https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

22 November 2006

Hadiah Sastra

DEWAN juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005-2006 telah menuntaskan tugasnya pekan silam. Mereka sepakat "menuduh" kumpulan cerpen Mandi Api dari Gde Aryantha Soethama (penerbit buku Kompas, 2006) sebagai buku terbaik untuk kategori prosa. Sementara kumpulan puisi Santa Rosa, hasil jerih payah Dorothea Rosa Herliany (Indonesia Tera, 2005) "didakwa" sebagai pemenang untuk kategori puisi. Selaku pemenang mereka berdua berhak atas hadiah uang tunai sebesar masing-masing seratus juta rupiah.

Sebagai sesama warga dari "suku terasing" yang disebut komunitas sastra indonesia, saya ikut bersyukur dengan adanya tradisi sastra tahunan KLA ini. Agak susah saya membayangkan bahwa di zaman "repotnasi' seperti sekarang ini ternyata masih ada juga "sinterklas" yang mau bermurah hati menggelontorkan duit sebegitu besar untuk mengongkosi sebuah kegiatan yang di mata sebagian besar anggota masyarakat pastilah masih dianggap "ganjil" itu. Persis di situlah sebuah pertanyaan nakal menggoda saya : sungguhkan hadiah duit sebanyak itu sudah jatuh ke tangan pemenang yang memang "layak"?

Jangan keliru. Saya tak bermaksud mempertanyakan hasil kerja dewan juri. Saya hanya tergoda untuk sekedar mempertanyakan format dari lombanya. KLA, sepengetahuan saya hanya menjadikan buku -- artinya naskah yang sudah naik cetak dan beruntung diterbitkan -- sebagai bahan acuan lombanya. Di situlah letak masalahnya, karena kita paham betul betapa masih centang perenangnya iklim penerbitan buku-buku sastra kita. Dengan meletakkan format lomba KLA pada perspektif buram itu, orang pun, atau setidaknya saya, akan dengan gampang bertanya seberapa representatifkah buku-buku yang dilombakan itu memberi gambaran riil dari kekuatan atau kualitas kehidupan sastra kita hari ini?

Mernjadikan buku sebagai bahan sebuah lomba sastra adalah pilihan yang sah dan baik-baik saja. Tapi dalam konteks iklim pernerbitan kita kini, format seperti itu dengan sadar dan sengaja telah mengabaikan kemungkinan adanya materi lain yang "lebih baik" -- dan karenanya juga "lebih layak" untuk dimenangkan -- di luar buku-buku itu. Saya tengah membayangkan sebuah Khatulitiwa Literarry Award -- dan juga award-award sastra yang lainnya -- di masa depan yang mau juga sedikit repot mengikutsertakan materi yang masih belum beruntung terbit untuk ikut juga dilombakan.

Dengan cara begini, pertandingan akan berjalan lebih seru dan fair. Dan kelak, siapapun pemenangnya, mungkin akan lebih memberi gambaran nyata dari geliat hidup dan mutu kesusasteraan kita di lapangan. Tapi saya tak tahu, usulan semacam ini terdengar berlebihan atau tidak di kuping para petinggi sastra kita.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...