebilik miring
tersisa ini
Di sebait sempit
masih berdenyut ini 
Subscribe to:
Comments (Atom)