https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

12 November 2006

1 9 9 8

1998 niscaya akan dicatat sebagai salah satu tahun yang kelam dan dramatis dalam kalender republik ini. Mungkin hebohnya hanya bisa direndeng dengan gonjang-ganjing 1945 dan 1965/66. Di tahun itu, diawali dengan krisis moneter di tahun sebelumnya, kita disuguhi serangkaian horor politik yang mengklimaks pada tersungkurnya tiran Orde Baru, Soeharto. Ada orang hilang. Ada mahasiswa diberondong pelor. Dan ada pula kerusuhan rasial yang sangat sangat edan dan (lagi-lagi) menjadikan etnis Cina sebagai targetnya. Betapa mahal nian ongkos yang musti dibayar untuk menjemput zaman baru yang diyakini akan membawa banyak perubahan dan perbaikan.

Bahwa zaman baru itu, yang secara prematur dan terburu-buru diproklamirkan sebagai zaman reformasi, ternyata kemudian berbelok arah dan berubah menjadi zaman "repotnasi", itu adalah cerita lain. Tapi pada waktu itu, kita, atau setidaknya sebagian dari kita, sungguh percaya bahwa sebuah era yang baru dan lebih baik sudah datang mengetuk pintu. Sekarang, banyak dari kita pasti kecewa, karena yang datang mengetuk pintu itu ternyata cuma sejumlah pencoleng yang berniat merampas kembali impian-impian kita.

1998, bagi saya pribadi juga sebuah tahun penting (dan genting). Di tahun itulah saya secara resmi mengakhiri status saya sebagai jomblo. Momen pribadi ini pun ternyata tidak bisa lepas atau bebas dari kegaduhan suasana politik saat itu. Ada cerita kecil di baliknya
.

Untuk rencana resepsi pernikahan tanggal 15 November 1998, lebih setengah tahun sebelumnya kami sudah membook sebuah restoran di bilangan Ketapang. Sudah sejak awal saya sebetulnya kurang sreg dengan pilihan tanggal 15 November itu. Bukan karena hitung-hitungan fengshuinya, tapi karena tanggal itu berdempetan sekali dengan sebuah hajatan besar, Sidang Istimewa (SI) MPR. Tapi istri saya mengabaikan keberatan saya. Saya pun kemudian tak memasalahkannya lagi.

Tapi beberapa bulan kemudian istri saya berubah pikiran. Ada seorang teman memberi saran supaya tanggal pestanya jangan 15 November. Alasannya ya itu, tanggal itu kelewat mepet dengan jadwal SI MPR. Aneh, omongan saya tidak digubris, tapi omongan sang teman bisa mengubah pikirannya. Singkat cerita kami pun mengganti tanggal resepsi menjadi 10 Oktober, kira-kira sebulan lebih cepat dari rencana semula
.

Ternyata itu sebuah langkah tepat, karena betul saja SI MPR berujung pada keributan berdarah di Semanggi. Suasana Jakarta yang masih belum sembuh dari trauma kerusuhan Mei mendadak mencekam lagi. Orang pada takut pergi jauh dari rumah. Bayangkan, akan seperti apa suasana pesta kawinan kami kalau saja kami tetap ngotot memilih tanggal 15 November sebagai hari H kami. Pilihan yang bisa kami lakukan adalah memundurkan pestanya menjadi seminggu kemudian paling tidak. Tapi apa lacur? Seminggu setelah keributan Semanggi itu pun, di Jakarta meletup lagi sebuah keributan. Skalanya jauh lebih kecil dibanding kerusuhan Mei, tapi masalahnya, lokasi keributan itu justru di Ketapang (kelak peristiwa itu dicatat sebagai "Peristiwa Ketapang"), lokasi di mana restoran yang kami booking itu berada. Betapa gila dan absurdnya! Untunglah, karena kami memang sudah mengganti tanggal resepsi menjadi sebulan sebelumnya, kami pun batal menjadi sinting.

Saya menceritakan ini semua lebih sebagai sebuah sharing iman, karena saya percaya betul, ada campur tangan Tuhan di sana. Saya yakin, bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa istri saya kemudian bisa berubah pikiran, sehingga akhirnya kami pun sepakat mengubah tanggal resepsi perkawinan kami.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...